Vitamins Blog

One Night – Ch. 8

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Biarkan aku membawa kembali calon istriku Julian. Kita tidak harus membuat keributan di tempat seramai ini, apalagi orang-orang akan tahu kalau akulah yang lebih berhak untuk mengambil milikku.” Andre berucap dengan tenang, berbeda sekali dengan postur tubuh yang siap membantai Julian kapanpun Julian menolak permintaannya.

 

“Tentu saja akan ku kembalikan. Kamu benar, kamu lebih berhak.” Julian mengangguk, menatap Andre dengan datar. “Tapi janjikan padaku kalau kamu tidak akan menyakiti dia atau membuat dia takut sedikitpun.” Julian melanjutkan dengan ucapan yang lebih berani.

 

Andre menatap aku yang hanya bisa tertunduk dengan rasa bersalah. “Apa hak kamu untuk meminta sesuatu yang harus atau tidak aku lakukan. Kamu hanya orang asing di sini Julian, kamu hanya teman lama yang datang tiba-tiba seolah waktu masih tetap ada di tempat yang sama.” Andre menunjuk Julian dengan kejam, membuat Julian sempat tercengang sebentar tapi dengan cepat kulihat Julian menyunggingkan senyum.

 

“Waktu boleh berubah Andre! Tapi Luna masih tetap sama, dia masih tetap akan berada di sampingku. Bahkan walau kamu sekalipun mencegah dirinya.” Julian tersenyum menang.

 

Andre melangkah mendekat membuat aku langsung memisahkan diri dari Julian dan hendak melangkah kearah Andre. Tapi tangan Julian lebih dulu mendekat dan memegang lenganku tidak mengizinkan aku untuk melangkah. Aku menatap Julian dengan memohon.

 

“Seharusnya kamu tahu kalau kamu tidak mengenalku Andre. Bahkan kamu tidak tahu sampai sejauh mana aku bisa melindungi sosok yang berarti untukku.” Julian terlihat sangat serius dengan ucapannya membuat aku menatap Julian tidak mengerti.

 

“Yang aku tahu kamu hanya teman Lucas dan Dea. Mungkin kamu benar kalau aku tidak tahu apapun tentang kamu, tapi kamu juga tidak tahu apapun tentang aku.” Andre menunjuk dirinya sendiri. “Kamu juga tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk wanitaku. Bahkan mungkin aku bisa melakukan hal yang lebih dari yang bisa kamu lakukan.” Nada yang terucap dari Andre tajam membuat aku tak percaya kalau dia baru saja menyebut aku wanitanya?

 

“Kita lihat saja.” Julian menantang.

 

Aku menepis tangan Julian membuat Julian yang masih fokus dengan Andre langsung mengarahkan tatapan kearah aku yang menatapnya marah.

 

“Kamu menyakiti dia sialan!” Andre mengumpat. Langsung mendekat kepadaku dan meraih pinggangku dan menempelkan tubuhku di tubuhnya. Langsung melihat lenganku yang memerah. “Kamu tidak apa-apa?” Andre bertanya.

 

Aku menggeleng.

 

“Ini terakhir kalinya kamu bisa menyakiti wanitaku Julian. Terakhir kali yang membuat aku tidak akan membalas kamu.” Ancaman Andre entah kenapa membuat Julian hanya ternganga. Matanya hanya terus menatap lenganku yang ku usap-usap karena panas akibat cengkramannya.

 

Bahkan saat kami pergi meninggalkan Julian, laki-laki itu hanya terus menatap tanpa bisa berbuat apa-apa. Ada rasa bersalah di matanya membuat aku yakin kalau dia tidak sengaja mencengkram lenganku dengan sekeras itu. Entah kenapa aku merasa aneh dengan Julian, apalagi saat dia bilang aku berarti. Bukankah ini hanya sandiwara? Julian memang pandai memainkan perannya.

 

***

 

Andre kembali menghembuskan nafas dengan gusar, entah ini sudah yang keberapa kali tapi aku tahu butuh banyak hembusan nafas lagi untuk membuat laki-laki yang mudah marah ini menjadi tenang. Beberapa hari ini aku benar-benar melihat sosok yang berbeda dari Andre, membuat aku tidak mengerti dengan perubahan emosi laki-laki yang masih mencengkeram setir kemudinya. Seolah jika dia tidak berpegangan di sana dia tidak akan bisa mengendalikan diri.

 

Aku sendiri hanya mampu menjalin jemariku dengan tidak tenang, melihat parkiran yang cukup lenggang membuat aku takut kalau Andre akan hilang kendali. Dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya di lakukan laki-laki ini.

 

Andre mengangkat wajahnya setelah hembusan nafas kembali terdengar. Aku tahu Andre tengah menatapku tapi aku tak cukup berani balas menatap Andre saat mata lelaki itu mampu membuat kehancuran akan terasa nyata. Aku tidak pernah ini Andre marah tapi tanpa sengaja aku selalu membuatnya hilang kendali.

 

“Kamu benar-benar menguras kewarasanku Luna.” Suara Andre dingin membuat aku semakin tertunduk dalam. “Tatap aku Luna! Kamu benar-benar tidak ingin mengatakan apa-apa?”

 

Aku mengangkat wajah dengan ragu, langsung melihat Andre yang menatapku dengan pandangan yang sulit terbaca. “Maaf.” Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan sekarang.

 

Andre berdecak tidak sabar. “Bukan maaf Luna, aku tidak membutuhkan itu. Aku hanya ingin kamu menjanjikan padaku kalau kamu tidak akan pernah menemui pria berengsek itu lagi.” Andre kembali mengumpat membuat aku yakin kalau aku memang membuat dia tidak waras. Entah apa masalahnya dengan Julian hingga membuat Andre seperti ini. Julian juga aneh.

 

Aku mengalihkan tatapan kearah kawasan parkir yang kosong. Benar-benar tak mampu untuk sekedar beradu tatap biasa dengan Andre.

 

“Dia menyakiti kamu Luna!” Andre mengeram membuat aku langsung menatap Andre dengan antisipasi. “Aku tidak suka ada orang yang menyakiti kamu. Aku masih ingat dia teman kamu makanya aku tidak melakukan apapun, kalau tidak jangan harap dia bisa lolos begitu saja.” Nada mengancam Andre membuat aku merinding seketika.

 

“Aku tidak akan menemui dia lagi.” Jawabku cepat membuat Andre langsung terlihat tenang.

 

“Bagus.” Setelah menatap aku sebentar, Andre mulai menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobil dengan pelan. Meninggalkan area parkir yang lenggang.

 

Suara dering ponsel membuat Andre langsung mengambil ponsel yang ada di dashboard dan menekan layar hijau di layarnya. Aku mengalihkan tatapan tidak berminat menguping pembicaraan Andre dengan entah siapapun yang menelponnya.

 

“Apa?!!” Aku menatap Andre yang mulai terlihat takut dan gusar membuat aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. “Aku akan segera kesana.” Andre langsung meletakkan ponsel di dashboard dan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang ada di batas normal.

 

“Ada apa?” Aku bertanya tidak ingin di buat bertanya dalam hati.

 

“Vio bertemu dengan Sakti, mereka bertengkar. Dan akhirnya karena marah Vio mengiris pergelangan tangannya sendiri.” Andre menjelaskan dengan terburu-buru membuat aku malah kasihan pada Vio.

 

***

 

Aku mencoba mengimbangi kecepatan Andre berlari tapi aku benar-benar kewalahan dan akhirnya aku hanya mengikuti saja lorong rumah sakit. Untung saja aku sempat mendengar di kamar mana Vio di rawat jadi aku tidak perlu sibuk mencari.

 

Aku menaiki tangga dan berjalan kearah kanan lorong, langsung melihat nomor kamar yang memang nomor kamar Vio. Kulihat tidak ada orang di luar jadi aku berpikir semua orang ada di dalam dan tanpa mengetuk pintu aku langsung mendorong pintu geser itu dan masuk.

 

Mataku mencari dan langsung menemukan Andre tengah di peluk oleh wanita itu dengan erat. Suara tangisan bercampur dengan rentetan keluhan Vio membuat aku tidak bisa mengerti maksud dari ucapannya itu.

 

“Aku akan tetap bersama kamu, apapun yang terjadi aku akan selalu ada untuk kamu. Aku tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh kamu lagi.” Andre membuat aku tergugu, bibirku kelu dan yang aku lihat tanganku sampai bergetar. Apa maksud ucapan itu?

 

Aku melangkah mundur, saat sudah ada di depan pintu aku langsung berlari pergi meninggalkan ruangan itu dengan suara Andre yang masih betah bergaung di telingaku. Apapun arti dari ucapan itu tidak akan mampu membuat aku berpikir kalau itu berarti positif buatku.

 

Aku terus berlari menuruni tangga, bahkan tidak kuhiraukan beberapa orang yang telah aku tabrak. Aku hanya ingin berlari, berlari dari semua rasa sakit dan kecewa ini. Aku hanya ingin pergi dari luka yang membuat aku menyedihkan seperti ini.

 

Seseorang mencengkram tanganku membuat aku langsung terhenti sesaat dan langsung berbalik hanya untuk menemukan satu wajah yang akan membuat aku tersenyum kalau saja luka itu tidak terasa sangat nyata. Tapi yang aku lakukan adalah menangis menatap dirinya yang hanya balas menatap aku dengan bingung.

 

“Apa yang terjadi Luna? Kamu tidak senang aku kembali?” Suaranya masih sama bahkan kekhawatiran itu masih juga sama membuat aku merasa bersalah untuk tidak menjawabnya.

 

Aku menggeleng, suaraku tidak akan bisa normal jika aku sampai menjawabnya.

 

“Kemarilah!” Nathan menarik aku dalam dekapannya, membuat aku bisa merasakan hawa panas dari laki-laki ini dan aku menyukainya. Aku selalu suka berada dalam pelukan ini, selalu suka saat dia mengelus punggungku juga meletakkan dagu di kepalaku. “Semua akan baik-baik saja Luna. Kamu tidak sendiri lagi.” Dan aku juga suka dengan kata-kata menenangkan yang selalu di berikan Nathan padaku.

 

***

 

“Kamu tinggal di sini?” Aku bertanya setelah cukup puas menatap keseluruhan isi dari apartemen yang cukup terletak di kalangan elit. Aku kira Nathan berbohong saat dia bilang kalau dia memiliki apartemen di tempat ini. Tapi meragukan Nathan adalah cara terkahir untuk sosok yang tidak mengenalnya.

 

“Kamu suka?” Nathan bertanya setelah lebih dulu meletakkan mug kopi di depan meja bar mini miliknya.

 

Aku mengambil mug kopi itu dan mencium aromanya. Nathan masih ingat dengan kesukaanku. Aku meminum kopi itu sedikit dan memberikan Nathan senyum puas yang membuat Nathan balas tersenyum kearahku.

 

“Jadi bagaimana, kamu suka?”

 

Aku mengangguk. “Tempat ini memang cocok dengan hidup glamor kamu.” Jawabku jujur membuat Nathan melewati meja dan ikut bergabung denganku di kursi tinggi.

 

“Bagaimana keadaan Mama?” Nathan bertanya membuat aku mulai mengingat masalalu pahit tentang kisah masalalu kami.

 

“Mama baik. Lara juga baik, dia selalu menanyakan tentang kamu.” Aku menjawab tenang membuat Nathan mulai menunjukkan sikap antisipasi.

 

“Kamu masih dengan tujuan menjodohkan aku dengan Lara.” Nathan langsung menyuarakan semuanya tanpa mau repot-repot menyembunyikan hal yang sudah menjadi rahasia umum di dalam keluarga kami.

 

“Semua orang setuju dengan Lara Nathan. Dia menunggu kamu sudah lima tahun lamanya dengan setia, apa itu tidak cukup untuk memberikan dia kesempatan?” Aku mulai melihat kegusaran dalam diri Nathan, membuat aku mulai sadar harusnya kami tidak membahas hal sesensitif ini di pertemuan pertama kami.

 

Nathan bangun dari kursinya, langsung menjambak rambut lebat miliknya dengan frustasi yang membuat aku menatapnya sakit. Nathan selalu bisa membuatku merasa bersalah juga aneh dalam waktu yang bersamaan.

 

Nathan menatapku dengan mata hazelnya, langsung membuat aku bisa melihat tatapan lima tahun yang lalu. Tatapan yang selalu membuat aku berpikir kalau kami tidak akan pernah bisa berada dalam situasi yang normal.

 

“Apa aku benar-benar tidak memilik tempat di hati kamu Luna? Walaupun kita bersaudara, apa kita tidak memilik kesempatan untuk bersama?” Dan ucap itu ku dengar juga. Sudah lima tahun lamanya ucapan itu selalu terngiang di kepalaku tanpa mau menghilang, tapi sekarang semuanya terdengar lagi membuat beban aku seolah bertambah berat saja.

 

4 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Andreeeeee ?????
    Kenapa ngomong gtu ke vio!!!! Didenger pula ama Luna, aduhhhhh gmn Luna ga sedih cbaaaa huhuhu
    Jdi Julian tuh ada rasa kah sm Luna dri dlu???
    Ehhh ada cogan bru,beuhhh Luna bahagia amat dah idupnya dikelilingin cogan2 hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs ya ka

  2. Waah kereenn. Tp cuma dikiitt?

  3. Sipp Andre minta dirukiyah nihh atau disembur =_=
    Vio apalagi duhh, bacanya aku jadi emosi sendiri kannn -_-
    Yaudahh Luna kamu sama Julian atau Nathan aja ;) hihihi~

  4. fitriartemisia menulis:

    ANDRE MINTA DISATE KAYAKNYA YAA