Vitamins Blog

Heliosentris – Part 14

Bookmark
Please login to bookmark Close

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

_________________________

Part 14 – Kejutan atau ‘Kejutan’?

_________________________

 

Happy Reading~

Sorry for typo
_._._._._

Aku memasukkan buku-buku yang berserakan di atas meja dengan hati-hati. Menatanya serapi mungkin, sesuai urutan sebelum mengeluarkannya.

Selesai.

“Lo pulang naik apa?”

Aku menatap sekilas sosok laki-laki yang tanpa kusadari masih berdiri di daun pintu. Menunggu entah apa hingga belum beranjak dari sana.

“Sepeda.”

Aku menjawab ringan. Seperti tidak biasa saja. Kemarin-kemarin, ia kemana?

“Sepeda? Gila.”

Sontak, aku mengerutkan keningku begitu mendengar ucapan bernada sinis yang keluar dari mulutnya. Apa maksudnya itu?

Aku masih waras, belum terindikasi gila. Bahkan hanya sekedar gejala. Normal. Masih amat sangat normal.

Tapi,

Apa peduliku?

Aku mengangkat bahu acuh.

Biarlah, kalau aku menyahut itu sama saja dengan merasa. Aku ‘kan tidak gila. Ya sudah, tidak usah merasa adalah pilihan terbaik.

Dengan santai, aku melenggang melewatinya. Namun, sebelum tubuhku sepenuhnya melewati pintu tanganku tiba-tiba dicekal.

“Kalo ada badut atau parahnya lagi beruang, gue nggak bakal tanggung jawab. Terlebih, kalo besok nama lo ada di koran jangan pernah libatin gue.”
Usai mengatakannya, ia berlalu. Melangkah cepat meninggalkanku yang terpaku dengan ucapannya.

Tanpa bisa dikendalikan, mulutku menganga lebar.

A-a-apa? Badut? Beruang? Koran?

_._._._._

‘Kan.

Apa yang perlu dikhawatirkan dari pulang sekolah menaiki sepeda? Petang pula. Tidak ada badut ataupun beruang seperti apa kata Kak Varel.

Dasar pembohong.

Dia berniat menakutiku atau bagaimana?

Aku mendengus. Beruntung, aku tidak mengkeret takut hanya karena ucapan kosongnya.

Santai, Dis. Pembohong dan penindas memang terkadang tak memiliki batas bukan? Ucapan pembohong yang digunakan untuk mengelabui orang lain memang terkadang bisa mengguncang hebat mental seseorang. Itu sama saja dengan penindasan terselubung. Jangan harap aku akan termakan perkataan orang yang bahkan kuyakini adalah pembohong ulung. Sudah terlihat dari bagaimana ia menepati janji.

Mulur dari waktu yang ditetapkan sebelumnya. Bukannya itu tanda-tanda pembohong? Untuk hal kecil saja, dia tidak bisa menepati. Apalagi janji yang mengikat?

Rasanya mimpi.

Aku mengarahkan tangan kananku untuk membuka pagar rumah.

Sepi. Gelap.

Apa eyang belum pulang ya?

“Eyang… Adis wangsul.

Tidak seperti biasanya, eyang yang selalu tak pernah absen menjawab seruanku kali ini benar-benar keheningan yang menjawabnya.

Aneh.

“Eyang…”

Aku memanggil sekali lagi seraya melepas kedua sepatuku dan menanggalkannya di depan pintu.

Dengan cepat, kedua kakiku melangkah memasuki rumah dan menyisir ruangan secara cepat.

“Ey- ya Tuhan!”

Aku nyaris pingsan saat menemukan tubuh renta yang tengah kucari-cari justru sedang berbaring di atas lantai kamar mandi. Tubuhku bergetar hebat saat menyadari kemungkinan bahwa eyang terpeleset hingga tak sadarkan diri.

Tenang, Dis. Tenang.

Aku mencoba menenangkan diri. Menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya, mencoba menenangkan gemuruh yang mulai mengguncang dada.

Dengan tangan gemetar, jari-jariku terarah pada leher sampingnya. Memastikan jika sesuatu di sana masih berdenyut dengan semestinya.

Mengapa?

Karena aku nyaris pingsan tatkala dada itu tak lagi bergerak naik turun. Itulah yang membuatku mengambil opsi demikian.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Empat detik

Lima detik

Enam detik

Tujuh detik

Tubuhku lemas seketika saat berkali-kali tanganku menjelajah namun denyutan itu tak bisa kutemui dimanapun.

“Eyang, bangun. Adis udah pulang. Eyang, Adis lapar. Eyang bangun.”

Aku bergumam lirih sembari menahan tangis yang ingin meledak sebentar lagi.

Tidak. Jangan. Jangan sekarang. Jangan sekarang, Ya Tuhan. Kumohon…

“EYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAANG…….”

_._._._._

Mimpi.

Aku mencubit pipi atau lenganku berulang kali. Mencoba mengelak jika yang kualami sekarang adalah kenyataan. Bagaimana mungkin, jika pagi tadi rasanya hidupku masih baik-baik saja, berjalan normal seperti biasa. Dengan eyang yang tersenyum lembut saat melihatku keluar kamar untuk sarapan pagi, membantu menata kue-kue manis yang siap dijual untuk pengisi perut esok hari, tapi sekarang…

Aku menggeleng.

Seberapa besar pun rasa tak terima, namun saat mataku menatap bendera kuning yang berkibar di pagar depan, dengungan orang-orang yang membacakan doa, dan sosok tubuh renta yang terbaring kaku di hadapanku rasanya membuatku lemas seketika.

Ini kenyataan, meskipun terasa mimpi.

Kuusap buliran air yang sempat lolos dari pelupuk mataku. Entahlah. Rasanya benar-benar tak terdefinisi saat ini. Yang jelas, semuanya terasa menyesakkan. Terlebih di dadaku, rasa-rasanya seperti terlalu banyak makan tanpa minum hingga tersangkut di perjalanan ke lambung. Tak mau bergerak dan membuatku kesulitan bernapas. Yang bisa kulakukan sekarang, hanyalah meneguk ludah lalu berusaha sebisa mungkin menarik napas lewat mulut agar tetap bisa mencukupi kebutuhan oksigen supaya tak jatuh pingsan lagi seperti sebelumnya.

“Eyang…” Bibirku bergetar hebat saat memanggilnya.

Kuat Dis, kamu harus kuat.

“Selamat jalan.”

Air mataku menitik lagi. Kali ini, aku tak mencoba menghapusnya. Membiarkannya keluar bersama kesedihanku. Mungkin untuk saat ini, aku membiarkan diriku menangis meratapi kepergian sosoknya. Hanya saat ini dan tidak di saat-saat yang lain.

“Saatnya dibawa. Ayo, Dis. Mau ikut iringi ‘kan?”

Aku mengangguk seraya mengulas senyum terpaksa dengan air mata yang masih mengalir tanpa henti. Tak kuasa untuk menjawab apapun di saat bibirku bergetar hebat seperti sekarang.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi, eyang benar-benar akan dikebumikan. Tenggelam di dalam tanah basah tanpa aku bisa melihatnya untuk puluhan masa yang ku punya. Tak bisa melihat raut hangatnya, tak bisa merasai dekapannya ketika aku kedinginan, tak bisa menceritakan keseharianku padanya sebelum tidur, dan tak bisa… Menyentuhnya.

Aku menggigit bibirku kencang. Rasanya semakin sesak untuk bernapas ketika membayangkan jika esok hari, aku tak bisa lagi bersamanya. Ucapan eyang saat itu pun terasa bualan di telingaku sekarang.

Kalau seseorang meninggal, itu jangan ditangisi.

Kenapa eyang?

Karena meninggal itu nama lain dari kehidupan baru. Orang yang meninggal dunia, bukannya orang itu bakal melepas semua beban dunia? Ndak bakal ngerasain sakit lagi seperti di dunia fana. Jadi, jangan ditangisi. Orang mau lepas beban dunia kok ditangisi.

Tapi nangis ‘kan nggak bisa ditahan eyang? Kalau Adis sedih, ya mesti Adis nangis.

Nangis itu boleh. Tapi ndak lama-lama. Mung wektu kuwi tok. Selepas itu, ya balik lagi ke kehidupan sebelumnya. Nerusake urip.

Aku tersenyum pedih. Nyatanya, ucapan eyang tidak mudah untuk kulakukan. Entahlah, apa setelah ini aku masih sanggup meneruskan kehidupanku. Aku tidak tahu dan tidak bisa menebaknya.

_._._._._._

Notes :

· Wangsul = Pulang
· Mung = Hanya
· Kuwi = Itu
· Nerusake = Melanjutkan
· Urip = Hidup