“Vanessa Caulfield!!!” Teriak seorang wanita yang seumuran dengannya dengan nada jengkel. Vanessa menoleh dan tersenyum simpul menanggapi sang teman yang kini sedang menunjukkan kejengkelannya.
“Kenapa kau terlihat berantakan begini, dear. Itu tidak cocok denganmu.” Vanessa berujar tenang sementara sang sahabat sudah mengepalkan tangannya erat.
“Kau membuatku malu, Vane! Bagaimana bisa kau membiarkanku berdua dengan lelaki brengsek itu?!”
Vanessa mengerutkan keningnya tidak mengerti dan bertanya. “Kau malu tapi mengatakan pria itu brengsek?”
Terresa baru saja ingin membalas perkataan Vanessa jika saja tidak ada suara yang menginterupsi kedua wanita cantik tersebut.
“Maaf ladies. Ambillah, ini undangan pernikahanku..” Ujar seorang pria yang bernama Denny sedang membagikan undangan yang berisi pernikahan dirinya dengan wanita yang ia cintai.
Terresa segera memeluk Denny. “God, akhirnya kau menikah.. Ah, selamatt, Den.”
Denny menggaruk tengkuknya. “Terimakasih, Sa. Aku berharap kalian berdua datang.”
Vanessa mengangguk dan tersenyum simpul. “Aku pasti akan datang, Den.”
“Aku juga. Ah, aku tidak percaya.. Akhirnya dia menerimamu setelah mati-matian kau mengejarnya selama empat tahun..” Terresa memang tidak akan pernah bisa menutup mulutnya jika sudah berbicara. “Syukurlah.. I’m so glad to hear that..”
“Thank you..” Balas Denny sebelum melanjutkan. “Aku duluan karena harus membagikan undangan kepada teman-teman lain. Bye..”
“Bye..” Balas Terresa sambil melambaikan tangannya. Terresa termasuk wanita yang terlalu aktif. Bahkan, dalam sesaat ia telah melupakan kemarahannya kepada Vanessa.
“Baiklah, aku pulang dulu. Willson akan marah padaku jika aku pulang terlambat.”
Terresa memutar bola matanya malas. “Yaya, kau memang tidak pernah bisa jauh darinya, titipkan salamku padanya.”
Dengan enteng Vanessa mengendikkan kedua bahunya acuh sambil berkata. “Mau bagaimana lagi.. Aku mencintainya.. Bye..” Vanessa segera melangkah menjauhi kantor dimana ia bekerja.
Hari ini sangat terik membuat Vanessa berhenti sebentar di sebuah café dan membeli minuman untuk melepaskan dahaganya. Vanessa kembali ke dalam mobilnya dan kembali melajukannya menuju apartemen miliknya.
Sesampainya disana, Vanessa langsung mencari keberadaan Willson yang sedang terbaring lelap di ranjangnya. Ia mengelus kepala Willson dengan pelan membuat pergerakan kecil hingga mata itu terbuka dan menatap Vanessa dengan senyuman yang dapat membuat hati Vanessa selalu hangat dan tenang.
“Kapan onti pulang?” Tanya Willson dengan suara mungilnya yang masih berusia 3 tahun jalan 4.
“Baru aja sayang. Kamu lapar?” Tanya Vanessa lembut lalu membant Willson duduk.
Willson menggeleng. “Aku sudah makan, onti.”
Jawaban Willson membuat Vanessa tersenyum. “Pasti makan sama Bubu yaa?” Bubu adalah panggilan untuk pengasuh Willson ketika Vanessa bekerja.
Willson mengangguk antusias.
“Sekarang Bubu dimana?”
“Bubu lagi belanja dibawah. Wil disuluh nunggu onti pulang disini.”
Vanessa tersenyum dan mencium kedua pipi Willson gemas. Vanessa mencintai Willson lebih dari mencintai dirinya sendiri. Willson anak dari kakak kandungnya yang sudah meninggal karena pembunuhan yang terjadi setahun lalu. Vanessa terus mencari siapa pembunuh dari kakaknya tersebut, namun ia belum menemukannya hingga sekarang.
Pembunuh tersebut benar-benar licin dan gesit tanpa meninggalkan suatu apapun yang dapat membantunya untuk menemui sang pelaku. Willson saat itu memang sedang berada dirumah Vanessa ketika kejadian pembunuhan karena Vanessa mengajak Willson untuk menginap di apartemennya hingga kejadian mengerikan itu merebut kedua orang tua Willson.
Vanessa sudah berjanji jika menemukan pelaku pembunuh kakaknya maupun kakak iparnya, ia akan memberikan siksaan yang paling kejam setidaknya sebelum kematian orang itu. Vanessa tidak akan sekejam ini jika dirinya tidak melihat bagaimana Willson menangis tiap malam hanya merindukan orang tuanya. Walau sudah setahun, namun Vanessa belum juga menyerah untuk menemukan pelaku dibalik naas yang merenggut orang tua Willson.
“Onti.. onti..” Panggil Willson membuat Vanessa sadar dari lamunannya.
“Ya sayang?”
“Bubu pulang.” Tunjuk Willson kepada babysitternya. Vanessa tersenyum menatap Sarfa yang merupakan babbysitter Willson.
“Beristirahatlah, Fa. Willson akan bermain denganku dan besok kau juga tidak usah bekerja karena aku libur.” Vanessa memberikan Sarfa kelonggaran. Lagipula, Sarfa hampir seusianya dan hanya beda dua tahun lebih tua Vanessa. Maka dari itu Vanessa memberikan Sarfa kebebasan di masa muda yang hanya terjadi sekali seumur hidup.
“Terimakasih, Vane.”
Vanessa hanya tersenyum dan segera membawa Willson mandi serta mengganti pakaian karena ia akan mengajak jagoan kecilnya jalan-jalan.
***
Sebuah pesawat pribadi baru saja mendarat di landasan depan mansion mewah milik pria kejam nan angkuh, Vince Strauss. Daggel keluar dari sana sambil membawa tiga orang pria yang sedang ia tutup matanya dan jalan terseok-seok. Melewati jalur khusus menuju sebuah ruangan yang pantas disebut sebagai tempat olahraga miliknya karena penuh dengan alat pembunuh. Ketiga pria itu kemudian duduk berjajar lalu seseorang berpakaian hitam dengan senjata api di tangannya segera membuka penutup mata dari ketiga pria tersebut.
Salah seorang pria yang mengenakan jas berwarna biru tua segera berlutut dan memohon ampun kepada Daggel.
“Tak ada ampunan bagi pengkhianat!” Ujar Daggel kejam tak berhati. Jika Daggel saja seperti ini apalagi dengan bosnya, Vince Strauss?
Tidak ada yang pernah mengetahui wajah pria yang selalu bersembunyi dibalik bayangan tersebut, kecuali memang orang terdekatnya. Bukan Vince bermaksud menyembunyikan jati dirinya hanya saja, dia tidak suka keramaian dan lebih memilih untuk meniduri senjatanya daripada pesta sesama mafia yang biasanya dilakukan setahun sekali. Dia juga bekerja selalu melalui perantara dan yang berkhianat akan mendapat balasannya seperti sekarang.
Ketiga pria yang bernama Terren, Yoseph, dan juga Siex yang ditugaskan melakukan penyelundupan narkotika melalui jalur laut memilih melarikan diri menuju Columbia karena disana terdapat sebuah cartel besar yang bernaung dibawah musuh besar dari Vince Strauss. Musuh yang dulu pernah menjadi sahabat akrabnya.
Tap tap tap.
Suara langkah kaki tenang terdengar mengerikan. Bukan hanya ketiga pria tersebut, bahkan untuk Daggel sendiri karena masih menyimpan ketakutan yang luar biasa terhadap pria yang terobsesi akan benda yang dapat digunakan untuk membunuh. Suara langkah kaki kian mendekat menampilkan sosok tinggi dengan rahang kokoh dan hidung yang terpahat sempurna serta mata berwarna sapphirenya yang menelisik tajam menatap ketiga pria yang menundukkan kepalanya dengan bahu bergetar saat tahu jika Vince Strauss akan mencabut nyawa mereka.
Vince Strauss lebih dikenal dengan malaikat pencabut nyawa karena siapapun yang menghalangi langkahnya akan berakhir di tangannya, begitupula dengan pengkhianatan. Langkahnya terhenti, dan menatap satu persatu anak buah yang sangat ia percayai balik mengkhianatinya.
“Aku berikan kesempatan kalian untuk kabur dalam lima belas menit.” Ujarnya dengan nada mengalun tenang. “Jika dalam lima belas menit kalian ku temukan~” Vince mendekat dan berjongkok di hadapan ketiga anak buahnya. “Akan kujadikan kalian makan siang untuk Leon karena sudah dua hari penuh dia puasa.”
Leon merupakan singa jantan peliharaan Vince yang sangat jinak pada tuannya karena Vince benar-benar mampu melakukannya bahkan pada singa itu sendiri.
Badan ketiga pria itu semakin gemetar ketakutan, perlahan ketiganya menengadah dan menatap Vince takut-takut.
“A-ampuni kami, Bos. K-kami tidak akan mengulanginya..” Ujar pria dengan baju biru tua yang sedikit berani yang mereka ketahui bernama Siex.
Vince menatap jam tangan Vacheron Constatin Tour de I’lle yang bernilai sekitar US$ 1,5 juta. “Waktu kalian tiga belas menit lagi.” Dia bahkan tidak memperdulikan permohonan ampun mereka.
“Bos, am-puni kami..” Kini Terren ikut menunduk dengan keringat yang bercucuran dari pelipisnya.
Yoseph juga tidak kalah untuk memohon ampun kepada Bos mereka. Vince memang tidak pernah mengenal kata ampun dan hanya karena kata tersebutlah dirinya seperti sekarang ini. Menjadi pria kejam tak berperasaan akibat dikhianati berulang kali. Tidak hanya dengan orang tuanya, sahabatnya pun turut andil.
“Sepuluh menit.” Vince bahkan berbaik hati memberitahu kepada mereka akan sisa waktunya.
Ketiga pria itu tidak bisa berkata apapun lagi dan segera berlari keluar dari mansion mewah yang sialnya terletak di tengah dalam sebuah labirin hutan yang lebat dan menyesatkan. Hanya Daggel dan dirinya yang tahu jalan keluar dari mansion tersebut karena mereka yang hendak menemui Vince akan melalui jalur udara. Dengan kata lain, Vince sendiri yang akan menjemput mereka melalui tangan kanannya atau paling tidak, mereka akan bertemu diluar yang tentunya sebuah tempat yang sulit dijangkau oleh anggota gabungan.
Tik tok tik tok.
“Daggel, jemput mereka. Sudah waktunya Leon buka puasa.”
TBC.
Aku kena zonk, kukira Wilson kekasihnya Vanessa. :LARIDEMIHIDUP
Pasti yang bunuh kakaknya Vane a.k.a ortunya Wilson itu si Vince *soktau* :BAAAAAA
Kok aku gak sabar yaa Vane keyemu Vince :tidakks! huhuhu~
Happy ending yakk kak mikaa pweaase :wowkerensekali
Ehh btw kukira pas titlenya Buka Puasa dalam artian Buka Puasa yang bener-bener gitu, ternyata Leon si singa :LARIDEMIHIDUP
Elaahhh Mo @syj_maomao baru juga part awal minta happy ending aee :DOR! :DOR!
Iyaa benerr banget tabakanmu eaaaa,, sini-sini aku kasih ketjup2 basah deh ehh :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP
oh… nama aa ternyata vince toh….
leon nya dikasih makan manusia? serem ey :LARIDEMIHIDUP
Jangan lupa sirup marj*nnya biar makin ajib wkwk
ngggggggg……… kukira edisi ramadhan :AKUGAKTERIMA :AKUGAKTERIMA