Part 11 – Paket Hukuman
Teng Teng Teng
Aku memasukkan buku-buku yang berserakan di atas meja secara sembarang begitu mendengar bel berbunyi nyaring. Sebuah kebiasaan yang tak pernah kulakukan, karena aku adalah pecinta kerapian. Namun untuk kali ini, aku harus meruntuhkan prinsip yang telah kupegang selama bertahun-tahun hanya karena sebuah ancaman yang bahkan terasa main-main di telingaku. Tapi memang pada dasarnya, didikan eyang yang membuatku untuk tak pernah mengabaikan perkataan setiap manusia.
Terlebih perkataan seorang lelaki, karena satu-satunya hal yang bisa dipegang dari seorang lelaki adalah ucapannya. Itu adalah segelintir nasihat eyang yang masih kuingat dengan jelas.
“Permisi Bu.”
Aku menganggukkan kepala singkat pada seorang wanita yang bertugas sebagai penjaga perpustakaan sesaat setelah memasuki ruang perpustakaan. Suhu ruangan yang dingin langsung terasa begitu langkahku menjelajah lebih dalam. Pandangan mataku mengedar ke seluruh ruangan, mencari sesosok objek yang membuatku berlari kesetanan untuk mencapai tempat ini.
Tepat pukul 13.00
Tapi, dimana kakak kelasku itu?
Tanpa sadar, aku menghela nafas panjang. Dasar lelaki tidak konsisten! Dia sendiri yang membuat peraturan, tetapi kenapa dia sen-
“Kita mulai.”
Aku menatap sinis lelaki yang dengan santai melenggang di hadapanku dan menarik kursi dengan wajah tanpa dosa.
Apa dia ini memang tak mempunyai emosi lain selain raut datarnya yang ingin sekali kusiram dengan segelas air hangat ya? Setidaknya kupikir air hangat itu akan menular pada ekspresi wajahnya yang selalu tanpa emosi, seperti menjadi lebih hangat mungkin?
“Udah. Gue tau kalo gue telat. Cepetan, mulai bimbingannya. Mana bukunya?” tanyanya dengan nada datar andalannya, namun kali ini ekspresinya sedikit enggan.
Dengan kesabaran yang tak banyak tersisa, aku mengangsurkan sebuah buku tebal ke arahnya yang langsung disambut cepat. Jari-jarinya yang lentik itu, mulai membolak-balik lembaran-lembaran kertas berjilid tebal itu dengan seksama. Aku mengamati ekspresi wajahnya yang kali ini terlihat berbeda dari biasanya.
Eh, tunggu! Kenapa sedari tadi aku selalu menilai ekspresinya?
Plak Plak
Tanpa sadar, aku menepuk-nepuk pipiku pelan.
Gladys… Gladys… Kamu kesambet apa, ta?
Ya ampun, ya ampun.
Aku mengecek suhu tubuhku sekilas demi memastikan kepalaku masih berada dalam orientasi kesadaran.
Normal.
Tapi… Ini memang aku yang aneh atau Kak Varel yang sedang aneh hari ini sehingga aku memerhatikannya secara detail?
Tukk
“Eh?”
Aku mengerjapkan mata spontan saat sebuah pensil singgah di dahiku untuk sesaat. Pandanganku beralih menatap sepasang onyx yang tampak dingin melihatku.
“Kalo lo mau gila, jangan sekarang. Gue nggak punya stok obat waras.”
Aku menganga seketika mendengar ucapan atau lelucon garing yang tengah coba ia lontarkan padaku. Ah dibanding dengan lelucon, itu lebih pantas disebut sebagai ejekan.
Ha? Dan apa katanya? Gila?
“Eh.. Ma-maaf Kak.”
Sebenarnya bukan kata-kata itu yang ingin kuutarakan!
Aku mengepalkan tanganku erat. Kesal, tentu saja.
Entah mengapa sanggahan tak terima yang sudah kususun rapi di kepalaku menghilang begitu saja saat aku menatap matanya.
Seperti sihir. Tatapannya memang mematikan.
Terlebih mata gelap itu begitu terlihat… Dalam.
Aku menghela nafas lagi, untuk kesekian kali.
Ya sudahlah, apa dayaku untuk melawannya?
“Kita akan belajar bab hukum gravitasi. Lo udah tau kan apa itu gravitasi?” Tanyanya langsung yang membuatku refleks menganggukkan kepala.
“Tau.”
“Kalo hukumnya?”
Kali ini, aku meringis mendengar pertanyaannya.
Yang benar saja, aku baru berada di kelas sebelas dalam hitungan hari. Tentu saja, tetek bengek mengenai pembelajaran belum kuterima sepenuhnya. Terlebih fisika yang membuatku selalu sukses memutar otak.
Aku menggeleng pasrah.
Kulihat, Kak Varel menghela nafas panjang. Ia membuang pandangannya ke arah samping.
“Dengerin gue. Lo cukup ngapalin apa yang gue omongin. Bunyi hukum gravitasi yaitu setiap dua benda di alam ini yang saling tarik dengan gaya yang besarnya sebanding dengan massa setiap benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.”
Aku terperangah mendengar ucapannya yang lebih terdengar seperti suara lebah yang melintas. Cepat sekali.
“Kak, jangan kecepetan. Aku nggak paham.” protesku yang hanya ditanggapi acuh olehnya.
Ia memejamkan mata sekilas.
“Sebenernya, Pak Ahmad salah milih atau apa? Masa ngapalin aja nggak bisa.” gerutunya pelan yang membuatku langsung tersinggung.
“Kak! Kata eyang, kalo mau berbagi ilmu itu yang ikhlas. Jangan setengah-setengah! Dan lagi, aku juga nggak pernah berminat mendaftarkan diri untuk ikut lomba ini. Lagipula, kapasitas otak tiap manusia beda-beda, kakak bisa nggak sih hargain itu?” semprotku kesal.
Apa Kak Varel benar-benar tak tau cara menghargai orang lain ya? Sayang sekali kalau begitu, Tuhan sudah memberinya wajah yang bisa dikatakan rupawan jika dilihat dari mata manusia.
Tetapi, bila menilik dari ucapan dan gaya bicaranya yang seenaknya itu akan membuat orang-orang berpikir dua kali untuk memuji parasnya yang tak sesuai dengan sikapnya. Sangat disayangkan.
“Oke. Gue lupa kalo otak lo cuma pentium dua.”
Nah. Baru saja aku mengomentari sikapnya, mulutnya kembali berulah. Memang dia ini sa-
“Dengerin gue baik-baik. Gue nggak bakal ngulangin ini dua kali. Catet baik-baik di otak pentium dua lo, cara gampang ngapalin hukum gravitasi.”
Jeda sesaat, ia menarik nafas dalam sejenak.
“Ibaratin gue sama lo terlibat suatu hubungan. Oke, anggep kita pacaran.”
Aku menatapnya aneh seolah ia baru saja mengatakan jika mammoth kembali hidup.
Aneh, sangat aneh. Yang benar saja, memang siapa yang mau menjadi pacarnya?
Meskipun eyang selalu mengatakan jika jodohku mungkin adalah orang yang kukenal atau orang yang kukira tak akan pernah masuk dalam kriteria idamanku, tapi… Ayolah. Kak Varel benar-benar sudah kucoret tebal dari daftar kriteria pendamping hidupku. Jadi, bermimpi saja. Semoga malaikat yang mendengar ucapannya, tak mengamininya. Jangan sampai.
“Hubungan pacaran sama dengan komitmen yang butuh ketetapan hati. Komitmen, gue ibaratin G. Lo gue ibaratin massa satu, gue sebagai massa dua. Kita saling cinta sama-sama besar, itu ibaratin sama gaya tarik menarik. Tapi kalo kita masih dalam tahap pacaran, pasti kita masih punya jarak satu sama lain. Jadi, rumus ngitung gaya gravitasi itu F sama dengan G dikali massa satu kali massa dua dibagi jarak kuadrat. Mudeng?”
Aku mengerjap begitu ia mengakhiri penjelasannya. Luar biasa! Bagaimana mungkin hukum gravitasi bisa dibuat sedemikian rupa olehnya?
Hanya perlu mengingat komitmen, aku, dia, dan jarak yang terbentang.
Luar biasa. Amat sangat menakjubkan.
“Mudeng!” sahutku penuh semangat.
Jika cara menghafal seperti ini, aku pasti akan bisa menghafal apapun dalam waktu singkat. Kak Varel benar-benar jenius!
“So, kita masuk ke bagian perhitungannya. Yang perlu diinget banget disini itu komitmen atau G. G sendiri punya arti tetapan gravitasi umum yaitu enam koma enam tujuh pangkat negatif sebelas. Inget itu baik-baik! Oke, gue bakal kasih lo lima soal dan lo!”
Ia menunjuk wajahku secara tiba-tiba yang membuatku tersentak mundur. Kedua matanya memicing tajam.
“Harus kerjain bener-bener, karena gue berlakuin hukuman untuk tiap jawaban salah!”
Glekk
Aku meneguk ludah kasar lantas meringis. Sepertinya ucapanku mengenai betapa luar biasanya Kak Varel harus kuganti menjadi betapa berbisanya Kak Varel. Ya ampun.
Aku mengangguk sekilas.
“Iya.”
Entah aku yang bodoh atau Kak Varel yang tak mau repot-repot menjelaskan lebih lanjut hingga langsung memberikan soal sepaket dengan hukuman yang menunggu.
Nyatanya, aku tak bisa mengeluarkan protes sama sekali saat ia mengatakan apapun dan hal ini merupakan hal yang paling menyebalkan karena setiap kali menatap matanya, pikiranku menciut lalu semua ideku akan buyar.
Menyebalkan.
Sebenarnya, dia ini manusia atau alien sampai bisa membuatku mengkeret tak mampu melawan? Atau mungkin makhluk jadi-jadian?
_._._._
Aku meringis untuk kedua kali saat dengan mudahnya, lelaki itu mengatakan ‘salah’ yang berarti aku harus menerima hukuman. Ah, apa aku sudah mengatakan apa hukumannya?
Hukumannya sederhana memang. Tapi, tidak menjadi sederhana saat Kak Varel yang melakukannya.
“Nah, kalo yang pertama hukuman lo gue jitak yang kedua gue ganti.”
Nah, kan.
Aku menatapnya sebal.
“Skotjump sepuluh kali, cepet!”
Aku mendengus kesal lalu mulai mengambil posisi untuk melakukan hukuman atau lebih pantas disebut siksaan itu.
Satu…
Aku tidak suka olahraga!
Dua…
Kak Varel kenapa menyebalkan sekali
Tiga…
Dasar laki-laki kejam!
Empat…
Pasti tidak ada yang mau dengannya!
Lima…
Kakiku sakit
Enam…
Ini menyebalkan!
Tujuh…
Aku tidak tahan lagi!
Delapan…
Lelah
Sembilan…
Ya Tuhan
Sepuluh
Eyaaaaang!
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas lantai begitu mengakhiri sesi hukuman yang melelahkan. Aah, bagaimana bisa lelaki itu memperlakukan perempuan seperti ini? Skotjump? Yang benar saja…
“Capek?” tanyanya tanpa melihat ke arahku. Ia tampak asyik membuka buku tebal yang ada di tangannya.
Lelaki ini, cuek sekali. Kata eyang, kalau laki-laki yang tidak mau peduli dengan perempuan atau istilahnya cuek, berarti dia tidak peka! Dan aku sama sekali tidak mau mendapat jodoh orang yang tidak peka! Hiiiiii jangan sampai, jangan sampai.
“Udah sini duduk. Kita lanjutin lagi belajarnya. Gue anggep lo udah paham sama hukum gravitasi. Sekarang, kita masuk ke kinematika gerak.”
Dan dimulailah penderitaanku yang lain. O alah, Adis… Adis… Kamu terlalu banyak memiliki dosa sepertinya sampai-sampai mendapat pembimbing seperti ini. Sudah cuek, judes, kejam, tak peka, menyebalkan pula.
Elek pisan!
_._._._
To Be Continue~
Notes :
· Elek = Jelek
· Pisan = Sekali