Camy baru saja memasukkan baju terakhir miliknya saat kamarnya di ketuk dari luar, diikuti pintu terbuka dan langkah kaki yang memasuki kamarnya. Ketika dia menoleh untuk melihat siapa yang baru saja memasuki kamarnya, dia sudah mendapati Finner duduk di tempat tidurnya. “Ada apa Finner?” tanya Cammy merasa heran dengan awan mendung yang melingkupi wajah laki-laki di depannya.
Finner memandang wajah Camy dengan pandangan sayu, berharap dengan memasang wajah itu bisa membuat Camy mengabulkan permintaannya, “Bisakah kau tinggal di sini saja Camy. Apakah kau tidak ingin menjaga rumah dan melanjutkan usaha ibumu?” Camy terpaku di tempatnya saat lagi-lagi ibunya disangkut pautkan dengan pembicaraan semacam ini.
Bukan hanya kali ini saja ibunya disangkutpautkan saat pembiacaraan, dua hari yang lalu sesaat setelah dia memberikan penghormatan terakhir di makam ibunya, Camy diajak berdiskusi dengan Aspire. Laki-laki yang telah berjanji menjamin keselamatannya itu memberikan pilihan kepadanya yaitu ingin tetap tinggal di kota tempatnya selama ini tinggal atau mengikuti ketiganya untuk meninggalkan kota ini. Jika dia memutuskan untuk tinggal, salah satu dari Ren atau Gize akan menetap untuk memastika keselamatan Camy dan yang lainnya akan megikuti Aspire untuk meninggalkan kota ini. sedangkan jika dia mengikuti mereka untuk meninggalkan kota ini, Aspire akan menjadi orang paling depan untuk memastikan keselamatannya. Camy pun akhirnya memutuskan untuk mengikuti mereka pergi kemanapun itu, meski dia pun sendiri tidak tau mereka akan pergi kemana.
“Aku… aku sudah memutuskan untuk mengikuti mereka, Finner. Lagi pula tidak ada alasan aku untuk tetap tinggal disini jika ibuku sendiri pun sudah tiada.” Wajah Camy yang kembali muram membuat Finner menyesal telah mengingatkan Camy tentang kematian ibunya.
Menghela napas yang terasa mencekat, Finner akhirnya tidak mau memaksa Camy untuk tetap berada di kota ini lagi. Keduanya pun segera keluar dari rumah yang telah ditinggali Camy selama hampir 16 tahun. Di luar rumah, sudah terdapat tiga ekor kuda yang siap untuk pergi. Ren serta Gize nampak tengah memindahkan beberapa barang ke atas kuda mereka. Barang itu berupa senjata rampasan dari tentara kerajaan yang tidak akan menyulitkan tunggangan mereka untuk berjalan.
“Aku masih bertanya-tanya kenapa mereka tidak memilih membawa gerobak dibanding harus memakai kuda. Bukankah akan lebih muda membawa senjata-senjata itu menggunakan gerobak daripada kuda. Lagi pula jika mereka membawa gerobak, mereka bisa memuat senjata-senjata lebih banyak,” ucap Camy saat berjalan berdampingan dengan Finner menuju ke arah Gize dan Ren.
“Jika kita menggunakan gerobak, kita hanya bisa melewati jalan utama. Dan sekarang kita harus menghindari jalanan utama.” Ucapan Aspire yang menyela itu membuat Camy dan Finner menoleh ke belakang mereka. Laki-laki itu berjalan tepat di belakang mereka, hanya berjarak lima langkah. Saat sudah berada di depan Camy, Aspire segera merebut tas milik Camy dan memberikan kain yang terlipat rapi ke Camy. “Pakai itu, kau tidak ingin wajahmu dikenali sebagai pemberontak bukan.” Kemudian laki-laki itu berlalu untuk menghampiri salah satu kuda dan memuat tas Camy ke atas kuda tersebut.
Camy sendiri pun meski merasa kesal dengan nada yang dipakai Aspire tetap mematuhi perkataan Aspire untuk memakai kain yang ternyata sebuah jubat tersebut. Jubah tersebut memiliki model yang sama dengan milik Aspire meski berbeda warna. Jubah yang di pakai oleh Camy saat ini berwarna putih bersih dengan aksen benang merah di beberapa bagian. Saat kain itu jatuh menyentuh kulit Camy, terasa sangat lembut dan hangat. Terdapat aroma bunga yang tidak pernah Camy rasakan sebelumnya.
Setelah Camy mengaitkan kancing pada jubah tersebut, Camy dan Finner segera menghampiri Ren dan Gize yang saat ini tengah memberikan minum pada kuda-kuda itu. “Ada yang bisa ku bantu,” Ren lah yang pertama kali menoleh kepada Camy. Mata Ren sedikit membelak ke arah Camy seakan Camy adalah hantu. “Ada apa Ren,” Ren segera menggelengkan kepalanya, berusaha memberikan senyum yang nyatanya tetap terlihat di paksakan. “Kau yakin?” Ren menggangguk menjawab pertanyaan Camy.
“Kau tadi bertanya apa Camy?” tanya Ren, mencoba mengalihkan rasa penasaran Camy atas reaksi terkejutnya barusan.
Camy mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan reaksi Ren tapi segera di tepisnya jauh-jauh. “Apa kau butuh bantuan? Aku mungkin bisa membantu.”
“Tidak. Kita sudah mempersiapkan semuanya, hanya tinggal pergi saja.” Camy mengangguk.
Aspire berjalan mendekati mereka, mengamati keadaan semua kuda sebelum akhirnya berbicara pada Ren, “Setelah Gize kembali, kita segera berangkat.” Ren mengangguk, segera meninggalkan tempatnya untuk mengecek untuk terakhir kalinya semua barang bawaan mereka. Aspire sendiri segera berpaling ke arah Finner, bertatapan secara langsung dengan orang yang telah membantunya, “Aku berterima kasih atas bantuanmu. Selanjutnya, sisanya aku serahkan kepadamu.”
Finner menundukkan kepalanya, pertanda mengerti sekaligus memberikan hormatnya kepada Aspire, “Percayakan semuanya pada saya. Saya juga berharap anda bisa menjaga Camy selama dia mengikuti anda.” Aspire hanya mengangguk tanpa membuka suara lebih lanjut.
Gize datang dengan barang terakhir di tangannya. Setelah pria itu selesai memuat barang terakhir, mereka akhirnya memutuskan untuk segera berangkat. “Kalau begitu, kami akan pergi sekarang,” Finner kembali menunduk mengerti ucapan Aspire. Pria itu kemudian menyaksikan saat Aspire menaiki kudanya, begitu juga Ren, Camy, dan Gize. Hingga akhirnya keempatnya meninggalkan Finner bersamaan dengan derap langkah kuda yang menjauh.
Camy sendiripun menolehkan kepalanya ke belakang, melihat kotanya dari balik bahunya dan bahu Gize di belakang tubuhnya. Menatap kota yang lambat laun mengecil begitu juga sosok Finner yang berdiri di sana. Meninggalkan semua kenangan yang tertinggal dan menyambut kenangan baru yang mungkin akan menyakitkan suatu saat nanti.
***
Membutuhkan waktu lima hari hingga akhirnya mereka bisa memasuki daerah selatan dari bagian kerajaan. Bagian selatan kerajaan merupakan daerah dengan sebagian besar hutan liar yang belum terjamah. Meski begitu, pusat pemerintahannya termasuk yang terbesar di bandingkan dengan pusat pemerintahan daerah lain.
Camy terduduk lelah di pinggiran sungai. Kakinya dibiarkan berada di dalam air, merasakan arus air yang cukup tenang menyapu kulitnya. Camy kelelahan, ia akui itu. dirinya baru saja selesai mengumpulkan semua kayu bakar untuk pembakaran dan menghangatkan badan mereka malam nanti. Sebelum itu, dirinya juga sempat ke kota kecil terdekat yang memakan waktu dua jam menunggang kuda untuk menukarkan barang yang mereka bawa dengan bahan makanan untuk bekal beberapa hari kedepan. Badan Camy terasa remuk jika mengingat semua kegiatan yang dilakukannya hari ini.
Camy merebahkan badannya. Tidak terasa hampir satu minggu dirinya meninggalkan kota tempat kelahirannya. Hari-harinya kini dipenuhi dengan menunggang kuda, dan menerobos hutan. Dua hari belakangan, mereka tidak berhenti untuk beristirahat melainkan tetap memacu kuda untuk tetap berjalan. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat ini. semua orang nampaknya tidak merasa lelah setelah menempuh perjalanan dua hari tanpa henti kecuali Camy dan kuda yang di tunggangi Camy sekaligus Gize.
Suara gemerisik dari sebelah kirinya tertangkap oleh telinga Camy. Gadis itu spontan bangkit dari rebahannya dan duduk tegak, mendengarkan sekali lagi suara apa yang baru saja di dengarnya. Jika umumnya orang akan ketakutan mendengar uara gemerisik tersebut namun tidak bagi Camy. Gadis itu malah menajamkan pendengerannya untuk menerka suara apa yang baru saja di dengarnya.
Suara itu terdengar lagi, dan kini suara itu terdengar terus menerus. Penasaran, Camy pun memberanikan diri untuk menyibak dedaunan semak-semak itu. “Apa yang sedang kau lakukan?” Camy terlonjak kebelakang saat melihat sosok berambut merah itu berjalan menembus semak-semak di dekatnya. Sosok itupun, Aspire mengerutkan dahinya tak mengerti dengan kekagetan yang dialami oleh Camy.
Camy menelan ludahnya dengan susah payah sebelum menjawab pertanyaan Aspire. “Eh, itu, aku hanya penasaran dengan apa yang ada di balik semak.” Aspire segera menyibak semak di belakang Camy, memperlihatkan seekor tupai yang kemudian melompat ketakutan saat melihat sosok Aspire.
“Hanya tupai.” Aspire berbalik ke arah Camy, memandang gadis yang masih tertegun di depannya karena kaget. “Sebaiknya kau cepat kembali ke Ren dan Gize berada. Kau tidak ingin ada tupai yang menyerangmu, kan?”
Camy mendengus kesal mendengar sindiran Aspire. Dengan setenga menahan kekesalannya, Camy akhirnya berdiri dan mengikuti langkah laki-laki di depannya menuju tempat mereka berkumpul. Baru saja Camy mengikuti langkah Aspire, laki-laki itu merentangkan sebelah tangannya, menghalangi Camy untuk berjalan semakin jauh. Samar, terdengar suara gemerisik semak di depan mereka,
“Kenapa, kau merasa ada tupai lain yang akan menyerang kita?” Tanya Camy masih merasa kesal dengan perkataan Aspire tadi. Gadis itu tidak menyadari wajah Aspire yang sedikit mengeras dengan pandangan yang meliar ke sekeliling.
“Apapun yang terjadi, jangan melakukan gerakan tiba-tiba dan tetap di belakangku.” Camy yang pada awalnya merasa aneh dengan perkataan Aspire langsung terdiam saat suara gemerisik daun kembali terdengar. Kini bahkan semakin lama semakin keras hingga mengirim rasa merinding di bulu kuduk Camy.
Satu persatu muncul orang yang bersenjatakan pedang, menatap garang kepada Aspire dan Camy. “Sebaiknya kalian menurut jika tidak ingin kami bunuh.”
“Siapa kalian?” pertanyaan singkat Aspire mampu membuat semua orang di depan Aspire tersentak. Suara dingin Aspire atas pertanyaan singkatnya mampu mengirimkan hawa menakutkan yang merayapi semua orang, tak terkecuali Camy sendiri.
“Kalian tidka perlu siapa kami, kalian cukup ikut dengan kami dengan sukarela.” Terdapat suara gemetar pada laki-laki di depan Aspire. Sangat terlihat jelas jika sosok itu tengah menyembunyikan rasa takutnya itu.
“Dan jika aku tidka mau?” dan lagi, suara Aspire mampu membut bulu kuduk semua orang merinding, bahkan beberapa di antara mereka mulai gemetar.
“Maka kami akan membunuhnya.” Dengan secepat kilat, Aspire menatap ke belakangnya, terbelak kaget saat terdapat sosok laki-laki yang sudah menguhunuskan pedang pada leher Camy. Kekagetan ASpire membuat laki-laki yang menghunuskan pedang tersebut menyeringai kemenangan atas kemenangan telak yang kawanan itu miliki.
“Jadi bagaimana, masih ingin menentang perintah kami?” dan Aspire tau jika dia tidak bisa lagi melakukan apa-apa selain menuruti keinginan kawanan itu.
Weee lah dalah .. belom tau dia siapa itu aspere .. hmmm