Vitamins Blog

Passionate Love ; 2. Pertemuan Pertama

Bookmark
Please login to bookmark Close
30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Vanessa merasakan tempat tidurnya bergerak. Ia membuka mata perlahan dan mendapati Willson dengan pipi tembem yang merah merona kini sedang menatapnya dengan mata hijaunya yang indah.

“Onti bangun..” Ujarnya dengan nada yang merengek karena Vanessa masih setia menatapnya lalu berkedip beberapa kali kemudian tersenyum.

“Ada apa, Sayang?” Suara Vanessa masih serak karena baru saja bangun dari tidur siangnya. “Kamu terlihat rapi.” Sambungnya masih dengan posisi tidur tengkurap dengan wajah menatap Willson dan tangan kanannya mengelus rambut Willson yang mohawk.

“Will mau jalan-jalan cama onti.” Gumamnya pelan dan menarik tangan Vanessa yang sebelumnya menjulur di wajahnya.

Vanessa mencoba untuk duduk di atas kasurnya. Menghilangkan peningnya sejenak kemudian tersenyum memandang Willson yang begitu tampan sore ini. “Aunty mandi dulu ya? Kamu tunggu disini.”

Setelah Willson mengangguk, Vanessa segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Hari ini sangatlah lelah karena pekerjaannya sebagai sekretaris I di Strauss Group sangat banyak membuang tenaganya karena semua tugas yang seharusnya sang chief executive handle dilimpahkan padanya. Tidak pernah ada yang melihat CEO itu sendiri karena jika Vanessa memerlukan kehadiran pemimpin perusahaan pasti ada seseorang yang menggantikan dan mengaku bahwa orang itu adalah suruhan dari pemimpin perusahaan ditempatnya bekerja.

Terkadang, Vanessa sampai bingung dengan perusahaan yang sebesar itu tapi pemiliknya sendiri bahkan tidak pernah berkunjung. Selalu memberikan tugas yang menjadi haknya kepada orang lain yang tidak Vanessa kenal. Misalnya, Vanessa membutuhkan tanda tangan resmi dari pemimpin perusahaan, dan yang menandatangani bukanlah pemilik perusahaan itu sendiri melainkan orang lain yang datang sesekali untuk memantau perusahaan milik keluarga Strauss yang bernama Daggel.

Daggel cukup ramah dan mudah di ajak bekerja sama. Walaupun begitu, Vanessa tidak pernah membicarakan ataupun menanyakan perihal ‘siapa pemimpin perusahaan di tempatnya bekerja? Kenapa dia tidak pernah berkunjung?’ atau hal-hal lain seperti yang sahabatnya tanyakan setiap hari hingga Vanessa merasa bosan. Ia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan hal-hal yang bukan urusannya. Selama dirinya di gaji penuh dan mendapatkan bonus ketika berlembur, Vanessa tidak pernah mempermasalahkan siapapun yang menjadi pemimpin perusahaan tersebut.

Sore ini, Vanessa mengajak Willson berjalan-jalan menuju sebuah café yang terdapat es krim karena pria kecil itu memintanya. Vanessa menyanggupi karena hal yang membuatnya bahagia adalah melihat senyuman Willson.

“Kamu pesan rasa apa, Sayang?”

Willson bertingkah gemas. Telunjuknya ia ketukkan di dagu beberapa kali seolah berpikir keras memikirkan rasa eskrim yang akan dirinya makan sore ini. Vanessa tersenyum melihat tingkah Willson seperti pria kecil namun sangat menggemaskan.

Willson memiringkan sedikit kepalanya dan menatap seorang pelayan yang menunggu mereka untuk memesan makanan. “Om, aku laca vanila.” Ujarnya pada pelayan berbaju seragam berwarna cream dengan celemek hitam bergambar eskrim warna putih itu.

Vanessa tersenyum dan mengangguk kepada pelayan tersebut dan segera dicatat oleh Sang Pelayan. “Ada yang lain, Sayang?” Tanya pelayan ramah kepada Willson.

“No, cil.” Jawabnya cadel membuat pelayan tersenyum dan menyuruh mereka untuk menunggu beberapa saat.

Tak lama, ponsel Vanessa berdering dan melihat ID caller dari seseorang yang identitasnya unknown. Vanessa tahu jika yang menelepon adalah atasannya yang lain.

“Apa kau sudah menyelesaikan misimu, C009?”

“Aku butuh lebih banyak waktu.” Balas Vanessa tanpa memanggil Sang penelepon dengan kode nama agennya karena saat ini dirinya berada di tempat umum.

“Ini sudah dua tahun! Kau belum menemukan apapun?”

Vanessa menghela nafasnya dan memijit pelipisnya pelan. “Ini bukanlah misi yang mudah, P007. Selama dua tahun aku bekerja, dia tidak pernah menampakkan dirinya sama sekali.” Vanessa terpaksa menyebutkan panggilan agennya.

“Baiklah. Selesaikan misimu segera dan kembalilah dengan selamat.”

“Baik.”

Vanessa berpikir, ia terlalu lama sudah terpaku pada pekerjaannya. Namun, tak ada hasil, apakah Vanessa harus membiarkan dirinya ditangkap dengan mencari sebuah masalah. Ini terlalu riskan namun dia harus mengambil jalan ini, karena jalan ini merupakan satu-satunya jalan yang bisa membuatnya menemui pria kejam tak berhati yang selalu di panggil dengan VS.

“Onti..” Panggil Willson membuatnya menatap Willson penuh dengan rasa bersalah karena dia harus meninggalkan Willson untuk beberapa waktu.

“Ya, sayang?”

“Es klimnya dateng..”

Vanessa tersenyum lembut dan mengelus kepala Willson dengan sayang kemudian membantu Willson untuk menyuapkan eskrim itu ke dalam mulut mungilnya.

***

Meja persegi yang terdiri dari kursi sebanyak 8 buah itu terlihat kosong dan hanya Vince sendiri duduk di paling ujung sambil menghabiskan sarapannya dengan tenang tanpa ada yang berani mengganggu. Pernah saat Vince sedang sarapan dengan garpunya serta pisau kecil yang digunakan untuk memotong steak dan tiba-tiba saja seorang pelayan datang tergopoh-gopoh dan mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu dengannya, namun naas menimpa pelayan tersebut karena pisau yang berada di tangannya langsung melayang ke jantung wanita itu. Kabar itu membuat mereka tidak ingin lagi mengganggu bosnya jika sudah waktunya makan. Seterdesak apapun.

Makan siang selesai. Vince bangkit dari sana menuju kamar mewahnya dan mengambil sebuah jaket kulit agar menutupi tubuh tegapnya yang telah dilapisi kaos hitam yang sangat mahal. Ia beranjak menemui Daggel yang saat ini berada di ruang latihan. Daggel dengan sigap langsung memberi hormat saat Vince datang. Bahkan, Daggel tidak sempat menghapus keringat yang keluar dari tubuhnya.

“Aku akan keluar dengan Shylsa. Jika ada hal penting, kau hubungi ke nomor pribadiku!”

“Baik Bos.” Jawab Daggel, namun setelahnya Daggel langsung bertanya. “Apa anda membutuhkan pengawalan?”

“Kau meremehkan kemampuanku, Daggel?” Vince berbalik dan menatap Daggel tajam.

“Maafkan saya, Bos.”

Tanpa memperdulikan permohonan maaf Daggel, Vince segera keluar dari mansionnya dan mengendarai lykan miliknya menuju jalan raya dari mansion mewahnya yang terletak di tengah hutan.

Mobil itu tak lama sampai ke sebuah rumah besar milik Shylsa. Vince tidak perlu repot-repot untuk turun menjemput Shylsa ke dalam dan dia hanya menunggu wanita itu di dalam mobil miliknya. Setelah Shylsa masuk, Vince kembali menjalankan mobilnya.

“Aku sangat ingin makan es krim hari ini.” Shylsa bergumam dan segera menggelayuti lengan Vince yang sedang fokus membawa mobil.

Pria itu tidak menolak ataupun menerima karena Shylsa memang melakukan semaunya sendiri. Hanya wanita itu yang dekat dengan Vince walau banyak wanita lain yang mengantri dan itu membuat Shylsa angkuh akannya. Vince tidak suka dengan sebuah hubungan dan hanya Shylsa yang bisa bertahan dengannya tanpa memperdulikan sebuah hubungan.

Menurut Vince, hubungan itu hanya bikin repot saja. Dia tidak suka melihat wanita menangis karena itu menjijikkan baginya dan juga dia tidak ingin capek-capek mengurusi wanita bodoh seperti itu dan Shylsa termasuk wanita yang bertahan dengannya tanpa pernah memaksa kehendaknya.

Mereka sampai di sebuah café kecil namun cukup elegan. Saat keduanya masuk, tiba-tiba saja seorang anak kecil yang berlari sambil membawa eskrim menabrak Vince serta mengotori jaket yang terbuat dari kulit asli miliknya.

“Astaga, Willson..” Vanessa menjerit saat melihat Willson terjatuh setelah menabrak Vince. Pria itu bergeming di tempat tanpa niat membantu Willson berdiri.

Shylsa membelalak kaget dan langsung berujar panik. “Jaketmu kotor.”

Vince melambaikan tangannya menjawab ucapan Shylsa dan menatap seorang wanita yang kini membantu anak kecil yang sebelumnya di panggil Willson.

“Onti.. Onti.. Cakit.. Pantat Will cakit..” Willson merajuk sambil memeluk Vanessa yang sedang mengelus pantatnya.

“Aunty sudah bilang bukan, jangan lari-lari.” Vanessa mengecup pipi Willson kemudian menggendongnya dan menatap pria yang Willson tabrak bersama seorang wanita.

“Maafkan keponakan saya..” Vanessa sedikit menundukkan kepalanya tanda menyesal.

“Jaga keponakan saja tidak becus.” Gumam Shylsa membuat amarah Vanessa seketika mencapai ubun-ubun. Namun, Vanessa tetap berusaha sabar karena bagaimanapun ini adalah kesalahannya.

“Maafkan saya.” Sekali lagi Vanessa bergumam.

Vince menatap Vanessa dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Jagalah dengan benar lain kali.” Jawaban dingin itu membuat Vanessa tertegun sejenak. Ia pernah mendengar suara itu, tapi dimana?

“Baiklah, terimakasih.” Kini Vanessa menatap Willson dengan sayang. “Ayo sayang, kita pulang.”

Willson mengangguk dan Vanessa segera mengajak Willson keluar dari café tersebut sekaligus menghindari wanita yang menatap Vanessa dengan tidak suka sejak awal tadi.

 

Tbc.

5 Komentar

  1. nah2,,,, ternyata vanessa juga seorang agen mata2 toh? wihhhhhhhhh ga nyangka eike
    makin seru ne….
    lanjuttttttt…. mika…..lanjutttttt……. hihihi

    1. Yooo kak beettt wkwkwk
      Ntar deh, kalo ada waktu aku nulis bakal aku publish lagi hihi

  2. Good job sis…buatku penasaran hee…lanjuuutttt

    1. yookk mariii :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP

  3. Cellacecilliya menulis:

    Cerita yang bagus. Ketagihan bacanya :tepuk2tangan