Part 7 – Mengerti
Aku menekan keyboard yang ada di hadapanku kasar. Rasanya kesal sekali semenjak tadi susah payah menulis, namun hanya dengan satu tindakan ceroboh aku harus mengulang segalanya lagi dari awal.
Mengesalkan! Belum lagi dengan ide yang ada di kepalaku sudah mengabur namun aku harus cepat menyelesaikannya karena deadline pengumpulan adalah lusa.
Tik tik tik
Bunyi suara keyboard yang ditekan dengan sekuat tenaga terdengar menggema di dalam ruang perpustakaan ini.
Sudut mataku menangkap ah tidak. Sudah tidak ada lagi siswa di tempat ini. Artinya hanya ada aku sendiri dan penjaga perpustakaan disini.
Ya ampun, kenapa belum selesai juga sih? Kupikir sebelum kejadian naas yang kualami, ideku mengalir deras. Tidak seperti ini.
Lambat, bahkan aku bingung apa yang harus ku ketik sekarang.
“Ngetik kok kaya siput…”
Ng?
Apa? Siput?
Siapa tadi yang baru saja berbicara?
Aku menoleh.
Ya Tuhan , eyaaaang….
Kenapa cucumu harus bertemu dengan kawanan makhluk menyebalkan ini sekarang?
Astaghfirullah, sabar Dis.. Kamu hanya sedang kesal saja. Jangan lampiaskan ke dia, oke.
Aku menghela nafas panjang mencoba meredam semua kekesalan yang tiba-tiba saja muncul. Jangan sampai, aku tersulut karena ucapan lelaki ini. Dengan acuh, aku berbalik. Menghadap monitor lantas melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.
Satu detik…
Apa dia sudah pergi?
Dua detik…
Tapi kenapa seperti ada yang memata-mataiku ya?
Tiga detik…
Rasanya mustahil kalau dia masih disini
Emp-
“Cerita, eh?”
Kan. Dia belum pergi ternyata. Jari-jemariku berhenti bergerak. Semangat untuk mengetik ulang surut seketika. Aku menunduk.
Memang apa pedulinya?
“Ada banyak ejaan yang kurang tepat. Lo anak IPA kan? Harusnya lo tau kalo preposisi itu dipisah sama nama tempat.”
Ha?
Aku melongo sejenak.
Memangnya iya?
Fokus mataku beralih sepenuhnya pada rentetan kalimat yang ada di hadapanku.
Preposisi…
Preposisi…
Ah, ini dia. Benar, rupanya aku kurang teliti. Ternyata dia pintar juga.
“Oh, makas-“
Baru saja ingin mengucapkan terima kasih tapi…
Kemana dia? Aku menoleh sempurna ke belakang.
Nihil.
Tidak ada di sudut manapun. Lelaki itu benar-benar menghilang layaknya hantu. Aku menggeleng pelan.
Dasar lelaki aneh. Mimpi apa aku tadi malam hingga harus bertemu dengan lelaki-lelaki aneh yang luar biasa unik. Sepertinya, aku yang kurang banyak berzikir sehingga bertemu dengan banyak kesialan hari ini. Benar. Kalau seperti itu, aku harus segera menyelesaikan ini dan cepat pulang ke rumah untuk sholat taubat.
_._._
Aku menuntun sepedaku sepanjang jalan pulang menuju rumah. Rasanya menyebalkan sekali bila hal ini terjadi padaku.
Mataku menatap ban depan sepedaku yang kempes. Mengapa ban sepeda saja tak mau mengerti keadaanku?
Aku menggeleng pelan.
Entah ini memang takdir atau kesialan, tapi aku benar-benar bingung bagaimana caraku pulang hari ini. Jika aku terus memaksakan diri untuk menuntun sepeda hingga ke rumah, sudah pasti setelah adzan Isya’ aku baru sampai di rumah.
Tapi…
Aku merogoh saku rokku. Kosong. Tidak ada yang disana.
Gladys… Gladys…
Apa yang kamu harapkan? Memangnya selama ini kamu pernah membawa uang? Sudah beruntung kamu bisa makan di rumah, sekolah tanpa mengeluarkan biaya, bertemu dengan banyak teman, mau kurang bersyukur apalagi kamu?
Aku menghela nafas panjang. Meskipun eyang tak pernah memberikanku yang saku, setidaknya aku harus bersyukur dan berterima kasih padanya. Aku tak boleh menuntutnya terlalu banyak. Sudah beruntung kalau ia tak membuangku seperti apa yang dilakukan mereka. Ia yang membesarkanku sampai aku bisa berjalan seperti sekarang.
Deg
Mataku membelalak menatap sebuah pemandangan menyakitkan yang berada tak jauh dari tempatku berada.
Ya Tuhan, kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok atau sepuluh tahun yang akan datang? Mengapa harus hari ini?
Dadaku terasa amat sesak. Sosok yang kurindukan, sosok yang selalu kutanyakan keberadaannya pada mereka, sosok yang membuatku hidup seperti saat ini. Bagaimana mungkin…
Air mataku mengalir turun begitu saja.
Ya Tuhan, rasanya sakit sekali.
Mereka tertawa lepas saat sang gadis kecil itu berceloteh panjang. Lalu, wanita yang berada di sisinya mengelus lembut surai hitamnya.
Satu hal yang bisa kusimpulkan.
Dia… Bahagia.
Itu yang kulihat.
Aku mengusap pipiku yang terasa basah.
Syukurlah kalau ia bahagia setidaknya aku bisa bernafas dengan lebih lega sekarang. Meskipun aku benar-benar ingin bertanya apa alasannya membuangku.
Aku kembali melanjutkan langkah kakiku yang sempat terhenti karena menatap pemandangan di seberang jalan. Sesekali sebelah tanganku mengusap air mataku yang mengalir.
Rasanya memang sesak sekali. Tapi syukurlah, aku bisa mengobati kerinduan yang membludak di rongga dadaku dengan melihat kembali sosoknya setelah sekian lama.
Walaupun dengan begitu, aku tau bagaimana rasanya dilupakan oleh orang yang kusayangi hanya dengan melihat bagaimana ia tertawa.
Aku tersenyum kecil.
Terimakasih Engkau sudah mengabulkan satu dari sekian ratus doaku.
Aku bahagia, sekalipun dadaku terasa sakit dengan melihatnya.
Aku menatap lalu lalang kendaraan yang bergerak tanpa henti. Di jalan ini, aku kembali bertemu dengannya. Menyaksikannya bahagia.
Tuhan…. Sampaikan padanya jika aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Mama… Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu.
_._._._
“Nduk, napa ta iki? Deneng nangis?”
Sesuai dugaan, Eyang menginterogasiku setelah aku membuka pagar rumah. Ia menatapku khawatir.
Note :
°Nduk, napa ta iki? Deneng nangis?
=> Nak, kenapa ini? Kok nangis?
Aku menggeleng singkat dengan air mata yang terus mengalir keluar.
“Mboten napa-napa, Eyang. Wau teng margi, Adis ningali tiyang kecelakaan.”
Ya Tuhan, ampuni dosaku karena sudah berbohong pada orang yang sudah merawatku ini. Tapi, aku benar-benar tak mau melihatnya ikut bersedih hanya karena mendengar kejujuranku.
Note :
°Mboten napa-napa, Eyang. Wau teng margi, Adis ningali tiyang kecelakaan.
=> Nggak kenapa-napa, Eyang. Tadi di jalan, Adis lihat orang kecelakaan.
Ia menatapku curiga namun berakhir mengangguk percaya, seperti biasanya.
“Yo wes, aja nangis maneh. Adus nganah. Cah ayu kaya ngene durung adus, ra ilok.”
Ia mengelus rambutku pelan. Kebiasaan yang selalu ia lakukan untuk menenangkanku yang tengah menangis.
Note :
°Yo wes, aja nangis maneh. Adus nganah. Cah ayu kaya ngene durung adus, ra ilok.
=> Ya sudah, jangan nangis lagi. Mandi sana. Anak cantik seperti ini belum mandi, tidak baik.
Aku menggigit bibirku kencang, mencoba menahan isakkan yang sebentar lagi akan meledak.
“Nggih. Matur nuwun, Eyang.”
Note :
°Nggih. Matur nuwun, Eyang.
=> Ya. Terima kasih, Eyang.
Usai mengucapkan itu, aku tergesa melangkah ke kamar. Melepas segala atribut dan meletakkan tasku di kasur sebelum beranjak ke sumur untuk mandi.
Eyang, Adis kangen sama Mama tapi ndak bisa meluk mama.
Aku menutup mulutku erat. Menangis terisak-isak dalam keremangan cahaya malam. Merindukan sesuatu yang tak mungkin untuk kurindukan.
Bagaimanapun, aku sadar akan posisiku. Dimana tempatku berada yang seharusnya dan apa yang patut kucapai. Aku amat sadar itu.
Mama…
Papa…
Mereka mungkin orang yang membuatku bernafas di dunia ini. Namun aku juga mengerti jika kehadiranku sama sekali tak diharapkan oleh keduanya. Itu yang semua orang teriakkan padaku semenjak aku masihlah seorang balita yang hanya mengerti susu dan teddy bear kesayanganku.
_._._._
To Be Continue~