Vitamins Blog

Heliosentris – Part 4

Bookmark
Please login to bookmark Close

23 votes, average: 1.00 out of 1 (23 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…

 

 

Part 4 – Mereka, Lagi

 

Braakk

“Selesein tugas gue! Cepet!”

Aku menatap malas seorang gadis ah tidak. Aku lebih suka menyebutnya nenek sihir, sebenarnya. Ia mengangsurkan sebuah buku ke hadapanku yang tengah menyantap bekal.

Aku mengernyit. Menatapnya tajam, tak merasa takut sedikitpun.

“Memangnya aku dibayar berapa menjadi pembantumu?” ujarku sinis. Ia melotot. Aku bahkan tetap merasa tenang saat ia mulai mengambil ancang-ancang untuk memakiku seperti biasanya.

“LO BILANG APA? Heh, udik! Lo berani sama gue? Girls! Kayaknya ada yang perlu diberi pelajaran mendadak sekarang.” teriaknya marah. Aku menghela nafas panjang.

Lihat saja, apa yang akan dilakukannya selama beberapa menit ke depan.

Sedetik kemudian, salah seorang dari pengikutnya mulai mendekatiku. Ia menyeretku kasar keluar kelas yang diikuti oleh seluruh anggota gengnya.

Bukk

“Aakhh…”

Aku meringis saat mereka melemparku ke sudut ruangan yang berdebu. Ruangan tak terpakai yang masih dalam tahap renovasi, sepertinya menjadi pilihan mereka untuk menyiksaku kali ini. Tak buruk sebenarnya. Karena ruangan ini tak begitu gelap seperti kemarin. Lagipula ruangan ini juga luas meskipun sangat sangat kotor. Aku bersyukur untuk hal itu.

“Lo mau pelajaran apa hah? Cewek sok pinter!”

Ia bersedekap. Kedua matanya berkilat puas. Aku bangkit dari posisiku. Menepuk-nepuk rok-ku yang mungkin terkena debu.

“Lebih baik sok pintar, itu artinya aku benar-benar pintar. Daripada sok bodoh, itu artinya memang bodoh sungguhan.” tanggapku santai di sela-sela kegiatanku membersihkan rok-ku dari debu.

Aku sedikit meringis sakit saat ia menarik rambutku secara tiba-tiba. Sakit sekali rasanya. Meski sering merasakannya, tetap saja aku tak bisa akrab dengan rasa sakitnya. Seperti rambutku akan terlepas dari permukaan kepalaku.

“Lo berani ngelunjak hah?” bisiknya di telingaku. Aku mengalihkan tatapanku. Mencoba memberanikan diri menatap sepasang iris cokelat yang menatapku penuh amarah.

“Kita mulai pelajarannya sekarang. Lihat, sampe mana si udik ini bisa ngelawan. Let’s go!” ucapnya memberi aba-aba.

Aku mendesah pasrah. Siksaan di mulai.. Lelah sekali rasanya bila harus menjalani hari-hari semacam ini selama satu tahun lagi. Ya Tuhan, bolehkah aku meminta sesosok pelindung dalam kehidupanku. Setidaknya sosok yang akan melindungiku dari rasa sakit. Aku benar-benar tidak tahan dengan ini semua.

_._._

“Van… Bisa nggak sih kita tinggalin dia aja? Udah sore ini. Lo nggak takut kemaleman apa?”

“Woi! Kalo kita ninggalin dia gitu aja, harga diri gue yang bakal turun bego! Kan Bu Santi yang nyuruh gue buat jagain dia sampe sadar. Ah gimana sih lo, Rel.”

“Tau ah. Bodo amat, emang gue peduli.”

“Ish! Nggak setia kawan banget lo sama gue.”

Aku mencoba membuka kelopak mataku yang terasa berat. Telingaku sempat berdengung sesaat sebelum mendengar percakapan itu.

Ruangan ini lagi…

Putih dimana-mana, membuatku dapat mengenali tempat dimana aku sekarang. Dimana lagi kalau bukan ruang UKS. Ternyata aku benar-benar berakhir di tempat ini. Lagi.

Entah mengapa. Biasanya, aku hanya akan berakhir dengan pulang terlambat karena lemas, tak mampu mengayuh sepedaku.Tetapi, beberapa hari ini aku justru berakhir di ruangan serba putih ini. Menyebalkan.

“Syukur deh lo udah sadar. Gimana keadaan lo?” tanya sebuah suara dari arah kanan tempatku berbaring. Aku menoleh. Dia lagi dan dia.

Dari sekian puluh peluang yang ada, mengapa harus mereka lagi yang menjumpaiku dalam keadaan semacam ini? Sepertinya sekolah ini kekurangan petugas medis sampai harus mereka lagi yang menungguiku.

“Minum.” ucapku pelan. Benar. Tenggorokanku terasa luar biasa kering. Efek dari tak menelan apapun semenjak pagi kecuali menelan ludahku sendiri.

Lelaki itu mengangsurkan segelas air putih dengan sebelumnya membantuku bersandar di kepala ranjang terlebih dahulu.

Ah segar sekali.

“Van. Pulang yuk.”

Aku menoleh. Benar, dia lagi. Seperti kemarin, ia bersandar pada pintu dan mengamati kami berdua dengan tatapan sinisnya.

“Yuk. Eh, Gladys. Lo mau pulang juga kan? Gue anterin apa lo pulang sendiri?”

Lelaki yang berada di samping ranjang tempatku berbaring, bertanya. Raut wajahnya sedikit was-was saat menatapku.

Kenapa dia?

Aku bertanya-tanya, ada apa dengan ekspresinya? Takutkah dia denganku?

Lucu sekali.

“Eitss… Santai. Gue niat baek kok. Jangan gigit, oke?” ujarnya tanpa kuduga. Aku menganga.

Apa? Gigit?

Pfftt…

Aku menahan tawaku yang ingin menyembur keluar. Rupanya lelaki ini sedikit trauma dengan kejadian kemarin.

“Siapa yang mau gigit kamu? Maaf untuk yang kemarin. Aku benar-benar nggak berniat. Tadi pagi aku juga udah bilang ‘kan.”

Ekspresinya kembali seperti sebelumnya. Tenang dan bibirnya menyunggingkan senyum ramah.

“Gue terima maaf lo. Udah yuk, pulang. Keburu Pak Danu nutup gerbangnya. Lagian, bahaya ntar kalo beruang di pintu ngamuk.” Candanya yang membuatku tersenyum kecil. Dia lelaki paling ramah yang pernah kukenal. Yah satu-satunya lebih tepatnya setelah almarhumah kakek.

Aku beringsut dari posisiku dan mengambil tas yang entah sejak kapan berada di ujung ranjang, lantas beranjak keluar ruangan.

Hari benar-benar sudah gelap ketika aku berada di parkiran. Terbukti dari langit yang sudah menghitam dan lampu-lampu yang berada di setiap kelas yang menyala. Suasana sekolah juga sudah benar-benar sepi. Beruntung, ada dua lelaki di hadapanku sehingga membuat sedikit banyak ketakutanku berkurang. Aku mengambil sepedaku dan bersiap mengayuhnya, sebelum seruan itu menghentikanku sepenuhnya.

“Heii, lo mau pulang bareng gue?”

Aku mendongak mencari-cari sumber suara yang mungkin saja tengah mengajakku bercakap.

Terlihat seorang lelaki yang memakai jaket kulit berwarna hitam tengah menstarter motor besarnya. Ia menatapku dengan jenis tatapan yang kukenali belakangan ini.

“Lo baru sadar dari pingsan dan lo mau naik itu?”

Ia menunjuk sepeda bututku saat mengucapkan kata ‘itu’. Aku menunduk. Memangnya kenapa?

“Iya.” balasku setengah bingung. Kenapa memangnya?

“Hadeh.. Lo mau besok gue di damprat sama Bu Santi ya? Udahlah. Pulang bareng gue aja. Taruh sepeda lo disini, aman kok. Yuk pulang.” sahutnya setengah memaksa. Enak saja! Kalau sepedaku dititipkan, lalu bagaimana besok aku berangkat? Jalan kaki? Tidak mungkin naik bus atau angkutan umum karena jadwal berangkatku yang terlalu pagi. Belum lagi jika Eyang menanyaiku macam-macam. Bisa marah ia kalau sampai tau keadaanku yang mengenaskan ketika di sekolah.

Cepat-cepat aku menggeleng. Jelas menolak ajakannya yang sama sekali tak menguntungkan.

“Ih, lo keras kepala banget ya. Kayak si Var-“

Brumm Brumm

Ucapannya sontak terhenti ketika sebuah sepeda motor melintas di hadapan kami yang berseberangan.

“Vareeeeeeeeellllll! Tungguin gueeeeee!!!!” teriak lelaki itu keras. Ia segera memakai helmnya dan bersiap pergi.

“Ya udahlah kalo lo mau pulang sendiri. Pokoknya gue nggak tanggung jawab kalo lo kenapa-napa ntar. Byeee…

Dengan itu, ia meninggalkanku sendiri di parkiran yang sepi. Aku menatap sosoknya yang mulai menghilang di ujung jalan menuju gerbang. Menghela nafas panjang lantas menggeleng kecil.

“Aku udah biasa kok. Nggak bakal terjadi apa-apa. Tuhan pasti ngelindungin hamba-Nya.” gumamku pelan. Dengan santai, kembali kulanjutkan kegiatanku semula. Mengayuh sepeda sekuat tenaga, meninggalkan sekolah yang sudah benar-benar sepi.

_._._._

To Be Continue~

 

3 Komentar

  1. Wahhh udah part 4 aja ni na hehe
    Semangat trs ya
    Aq lope2 dlu
    Blom bsa bca cerita2 di vitamin blog dlu ini huaaa

    1. Iya ? Thanks buat lope-lopenya kakak cantik. Eh, aku manggil Kak Farah kakak cantik aja ya? Lebih enak ?

    2. Omg omg omg
      Aq jdi mauuuu dipanggil kk cantik ehh maluuuu mksdny hihi
      Bisa aja deh kamuuuuu ???
      Apa aja dah, Farah boleh, Palah boleh, dedek boleh, baby boleh, neng boleh haha