Vitamins Blog

Laceration 3 ( Tidak Sama )

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Kita harus bicara.” Ardi berucap pelan. Lengannya kembali memegang pergelangan tangan Vaya. Menahan gadis itu tetap berada di depannya.

Mata Vaya tertutup. Sekuat tenaga dia menahan emosinya. “Maaf,” Vaya berujar pelan . “Tapi aku tidak mengenalmu,” lanjutnya kembali membuka mata. Menatap pemuda di depannya dengan dingin. Lantas dengan cepat melepaskan pegangan Ardi di pergelangan tangannya

Ardi terenyuh. Sakit, itulah yang dirasakan olehnya saat ini.

Padahal, dulu dia yang meminta gadis itu untuk bersikap bahwa mereka tidak pernah saling mengenal. Dan sekarang saat gadis itu benar-benar melakukan hal itu. Hanya sesak yang dia rasakan. Mungkin ini adalah balasan untuknya. Rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan gadis ďi depannya. Bahkan mungkin gadis itu merasakan sakit yang lebih.  Sorot mata Ardi berubah sendu memikirkan hal itu. Membuat rasa sesal kembali menghampirinya. Menghela napas pelan, ia lantas kembali menguhkan hati. Dia sekarang disini. Dan itu untuk memperbaiki semuanya. Meminta pengampunan dari gadis di depannya. Meski itu tidak akan mudah.

“Maaf,” satu kata dengan sejuta makna. Kata yang Ardi pilih untuk mengawali pembicaraan mereka. Mencoba tidak perduli dengan ucapan Vaya. Matanya bergerak gelisah melihat Vaya yang terlihat tidak memberikan respon apapun.

“Untuk apa?” Akhirnya Vaya bersuara. Nadanya datar dan terkesan dingin. Benar-benar beda dengan sosok yang dulu dikenal Ardi.

“Untuk semua kesalahanku, untuk aku yang menghianatimu, untuk aku yang tidak ada di sampingmu saat kau terpuruk dan untuk…” suara Ardi tercekat, “apa yang aku ucapkan dulu, itu semua..”

“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” Vaya segera memotong ucapan Ardi. Suaranya datar tanpa emosi. “Aku tidak merasa mengenalmu, mungkin kau salah orang,”

Oh tuhan, alam pasti sedang mengejek Ardi habis habisan sekarang. Dia tahu ini tidak akan mudah. Tapi…

“Please, kita dulu..”

“Kita?” Vaya menyela tajam. Lantas dia tersenyum remeh.

“Kita siapa yang kamu maksud di sini, hubungan apa yang sedang kamu bicarakan?”

Ardi diam. Tidak bisa mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan gadis yang sangat berarti untuknya itu.

“Kamu seharusnya tahu batasanmu, aku dan kamu hanya dua orang asing yang tidak saling mengenal, kita bahkan baru bertemu. punya hak apa kamu mengatakan aku dan kamu adalah kita,” Asta berucap tajam.

Perkataan Asta menyakiti Ardi. Membuat Ardi kembali mencaci dirinya sendiri yang sudah mengatakan hal terkutuk itu dua tahun yang lalu. Perasaan Asta pasti sangat hancur saat itu. Sama hancurnya dengan perasaan dia saat ini.

“Asta,”

“Jangan sebut nama itu,” teriak Vaya dengan suara histeris. Napasnya terengah-engah. Berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. “Jangan pernah, tidak ada yang namanya Asta di sini, aku tidak pernah mengenal seseorang dengan nama itu, jadi tolong jangan ganggu aku lagi,”

Setelah itu, dengan cepat Vaya membuka pintu rumahnya dan langsung membantingnya kasar. Tubuhnya bersandar pada pintu rumahnya. Lengannya bergerak memukul dadanya yang terasa sesak. Dan sebuah isak tangis lolos dari bibirnya dibarengi dengan cairan bening yang mengalir mulus di pipinya.

Ardi terdiam. Menatap pintu dimana sosok Vaya menghilang.

“Maafkan aku…” gumaman itu terdengar lirih. Lebih lirih dari ungkapan-ungkapan sesal sebelumnya.

***

Semuanya sudah tidak sama lagi, pikir Ardi dengan muram.

Tidak ada Asta yang menyambut dirinya dengan senyuman. Tidak ada Asta yang bermanja-manja padanya. Tidak ada Asta yang akan memberinya omelan dan nasehat panjang lebar saat dia ikut tawuran dan merokok. Tidak ada Asta yang akan memanggilnya Gerald. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu adalah tidak ada lagi keceriaan dalam wajah gadis itu. Meskipun ada, itu palsu.

Ardi menghembuskan napas lelah. Saat ini, dia sedang menatap lalu lalang kendaraan dari tembok kaca besar yang ada di apartemennya.
Sudah dua tahun. Dua tahun yang begitu menyiksa batinnya dengan perasaan sesal. Dua tahun, waktu yang dia butuhkan untuk mengumpulkan keberanian agar bisa menemui lagi Vaya. Setelah apa yang dia lakukan, dia memang merasa sudah tidak pantas lagi menemui Vaya. Merasa malu denfan krbodohan yang dilakukannya pada gadis itu.

Dan sekarang, saat dia memiliki keberanian untuk meminta maaf. Nyatanya dia tidak cukup kuat menerima kebencian Vaya pada dirinya. Melihat tatapan kebencian yang dilayangkan gadis itu membuatnya sakit dan sesak.

“Dia benci gue,” Ardi bergumam pelan.

Sebuah tepukan Ardi rasakan dibahunya. Dia menoleh dan mendapati sepupunya tengah tersenyum kecil.

“Dia nggak benci lo kok, mungkin dia  cuma marah dan kecewa sama lo, tapi gue yakin dia nggak benci lo,” ujar sepupunya itu dengan pelan. “Lo cuma mesti buktiin ke dia kalo lo nyesel dan buktiin juga lo nggak akan lakuin kesalahan yang sama,”

Ardi menutup mata. Mau tak mau ucapan Rein, sepupunya itu membuat dia sedikit memiliki harapan. Harapan untuk bersama Vaya kembali. Seperti dulu.

“Thanks,” ujar Ardi pelan. Rein tersenyum. Lantas kembali menepuk bahu Ardi pelan.

****

Vaya menghembuskan napas lelah. Matanya masih terfokus menatap cangkir kopi ke tiga yang dia habiskan untuk malam ini.

Dulu, Vaya pernah mempunyai harapan. Satu harapan kecil yang bisa membuat dia tersenyum diantara ribuan kesedihan. Harapan yang membuat dia bisa bertahan dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun harapan itu musnah bebarengan dengan laki-laki itu meninggalkannya. Dan sekarang, saat dia sudah mulai bisa hidup normal. Laki-laki itu malah datang kembali. Membangkitkan memori menyakitkan yang selama ini berusaha Vaya musnahkan.

Vaya melirik ponselnya yang kembali bergetar. Kembali nama Glen muncul di layar ponselnya. Moodnya sedang buruk bahkan hanya sekedar untuk mengangkat telpon dari Glen pun rasanya Vaya malas. Tapi jika dia terus mengabaikan panggilan itu. Dapat dipastikan beberapa menit kemudian rumahnya akan ramai karena gedoran pintu yang dilakukan Glen. Dan Vaya tidak ingin itu terjadi. Dia sedang ingin sendiri untuk sekarang.

Maka, dengan sedikit malas Vaya akhirnya meraih ponselnya dan menerima panggilan itu.

“Alhamdulillah Vaya..”

Suara Glen yang terdengar penuh kelegaan adalah hal pertama terdengar oleh Vaya begitu panggilan tersambung.

“Kamu baik-baik saja, kan?”

Vaya berdeham sebentar. Mencoba menetralkan suaranya.

“Aku baik ka, ada apa?”

“Kau tidak mengangkat telponku dari tadi,” balas Glen terdengar prustasi.

“Aku merasa sedikit kelelahan,” Vaya mencoba mencari alasan, “dan tanpa sadar aku ketiduran,”

“Syukurlah, aku pikir terjadi sesuatu yang buruk padamu, aku resah karena membiarkanmu pulang sendiri naik angkutan umum,”

“Itu berlebihan ka,” Vaya memprotes kesal. Sungguh Glen terlalu berlebihan mengkhawatirkannya. Meski memang ada kejadian buruk menimpanya tadi sore. Tapi dalam artian lain.

“Aku sudah besar dan sudah bisa menjaga diriku sendiri, kakak tidak akan mendapati namaku dalam koran sebagai salah satu dari sekian banyak korban tindak kriminal di Jakarta hanya karena membiarkanku pulang sendiri,”

“Vaya..” Glen menggeram pelan. Merasa tidak senang dengan ucapan Vaya.

“Baiklah, baiklah,” Vaya segera mengalah, “aku tahu kakak mengkhawatirkanku, tapi sungguh aku baik baik saja, dan sekarang aku ingin melanjutkan tidurku yang terganggu karena telepon dari kakak,”

Terpaksa Vaya berbohong. Padahal dia tidak merasa mengantuk sama sekali. Hatinya terlalu resah hanya untuk tidur.

“Ya sudah tidurlah, ini memang sudah malam, Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikumsalam,”

Dengan cepat Vaya mengakhiri panggilan itu. Menaruh ponselnya di nakas samping tempat tidur.

Bangun dari duduknya. Vaya melangkah mendekati jendela kamar. Membuka lapisan bening namun keras itu. Membiarkan hawa dingin langsung menerpa tubuhnya.

Suasana mencengkram langsung terasa. Pemandangan yang ada di depannya hanya kepekatan malam.

Vaya tidak merasa takut, sebaliknya dia malah menyukai malam. Sejak kejadian dua tahun yang lalu. Dia senang duduk di kursi belajar yang dia taruh di dekat jendela. Memandang bintang dari jendela kamarnya yang akan dia biarkan terbuka.

Malam ini dia kembali melakukan kegiatan yang sama. Memandang kelamnya langit malam. Mencoba menenangkan dirinya.

“bintang akan terlihat semakin indah saat malam semakin gelap,”

Vaya tersenyum tipis mengingat perkataan mamahnya.
Saat ini tidak ada banyak bintang yang menghiasi langit.

“Sepuluh,” Vaya menghitung dalam hati. Ketika melihat ada sekitar sepuluh bintang yang bersinar malam ini. Dan itu cukup menenangkannya.

Bulan juga tidak muncul pada malam ini. Tapi, tetap saja Vaya suka malam.

Memandang langit seperti saat ini selalu membuatnya merasa nyaman. Merasa tidak sendirian lagi. Merasa bahwa mamahnya sedang ada di sampingnya. Menemaninya.

“Mah, aku kangen mamah,” Vaya berucap dengan lirih. Suaranya menghilang. Terbang terbawa angin. Berharap dalam hati pesannya tersampaikan.

Menutup matanya dengan kuat. Vaya mengepalkan kedua tangannya. Mencoba menghilangkan rasa sakit di hatinya.

Kadang disaat seperti ini Vaya merasa dirinya sangat lemah. Merasa hatinya begitu hampa.

“Mah, semua akan baik baik aja, kan?” suara Vaya tercekat ketika melontarkan pertanyaan itu, “Aku pengen lupain semuanya, tapi aku nggak bisa, dan sekarang dia malah kembali,”

Air matanya jatuh  ketika mengingat sosok yang sangat berharga untuknya itu. Sungguh, Vaya membenci dirinya yang lemah seperti ini. Dia ingin menjadi kuat, tapi tetap saja dia akan menjadi lemah saat teringat mamahnya. Vaya membiarkan air matanya terus berjatuhan. Berharap setelah ini dia akan lebih kuat.

—-

Well i’m back

Adakah yang menunggu kelanjutan cerita ini? (Penuh harap)

Nggak ada yah?

Semoga terhibur aja dengan tulisan abal abal ini.

Salam hangat

Dilah Nafisah

7 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Oalah ternyata aq bru bca bagian prolog ny aja hihi
    Bca part 1 ny dlu yak

    1. dilahnafisah menulis:

      Ko bisa? Emang dari dulu belum baca yah?
      Baca aja, aku malah seneng kalo ada yang suka :D

    2. farahzamani5 menulis:

      Aq bru baca prolog ny ternyata, ketinggalan di 3 part, tau2 dah update sampe part 3 hihi, tp sdh dibca marathon hihi

  2. farahzamani5 menulis:

    Bagus kok tulisanny
    Semangat trs yak lanjutin cerita dikau ini hehe
    Ohh Aldi mengkhianati Vaya toh, pantes Vaya sebel bngt sma dia, nahh skrng penasaran sma jenis pengkhianatan macam apa yg Aldi lakuin ke Vaya
    Ditunggu part selanjutny
    Semangat trs yak

    1. dilahnafisah menulis:

      Makasih. Ada yang suka apa yang aku tulis itu ada rasa senang tersendiri. :D
      sebenernya sih Vaya sebel banget nya buka karena itu, ada hal lain yang lebih nyakitin dari pada pengkhianatan. ;)
      Iya thanks yah

    2. farahzamani5 menulis:

      Lbh nyakitin drpd pengkhianatan??? Omg omg, apa itu? Pantes Vaya sebel bngt dan terluka bngt liat Ardi
      Oia maaf dri kmrn aq nulis Aldi ya bukan Ardi hihi

  3. fitriartemisia menulis:

    Mamanya vaya kenapaaa?
    ada hubungannya sama Ardi yaa? omo omooo