Pagi semuanya, maaf sekali update cerita mundur terlalu lama. Kemarin mudik lumayan lama karena adik ipar menikah, dan sedihnya disana ga dapet sinyal. Jadi cerita baru bisa dilanjut.
Budayakan untuk menghargai karya orang lain dengan tidak meniru, menjiplak, mengubah nama tokoh, mengambil ide/inspirasi cerita baik sebagian maupun keseluruhan isi cerita.
Selamat Membaca!
Zarina POV
“Pagi Pak… Bu..” sapaku pada semua karyawan yang aku temui pagi ini. Cari muka, heh? Anak baru ya? Iyaaaa hahahaha. Jelas dong harus ramah, jangan biarkan masalalu menghalangi kita untuk melangkah ke masa depan. Saik ga tuh bahasaku?
Yap setelah sesi curhat ala Miss Galau (kalo kata Arrum) sebelum tidur aku memikirkan beberapa rencana untuk dijalankan hari ini. Kalo bapak-bapak itu ga mau ajak aku bicara, biar aku duluan yang mulai. Agresif dikit gak apalah dikantor ini daripada gabut (re : gaji buta) haha
“Pagi Pak Arkan” sapa Arrum saat kami hendak menaiki tangga
“Pagi Arrum, Zarina. Nah kebetulan, sebelum pada naik kita buat absen kalian dulu. Kemarin kalian tidak absen kan?”
“Belum pak” jawabku. Ya memang tidak, absennya dimana atau pada siapa juga aku tidak tahu. Wong kemaren aku dicuekin loh pak sama trio ganteng diatas tuu (malah curhat -.-’).
“Emang buat absennya dimana pak?” tanyaku
“Disini…” menunjuk mesin fingerprint ditembok tepat dibawah anak tangga
Ooh, pakai fingerprint tah disini. Kemarin dicabang masih pakai absen ceklok. Eh, apasih namanya? Gatau deh pokoknya itu kartu absen dimasukin ke mesin gitu bentuknya kaya pemanggang roti terus nanti di kartunya ada cetakkan waktu saat kita absen. Ya pokoknya itulah.
Arrum udah, tinggal aku ini yang belum.
“Pak ko ini mesinnya minta maaf terus?” tanyaku bingung ke Pak Arkan
“Jari kamu kotor kali Zar, coba bersihin dulu” wah ini namanya ngeledek, masih pagi pak saya baru mandi masa iya uda kotor aja tangannya. Eh tapi nurut aja dah, berdebu kali.
Tapi nasib memang nasib sudah gantian dengan karyawan lain yang mau absen, ternyata jarikupun tetap tidak bisa didaftarkan di mesin fingerprint meskipun sudah diganti-ganti jari.
“Coba ganti jarinya Zar yang kiri apa yang kanan cobain semua, masa ga bisa terus si. Wah, bahaya ini” saran Pak Arkan yang diiringi ledekan itu bikin aku jadi parno lagi, kan mesin absen ini aja gak bisa nerima akuuu?!!
“Terima Kasih..”
“Eh pak, dia mau pak. Uda terima kasih itu, alhamdulillah” ujarku sumringah, haaah kelingkingku terima kasiiih muahmuah
“Hahaha alhamdulillah, jangan seneng dulu kamu. Sini daftar 1 lagi jarinya, buat serep”
“Iya pak, ntr kalo jari saya ga bisa lagi jadi ada yang lain hehe.”
“Lagi kamu ko bisa, jari ga ada sidiknya. Berarti bahaya nih kamu”
“Tau lu Zar bahaya, hati-hati entar direkrut penjahat lu gara-gara ga punya sidik jari!”
“Ih lu apaan si Rum, jahat banget. Gue juga ogah kali.”
“Hahaha, bener kata Arrum. Tapi kamu juga harus dijaga keberadaanya yaa, soalnya kalo hilang susah cari dan deteksi nya” ledek Pak Arkan
“Ih bapak ko ikut-ikut si. Lagian ya pak, saya itu punya sidik jari cuma karena tangan saya sering luka jadinya lebih banyak bekas lukanya daripada sidik jarinya”
“Sering luka? Emang kamu ngapain ko luka?”
“Itu pak dia suka ngarit di kebon, buat makan piaraannya” ejek Arrum sambil menahan tawa
“Weeettss sembarangan, jangan percaya pak. Dia tuh yang punya piaraan.” Ledekku balik tak mau kalah.
Sebenarnya aku menderita penyakit Exim atau Dermatitis yaitu kelainan kulit yang meradang atau iritasi. Dimana penyakit ini penyebab pastinya belum diketahui. Namun diperkirakan karena kulit kering, iritasi sabun dan detergen, atau bahan kimia lainnya. Selain itu stress, alergi dan infeksi patogen juga dapat menyebabkan sakit ini.
Exim yang menimpaku ini hanya terjadi di jari-jariku, semua. Tidak ada pengecualian bahkan untuk jari kaki. Tapi hanya di jari, dari ujung kuku sampai pangkal jari syukurnya tidak merambah kemana-mana.
Kalau sedang kumat seperti lukanya orang terkena diabetes. Sampai berwarna keunguan, berair, gatal. Dan itu bisa terjadi hingga berbulan-bulan. Belum lagi 1 jari mau sembuh, nular ke sebelahnya.
Aku pernah berangkat sekolah hanya menggunakan sendal jepit selama sekitar seminggu karena Exim-ku kambuh di jari kaki.
Kata mama, dulu sewaktu umurku sekitar 5 tahun pernah dibawa ke dokter spesialis kulit. Karena luka ditanganku yang tak kunjung sembuh cenderung menular ke jari lainnya namun tidak menulari orang lain.
Dan hasilnya adalah aku terkena Exim penyebabnya stress. Itu kata mamaku, aku percaya saja karena akupun tidak begitu jelas mengingat. Umurku baru 5 tahun saat itu. Mama sempat bingung bagaimana bisa? Anak sekecil ini bisa stress? Emang dia udah bisa mikir yang berat-berat?
Dan Dokter bilang, bisa saja. Stress anak kecil berbeda dengan orang dewasa. Bisa saja dia terkekang. Tidak bisa bermain dengan bebas. Atau ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Yaa, stresnya anak se-usinya kemungkinan besar seperti itu.
Dan sayangnya sampai usiaku saat ini pun Exim itu masih suka kambuh. Padahal kalau dari yang aku baca-baca di internet saat usia penderita beranjak dewasa besar kemungkinan penyakit itu sembuh dan tidak kambuh lagi. Tapi aku, aku masih memilikinya sampai saat ini.
“Eh Bu Zarina sudah datang, pagi buu..” sapa Pak Seno yang saat ini merupakan atasanku. Demi apa dia nyapa gue?? Kemaren…
“Pagi Pak Seno, Pak Ramzi..”
“Pagi Zarina..” balas Pak Ramzi sambil tersenyum sambil menyalakan komputernya. Ini beneran? Pada senyum lagi? Waah bener, gaboleh suudzon emang. Berarti kemaren emang lagi banyak kerjaan dan penting mungkin jadinya pada cuek.
“Kamu masih disitu duduknya Zar?” tanya Pak Seno saat aku mau duduk di kubikel Pak Arshya
“Eeh, iiya pak. Kata Pak Arkan belum ada kursi kosong sementara disini dulu.” Jawabku sambil senyum maklum
“Waah kasian kamu kalo gitu, entar deh kalo uda masuk saya coba tanyain lagi ya. Semoga aja ada yang kosong.”
“Ngg, Iya pak. Tapi disini sementara juga gak apa-apa pak. Saya bisa belajar sedikit-sedikit sama Pak Arshya.”
“Iya, tapi tetep aja masa kamu dua-duaan begitu disitu. Kan ga leluasa, kamu juga emang ga risih?” tanya Pak Seno
“Hehehe, risih si Pak. Takut ganggu Pak Arshya kerja juga, tapi yang ada aja dulu ga apa pak.”
“Hehe, yaudah. Kalo kamu diapa-apain Arshya bilang aja sma saya.” Ujar Pak Seno sambil sedikit, terkekeh?
“Eh? Iya pak hehehe” aku ga maksud sama pertanyaan dia. Jadi aku iyakan saja. Dan langsung duduk disamping kursi Pak Arshya
“Eh Bu Zarina uda dateng, pagi..” aku mendongakkan kepala dan menemukan
“Pagi Pak Arshya” sambil senyum dan agak menggeser kursiku menjauhi kursinya sedikit. Supaya tidak terlalu dekat. Dan kemudian hening lagi. Aku hanya sibuk memperhatikan Pak Arshya menyalakan komputer, mengecek List Pekerjaannya hari ini.
Aku sibuk memperhatikan meja kantornya, hingga sekat kubikelnya yang penuh tempelan. Ada layout gambar, ada post it bekas, ada kertas berisi rumus-rumus apa aku gatau, terus fotocopy katalog juga ada, kemudian foto dia bersama rekannya sekitar 7 orang di tepi pantai.
“Kamu lulusan tahun berapa Rin?” tanya Pak Arshya
“Eeh? Bapak tanya saya?” aku perlu memastikan, bahwa orang ini bicara padaku.
“Iyalah emang siapa lagi orang disini yang namanya ada Rin-nya selain kamu” jawabnya sambil melirik kearahku yang berada disebelah kanan agak belakangnya
“Hee, maaf pak. Tadi saya kaget dan ga memperhatikan suara siapa, takut salah juga. Saya baru lulus pak tahun ini.” Jawabku langsung, memanfaatkan kesempatan karena takut kejadian kemarin terulang
“Hmm, jurusan apa?” tanyanya lagi tanpa melihatku, mulai tenggelam dalam pekerjaannya
“Akuntansi pak”
“Akuntansi? Kok bisa disini?”
“Hah? Eh anu, itu pak. Hmm saya karyawan mutasi dari cabang di Bogor.” Maksudnya apa tanya begitu, ko aku dengernya sakit hati sih
“Iya saya tahu kamu dan teman kamu itu mutasi dari cabang, yang saya tanyakan itu kenapa kamu bisa terdampar di departemen ini? Kamu tahu kan maksud saya?” tanyanya sambil menolehkan kepalanya untuk melihatku, hanya sebentar karena dia sudah menatap lagi komputernya.
“Hmm, iya pak. Saya sama Arrum dulu melamar untuk bagian Administrasi untuk mengisi posisi di cabang Bogor. Dan kalau di Kantor Pusat ini saya ditempatkan di posisi drafter itu bukan kemauan saya pastinya. Saya juga baru tahu kemarin pak.”
“Terus kamu mau?” tanyanya yang aku rasa semakin menyudutkanku. Dia kenapa sih? Barusan baik nyapa aku. Kok sekarang omongannya pedes banget begini. Aku harus jawab apa?
Aku mau juga karena aku butuh pekerjaan, nyari kerja jaman sekarang tuh susah. Ga mungkin aku lepasin aja ketika dapet, paling tidak usaha maksimal dulu deh kalo memang tidak bisa baru aku pergi dari sini.
“Gini ya Zarina, kalau saya sarankan dalam hidup itu kita harus linear.” Pak Arshya kini tak lagi menatap layar hitam di depannya melainkan memutar kursinya menatapku
“Sejalur. Ditekuni, supaya kita bisa menjadi ahli di bidang itu.” Aku hanya menunduk tak berani menatap wajahnya. Hanya sesekali melirik kearah matanya namun tak lama. Kalimatnya seakan berarti aku tak sepantasnya disini. Aku tidak tahu apapun tentang posisi ini.
“Kalau kamu semasa kamu sekolah dulu mengambil jurusan Akuntansi, ya sekolah lanjutannya juga harus Akuntansi. Bekerjanya juga berkaitan dengan Akuntansi. Jangan belak-belok.” Jelas Pak Arshya. Aku tahu isi pembicaraannya semua benar. Tapi rasanya aku ingin menangis mendengarnya. Apa aku tidak boleh mencoba berusaha pak?
“Kamu akan susah membangun karakter kamu, kalau kamu masih mencari-cari bidang apa yang kamu minati. Anggap saja kamu sedang berkelana tapi kamu tidak konsisten dalam arah. Nanti kebarat terus ke utara terus balik lagi ke timur. Kamu tidak akan pernah sampai ditujuan kalau kamu masih bingung dalam menentukan arah.”
“Terus saya harus gimana pak?” tanyaku lirih
“Saya bahkan baru tahu kalau saya ditempatkan dibagian ini kemarin pak.” Lanjutku
“Yaah, karena kamu sekarang sudah disini. Ya dijalani saja. Karena kalau kamu keluarpun rasanya terlalu cepat.” Hah? Pak Arshya? Maksdunya berharap aku keluar gitu?
Sumpah ini orang uda cuek, mulutnya juga pedes. Yaa walaupun dia jawab kenyataan dan sedikit diperhalus. Tetep aja di to the point banget ngomongnya.
“Hmm iya pak. Kontrak saya juga Cuma 3 bulan doang, kalo bagus perpanjang kalo engga ya udahan.” Jawabku dengan berani
“Ya, sama kalo gitu. Dulu juga kontrak pertama saya 3 bulan.” Jawab Pak Arshya kemudian membalikkan kembali kursinya. Oooh perbincangan kita selesai rupanya. Karena dia mulai disibuki dengan pekerjaannya.
***
“Ini kamu kerjain ya. Nanti sore selesai. Bisa?” tanyanya yang berdiri agak merunduk disamping aku duduk sembari tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanannya menahan tubuhnya di meja.
“Hah sore pak?” aku melirik jam menggantung di sisi kanan ini baru jam 10 pagi. Lalu ku tatap kembali orang tersebut.
“Ngg, insya Alloh pak.”
“Oke” kemudian dia berlalu.
Jadi setelah sesi tanya jawab yang dibumbui sambal karena rasanya pedas disetiap perkataannya dan kemudian hening. Pak Arshya dan Pak Seno dipanggil oleh Pak Genta. Pak Genta adalah Manager untuk tim Electrical Engineer. Secara tidak langsung dia atasan kami. Setelah 15 menit berlalu mereka kembali. Dan Pak Seno mengajakku serta menyuruhku membawa seluruh barang-barangku ke ruangan sebelah, ruangan tersebut berisikan tim Purchasing. Ternyata disana ada 1 meja kosong lengkap dengan peralatan kerja.
Katanya untuk sementara aku disini. Well, itu ga apa. Setidaknya aku bisa belajar praktek langsung dan berselancar di Layar Hitam (re : Autocad).
Dan yang tadi kasih aku tugas perdana adalah Pak Arshya. Mungkin tadi mereka dipanggil untuk membicarakan tentang aku. Disaat Pak Seno mengantar aku ke departemen sebelah Pak Arshya menyiapkan Layout gambar yang harus aku pelajari dan selesaikan nanti sore.
Untungnya semasa aku di cabang, aku menyempatkan diri melihat Mas Raffa bekerja (drafter cabang). Dan sempat minta diajarkan. Yaah walaupun cuma sebentar tapi paling tidak Mas Raffa mau mengajariku. Meskipun sedikit paling tidak dia mau membagi ilmunya.
Karena disini, Pak Arshya benar-benar lepas tangan sama aku. Aku Cuma dikasih selembar kertas fotocopy-an cara cepat dengan menggunakan keyboard saat menggambar. Well, paling tidak itu membantu secara tidak langsung.
Jadi ini yang dimaksud sepupuku dulu saat aku bercerita bahwa aku sudah diterima bekerja, dia berkata ‘Welcome to the jungle, sist!’ . Ah memang, seperti hukum rimba. Yang lemah akan kalah, dan yang kuat akan menang.
Aku akan bertahan, dan berusaha. Aku harus ingat bahwa sudah cukup kedua orang tuaku membiayaiku. Aku harus bisa membiayai diriku sendiri mulai saat ini, kalau sudah bisa baru bantu orang tua membiayai adik-adikku.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 4 sore. Yeah, hari ini berjalan lancar. Meskipun agak canggung berada di departemen purchasing. Karena disana sangat berisik. Telepon berdering, proses tawar-menawar, mesin fax yang tidak berhenti bekerja, dan juga keyboard yang diketik dengan cepat. Belum lagi teriakan komplain karena barang yang diminta belum lah sampai daaaan sebagainya.
Hebat sekali mereka, bisa tetap bekerja fokus diantara kebisingan itu. Kalau di departemen engineering, drafter dan estimasi tadi tidak terlalu bising. Kebanyakan mereka sangat serius dan tidak berbicara satu sama lain. Sibuk menghitung, membuka katalog, buka gambar, yang menggunakan telepon hanya para manager karena mereka yang berkoordinasi juga dengan customer.
Hingga kemudian aku dengar sayup-sayup suara seseorang yang sangat familiar belakangan ini ditelingaku.
“Pang, gimana pang entar malem? Jadi ga?” ujarnya sambil memijit bahu seseorang yang ia panggil ‘pang’ sambil menyengir lebar.
“Waduuuh, gatau nih. Banyak kerjaan ini. Si Bos minta hari ini selesai. Mau dibawa besok katanya.”
“Yah lu gimana si pang. Kemaren kan lu yang ngajakin. Masa ga jadi badminton kita entar malem. Payah nih panglima” Ujarnya kecewa
Ooh panglima toh, kirain apa pang pang..
Eitss ini uda sore yak? Duh aku belom selesai lagi. Ini memang Cuma single line aja sih. Tapi nulis detailnya juga proporsional gambar yang lama. Berimajinasi itu gak gampang ternyata.
“Gimana Rin? Udah?” tanyanya padaku langsung ketika dia sampai disamping kananku
“Heeee, belom pak.” Ringisku sambil melihatnya
“Masa belom, coba saya lihat uda sampai mana.” Pak Arshya yang tadinya berdiri kini merunduk di dekatku mengarahkan matanya ke monitor di depanku
“Coba saya cek dulu” ujarnya sambil menegakkan tubuhnya lagi
“Ii, iya pak.. ” ujarku sambil terbata dan berdiri, memberi ruang untuknya menempati kursiku dan memeriksa pekerjaanku. Aku hanya memperhatikannya dari samping, tempat ia berdiri sebelumnya.
“Oke, setengah jam lagi selesai ya. Biar saya cek. Jadi besok belajar yang lain lagi.” Ucap Pak Arshya sambil berdiri
“Eeh yang bener pak?”
“Iya, cepet kamu selesaikan. Saya tunggu di meja saya.” Ujar Pak Arshya dan mulai melangkahkan kakinya. Mungkin mau keruangannya?
“Dulu gambar pertama saya ga se-lama kamu” aku tahu dia menyindirku. Ooh mau jatuhin mentalku dia, seharian ini ngomong pedes melulu. Padahal tadi sama si panglima uda bisa bercanda. Ko sama gue sensi amat.
***
Segini dulu ya teman-teman, semoga bisa menghibur. Kelanjutannya diusahakan sesegera mungkin.
Hahahha ya ampun pak Arshya itu nasehatnya kok pedes sih penuh sindiran lagi jadi kasian sma Zarina. Aku baru tau kelainan kulit yg di derita Zarina itu smpe segitunya ya mau ambil sidik jari aja susuh penyebabnya stress untk aku gak kena soalnya pas kecil smpt stress gara2 gak dibolehin main sih hehe
Ditunggun kelanjutannya..
Aduhh typo
Untung aku gak kena mksdnya
Aduhh pengn reply eh malah disini, hehe
Sippp, ga apa2 kok ka hehe
Kita2 mah sabar nunggu cerita up eaaa
Aihhhh di cerita ini bnyk bpk2 yak hihi, ngeh ny sma pak Arshya aja eaaa tp ya mulutny sambalado gtu, terasa pedas terasa panasssss haha malah nyanyi
Mungkin Arshya ngomong bgtu buat bikin mental Zarina kuat ya, ambil positifnya aja dah
Iya ya, kasian zarina ampe kena penyakit exim, tp emang bnr ga boleh stress klo sakit itu yg ada malah tmbh parah yak huhu
Ditunggu kelanjutanny
Semangat trs ya