Vitamins Blog

TANGANNYA

Bookmark
Please login to bookmark Close

“Lyra! Tenang oke? Kita pasti bisa keluar dari sini.”

 

Aku tak tau bagaimana ekspresiku saat ini, bagaimana keadaan wajahku saat ini, tapi yang aku tau, lelaki ini, dengan wajahnya yang kotor tersenyum padaku. Memberikan tangannya untuk kugenggam.

 

****

 

Tubuhku masih gemetar, dan suara bising itu masih terdengar jelas meski perlahan menjauh. Aku merosot ke lantai, menyenderkan tubuhku pada tembok yang hampir runtuh itu. Sementara lelaki di sampingku ini, berdiri siaga sambil terus mengintip ke balik tembok. Tapi tangannya yang besar tak melepaskan tanganku sedetik pun.

 

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat bagaimana semua tiba-tiba menjadi seperti ini. Aku hanya ingat sedang bersiap untuk berangkat kerja, lalu terdengar suara tembakan dan juga ledakan bom. Melihat tubuh ibuku yang ambruk di lantai, meninggal. Dan kakiku berlari mengikuti insting untuk menyelamatkan diri. Kemudian menyaksikan banyak orang yang mati akibat timah panas manusia-manusia biadab itu. Bersembunyi ketakutan, sampai akhirnya Ken menemukanku. Menawarkan tangannya untuk kugenggam, serta menawarkan perlindungan padaku.

 

“Mereka Sudah pergi. Kita bisa bersembunyi sebentar di sini malam ini. Lalu kita lanjutkan perjalanan. Sepertinya kita semakin dekat dengan batas kota.” Ken mendudukan dirinya disebelahku. Wajahnya kacau, mungkin sama kacaunya denganku atau bahkan lebih. Ada garis merah memanjang di bawah rahangnya.

 

Tanganku menyentuhnya. “Maaf karena selalu menjadi bebanmu.” Ucapku lirih, mataku sudah berair dan siap tumpah kapan saja.

 

“Hei, jangan menangis. Kau bukan beban. Bukankah kita satu tim?” Tangannya yang lain mengelus rambutku pelan. “Anggap saja kita sedang syuting film laga, keren kan?” Dia tertawa.

 

Aku menggeleng. Air mata itu tumpah menetes bagai keran bocor.

Aku takut. Rasanya seperti kematian itu bisa datang kapan pun. Memenggal hidupku atau menembak kewarasanku. Menyaksikan tubuh-tubuh tak utuh yang berserakan di jalan. Bau busuk yang bahkan tak perbah hilang sejak hari itu. Aku sangat takut, aku merasa akan gila sewaktu-waktu. Dan aku lelah harus selalu berlari dan bersembunyi seperti ini. Aku ingin pulang pada kehidupanku dulu. Ada di sini, rasanya seperti menapakki jalan menuju neraka.

 

“Aku tau semua ini sulit. Tapi aku janji tak akan pernah meninggalkanmu. Dan kita akan keluar dari sini bersama. Aku janji.”

 

Ken.

 

Lagi-lagi dia yang menarikku. Membawaku menapak pada jalan yang terang, tidak membiarkanku terkurung dalam gelap yang aku tau pasti akan memakanku.

 

Aku memeluknya erat. Menangis, lagi. Tapi bukan untuk alasan yang sama. Aku menangis karena bersyukur ada dia di sisiku. Seseorang yang akan menarikku kalau aku terjatuh lagi, lagi, dan selamanya.

 

****

 

Kami duduk berdekatan, kami kedinginan. Udara malam akhir-akhir ini semakin membuat kami bergidik. Dan kami kelaparan serta kehausan. Tapi kami tak bisa bergerak sampai suara sirine terdengar, karena suara sirine berarti tanda bahwa banyak pasukan biadab itu ditarik dan hanya meninggalkan beberapa orang saja untuk berjaga.

 

Aku menengadah menatap langit. Hitam namun berkilau indah dengan jutaan bintang yang berhamburan memenuhi langit. Dengan bintang yang terlambat di ujung timur sana, seharusnya ini malam yang indah.

 

“Biasanya aku akan jalan-jalan saat cuaca cerah seperti ini. Menghabiskan malamku untuk mencoba cafe baru atau sekedar duduk taman kota dengan secangkir kopi hangat.” Ucapku serak. Hanya mengingatnya saja membuat tercekat.

 

“Ibuku biasanya akan mengomel jika aku terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Dia mengeluh tentangku yang jarang meluangkan waktu untuknya.” Dadaku sesak. Rasanya seperti ada yang mau ke luar.

 

Ken menatapku, dia mempererat genggamannya. “Sudahlah, jangan diteruskan.”

 

Aku menggeleng lemah. “Aku menyesal. Rasanya sakit saat tau bahwa semua tak akan pernah kembali.” Rasanya mataku seperti berembun, dan hidungku jadi sedikit tersumbat.

 

Ken memegang kedua pundakku. Memaksaku untuk menatapnya.

“Menyesali kesalahan masa lalu tidak akan mengubah hal yang sudah terjadi. Jadi berhenti untuk menyalahkan diri sendiri.” Ken tersenyum tulus. “Tak bisakah kau menikmati saja saat-saat kau berasamaku? Membuat kenangan yang tidak akan disesali. Mau?” Tanyannya.

 

“Baiklah.” Aku mengusap air mataku. ” Dan aku minta maaf untuk semua sifat menyebalkanku.” Ucapku.

 

“Kalau tentang sifatmu yang menyebalkan, aku tak bisa berbuat banyak.” Ken mengangkat bahunya dan  tertawa pelan.

 

Aku cemberut mendengar candaannya. Dan dia semakin tertawa.

 

“Bagaimana denganmu? Aku tak pernah mendengar cerita tentangmu.” Tanyaku.

 

Ken menggaruk tengkuknya. Menatap langit sebentar, lalu menatapku. “Tak ada yang bisa aku ceritakan tentang diriku.”

 

“Kenapa?” Tanyaku penasaran.

 

“Karena tidak ada ……”

 

Dor! Dor! Dor!

 

Ken langsung membekap mulutku saat aku hampir saja berteriak. Jantungku kembali berdegup kencang. Sementara Ken mencoba mengintip ke balik tembok melalui lubang kecil.

 

“Mereka menuju ke sini. Jalanlah pelan-pelan ke arah sana.” Bisiknya. Aku mengangguk dan mencoba untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

 

Suara langkah kaki mereka berat dan kasar. Jumlah mereka cukup banyak, terdengar dari suara derap sepatu yang saling sahut menyahut. Itu membuatku semakin merasa tegang.

 

Dor! Dor!

 

Aku terlonjak dan tak sengaja menjatuhkan sebuah besi. Ken dengan sigap menarikku dan membawaku lari menjauh dari sana. Kemudian terdengar suara tembakan lagi beberapa kali sampai akhirnya kami bersembunyi di dalam lubang pembuangan yang baunya, entahlah, sungguh busuk.

 

Selama beberapa saat kami diam dan memastikan bahwa mereka tak menuju ke sini. Saat suara sirine terdengar, aku menghela nafas lega. Ken langsung menjatuhkan dirinya. Nafasnya terdengar berat dan dia banyak berkeringat.

 

Aku merobek cardiganku dan mengusap keringatnya. Namun kemudian aku sadar bahwa tubuhnya tidak hanya dipenuhi keringat, tetapi juga darah. Dia meringis saat aku mengusap lengannya.

 

“Kau terluka!” Pekikku.

 

“Tidak apa-apa, Lyr.” Katanya.

 

“Kau tertembak! Demi tuhan, Ken! Bagaimana bisa kau tidak apa-apa?” Omelku.

 

“Aku tidak sungguhan tertembak, peluru itu hanya menyerempet lenganku.”

 

“Tapi kau tetap saja terluka!” Balasku sengit.

 

Dia tertawa pelan. “Daripada kau terus mengomel, bukankah lebih baik mengobatiku. Karena semakin lama rasanya cukup menyakitkan juga.”

 

Aku mengusap pelan luka itu dan mencoba membersihkan darahnya. Kemudian mencoba untuk membalutnya.

 

“Terima kasih.” Ucapku pelan. Menatap jelaga setiham langit itu.

 

“ Sama-sama Lyr, sama-sama.” Dia membelai pipiku.

 

****

 

Kami berjalan perlahan. Beristirahat sebentar lalu berjalan kembali. Bersembunyi dari satu bangunan ke bangunan lain. Memastikan jika selama perjalanan, kami tak bertemu orang-orang jahat itu.

 

Langit sudah sedikit memerah saat kami sampai diperbatasan kota terakhir. Setelah keluar dari kota ini kami akan berjalan menembus gurun untuk sampai ke kota terdekat. Dan kami akan selamat. Maka dari itu kami bersembunyi dibalik sebuah rongsokan mobil, menunggu penjagaan sedikit lengah untuk berlari ke arah gurun, namun beberapa orang bersiaga dengan senapan laras panjang.

 

Mata kami saling menatap, berbicara dalam keheningan. Kemudian dia mengangguk. Jantungku berpacu. Tapi genggaman tangan ini, seolah memberikan keyakinan bahwa dunia akan baik-baik saja.

 

Begitu suara sirine berbunyi, kami berlari sekuat tenaga. Angin yang berhembus menerbangkan debu-debu pasir, membuat pengalihan yang cukup bagi kami. Kakiku begitu bersemangat berlari. Kami akan keluar dari neraka itu, dan rasanya sungguh bebas.

 

Tapi tiba-tiba kurasakan dia berhenti. Aku tertarik kasar ke belakang. Hampir menabraknya. Aku hendak mengomel, tapi yang kulihat adalah wajah pucatnya dan tubuhnya yang kaku.

 

Aku menatapnya bingung. “Ken? Kenapa berhenti?” Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.

Dia diam, dan melepaskan genggamanku. Aku menatapnya heran.

 

“Sepertinya kamu harus pergi sendiri, Lyr.” Ucapnya. Dia tersenyum tapi matanya terlihat sedih.

 

“Kenapa? Kau mau pergi ke mana? Kau tidak bisa meninggalkanku sendiri!” Aku meninggikan suaraku. Air mata sudah menggenang.

 

Apa maksud dari lelaki ini? Setelah semua yang terjadi, setelah semua hal yang kami lakukan bersama, setelah semua janji-janji yang dia ucapkan, kenapa? Kenapa dia bisa mengatakan itu?

 

Aku menarik tangannya tapi dia bergeming. Tatapannya memohon padaku. “Hentikan semua omong kosongmu, kita bisa membicarakan hal ini nanti.”

 

Dia menggeleng. “Aku tak bisa, pergilah sekarang juga. Cepat.”

 

“Aku tak akan pergi tanpamu!” Aku berteriak marah.

 

“Pergi sekarang juga! Karena aku menginjak ranjau!” Dia berteriak.

 

Sesaat aku merasa telingaku bermasalah. Tapi melihat matanya yang sendu, suaraku seolah dihempas angin gurun.

 

Tuhan sedang marah padaku.

 

“Cepat pergi dari sini.” Katanya lagi. “Kumohon, Lyr.”

 

Air mataku luruh. Dan aku benci diriku yang lemah seperti ini.

 

“Kenapa? Kenapa kau memintaku untuk pergi, meninggalkanmu?” Suaraku tercekat.

 

“Pergilah Lyr, mereka bisa menemukan kita sewaktu-waktu.” Tangannya mengusap pipiku.

 

Tangan yang besar. Tangan yang kasar. Tangan yang kotor. Tapi itu tangan yang hangat, tangan yang mengusap air mataku, tangan yang merengkuh tubuhku saat dingin, tangan yang menawarkan keyakinan atas rasa aman.

 

Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan pergi.”  Kataku mantap.

 

Dia menatapku sedih. “Lyra, jangan seperti ini!”

 

Aku mengusap kasar air mataku. “Bukankah kita berjanji untuk bersama?”

 

“Lyra! Jangan bersikap bodoh. Aku bisa saja mati kapan pun.” Ken mengusap kasar wajahnya.

 

“Kalau begitu kita mati bersama.” Ucapku. Air mata terus mengalir. Aku menggenggam tangannya, mencari kekuatan.

 

Ken menarikku dalam pelukkannya. Aku bisa mencium bau tubuhnya yang bercampur dengan bau tanah. Dan tangannya yang hangat melingkar pada tubuhku yang kecil.

 

Aku mendengar suara tembakan beberapa kali dan suara teriakan orang-orang di belakang kami. Tapi suaranya yang lembut membuatku tersenyum.

 

“Aku mencintaimu.”

 

Dan semua berubah menjadi merah.

 

****

 

Kini aku tahu jika Tuhan bukannya marah padaku, tapi Dia membenciku.

 

.

.

.

 

FIN

 

 

2 Komentar

  1. sad story

  2. Ya ??