Part 9 – Bencana atau Anugrah?
‘Terkadang ada beberapa sisi yang tak bisa orang lain pahami tentang seseorang. Ia diam, bukan berarti ia bodoh. Ia acuh, bukan berarti ia mengabaikan. Ia tak pernah meminta, bukan berarti ia menerima segalanya.’
_._._._
Aku mengaduk-aduk bekal yang belum sempat menyentuh lidahku asal. Pikiranku menerawang entah kemana.
Hanya manusia egois yang mau hidup sendiri.
Memang apa yang dia mengerti tentang definisi egois.
Aku? Egois?
Dari sisi mana ia menilaiku seperti itu.
Lo nggak pernah biarin seseorang berteman dalam sebuah hubungan pertemanan yang murni maka lo nggak pernah bisa dapet kesempatan untuk mendapat teman.
Ha! Yang benar saja. Tahu apa lelaki itu tentang kehidupanku sebelum ini?
Dia hanya tahu tentang diriku di titik ini, apa dia tahu bagaimana perjuanganku untuk bisa tetap bernafas hingga tetap berjalan di titik yang bisa ia lihat seperti sekarang?
Aku pernah. Kesempatan itu tentu saja aku pernah memberikannya. Hanya saja, seseorang itu menghianatiku dengan begitu menyakitkan. Apa yang bisa kukatakan tentang itu?
Aku menyandarkan tubuhku lemas pada kursi. Menghela nafas sejenak, lantas mengedarkan pandangan ke setiap sudut kelas yang tengah kutempati.
Apa mereka semua peduli tentangku?
Aku tersenyum kecil. Bahkan mungkin mereka tak pernah menyadari kehadiranku, melirikku saja pun tidak lantas apa semua ini salahku yang tidak mau memberikan kesempatan?
Gladys.. Gladys..
Tuk
Aku tersentak. Pandanganku sepenuhnya beralih pada sebuah pulpen yang bertengger secara tiba-tiba tak jauh dari kotak bekalku.
“Lo dipanggil Pak Ahmad ke ruangannya.”
Aku mendongak. Tatapanku bertemu dengan manik mata sekelam malam yang tengah menatapku tanpa ekspresi yang berarti.
Dia…
“Sekarang!” tegasnya sekali lagi yang membuatku refleks mengedipkan mata.
Segera setelahnya, aku membereskan kotak bekalku yang belum sempat kusentuh sama sekali dan beranjak mengikuti langkah panjangnya.
“Sana masuk. Nggak perlu gue temenin kan? Udahlah bilangin ke Pak Ahmad kalo tugas gue udah selesai.”
Lalu, tanpa menunggu balasan dariku, lelaki itu berlalu begitu saja.
Aku melongo.
Apa itu tadi? Hanya seperti itu?
Dasar lelaki jutek. Mengapa di dunia ini ada lelaki seperti itu ya?
Aku menggeleng miris. Benar-benar laki-laki yang langka.
Tok tok tok
“Masuk.”
Sebuah seruan dari dalam ruangan membuatku langsung membuka pintu kayu yang ada di hadapanku.
“Ah Gladys. Silahkan duduk.”
“Nggih- eh maksud saya iya Pak.”
“Begini, dua bulan lagi akan ada Olimpiade Sains Nasional. Sekolah kita diminta untuk mengirimkan beberapa perwakilan. Hampir semua bidang Bapak sudah memilihkan perwakilannya. Nah Kamu, Bapak pilih untuk mewakili bidang Fisika. Bagaimana?” terang Pak Ahmad yang membuatku mengerutkan kening.
Aku? Kenapa harus aku?
“Kenapa harus saya, Pak? Saya nggak terlalu mahir dalam Fisika.” ujarku mencoba beralasan.
Siapapun tentunya tak akan pernah mau bila diserahi tanggung jawab besar seperti ini. Apalagi ini menyangkut nama baik sekolah. Aku tak yakin pada kemampuanku untuk mengharumkan nama sekolah ini. Bukan, lebih tepatnya aku takut akan mengecewakan pihak sekolah jikalau aku tak berhasil.
Pak Ahmad menghela nafas.
“Saya sudah melihat nilai-nilai kamu. Dan semua nilai-nilai kamu dalam bidang itu mendekati sempurna. Apa yang kamu ragukan tentang itu?”
Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Tak tahu harus mengelak seperti apa lagi.
Buntu. Rasanya tak ada alasan lagi untuk berkata tidak, apalagi kemampuanku dalam hal berbohong dan mengarang alasan hanyalah 1% dari 100%. Ya, aku tak berbakat menjadi seorang aktris profesional kurasa.
“Ya sudah Pak. Saya akan berusaha semampu saya.” ujarku pasrah. Aku meringis, mulai sekarang aku harus lebih pandai membagi waktu sepertinya.
“Baik, mulai besok Kamu mulai bimbingan. Nah, kebetulan karena tahun lalu perwakilan sekolah kita menyabet medali emas di Georgia, kamu akan dibantu oleh Nak Varelino. Dia yang akan membimbing kamu.”
Degg
Apa? Jadi lelaki dingin itu yang akan membimbingku?
Apa aku tidak salah dengar?
“Varelino, Pak?” tanyaku sekali lagi mencoba meyakinkan pendengaranku.
Pak Ahmad mengangguk.
“Iya Varelino Dhafian Arnellius, senior Kamu.”
Aku mendesah pelan.
Oalah Gladys.. Gladys.. Mimpi apa kamu semalam sampai pagi ini mendapat kabar buruk seperti ini?
Selama dua bulan harus berdekatan dengan makhluk Tuhan yang satu itu?
Ya ampun… Ampuni dosaku, Tuhan.
“Baik Pak. Saya permisi dulu.”
Dengan sopan, aku pamit undur diri. Membuka pintu pelan sembari berpikir ke sana kemari.
Dua bulan, Dis. Hanya dua bulan.
Ya, dua bulan yang menegangkan. Jadi, selamat tinggal untuk kedamaian Gladys Anindya.
_._._._
Aku menatap ragu sesosok lelaki yang tengah memejamkan matanya di rooftop gedung ini.
Dia, terlihat damai dan aku sungkan untuk mengganggu kedamaiannya. Tapi…
Kalau aku tak segera membicarakan hal ini, itu sama saja dengan aku mengabaikan amanah dari Pak Ahmad. Kata eyang, kalau seseorang yang tidak dapat mengemban amanah dengan baik orang itu tidak akan bisa masuk ke surga dan justru dicap sebagai orang munafik.
Hiiiii jangan sampai itu terjadi padaku. Ya Tuhan, Adis masih mau masuk surga.
“Ehem K-Kak.” ucapku terbata. Aku meremas jari-jemariku gugup. Ya ampun, kenapa rasanya seperti tengah menghadapi soal ulangan matematika tingkat tinggi ya? Gugup sekali.
Kak Varel bergeming. Ia tak bergerak sedikitpun bahkan hanya untuk membuka kedua matanya.
Eh? Apa dia tidur?
“Kak Varel…” panggilku sekali lagi yang hanya dibalas keheningan. Aku menghela nafas. Ternyata, memang tidur. Setelah kuperhatikan agak lama, nafasnya memang teratur. Terbukti dari dadanya yang naik turun secara konstan. Salah satu tanda-tanda seseorang terlelap, menurut buku ensiklopedi tentang kesehatan yang pernah kubaca.
Aku mengusap kepalaku bingung. Apa aku harus membangunkannya?
“Kak Varel… Bangun.”
Pelan, aku mulai mengguncang tubuh tingginya yang tengah berbaring menatap langit biru dengan mata terpejam.
“Kak Varel…”
Nihil. Tetap tak ada sahutan. Baiklah, kalau tadi adalah guncangan super lembut maka sekarang adalah guncangan hard.
“Kak Varel…” panggilku sekali lagi. Ya ampun, dia tetap nyenyak dalam tidurnya meski sudah kuguncang kuat-kuat. Baiklah, jangan salahkan aku kalau sudah mulai kesal seperti ini.
“KAK VAREEEEEEEEEEELL GEMPA! GEMPA! BANGUN! GEMPA!!” pekikku nyaring tepat di telinganya disertai dengan guncangan super kuat pada tubuh tingginya.
Sontak sepasang iris onyx itu langsung memperlihatkan wujudnya. Tubuhnya menegang lalu sedetik kemudian ia bangkit berdiri dan memegangi kepalanya entah untuk apa.
“GEMPA! GEMPA! MAMA GEMPA! GEMPA GEMPAAAAA..”
Aku terkikik geli mendengar teriakannya yang seperti singa kebakaran jenggot. Mengapa singa? Lihat saja rambutnya yang masih acak-acakan karena tertiup angin dan tak berbentuk itu. Belum lagi dengan lari-lari kecil yang dilakukannya akibat panik itu benar-benar menggelikan.
Aku tertawa menyaksikan kepanikannya akibat ucapanku barusan.
Perlahan namun pasti, ia mulai menghentikan teriakan paniknya ketika mendapati tawaku yang sedikit keras hingga mengeluarkan sedikit air mata di sudut mataku.
Ia mendelik tajam.
“Lo ngerjain gue?” desisnya penuh peringatan. Aku langsung mengatupkan bibirku yang sempat tak sopan menertawakannya.
Aku menggeleng.
“Nggak. Kan emang gempa beneran tadi Kak. Di mimpi Kakak, kan emang gempa.” Jawabku tak mengerti.
Benarkan? Tadi dia yang berteriak kesetanan sewaktu terbangun dari tidur lelapnya. Memegangi kepala dan berlari-lari kecil di tempat.
Menggelikan! Reaksinya sungguh tidak terduga. Dan lagi, salah siapa dia begitu sulit untuk kubangunkan. Alternatif lain, ya kugunakan cara seperti barusan. Ternyata ampuh juga.
Lelaki itu mendengus geram.
“Heh gue teriak gempa juga gara-gara lo. Lo ngapain teriak-teriak di telinga antik gue hah?”
Apa? Telinga antik? Pfffttt
Aku menahan tawaku yang ingin meledak seketika mendengar kalimat konyolnya. Ya ampun eyang, ternyata masih ada lelaki yang bisa narsis di depan cucumu ini. Kemana urat malunya sebenarnya.
Ia semakin mendelik garang menatapku.
Oke, oke. Aku benar-benar menahan tawaku yang sempat tak tertahankan dan beralih melipat bibirku ke dalam. Melihat delikannya tentu saja aku menyadari pertanda tak bagus kalau aku masih meneruskan kegiatanku untuk tertawa.
Aku berdeham.
“Maaf kalau begitu. Adis nggak sengaja. Kakak susah dibangunkan jadi Adis membangunkan kakak dengan cara seperti itu. Begini Kak.”
Aku menarik nafas sejenak sebelum memberi penjelasan akan inti percakapan.
“Aku disuruh Pak Ahmad supaya mewakili sekolah untuk Olimpiade Sains Nasional bidang Fisika. Nah, karena kakak juara umum tahun kemarin Pak Ahmad bilang supaya aku dibimbing sama kakak.”
Aku menggigit bibirku cemas melihat raut wajahnya yang sinis dan seolah tak peduli begitu kentara usai aku mengatakan maksudku.
Lelaki itu mengangguk sekilas sebelum berkata,
“Gue sibuk.”
Ha? Sibuk? Memangnya sibuk apa? Setahuku ujian dan bimbingan materi kelas XII masih cukup lama. Yang jelas bukan tahun ini tentunya.
“Udahlah. Lo cari yang lain aja. Gue si-buk.” tekannya sekali lagi seraya mulai memposisikan dirinya untuk kembali berbaring dan mulai memejamkan matanya.
“Kak Varel. Ayolah, aku nggak mau diajar sama orang lain. Eh, sebenarnya aku juga kurang tahu sih siapa yang jago fisika di sekolah ini selain Kakak. Lagipula kakak sudah pernah menyabet medali emas tingkat Internasional, yayaya mau ya?” bujukku yang hanya dianggap angin lalu olehnya.
Ia mengibaskan tangannya, menyuruhku secara tak langsung agar tak mengganggunya. Aku merengut.
Baiklah, biarkan Pak Ahmad saja yang membujuk laki-laki keras kepala ini. Toh, hasilnya akan tetap sama seberapa giatpun aku membujuknya ditilik dari ekspresinya yang acuh dan masa bodoh menanggapi ucapanku.
“Maaf kalau mengganggu. Saya permisi.” ujarku menyerah. Benar, Pak Ahmad saja nanti yang akan membujuknya. Aku hanya perlu menikmati hasil dan perjuangan yang akan kulakukan setelah ini.
Gladys.. Sabar oke? Ini baru awal…
_._._
To Be Continue~