*********
“Jen, lo jadi dateng ke reuni SMA lo?” Tanya Tyas dengan suara tertahan. Mencoba agar masker yang dipakainya tidak retak.
“Mm-Hm,”
“Pergi sama Erik?” Tyas bertanya lagi. Satu tangannya mengambil kaca kecil yang berada diatas meja, kemudian membawanya kedepan wajah.
“Mm-Hm,”
Nic menyembulkan kepalanya dari atas ranjang dengan wajah yang sama seperti milik kedua temannya, “Jen, gue ikut ya Jen… ya, ya, ya?” Nic merengek.
“Lo pikir reunian itu macam CFD yang semua orang bisa ngikut?” Tyas mendelik, kemudian menggunakan gagang pada kaca kecilnya untuk memukul pelan kepala cowok itu. Nic mengaduh, “Ih, Tyas! Lo kasar banget sih!”
“Biarin!” Balas Tyas acuh.
Jen menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua temannya barusan. “Yaudah kalau lo mau ikut, Ntar gue bilang sama Erik supaya jemput lo juga.” Sahut Jen.
Nic langsung sumringah. Namun, pada detik berikutnya cowok itu menatap sebal kepada Tyas.
“Jangan, Jen!”
“Ish, why? Lo kalau mau ikut juga bilang aja keles…”
“Gue nggak pengin ikut, Nic.”
“Ya terus, kenapa lo pake nyuruh Jenny biar nggak ajak gue?” Nic menggerutu.
Tyas menatap datar Nic sebelum berucap, “Lo itu ntar jadi hama buat Jen dan Erik yang lagi berduaan didalem mobil, Nic.”
Tyas langsung mendapat toyoran kecil dari Jen, “Yas, mulut lo itu ya…”
“Apa? Bener kan gue?”
“Gue nggak mikir gitu.” Sela Jen. Membuat Tyas berdecih, “Ih, masa? Yakin lo udah nggak ngarep ama Erik?” Tanya Tyas dengan pandangan mengejek dan menggoda.
“Ya iyalah, Jenny kan udah ada Aji… Aw! Sakit, Jen!” Nic kembali menggerutu saat bantal kecil mengenai wajahnya yang bermasker.
“Gue nggak ada ‘Aji’ dan gue udah nggak ngarep sama Erik.” Ucap Jen kesal. Kemudian ia bangkit dari tidurnya.
“Serius nih?” Tyas masih menggoda.
“He’eh.” Jen berjalan menuju kamar mandinya untuk membasuh wajahnya.
“Jadi Erik bisa buat gue ya, Jen?”
“Ih, Dasar tomboy!” Tyas melemparkan bantal yang digunakannya tadi dan tepat mengenai wajah Nic. Kemudian gadis itu berdiri menyusul Jen dan meninggalkan Nicholas yang menggerutu kesal.
***
Jen melihat pantulan dirinya didepan cermin sekali lagi sebelum berjalan keluar dan mengunci pintu kamar nya. Erik bilang ia sudah datang dan menunggunya diluar.
Dengan cepat Jen berjalan menggunakan heels setinggi dua belas senti miliknya. Meskipun bukan heels satu-satu nya yang ia punya, tetapi Jen harus berterimakasih kepada Tyas karena dulu memaksanya untuk membeli heels ini karena ini miliknya yang paling tinggi diantara heels nya yang lain.
“Lo sekali-kali pake heels beneran kek, jangan flatshoes atau snackers mulu. Paling banter pake sepatu setinggi 5cm doang.” Ucap Tyas kala itu saat keduanya berada di pusat perbelanjaan.
“Heels beneran? Lo kira heels di kosan gue itu punya nya si barbie apa?” Jen menggerutu.
“Ya bukan sih, maksud gue itu yang tingginya kayak yang sering dipakai Felice Hwang atau Kezia kalau lagi hangout atau pemotretan.” Balas Tyas, Lalu, gadis itu memaksa Jen mencoba satu heels dan memaksa Jen pula untuk membelinya.
“Tumben lo cantik.” Erik berkata saat Jen sudah masuk kedalam mobilnya. Mata cowok itu kemudian menelusuri bagian bawah Jen dan berkata, “Widih, jatuh nggak nih ntar?”
“Lo kira gue nggak bisa pake heels?” Jen menggerutu, sontak membuat Erik tertawa keras, “Emang bisa?”
“Bisa lah, Erik. Gini-gini gue juga cewek kali.”
Erik tersenyum, “Sering-sering aja pake kayak beginian, Jen. Siapa tau lo dapet pacar.” Ucapnya lalu menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya menuju hotel tempat diadakannya reunian sekolah mereka.
***
Suasana di ballroom hotel begitu ramai saat Jen dan Erik sampai disana. Kedua nya memasuki hotel melewati pintu masuk yang dilapisi karpet bewarna merah. Sepanjang jalan tadi Erik terus saja tersenyum, namun saat ditanya Jen lelaki itu tidak menjawan apa-apa.
“Rik, dandanan gue aneh ya?” Bisik Jen ketika keduanya sudah berada didalam.
Erik menoleh, kemudian menatap Jen beberapa detik. “Banget. Makanya lo jangan jauh-jauh dari gue ya, ntar kalo diketawain anak-anak , lo nggak punya bodyguard.”
Jen memukul lengan Erik dengan kesal. Kemudian menatap sekelilingnya. Mata Jen meneliti setiap orang yang hadir disana, karena ini reuni akbar jadi sebagian banyak Jen tidak mengenal mereka. Namun, yang jelas banyak yang telah berubah, sisi remaja yang kini telah menghilang dan digantikan oleh semburat ketegasan yang syarat akan kedewasaan. Lalu, mata Jen tanpa sengaja terpaku pada satu sosok wanita cantik yang dikenalnya. Arra, sahabatnya dan juga mantan kekasih Erik. Kedua nya berpisah secara baik-baik ketika naik kelas dua belas dengan alasan ingin fokus belajar menghadapi ujian nasional.
“Rik, itu si…” Ucapan Jen terputus saat Erik berkata “Jen, tunggu disini ya? Gue kesana bentar.”
Jen menoleh kesekumpulan pria yang ditunjuk Erik barusan. Jen mengenali mereka sebagai teman-teman cowok itu saat di SMA dulu. Anak sekarang biasa menyebutnya dengan sebutan genk.
Erik menoleh, “Atau lo mau ikut kesana aja?”
“Nggak. Gue kesana aja deh, itu ada Arra.” Jen menunjuk kearah jam dua belas.
Erik mengikuti jemari telunjuk Jen, lalu mengangguk. “Yaudah, ntar gue nyusul kalian. Jangan kemana-mana, Jen. Lo jelek soalnya.” Erik mengusap puncak kepala Jen sebelum kakinya melenggang menuju sebelah kiri bagian ballroom.
Jen berdecak, tangannya mencoba merapihkan rambutnya yang tadi habis diacak oleh Erik, pelan. Setalah meyakini diri kalau sudah rapih, Jen kemudian melangkahkan tungkainya mendekati objek yang sebelumnya ia bicarakan. Arra tampaknya belum sadar akan kehadiran Jen. Jadi, Jen berniat untuk mengejutkan perempuan itu.
“Ngapain lo disini?” Satu suara yang berasal dari sebelah kanan nya tiba-tiba saja hadir, membuat Jen langsung menoleh dan mendapati seseorang yang tidak dilihatnya selama beberapa hari.
***
Sejujurnya, Aji malas hadir di acara reunian ini kalau bukan karena Aurel mengatakan bahwa Teddy Yunus, potografer terkenal yang merupakan alumni dari sekolah cewek itu, juga akan hadir diacara reuni akbar tersebut.
Aji berusaha untuk tidak menghela napasnya kuat-kuat. Ia bukan tipikal orang yang malas bergaul, tetapi acara Reunian ini bukan acara sekolahnya. Jadi, banyak yang tidak dikenalnya meskipun beberapa ada yang dikenalnya.
Matanya mengamati Aurel yang berada disebelahnya, “Lo nggak ngebaur sama mereka?”
Aurel menyesap koktail yang sedari tadi pegangnya, lalu menggeleng, “Temen-temen gue belum keliatan nih. Kalau yang lo tunjuk itu, gue nggak kenal siapa.”
Aji mengangguk-angguk. Matanya kembali memerhatikan sekelilingnya dan cowok itu betapa kagetnya saat melihat seseorang yang ia kenali sedang berjalan dari arah pintu masuk, disamping karena penampilan gadis itu yang benar-benar berbeda dari terakhir kali Aji bertemu dengannya, gadis itu juga datang bersama seorang laki-laki disebelahnya. Lelaki yang diketahui Aji bernama Erik.
“Rel, Erik disini?” Aji menoleh dan bertanya kepada Aurel. Kemudian cowok itu mengarahkan kembali pandangannya kearah pintu masuk. Aurel mengikuti arah pandang itu.
“Dia alumni SMA sini juga letingan kita, Ji. Lo kenal Erik?”
Aji menggertakan rahangnya. Ia tidak menyangka kalau lelaki itu adalah alumni dari sekolah yang sama dengan gadis yang sekarang berada disampingnya ini. Kalau tahu begitu, Aji tidak akan mau datang ke acara ini. Mengetahui fakta kalau ia harus berbagi oksigen dengan Erik membuat Aji berdecih. Tapi, tunggu… Lalu Jennifer? Mengapa gadis itu datang bersama Erik? Atau…
“Cewek yang disebelahnya itu siapa nya Erik?” Aji kembali bertanya, mencoba dengan nada sambil lalu.
“Oh, Jennifer maksud lo? Tu cewek mah temennya. Gue heran kenapa Erik betah banget temenan ama tu cewek. Jelas banget bukan tipe Erik.” Aurel terkekeh.
Aji mengernyit tidak suka ketika mendengar Aurel seperti menjelekkan Jennifer. Apa yang salah memang? Sejauh Aji mengenal Jen, oke, oke… Mungkin memang Aji belum genap sebulan mengenal gadis itu, tapi Aji merasa Jen berbeda. Memang, Jen bukan tipe cewek yang biasanya hadir disebelah Aji. Tapi, entah kenapa Aji merasa nyaman kenal dengan gadis itu. Aji nyaman dengan fakta tak terduga tentang Jen. Seperti sekarang, fakta bahwa seorang Aurel mengenal gadis itu dan juga, fakta bahwa musuhnya adalah teman gadis itu.
“Kenapa, Ji?” Aurel bertanya saat melihat cowok disebelahnya terus saja memerhatikan kedua orang itu. Bahkan ketika Erik berjalan menjauh, Aji tetap meletakkan fokusnya pada sosok wanita itu.
Aji menoleh sekilas, “Kenapa, apa?”
“Lo kenapa ngeliatin disana mulu.”
“Oh, nggak. Em, Rel gue–” ucapan Aji terhenti saat dering ponsel Aurel bergema. Aurel mengangkat panggilan telpon itu selama satu menit, kemudian menaruhnya kembali kedalam clutch hitam yang dipegangnya. Aurel menatap Aji, “Ji, ikut gue ke temen-temen gue yuk?” Ajaknya.
Aji melirik Jennifer yang sedang berjalan, kemudian ia berkata, “Nanti gue nyusul aja, ya? Gue mau ke toilet dulu.” Tukasnya.
Aurel menatap Aji sesaat namun tak urung gadis itu mengangguk. Saat Aurel sepenuhnya menjauh, Aji berjalan cepat kearah Jennifer.
“Ngapain lo disini?” Aji bersuara ketika sudah berada di samping gadis itu.
Jen, yang mendengarnya langsung menoleh kaget, “Aji?!”
“Iya, gue Aji lo.” Cowok itu tersenyum.
Wajah Jen otomatis memerah saat mendengar cowok itu berbicara tadi. Aji lo…
Kemudian menggeleng pelan demi menghapuskan bayangan yang mulai diciptakan oleh otaknya. Jen kembali bertanya, “Lo ngapain disini, Ji?”
“Gue duluan yang nanya tadi, jadi lo harus jawab pertanyaan gue dulu.”
“Hah?” Jen bingung, raut wajahnya menyiratkan kalau ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Aji. Namun, otaknya langsung terlempar pada keadaan awal saat Jen menyadari kalau Aji lah yang menegurnya. Wajah Jen merona, “Oh!”
Aji tersenyum geli, ia memang selalu mendapati para gadis-gadis yang langsung melemah saat berada disampingnya. Tetapi baru kali ini ia melihat gadis yang selalu memerah dan kikuk setiap kali berbicara dengannya.
“Jadi?” Aji bersuara. Ia sebenarnya sudah tahu kalau Jennifer alumni sekolah ini. Tetapi, ntah kenapa Aji begitu senang dengan reaksi Jen terhadap dirinya. Sungguh menyenangkan!
“Gue alumni sini.” Jawab Jen.
“Lo bukannya dari luar kota ya?”
Jen mengangguk, “Iya. Tapi, sejak SMA gue udah jadi penduduk lokal, Ji.”
Aji tertawa, “Kenapa nggak dari dulu ya kita ketemu, Jen.”
Ucapan yang lagi-lagi mungkin Aji sendiri tidak menyadari kalau telah berbicara seperti itu, membuat Jen merona. Ia bahkan bisa merasakan kalau wajahnya memanas karena ucapan Aji barusan. Tapi, Jen kembali menghandle dirinya sebelum Aji menertawakan keanehannya. Jen mengalihkan, “Lo sendiri ngapain disini? Setau gue lo bukan alumni sekolah ini deh, Ji.” Sambung Jen dengan raut berfikir.
“Gue nemenin temen gue. Sekalian mau kenalan sama Teddy Yunus.” Aji langsung meluruskan saat melihat tatapan horror Jen kepadanya, “Maksud gue bukan kenalan kayak ngajak kenal cewek, Jen.”
“Oh!” Wajah gadis itu langsung memerah.
“Gue masih normal kali.” Aji pura-pura tersinggung.
“Ya, sori Ji. Refleks.”
Aji tertawa, “Jadi, lo mau kemana tadi?”
Saat itulah Jen baru mengingat kalau ia tadi hendak menghampiri Arra. Mata Jen langsung mencari keberadaan Arra dan menghembuskan napas saat menyadari Arra masih duduk di tempat semula. “Gue mau nyamperin temen gue.” Tunjuk Jen. “Lo nya… Mana temen lo, Ji?” Jen menyadari kalau Aji dari tadi hanya sendiri.
“Dia lagi ngelakuin hal nggak berfaedah sama temen-temennya, gue disini karena males deket-deket cewek kalo udah gosip.” Aji mengangkat bahunya.
Jen tertawa,”Kalo gitu gue temen gue dulu ya?” Ujar Jen. Namun, ketika hendak melangkah, cewek itu kembali berkata, “Ng… Lo mau disini aja atau ikut gue, Ji?”
“Jadi lo ngajakin gue ngegosip bareng nih?” Aji tersenyum menggoda.
“Aih… Bukan gitu!” Jen cemberut. “Yaudah deh gue nggak jadi nawar–“
“Gue ikut lo.” Sergah Aji cepat.
Kali ini Jen mengangkat kedua alisnya keatas, “Lo bilang tadi males dengerin cewek-cewek gosip?” Jen meledek.
“Better sama lo ketimbang gue kayak orang ilang sendirian.” Ucap Aji. Kemudian keduanya berjalan beriringan ke arah jam dua belas.
—
“Jenny!” Arra memeluk Jen dengan erat ketika gadis itu menegurnya tadi. Tangan Arra bahkan ikut bergerak memukul pelan pundak Jennifer.
“Ra, lo bisa badan gue remuk nih.” Canda Jen. Arra segera melepaskan pelukan itu, “Sori, sori. Abis gue daritadi nyariin lo tapi nggak liat-liat, Jen.”
Jen tersenyum. “Lo kok nggak bilang kalau lo kesini, Nya? Hilang kabar berbulan-bulan.”
Arra meringis, “Gue sengaja mau diem-diem biar kasih lo suprise. Eh, tapi malah gue yang kayaknya ya yang dikasih suprise sama lo nih…” Arra melirik Aji sekilas, kemudian menatap dengan pandangan menggoda kearah Jen.
Jen mengernyit, “What do you mean?”
“Kok lo nggak ngenalin cowok lo ke gue sih.” Arra berdecak, pura-pura kesal.
Barulah Jen menyadari apa yang dimaksud temannya itu. Buru-buru Jen mengelak, “Bukan! Aji bukan–” ucapan Jen terputus saat Aji mengulurkan tangannya kearah Arra sambil tersenyum,
“Gue Aji, pacarnya Jenny.”
***
Semilir angin malam menerbangkan rambut-rambut tipis Jen, membuatnya berkibar. Jen masih belum bisa menghilangkan bayangan saat Aji memperkenalkan dirinya kepada Arra empat puluh menit yang lalu dan saat ia dan Aji akhirnya menyingkir keluar karena keadaan didalam ballroom sudah tidak efesien lagi karena saking banyaknya orang didalam sana.
Jen menoleh matanya menatap cowok disampingnya yang sedang menatap kedalam ballroom. “Ji, harusnya lo nggak usah becandain Arra begitu. Lo nggak tau sih kalau Arra itu tipikal cewek yang akan percaya sama apa yang diucap pertama kali. Bagi Arra, omongan pertama itu selalu benar.”
Jen bisa melihat Aji tersenyum, membuat gadis mengernyitkan keningnya heran. “Kok lo malah senyum?”
Alih- alih menjawab, Aji malah memanggil Jennifer, “Jen?”
“Ya?”
“Gue punya ide.” Kata Aji dengan nada senang. Jen mengerutkan keningnya, “Hah, ide apa?”
“Gimana kalo kita anggap omongan gue tadi beneran aja?” Aji menoleh dan menatap Jen tepat di manik matanya.
Jen menahan napasnya selama beberapa detik sampai suara Aji kembali terdengar,
“Jen?”
“Huh?” Bad Jennifer. Respon yang tidak berfaedah disaat seperti ini. Tapi, bagaimana juga Jen bisa merespon dengan benar ketika mendengar ucapan konyol Aji barusan?
“Gimana, mau nggak?” Tanya Aji.
“Garing, Ji.”
“Gue serius, Jennifer.”
“Tapi, ini konyol.” Jen mengemukakan pikirannya.
“Why?“
“Lo yang kenapa. Tiba-tiba ngajakin gue… Ngg…” Jen bingung harus mengatakan apa. Kata ‘menembak’ terlalu mengerikan untuk ia bayangkan saat ini.
“Lo mau nggak?”
Jen menggela napas, “Nggak mungkin lah, Ji. Lo dan gue bahkan baru tau keberadaan masing-masing dua minggu yang lalu. Masa… Lo… Gue…” Jen menggigit bibir. Ia bahkan tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Nggak ada yang nggak mungkin, Jenny.”
Jen menatap Aji dengan kening berkerut, “Lo kenapa tiba-tiba gini sih? Kenapa tiba-tiba ngajakin gue…ngg…”
“Karena gue pengin mengenal lo lebih jauh?”
Jen membelalakan matanya. “Aji, kita kan bisa temenan aja kalau cuma itu alasannya.”
“Gue nggak mau temenan sama lo, Jen. Lo mau kan pacaran sama gue?” Aji memperjelas.
Jen sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Aji saat ini, dan ia juga tidak mengerti harus bersikap bagaimana pada suasana seperti ini. Harusnya Aji memberinya pilihan untuk ‘Call a friend‘ karena yang Jen butuhkan saat ini adalah Tyas.
“Jen?” Aji kembali memanggil gadis itu saat tidak mendengar suara apapun selain deru napas Jen.
“Tapi, Ji…”
“Fyi, Gue nggak menerima penolakan.”
“Lo sinting, ih.”
Aji tersenyum, “So? Jadi pacar gue ya?”
Jen diam tak menjawab. Matanya masih menatap cowok itu dengan pandangan bingungnya. Dia dan Aji sama sekali tidak mengenal sebelumnya, dan saat ini pun mereka tidak bisa dikatakan teman karena hampir tidak ada komunikasi diantara keduanya. Komunikasi terakhir saat Aji mengantar Jen kembali ke kosan ketika mereka tidak sengaja bertemu di perpuskataan. Setelahnya, Jennifer sama sekali tidak melihat Aji dimanapun. Baik itu di gedung fakultasnya, gedung UKM ataupun kantin umum. Jadi, tidak salah bukan jika Jennifer menganggap Aji gila karena mengajaknya berpacaran hanya karena cowok itu ingin mengenalnya lebih jauh lagi?
“Oke, karena lo diam… I’ll take it as yes.”
Jennifer sukses terperangah saat mendengar suara Aji mengalun dengan santai dikeheningan malam.
***
Aduhh.. Aku kok malah ada pikiran2 buruk yaaa, seperti ‘jangan2 aji cuma main2’ tapi semoga aja enggak :tepuk2tangan
Nahh truss itu aurelnya dikemanain ji?? :ngupildoeloe
Suka kak sama ceritanya.. Ditunggu kelanjutan nya ya
Wow Aji pemaksa jg ternyata haha sukaaa
Ditunggu lanjutanya kak..
Wah bikin penasaran nih, kira2 aji beneran tertarik atau main2 ya? Di tunggu kelanjutan nyaaaaa ?
aji mah ternyata tukang paksa ,,,, nah loh aku kan jadi bingung harus gmn ne? dag dig dug
*eh maksudnya jen bukan aku :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP
Ji, kalo lo ngomong gitu ke gue, langsung gue iyain ???
Iyain aja jen.. kpn lg ditembak cowok famous.. :tebarbunga
whoaaa, Aji suka maksa juga ya hahaha