“Man, Monik nanyain lo, tu cewek minta kontak LINE lo ke gue kemarin, kasih nggak nih?” Fajar mengambil alih bola basket yang ada ditangan Erik, mendribble-nya lalu dengan santai melemparkannya kedalam ring.
Fajar menatap Erik sebentar kemudian memberikan melemparkan bola basket yang di tangannya kepada cowok itu.
Tidak ditanggapinya ucapan Fajar barusan. Erik malah lebih memilih kembali mendribble bola nya menuju ring. Dan… Masuk.
Fajar mendesah. Tidak biasanya temannya ini berdiam diri saat ia mengatakan kalau ada seorang gadis yang ingin berkenalan dengan cowok itu. Kemudian, yang dilakukan Fajar yaitu mengikuti temannya berjalan ke bangku yang berada di pinggiran lapangan basket. Tempat diletakkan nya tas dan juga botol air mineral mereka. Erik mengambil satu botol air mineral dingin yang dibeli mereka saat akan datang kesini, pun dengan Fajar yang ikut mengambil satu botol lainnya.
Setelah menegak hampir setengah isi nya, Fajar kembali bersuara, “Kenapa lo?”
Erik menoleh kesamping, menatap teman nya yang bersuku sunda itu dengan kedua alis terangkat. Tidak mengerti.
“Gue ngerasa aneh nih, tumben-tumbenan lo nggak ngerespon ada cewek yang mintain LINE lo.” Ujar Fajar.
“Kasih aja. Biasanya juga lo nggak pake izin.”
Ucapan Erik sontak membuat Fajar terpingkal, “Udah gue kasih sih.”
Erik menggerutu. See? Tidak heran kenapa ia malas merespon temannya itu, karena sudah pasti Fajar telah menyebarluaskan kontak LINE Erik bahkan tanpa meminta izin sebelumnya.
“Gue cuman mau liat reaksi lo aja, soalnya lo kan pernah nanyain Monik. Tapi kayanya bukan ini deh respon yang gue harapkan.” Fajar tertawa. “Lo kenapa? Patah hati karena Jennifer jadian sama cowok lain?”
Erik menegang. Rahangnya kembali mengeras sesaat, sebelum ia bisa menghandle pembawaannya kembali. Ia berujar singkat, “Nggak. Sok tau lo!”
“Gue emang tau lo, kali, Rik.” Balas Fajar. Cowok berambut gondrong dengan bandana hitam di kepala itu kembali meneruskan “Makanya, kalau suka itu ditembak, bukan di jadiin backup aja.”
Erik tertawa mengejek, “Yeah, Dikatakan oleh orang yang suka ngasih harapan-harapan semu kepada semua cewek se-Jakarta.”
Fajar tertawa terbahak-bahak, “Sialan lo!”
***
Untuk kedua kalinya, Jen melirik kesamping kemudi. Pikirannya sibuk menerka-nerka kemana Aji akan membawanya.
Aji menoleh sekilas, lalu terkekeh. Satu tangannya bergerak kearah dahi Jen, mengurut pelan agar kerutan-kerutan kecil di dahi kekasihnya itu menghilang, “Gue nggak bakal bawa lo ke tempat yang macem-macem kok, Jen.”
“Kita mau kemana deh?” Jen menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi penumpang. Matanya menatap lurus kedepan, mengamati lalu lalang mobil yang melintas didepan mereka.
Aji kembali menoleh, tangannya mengacak puncak kepala Jen saat melihat raut bingung nan lucu bergelayut di wajah gadis itu. Cowok itu masih belum berniat memberitahu kemana mereka akan pergi, karena Aji penasaran bagaimana reaksi Jen saat mereka nanti tiba di suatu tempat di bilangan Jakarta Selatan itu.
Sekitar lima belas menit kemudian, Mobil HR-V hitam Aji, kemudian memasuki kawasan Setia Budi.
Jen membelalak kaget. Ia tahu betul kalau tempat apa ini. Jen menoleh dengan rait berninar dibarengi shock nya kearah Aji yang sedang mematikan mesin mobilnya saat mereka sudah berada di area parkir gedung.
Aji tersenyum melihat ekspresi Jen saat ini. Hatinya menghangat, sebetulnya tidak butuh kata apapun untuk membuat cowok itu paham apa makna yang tersirat dari binar dimata Jen ini, tapi, namanya juga Aji, jadi ia harus mendengar langsung dari mulut Jennifer kalau pilihannya mengajak gadis itu dating ke tempat seperti ini–bukannya ke Cafe atau menonton bioskop– adalah pilihan tepat.
Aji mengeluarkan tiket dari dalam laci dashboard mobilnya. Dua buah tiket kelas diamond untuk menonton pertunjukan teater musikal broadway di Ciputra Artpreneur.
Jen menutup mulutnya menggunakan kedua tangan, ada binar dibola mata gadis itu saat mengamati Aji–lebih tepatnya, tiket yang dipegang cowok itu–.
“Gimana, lo suka?” Aji bertanya pelan, namun suaranya mampu menerobos kedua gendang telinga gadis yang masih tidak percaya kalau ia akhirnya akan menenton pertunjukan itu secara real.
Jen mengangguk, “Yaampun Aji, ini kan tiket mahal banget!” Matanya memandang Aji dengan keraguan. Namun, keraguan itu lenyap kala cowok yang sedang ditatapnya kini memberikan respon dengan senyuman.
“Emang mahal.” Jawab Aji jujur. Sejujurnya, ini adalah kali pertama Triaji Hanggara mengajak kencan dengan cara menonton pertunjukan musikal theater seperti ini. Dan cowok itu juga tidak mengerti kenapa dirinya rela merogoh kocek yang lumayan begini hanya untuk membeli tiket yang tanpa segaja dibelinya itu. “Jadi, gue berharap lo bakal suka nih sama ajakan kencan gue. Gimana lo suka?”
Dan anggukan Jennifer sontak menciptakan seringaian lebar di wajah Aji. Kemudian keduanya berjalan menuju dalam gedung.
—
Ding!
Suara lift yang berbunyi menandakan bahwa Aji dan Jen telah sampai di lantai yang mereka tuju. Pertunjukan musikal bertajuk La La Land in concert itu cukup banyak peminatnya. Ruang theater sudah dibuka dengan dilihatnya beberapa orang yang sudah mulai memasuki ruangan tersebut. Aji menggenggam jemari Jen, untuk ikut bergabung pada keramaian.
Setelah kedua nya masuk kebagian dalam ruangan, Jen terus saja berdecak kagum dengan Arsitektur bagunan didalam theater ini. Sangat amat elegan dan didominasi warna merah menambah kemewahan ruangan theater ini. Jen yakin, sang pemilik gedung tidak main-main saat membangun ini.
Design elegan nan mewah ini mengingatkan Jennifer pada saat masih SMP dulu, ketika keluarga nya berlibur ke New York, saat itu Papa dan Mama Jen untuk pertama kalinya mengajak Jen menonton pertunjukan di broadway. Pengalaman yang tak akan pernah dilupakan Jen. Dan mungkin sejak saat itu, Jen mulai menyukai pertunjukan seni seperti ini.
Aji menghela Jen masuk. Mereka mendapat kuris dibagian ujung arah jam sembilan. Sambil melewati beberapa kursi yang telah terisi penghuninya, Aji menghela Jen untuk duduk dikursi ujung. Sedangkan dirinya pada kuri sebelah Jen. Pilihan yang baik untuk Aji karena tepat disebelah cowok itu adalah kursi yang ditempati oleh lelaki seumuran mereka dan seorang wanita yang duduk disamping lelaki itu–yang Aji yakini adalah kekasih dari si cowok disampingnya– namun, yang membuat Aji memposisikan Jen dikursi ujung adalah karena lelaki yang berada disebelahnya itu sejak mereka lewat terus saja memerhatikan Jennifernya.
Tunggu… Apa?
Jennifernya?
Apakah kini Aji menjadi cowok possesif?
—
Sepanjang pertunjukan itu, Jennifer membiarkan Aji menggenggam tangannya, tanpa melepaskan sedetikpun. Kelihatannya, Jen sendiri tidak menyadari jika Aji melakukan itu padanya karena gadis itu terlalu senang melihat pertunjukan yang dibarengi dengan live orchestra sehingga membuatnya semakin hidup.
Sedangkan Aji, dia tidak begitu tertarik oleh acara theater semacam ini, meskipun ia juga pernah menonton film yang meraih enam piala oscar itu. Namun, sebagai orang awam Aji memuji bahwa pertunjukan itu sukses.
Gemuruh tepuk tangan dari para penonton dan tirai merah yang menyatu kembali menandakan bahwa pertunjukan itu telah usai. Penonton yang memenuhi tribun satu persatu mulai berjalan keluar. Aji memerhatikan dengan seksama, tidak menyangka jika cukup banyak anak muda yang menonton.
“Yuk?” Ajak Aji saat isi ruangan sudah mulai sepi. Kepalanya menoleh miring menghadap Jen.
Jen mengangguk, lalu kedua nya berdiri.
“Makasih ya, Ji.” Suara Jen mengalun dengan lembut sampai di telinga Aji.
Aji tersenyum. “Lo senang?”
Jen mengangguk, “Banget,”
“Kalo gitu, sekarang kita cari makan, gimana?” Aji tersenyum, matanya melirik arloji dipergelangan tangan kirinya. “Lo nggak lagi program diet kan?” Ucap cowok lagi dengan nada bercanda, saat menyadari kalau ini sudah malam.
Jen menaikkan alisnya sambil menahan senyum. “Gue nggak ada bates jam malem kaya Gigi Hadid dan kawan-kawannya kok.”
“Itu baru cewek gue,” Aji tersenyum lebar, sambil berujar lagi, “Yuk, gue mau ajak lo nyobain bakmi di sekitar setia budi sini.” Lalu cowok itu menggunakan tangannya, menarik satu lengan Jen berjalan ke area parkir.
Tanpa menyadari wajah Jen yang memerah karena ucapannya barusan.
***
Ditempat lain, seseorang baru saja turun dari mobilnya. Tiga panggilannya tidak mendapat jawaban dan empat chat nya tak kunjung menjadi ceklis dua, apalagi berubah warna menjadi biru.
Erik mendesah, kesal. Dilangkahkan kaki nya kedalam rumah kostan berlantai dua dihadapannya. Kakinya dengan santai melangkah menuju tempat yang sudah sangat dihapalnya itu. Setelah sampai didepan pintu yang memiliki lebar 80cm bewarna hitam pekat, Erik mengetuknya.
Sedikit aneh, karena lampu kamar yang biasanya dibiarkan menyala, apalagi malam sudah semakin gelap seperti sekarang ini, masih saja mati. Hati nya mencelos menyadari sesuatu hal. Mungkin si pemilik kamar sedang tidak ada dikamarnya. Mungkin saja…
Erik keluar dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dibenaknya kala seseorang menepuk bahunya,
“Temennya Jennifer, ya?” Ucap seorang cewek kepada Erik.
Erik mengangguk. “Jennifer nya kemana ya, mbak?”
Cewek berkuncir satu itu sedikit kaget, lalu bersuara, “Kayaknya belum balik deh, tadi jam tiga an pergi sama pacarnya.” Terangnya.
Rahang Erik mengeras. Kemungkinan ini sesungguhnya sudah dipikirkannya, namun tetap saja ia merasa tak rela. Jennifernya… Jennifer yang lebih dulu Erik ketahui bahwa dia ada di bumi ini, dibandingkan Aji.
Apakah karma sudah datang?
***
“Lo nggak suka mushroom?” Aji bertanya saat melihat kekasihnya itu sibuk memisahkan mushroom dan bakmi yang dipesan mereka menggunakan sumpit.
“He’eh. Aneh rasanya menurut gue.” Jen membetulkan. Setelah yakin sudah memisahkan semua jamur yang ada didalam mangkuk bakmi nya, Jen lalu menuangkan kuah bakmi nya dan mengambil sambal secukupnya.
“Jamurnya kenapa dipisahin?” Tanya Aji heran.
“Aku alergi jamur, nanti pasti langsung bintik-bintik merah kalo abis makannya.” Keluh sang gadis dengan sedikit menggerutu. “Padahal aku pengen tau rasanya gimana. Ceritain dong, yang?” Si gadis menatap Aji dengan pandangan manja. Yang mau tak mau membuat cowok itu terkekeh pelan.
Aji mengedip dua kali, saat sekelebat kilasan balikĀ itu tiba-tiba saja muncul kepermukaan. Aji menggeleng samar, demi menepis sekelebat masalalu itu.
“Omong-omong, Lo tau dari mana gue suka nonton theater broadway?” Jen memandang Aji, dan saat itulah ia menyadari kalau Aji belum memakan bakmi nya. “Kok belum dimakan? Katanya tadi lo laper?” Gadis itu mengernyit heran.
Aji tersenyum, “Gue daritadi sibuk liatin lo
Ternyata cewek gue cantik ya, kalo lagi makan bakmi.”
Ucapan Aji sontak saja menjalarkan semburat merah di pipi Jen. “Dangdut deh lo…” Jen mencoba bersikap santai. Lalu kembali mencoba mengalihkan pembicaraan, “Jadi, lo tau dari mana?”
“Kepikiran aja. Mungkin ini yang namanya berjodoh ya?” Goda Aji.
“Semoga aja gue percaya ya, Ji.” Jen memutar bola matanya.
Aji tertawa kencang, “Gue tau dari si tomboy.” Ada jeda sesaat sebelum cowok itu kembali melanjutkan perkataannya, “Tiga hari yang lalu dia ada bahas soal tiket ini, katanya lo pengen banget nonton tapi belum dapet Acc dari bokap lo. Terus lo galau sampe nangis…”
“Gue nggak nangis.” Sela Jen. Ia membatin bahwa mulut temannya itu seharusnya di plester saja agar tidak berbicara sembarangan yang membuatnya terus saja malu.
“Iya, gue tau kalo lo nggak mungkin nangis.” Aji terkekeh. Matanya kembali bertemu dengan manik mata Jennifer, “Terus gue pesen deh.” Lanjutnya.
“Just that?” Jen mengedip dua kali saat melihat Aji mengangguk dengan santainya. “Lo pasti sering beliin cewek-cewek lo dulu kan ya…” Gumam Jen.
Aji mengernyit, satu senyuman usil tercetak diwajah tampannya, “Kenapa? Tiba-tiba kesel ya bayangin berapa cewek yang sering gue giniin?”
Jen memerah lagi, dengan fokusnya beralih ke bakmi dibawahnya, kemudian menyumpitkannya ke mulut. Aji tersenyum kecil, “Lo yang pertama, Jen. Sebelumnya gue nggak pernah beliin apapun ke mereka.” Ujar Aji jujur.
Cowok itu memang tidak pernah membelikan apapun–kecuali bunga dan yeah, cowok mana yang tidak pernah membelikan bunga–untuk mantan kekasihnya terdahulu. Aji sendiri bingung kenapa tiba-tiba saja tangannya bergerak sendiri memesan tiket theater ini secara online.
Sesuatu dalam hatinya yang menggerakkan tangan Aji melakukan hal itu. Dan Aji menetapkan hal itu sebagai keputusan hatinya yang paling benar saat melihay raut bahagia yang ditunjukan Jennifer sejak melihat tiket itu.
—
Roda ban itu terhenti tepat didepan gerbang kost Jen. Jen melepaskan sabuk pengamannya, lalu menoleh untuk menemukan kedua fokus Aji pada dirinya.
“Thanks for today ya, Ji.”
Aji tidak menjawab. Ekspresi cowok itu menunjukan kalau ia nampak sedang berfikir tentang suatu hal, namun Jen tidak tahu apa yanh bergelayut dipikiran kekasihnya itu.
Jen menggigit bibir bagian dalamnya, lalu kembali berujar, “Ngg… Kalo gitu gue mas–“
Jen terkesiap saat tubuh Aji tiba-tiba saja merengkuhnya kedalam pelukan. Sebelum Jen mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu, dan yang lebih penting… Sebelum Jen menyiapkan jantungnya supaya tidak berdetak menggila seperti saat ini. Dan, detak itu kian bertambah kecepatannya saat suara Aji mengalun ditengah remang-remang cahaya mobil, mendesah merdu masuk kedalam telinga Jen,
“Kayaknya gue udah jatuh cinta sama lo, Jennifer.”
***
an : hiiii, heheee masih pd inget kan? :(( Btw, cerita ini juga ada di dunia orange, dengan judul berbeda. Cudulnya “CATSTAGRAM” nama akun wp aku @authoriya . Kalian bisa baca disana juga, kalo ada yg minat ? atau klik Disini
Yuhuuuu, sebelum ke kampus baca yang greget greget dulu ? Agak kasian sama Erik, tapi yaaa gimana lagi, kalo suka tapi ga ditembak tembak yaa pasti diambil orang lah ?
Tau tuh udh kaya lagu cakra khan aja :(
emh….baru berasa kehilangan kalo udah disamber orang ya??
erik ,,, telat deh loe wkwkwkwk
apakah karma? jangan2 dulu erik pernah rebut pacarnya aji yah? :KETAWAJAHADD
emhhh buru2 search di watty huhuyyyyyyy