Title : Too Late
Author : Kalfa – keyxqueen
Genre : Romance, Sad
Length : Oneshoot
Rated : T-14
WARNING: This story contain with typo(s), abalism, and full gajeness.
I know, I know, she’s gotta be out there, out there
I know, I know she’s gotta be
Maybe I’m wrong
Maybe I’m right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I’ve known you all my life
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe.
***
Langit di sore hari kali ini mungkin bisa di bilang abstrak bagiku. Tidak panas dan tidak jugaterlalu mendung. Ini sudah hampir memasuki musim semi. Musim semi. Daun maple akan jatuh berguguran di pekarangan rumah dan terlihat sangat cantik jika dilihat di senja hari. Hmm, dan aku tak sabar untuk itu.
Aku melangkah dengan cepat melewati rumah demi rumah. Aku berjalan sambil menikmati desiran angin yang tampak menari-nari di sekitarku yang membuat beberapa helaian rambutku berterbangan. Angin musim semi. Entahlah, aku sangat senang dengan musim semi. Libur sekolah selama dua minggu menjelang musim semi dan menikmati daun maple yang jatuh berguguran di pekarangan rumah sambil menyantap secangkir cokelat panas.
Lamunan kuterbuyarkan begitu aku sudah sampai di depan rumahku. Aku tak begitu memperhatikan jika rumahku ternyata lumayan besar dan tingkat. Aku mulai membuka pagar rumahku yang besar itu lalu security di rumahku keluar dari pos penjagaannya dan tersenyum ramah padaku. “Baru pulang, Miss?” dan aku menjawabnya dengan anggukan singkat lalu dia menjawabnya dengan anggukan juga.
Aku kembali berjalan memasuki halaman rumah ku dan menemukan mobil Sport kuning cerah yang terparkir rapih di garasi. Ada tamu di rumah? Siapa? Aku langsung berlari tergesa-gesa menuju pintu rumah lalu membukanya sehingga terdengar decitan pintu yang terbuka dengan begitu nyaring sehingga aku dapat melihat dua lelaki menoleh kearahku begitu aku sampai di dalam rumah.
Josh dan temannya…? Siapa lelaki itu? Aku belum pernah bertemu dengannya dan kupikir Josh belum pernah membawanya ke rumah. Ddari sekian banyak teman Josh, yang aku tahu hanyalah Jack, Gerrald, dan juga Adam. Sisanya, aku tak mengenal begitu dekat. Aku berjalan menuju ruang tengah lalu Josh dan temannya berhenti bermain PlayStation dan bangkit dari sofa lalu menghampiriku.
Oh astaga, jantungku berdegup kencang kali ini. Ada apa denganku?! “Karen, aku yakin bahwa kau sedang bertanya-tanya siapakah lelaki ini. Dia temanku dari Canada dan kemarin dia baru saja pindah kemari dan rumahnya juga tak begitu jauh dari rumah kita. Namanya, Dylan Jacobs. Dylan, ini adikku yang pernah ku ceritakan padamu.” Lalu Dylan tersenyum ramah padaku sambil mengulurkan tangannya yang seputih porselen.
“Hai Karen! Aku Dylan.” Aku meneguk ludah lalu menjabat tangannya. Tangannya begitu hangat dan juga lembut. Tanganku terasa nyaman di dalam dekapan tangannya.
“Senang bertemu denganmu!”Aku melepas jabatan tanganku darinya lalu menunduk tersenyum malu dan menatap jari-jari tanganku yang terlihat tak begitu mengkhawatirkan. Aku bisa merasakan bahwa ia mengangguk kali ini.
“Begitupun denganku.”Aku menengadah menatap sepasang bola mata cokelat hazelnya yang begitu indah dan mempesona. Aku bersumpah, bahwa matanya benar-benar menghipnotisku dalam sekali hitungan detik. Aku tak tahu bahwa kali ini aku begitu nervous untuk pertama kalinya hanya karena bertemu dengan teman Josh.
“Ng―Kurasa aku harus pergi ke kamar sekarang.” Ujarku malu-malu lalu Josh dan Dylan mengangguk setuju dan aku langsung berbalik menuju tangga yang menghubungkan langsung ke kamar ku. Aku mulai menaiki anak tangga dengan langkah yang cepat dan aku bisa merasakan Dylan masih menatap punggungku yang kini makin menghilang dari balik tembok.
Aku melangkah masuk ke kamarku dan menutup pintu kamarku dan menghirup udara di sekitar kamarku yang beraroma menenangkan dan mencoba menstabilkan detak jantungku yang berdegup kencang kini mulai kembali normal. Sialan. Kenapa tadi aku merasa begitu nervous untuk yang pertama kalinya pada teman Josh? Dari sekian banyak teman Josh yang pernah ku temui, hanya Dylan lah yang mampu membuatku merasa meleleh hanya dengan tatapannya.
Oh tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh menyukai Dylan dan apabila Josh tau akan hal ini, Josh sudah pasti akan meledekku habis-habisan. Dan aku tak pernah merasakan hal yang semacam ini. Apakah ini yang di sebut jatuh cinta pada pandangan pertama?
***
Aku sudah selesai mengganti pakaianku dengan T-shirt dan sweatpants ku. Aku kehausan dan aku butuh minum. Aku melirik meja belajarku dan baru menyadari bahwa botol air mineral yang kubawa tadi malam ke kamarku telah habis. Sebegitu hauskah aku sehingga aku mampumenghabiskan botol air mineral yang berisi satu liter? Geez, aku bergidik ngeri entah membayangkan apa lalu mulai bangkit dari kasur dan berjalan menuju dapur untuk menemukan sebotol jus jeruk. Kuharap ada sebotol jus jeruk di dalam kulkas.
Aku memutar kenop pintu kamarku lantas mulai menuju tangga dan menuruni anak tangga. Aku melirik ke arah sofa dimana Dylan dan Josh sedang bermain PlayStation tadi saat aku pulang sekolah. Namun, aku tak menemukan sesosok Dylan di sofa. Yang aku temukan hanyalah Josh yangsedang asyik bermain game Nascar di PlayStation-nya. Dan untuk sejenak, aku merasa kehilangan saat mengetahui tak ada Dylan disana. Ada apa denganku sih sehingga aku merasa kehilangan jika Dylan tidak ada disini?
Aku melangkah melewati Josh yang sedang asyik dengan PlayStation-nya tanpa menghiraukan ku yang lewat dan aku berjalan menuju dapur. Bayangkanku tak pernah lepas dari sebotol jus jeruk yang tampak segar dan menanti seseorang untuk meminum isinya. Namun lamunanku terbuyarkan dengan adanya seseorang yang sedang mencari minuman di dalam kulkas lalu sepasang bola mata hazelnya tampak kaget melihatku yang sedang menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi.
Geez, aku bisa merasakan bahwa ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku sehingga terasa menggelitik lalu jantungku kembali berdegup kencang seperti tadi. Astaga, ada apa dengan diriku?!
“Hmm, aku kehausan tadi dan Josh menyuruhku untuk mengambil sekaleng soda di kulkas. Kuharap kau tak keberatan akan hal itu.” Dylan menggaruk tengkuknya sejenak lalu tersenyum miring. Ia seperti maling yang ketangkap basah sedang merampok sebuah rumah mewah. Aku menjawab perkataannya hanya dengan mengangkat bahu kubahwa itu tak masalah.
Lalu dengan spontan aku menghampirinya yang sedang berdiri dengan garis kerutan di dahinya, bertanya-tanya apa yang akan kulakukan. Tentu saja mencari minuman segar di dalam kulkas. Dia menggeser posisinya berdiri dengan ke samping kulkas lalu meletekkan sikunya di meja bar sarapan. “Jadi, kau suka membaca novel yang ceritanya seperti apa?” Oh, dia memulai percakapannya. Dan tunggu sebentar….darimana ia bisa tahu bahwa aku senang membaca novel? Oh! Aku tahu, pasti ini dari si keparat Josh!
Aku mengangkat bahuku sejenak, “Hamlet. Pride and Prejudice. Atau The Sky Is Falling.” Lalu dia meneguk sekaleng softdrink dengan hausnya dan itu tampak begitu seksi. Entah apa yang membuatnya seksi. Entah jakunnya yang terlihat naik turun. Aku meneguk ludahku sambil menatapnya melongo. Lalu ia kembali menyeka mulutnya yang kelihatan basah karna beberapa titik air soda yang menempel di sudut-sudut bibirnya. Aku langsung menggeleng cepat.
“Whoa! Kau suka membaca novel seperti Hamlet?” Tanyanya takjub padaku. Lalu aku mengalihkan pandanganku dengan mencari sebotol jus jeruk di dalam kulkas. Ya, itu adalah tujuan utamaku kemari. Bukannya melihat Dylan meneguk sekaleng softdrink-nya. Gotcha! Aku menemukan sebotol jus jeruk lalu membuka tutup botolnya dan meneguknya seperti orang kehausan. Ya, aku memang benar-benar kehausan setelah berjalan kaki beberapa mil dari halte bis menuju rumahku.
Aku lalu menangkap kedua bola mata coklat melelehnya itu yang ternyata sedang asyik menatapku minum seperti aku menatapnya minum sekaleng softdrink tadi. Uhm, tatapan itu membuatku nervous. Aku berhenti meneguk sebotol jus jeruk lalu menatapnya heran. “Memangnya aneh jika aku membaca novel semacam Hamlet?”
Ia mengangguk, “Tentu saja aneh. Kupikir remaja sepantaranmu lebih memilih membaca buku yang ceritanya tentang kisah cinta ala remaja jaman sekarang, bukannya cerita kuno macam Hamlet. Atau paling tidak menonton film drama yang menggelikan.” Ia menggeleng pelan dengan geli.
“Aku bukan seperti kebanyakan gadis remaja yang menghabiskan waktu hanya untuk film drama yang konyol seperti itu.” Tiba-tiba mood ku jadi hancur seketika begitu ia berbicara seperti itu. Kenapa bisa-bisanya ia menganggap aku seperti gadis remaja kebanyakan?
“Hmm, kupikir kau seperti kebanyakan gadis remaja jaman sekarang. Kalau begitu aku minta maaf.” Ia mengulurkan tangannya, meminta maaf seperti tadi saat ia mengulurkan tangannya padaku saat kami berkenalan dan tiba-tiba raut wajahnya seperti bersungguh-sungguh meminta maaf. Astaga, ini sungguh berlebihan. Tapi, jujur aku memang sempat kesal padanya jika ia pikir bahwa aku seperti gadis remaja kebanyakan.
“Well, lupakan yang tadi!” Dia tersenyum malu dan begitupun aku. Lalu semuanya menjadi hening di dapur. Ini membuat kami canggung.
“Hey Dylan, kau sudah dapatkan sekaleng sodanya?” Itu Josh! Demi Tuhan, aku sangat berterima kasih padanya dalam hati karena sudah membuat keheningan menghilang diantara kami.
“Dude, apa yang kau lakukan disana hanya melihatku tanpa ekspresi? Ada yang salah? Dan oh! Kau harus ikut aku ke ruang tengah dan melihat mobil balapku ada di posisi pertama! Menakjubkan bukan? Aku tunggu kau di sofa!” Seru Josh lalu dia kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas panjang karena menahan napas tadi.
“Aku harus ke ruang tengah.. Bye!” Dan Dylan berbalik meninggalkan ku di dapur sendirian dengan keadaan tubuh membeku tanpa ekspresi menatap punggungnya yang sekarang telah menghilang di ujung belokan menuju ruang tengah. Sial―Sialan! Kenapa aku jadi begitu grogi di dekat dia? Cara dia menatapku, cara dia berbicara padaku, dan cara dia meminta maaf padaku tadi…. dan jujur saja, aku benar-benar tak pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta, jika ini apa yang di maksud jatuh cinta, maka aku akan… Ah entahlah.
—
Hari ini adalah hari minggu dan aku baru saja bangun dari mimpi abstrak ku. Aku mengerjapkan mata ku sejenak mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari ranjang. Aku menoleh ke samping melihat jam digital di atas meja yang menunjukkan pukul 08.25 am. Woah, mungkin ini adalah pertama kalinya aku bangun pagi di hari minggu. Biasanya aku akan bangun lewat dari jam itu di hari minggu. Ada apa dengan diriku sih?
Dylan Jacobs
Batin ku menggumamkan nama itu spontan. Woah, ini aneh. Kenapa akhir-akhir ini aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana ia tersenyum padaku, menjabat tanganku, caranya menatapku, dan semua yang ada dalam dirinya. Dan ini sangatlah aneh bagiku. Aku baru saja mengenalnya kemarin dan seketika aku jatuh hati pada dirinya. Dan sepasang bola mata cokelat madunya yang menatapku begitu intens. Aku berdecak lalu menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mungkin menyukai Dylan.
Aku tak menyadari bahwa aku kali ini tersenyum layaknya seorang idiot di ranjang ku. Perasaan ini begitu asing bagiku karena aku belum pernah merasakan perasaan yang seperti ini. Lalu aku mendengar suara Josh di lapangan dekat pekarangan rumah. Dia sedang bersama siapa? Aku lalu bangkit dengan cepat dari ranjangku dan menemukan sesosok lelaki yang hanya mengenakan kaos V-neck putih dan juga sweatpants berwarna kuning cerah dengan sepatu nike. Dylan. Dia begitu mempesona saat mengenakan pakaian itu dan juga aksinya yang sedang mendribble bola basket di lapangan.
Aku hanya tersenyum dari balkon kamar ku menyemangati Dylan dalam hati. Josh mencoba merebut bola dari Dylan namun nihil, Dylan sudah lebih dulu memasukkan bola ke dalam ring Josh. Dylan tersenyum senang lalu Josh hanya berdecak frustasi merasa kalah dan aku dengan spontannya langsung menyemangati Dylan dengan menyebut namanya. Seketika Josh dan Dylan menengadah ke atas dan menatapku. Dylan tersenyum senang lalu melambaikan tangannya padaku dan sementara Josh hanya mengernyit dengan tingkah ku ini.
Oh tidak, pipiku berubah memerah begitu malu ketika begitu semangatnya aku hingga menyoraki nama Dylan. Dylan hanya memberiku kode dengan tangannya yang mengisyaratkanku untuk turun ke bawah. Aku hanya mengangkat kedua bahuku lalu menurut dan aku masuk ke ranjang mencoba mencari handuk kecil untuk Dylan.
Dan setelah aku mendapatkannya, aku segera lari menuju ke tangga dan menuruni anak tangga dan melangkah cepat ke lapangan dekat pekarangan rumah. Geez. Jantungku hampir turun ke perut kali ini. Aku baru saja melihat Dylan sedang membasahi wajahnya dengan air mineral yang kini telah membasahi seluruh wajahnya dan bagian dada bidangnya. Kaosnya basah dan itu memperlihatkan lekukan otot tubuh Dylan. Aku meneguk ludahku untuk kesekian kalinya. Ini sangat…..menggoda.
Dylan menggelengkan kepalanya lalu menyeka titik air di dahinya. Lalu sebuah suara menyadarkan ku tiba-tiba. “Karen! Apa yang kau lakukan disana? Cepat kemari!” Itu bukan sebuah pertanyaan dan sekaligus sebuah perintah. Aku mengangguk samar lalu menghampiri Dylan dan Josh yang tengah duduk di tengah lapangan. Dylan menengadah ke atas menatap langit yang tampak begitu cerah hari ini.
Aku berjongkok disamping Dylan sambil memandangi wajahnya yang menawan dari samping. Hidungnya yang nampak mancung, dengan sepasang bola mata cokelat madu, dan bibir yang begitu menggoda. Aku menggeleng lagi untuk kesekian kalinya. Karen! Apa yang kau pikirkan terhadapnya?! Alam bawah sadarku tampak menggeram sejenak. Lalu aku berdecak.
“Ha―Hai..” Aku mencoba menyapa Dylan namun gagal, suaraku terdengar terbata-bata dan juga terdengar grogi, mungkin. Dylan tersenyum padaku. “Apa yang kau bawa?” Dia duduk menghadapku kali ini. Sialan. Perut ku terasa bergejolak dan merasakan ada ribuan kupu-kupu terbang mengelilingi perutku dan jantungku kali ini berdegup tak stabil seperti biasanya jika bertemu Dylan atau ketika sepasang bola mata cokelat madunya sedang menatap kedua bola mata cokelat gelapku.
“Ak―aku.. Ng―Membawakanmu handuk kecil untuk menyeka keringat mu.” Aku terbata-bata lagi namun akhirnya sedikit bisa menjawab pertanyaannya itu. Lalu dia melirik ke arah tanganku sambil mengisyaratkan ku untuk mengelapnya. Argh, dia ingin membuatku mati secara perlahan, ya? Aku bagaikan mentega di atas wajan yang lama kelamaan akan meleleh di atas wajan ketika kedua bola mata cokelat madu itu sedang menatapku intens dan begitu dalam.
“Keberatan untuk menyekanya, Karen?” Dia mengerling jahil padaku. Oh, dia sedang menggodaku, bukan? Aku menggeleng pelan lalu dengan tangan yang sebeku es tanganku memegang erat-erat handuk kecil itu dan perlahan mulai menyeka titik air keringat yang ada di pelipisnya lalu pipinya lalu dagunya lalu……tangan Dylan memegang pergelangan tanganku erat.
Ah sialan, kakiku gemetar bukan main, apalagi dengan tanganku yang sedang di pegangnya. Tatapannya terkunci pada sepasang bola mata cokelat gelapku. Tatapannya begitu intens dan juga meneliti, seakan sedang mencari sesuatu dalam mataku. Lalu dengan perlahan namun pasti, Dylan mempersempit jarak diantara kami.
Sial, sial, sialan. Jantung ku hampir mencelos keluar dari rongganya kali ini. Apa yang ingin Dylan lakukan padaku?? Geez. Aku menggigit bagian bibir bawahku dengan keras sehingga menimbulkan bercak putih karena gigi ku. Lalu suara Josh menyadarkan kami berdua.
“Dude, apa yang kaulakukan?” Lalu dengan spontan Dylan berhenti dan menoleh ke arah Josh dan ia mengernyit pada Josh. Sialan, pipiku bersemu kemerahan kali ini. Apa yang baru saja Dylan ingin lakukan padaku? Jika saja Josh tidak bergumam sama sekali, mungkin sekarang bibir ku sudah ada di atas bibirnya. Oh tidak, tidak, tidak. Apa yang kau pikirkan, Karen?! Alam bawah sadarku kembali menggeram padaku. Aku menggeleng perlahan.
Dylan bangkit dari posisi duduknya lalu menggaruk tengkuknya yang mungkin terasa tak gatal lalu dengan malunya dia berkata, “Tidak ada apa-apa, dude! Tenang saja! Itu hanya gerakan spontan!” Aku yakin bahwa kali ini Dylan juga merasa malu luar biasa seperti ku. Lalu aku ikut bangkit menghadap Josh lalu Dylan secara bergantian. “Aku harus kembali ke kamar untuk mandi! Bye!” Dan dengan pipi masih bersemu kemerahan, aku lari menghilang dari pandangan Josh dan Dylan tanpa harus menunggu jawaban mereka.
—
Ini sudah seminggu aku dan Dylan tampak begitu dekat sekali. Kami berdua selalu berangkat dan pulang sekolah bersama walaupun ia pergi kuliah sedangkan aku ke High School, kupikir itu tak masalah. Ia selalu menjemputku tepat waktu dan ia dapat menggantikan posisi Josh yang biasa mengantar jemputku ke sekolah. Dan aku senang itu terjadi. Dylan juga menjadi sering datang ke rumah hanya untuk mengobrol denganku, membantuku mengerjakan tugas sekolah, atau bermain PlayStation dengan Josh.
Dan sekarang aku sedang melihat beberapa pesan singkat yang romantis dari Dylan. Walaupun kami tidakberpacaran, Dylan memperlakukan ku seperti aku adalah pacar-nya. Kami belum bisa mengungkapkan perasaan masing-masing kami satu sama lain. Aku juga tak berpikir bahwa ia menyukai ku bahwa pada dasarnya adalah aku kini hanya menganggap-nya sebagai kakak ku selain Josh.
Saat aku sedang asyik mengamati satu persatu pesan singkat-nya, aku merasakan getaran yang samar dari ponsel ku yang menandakan bahwa terdapat satu pesan masuk. Dari siapa itu? Aku langsung men-scroll ke atas untuk mencari tahu siapa yang mengirimi pesan singkat itu, lalu tertera nama Dylan di paling atas inbox bahwa dialah yang ternyata mengirimku pesan singkat, tanpa banyak basa-basi aku langsung membuka pesan singkat tersebut.
From: Dylan♡
Karen, I have to tell you something..
Apa yang ingin ia bicarakan padaku?? Lalu aku membalas-nya dengan cepat dan singkat pada Justinlalu menekan tombol ‘send’
To: Dylan♡
What do you want to say, Dylan?
From: Dylan♡
I doubt you will listen to me..
To: Dylan♡
I will, Dylan.. just tell me what do you want to say to me?
From: Dylan♡
I love you.. I don’t know why I love you.. I just love you. Aku tahu ini terlalu cepat bagimu tapi kurasa aku tak perlu menunggu waktu yang lama untuk mengatakannya padamu. Aku menyukai semua yang ada pada dirimu.Would you be my baby girl?
Aku merasakan perutku kini bergejolak bukan main yang menyalurkan rasa mual yang begitu kentara. Apakah Dylan baru saja menyatakan perasaan-nya padaku?? Oh tidak. Aku merasa bahagia sekaligus senang mengetahui itu namun di sisi lain, kurasa ini salah. Aku tak bisa mencintai Dylan. Aku hanya tak bisa. Usiaku yang jauh lebih muda darinya, dan aku hanya tidak bisa mengatakan ‘ya’ untuk ini.
Aku belum bisa menerimanya. Aku masih labil dan harus mempertimbangkan lebih jauh untuk ini…dan ku pikir perasaanku selama ini padanya hanyalah sebatas suka yang biasa-biasa saja. Buktinya, satu minggu belakangan ini, aku tak lagi merasakan perasaan aneh saat aku pertama kali bertemu dengannya, dan yang lebih mengagetkan lagi adalah, aku bahkan sudah menganggapnya sebagai kakak ku sendiri selain Josh. Dia hampir sama berlaku seperti Josh, hanya saja Josh kakak kandung ku.
Aku tak bisa menerima Dylan. Tidak. Tidak sekarang, kupikir. Lalu apa yang harus ku lakukan untuk mengatakannya pada Dylan? Aku yakin Dylan pasti akan kecewa jika mengetahui hal ini. Lalu aku harus berbuat apa? Aku juga tak bisa menerimanya sedangkan sekarang ini perasaan ku terhadapnya kini telah biasa-biasa saja. Aku tak bisa membuatnya menjadi pacarku. Aku hanya tak bisa.
Aku harus berbuat apa?? Oh Ya Tuhan. Apakah aku harus menjauhi-nya? Entahlah. Ku kira itu adalah jalan keluar yang satu-satunya harus ku lakukan.
Menghindari Dylan mulai detik ini.
—
1 Bulan Kemudian…
Sekarang adalah satu bulan setelah aku tak bertemu dengan Dylan lagi…dia menghilang. Setelah dia menyatakan perasaannya padaku lewat pesan singkat dan aku tak menjawabnya dan aku mencoba menghindarinya walaupun aku tahu ia masih belum menyerah untuk mendapatkan ku meskipun aku mencoba menghindari-nya. Namun, entah kenapa 4 hari setelahnya, Dylan menghilang tanpa jejak..
Aku tak dapat menanyakannya pada Josh tentang keadaan Dylan karena memang kebetulan Josh sedang di Paris untuk menyelesaikan kuliah di sana. Dan aku merasakan kesepian lagi. Aku kehilangan Dylan dan juga Josh. Sesosok kakak yang aku sayangi…namun aku berpikir lagi, perasaan ku terhadap Dylan bukanlah sebatas teman biasa lagi, namun perasaan ini… Astaga! Karen, kau sangat labil akan perasaanmu. Ah entahlah. Yang pasti sekarang aku merasa kehilangan setelah Dylan tak lagi datang ke rumah apalagi hanya sekedar menanyai kabar ku lewat pesan singkat.
Apakah aku kembali mencintai sesosok Dylan? Jika iya, aku sangatlah bodoh untuk mengabaikan tawarannya menjadi kekasihnya. Aku pikir, aku hanya akan menganggap Dylan sebagai teman biasa namun sekarang aku sadar bahwa aku kini telah mencintai Dylan. Tidak bertemu dengannya selama satu bulan membuatku merasa tersiksa.
Lalu apa yang kau tunggu lagi, Karen? Telpon Dylan sekarang juga! Alam bawah sadarku bergumam padaku. Apa yang ia katakan benar! Aku harus menelpon Dylan paling tidak hanya untuk mengetahui bagaimana kabarnya sekarang. Ya, aku harus lakukan itu.
Aku mulai naik keatas ranjangku mencari ponsel dan harus segera menelpon Dylan, sekarang juga. Aku mendial nomor ponsel Dylan lalu menelponnya. Yang dapat kudengar hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa panggilan tak di jawab. Geez, apa dia marah padaku karena aku telah menghindarinya? Aku kembali mendial nomor ponsel Dylan dan menelponnya. Dan lagi, lagi yang ada hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang di panggil tak lagi aktif. Sial, apa Dylan berusaha menghindari ku juga? Kumohon Dylan jangan lakukan itu..
Aku mencari ide yang tepat untuk setidaknya mengetahui bahwa Dylan dalam keadaan baik-baik saja, tapi aku harus berbuat apa?? Tiba-tiba sebuah lampu bohlam bersinar terang dalam otakku. Pergi ke rumah Dylan, sekarang! Lalu mulai lari tergesa-gesa keluar kamarku dan menuruni anak tangga.
Aku ingat di mana rumah Dylan karena ia pernah mengantarkan ku ke rumahnya. Kuharap aku dapat menemukannya dalam keadaan baik-baik saja dan menemukan ia sedang tersenyum padaku dan aku harus cepat-cepat mengatakan bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Lalu aku lari secepat mungkin menyusuri rumah demi rumah, dan ya! Aku telah sampai di depan rumah bergaya Victoria yang megah. Namun keadaan rumahnya kosong. Kemana orang-orang di dalam rumah Dylan? Aku sangatlah yakin bahwa Dylan pasti sedang tak ada di rumah. Lalu apalagi yang harus kuperbuat untuk mengatakan padanya jika aku juga mencintainya?
Mengiriminya pesan singkat? Oh tidak, tidak. Nomornya sudah tak lagi aktif. Tapi―jika aku mencoba hanya untuk mengirimnya pesan singkat, tak ada salah-nya! Who knows, dia akan menjawabnya walaupun ku pikir itu terdengar mustahil tapi aku harus berusaha.
Aku kembali lari pulang ke rumah untuk mengirimkan pesan singkat pada Dylan. Aku sudah sampai kamarku dan mencoba meraih ponselku dan menekan singkat pesan pada Dylan lalu ku tekan tombol ‘send’ yang tertera. Kumohon jawab, Dylan! Ku mohon!
Tak terkirim karena ternyata memang benar bahwa nomer ponselnya tak lagi aktif. Aku mulai terkulai lemas di atas ranjang. Harapanku telah hilang. Kemana Dylan? Aku mencintai-nya. Dan dia harus tau hal ini satu hal. Ya Tuhan, ku mohon sampaikan pesan ku ini padanya bahwa aku mencintainya. Sangat-sangat mencintai Dylan. Aku tak mencoba untuk menghindarinya namun hanya saja… Aku tak tahu pada perasaan ku ini namun kurasa, perasaanku pada Dylan kembali tumbuh.
Sialan. Aku tak menyadari bahwa kini air mata ku menetes menjatuhi tangan ku yang terasa begitu beku. Aku merasa kehilangan dirinya kali ini. Apa yang harus ku perbuat selain menangisinya seperti ini? Aku sungguh harus bertemu dengannya kali ini. Demi Tuhan, aku tak mau kehilangannya. God, demi apapun tolong jaga Dylan dan pastikan bahwa dia baik-baik saja..
***
Aku dapat merasakan cahaya matahari mencoba menorobos gorden kamar ku yang besar ini. Aku mengerjapkan mataku sejenak. Rasanya begitu berat dan aku menyentuh mataku yang tampak lengket. Oh sial, aku menangis semalaman ini? Aku langsung melangkah menuju meja rias dan menemukan sesosok gadis dengan wajah polos dan lugu dengan mata yang sedikit bengkak dan juga marah.
Aku tak menyadari bahwa aku telah menangisi Dylan. Tapi aku benar-benar merasa kehilangan dia. Aku tak bisa melakukan apapun selain menangisi Dylan. Dadaku masih sesak. Oh Tuhan, kenapa rasanya sebegitu menyakitkan?!
Aku melangkah keluar kamar lalu menuruni anak tangga dan menemukan Josh sedang duduk di sofa dengan keadaan kepala menduduk dan dengan tangan terkepal dengan urat-urat biru yang menonjol jelas di permukaannya. Astaga, sesuatu yang aneh telah terjadi. Aku dengan tergesa-gesa segara melangkah cepat menghampiri Josh.
“Josh, ada apa?” Aku mulai panik setelah menemukan Josh ternyata menangis, untuk pertama kalinya. Ada apa?! Aku makin panik. “Josh, katakan padaku apa yang terjadi!” Aku mengguncang-guncang kan kedua bahu Josh namun Josh tetap tak berkutik.
“Josh, kumohon. Katakan apa yang baru saja terjadi!” Aku tetap terus mengguncang-guncang kan bahu Josh. Ah, ya Tuhan. Sebenarnya ada apa? Josh menengadah menatap sepasang bola mata cokelat gelap ku dengan gigi terkatup rapat dan, Astaga! Sepasang bola mata hijau milik Josh tampak merah. Aku yakin ia baru saja sedang menangis, tapi bukan menangis biasa…
Keadaan Josh yang seperti ini begitu membuatku makin panik. Sebenarnya ada apa?! Lalu Josh menyodorkan sepucuk kertas putih. Ada apa? Lalu aku mulai membukanya dan mulai membacanya…
Dear Karen,
Aku tahu bahwa kau tak akan membaca surat ini. Aku sangat meyakini ini, namun aku hanya ingin mengatakan mu padamu lewat surat ini. Kau harus tahu bahwa aku sangat-sangat mencintai mu dengan sepenuh hati ku. Namun aku tahu kau tak akan pernah membalas perasaan ku ini atau membaca surat ini. Aku tahu. Dan kau harus tahu bahwa aku sangat suka ketika melihat wajah polos mu itu dan sepasang bola mata cokelat gelap favorit ku. Aku tak akan pernah melupakan tatapan itu. Aku masih mengingat saat aku membelikan mu sebuah boneka teddy bear kesukaan mu. Ku harapkau masih menjaganya dengan baik. Dan kau tahu mengapa aku menyatakan perasaanku padamu begitu cepat? Karna aku akan pergi…. Jauh…. Dan tak akan pernah bisa menemukan mu lagi. Maka dari itu, aku ingin kau menemani sisa hidup ku. Aku rapuh. Dan kau lah penyemangat ku. Aku merasa begitu hancur lebur saat kau tiba-tiba menghindari ku. Ada apa? Aku sangat mencintai mu, Karen. Sampai Tuhan memanggil ku untuk segera berada di samping-Nya begitu cepat….Aku masih mencintai mu. Maafkan aku jika aku mempunyai kesalahan padamu. Dan aku tahu bahwa seharusnya tak mengatakan ini padamu namun ku pikir, aku harus mengatakannya. Maaf, jika aku pergi terlalu cepat..
Aku mencintai mu, Karen….hingga akhir hayatku.
Love,
Teman terbaik mu yang sangat mencintaimu.
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak, tidak, tidak! Dylan telah pergi? Tidak mungkin. Mustahil. Aku tak bisa membendung air mataku di balik kelopak mataku yang telah keluar membanjiri pipi ku ini. “Apa yang telah terjadi pada Dylan? JOSH, KATAKAN PADAKU!” Aku menjerit, mencoba meyakini bahwa ini hanyalah mimpi buruk ku yang tak kuharapkan.
“Dylan telah meninggal karena penyakit kanker. Penyakit sialan itu yang telah membuatnya pergi terlalu cepat.” Josh menggelengkan kepalanya lalu memegang erat-erat rambut cokelat pirangnya dan menariknya perlahan dan menggeleng frustasi. Aku menggigit bibirku keras-keras hingga aku dapat merasakan rasa asin di bibirku. Bibirku berdarah. Ah, peduli setan pada bibirku ini. Yang terpenting sekarang adalah aku harus menemukan Dylan, sekarang juga.
“Josh, katakan padaku dimana pemakaman Dylan! Aku harus menemuinya sekarang juga!!” Aku mengguncangkan bahu Josh lalu dengan gerakan yang spontan Josh menarik pergelangan tangan ku keluar rumah ke garasi lalu Josh menuntunku untuk masuk ke mobil Lamborgini miliknya. Aku masih dengan air mata yang makin mengalir deras, merasa dadaku sangat sesak bukan main. Sungguh, aku menyesal telah menghindari Dylan, lalu sekarang semuanya sudah terlambat, apa yang bisa ku perbuat hanya dengan menangis? Semuanya hanyalah sia-sia. Jika aku menangisi Dylan, sampai kapanpun ia tak akan pernah datang dan memelukku tiba-tiba. Mustahil.
Josh membelah jalanan raya New York dan mulai menginjak pedal gas dengan kecepatan yang di atas ambang rata-rata. Dia sama emosi-nya dengan ku dan aku paham hal itu. Dylan adalah sahabat terbaik-nya lalu wajar jika ia merasa sangat kehilangan sepertiku. Aku kembali mengumpat kesal atas perbuatan ku yang sangat-sangatlah bodoh. Aku bodoh. Idiot. Mengapa aku setidaknya berpikir bahwa aku tak seharusnya menghindarinya, aku harusnya menemani Dylan saat detik-detik ia akan pergi jauh dan tak akan pernah bertemu denganku lagi.
Langit begitu gelap dan sendu, sama seperti suasana hatiku sekarang ini. Sialan. Aku membanting kepala ku ke jok mobil merasa sangat bersalah mengabaikan Dylan. Ya Tuhan, Kau tak menyampaikan pesan ku pada Dylan? Aku berdecak frustasi pada kenyataan sekarang. Aku benci menangis namun aku tak bisa berhenti menangisi Dylan.
Josh dan aku telah sampai di sebuah pemakaman. Aku dan Josh segera melompat keluar dari dalam mobil untuk segera menemukan dimana batu nisan Dylan. Aku berjalan lunglai setelah menemukan batu persegi kelabu bertuliskan Rest In Peace Dylan Blue Jacos yang tertera disana. Duniaku seakan jatuh runtuh hingga tak menyisahkan apapun. Aku menepuk pipiku sejenak bahwa aku ingin memastikan ini hanyalah mimpi buruk yang tidak kuinginkan hadir dalam mimpi ku namun pada kenyataannya aku tengah bertekuk lutut di hadapan batu nisannya. Ini sungguh tidak adil. Aku bodoh, benar-benar bodoh. Bagaimana bisa aku mengabaikan Dylan jika seperti ini akhirnya?
Aku menggeleng keras dengan air mata masih mengalir di pipiku. Aku…aku benar-benar kehilangannya kali ini.
“Dylan, aku mencintai mu. Sangat-sangat mencintaimu. Kau tahu ini!” Aku menggigit bibirku keras-keras mencoba menghilangkan rasa sesak yang menjalar di seluruh paru-paru ku namun nihil. Pada kenyataannya aku benar-benar sesak nafas yang benar-benar membuat punggung ku turun naik dan mencoba menghirup oksigen.
Aku……mencintaimu…….Dylan…..
THE END.
===
A/N: Haaiiiii aku balik lagiiii :) Kali ini aku post oneshot ku lagi. Sama seperti 2 oneshot ku yang sebelumnya, ini juga cerita yang udah lama banget. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Karena masa-masa SMP itu masa-masanya aku lagi seneng banget nulis. And guess what?? Tulisanku ini juga salah satunya terinspirasi dari Sairaakira waktu jaman-jamannya Azhura’s Bride. Waktu itu aku sangat mengagumi cerita AB dari cara penulisannya yang WOW banget :’) Hah, sudah lama sekali rupanya. Pokoknya ya gitu deh, hehehe. Oiya, banyak yang minta oneshot ku untuk dijadiin cerita yang berchapter. Dan sekali lagi, maaf banget aku ga bisa mengabulkan permintaan kalian. Karena berhubung oneshot yang aku post dari kemarin itu adalah cerita-cerita ku yang udah lamaaaaaa banget dibikinnya. Disini aku cuma iseng pengen ngepost aja. Bikin cerita yang berchapter menurutku bukan perihal yang mudah. Butuh tau nanti alurnya kek gimana, trus konfliknya, endingnya, wah dan yang pasti super ribet. Berhubung aku ini tipikal orang yang melakukan sesuatu berdasarkan mood atau suasana hati, jadi kalo aku buat ceritanya sesuai mood, nanti malah hasilnya ga pasti. Karena aku udah tau gimana rasanya bikin cerita yang berchapter. Dulu aku juga sempet buat cerita yang berchapter dan alhasil belum nyampe setengah udah terbengkalai. Maka dari itu, aku bisanya cuma buat oneshot aja, hehehe. Harap maklum ya vitamins :)
Sooo, i think that’s enough ya. Masih ada dua oneshotku lagi di dokumen, hmm kalian mau baca apa nggak? Komen aja yaa. Tapi kalo ga ada yang mau baca juga gapapa, maklum lah cerita receh hohohohoo :’)
See you in the next story and blog! Have a nice day and happy fasting, Vitamins :)
Lots of Love,
Kalfa♡
Wkwkwk iya Kalfa, nanti aku baca kok. Tapi aku vote dulu yaakkkk :LARIDEMIHIDUP
Bola mata coklat hazel nya kembali mengingatkanku akan JBiebs. Salfok terus T.T
Beuhhh oneshoot ny panjang bnr dah ahh, 4000 lbh word ny
Drpd nnt komen aq ga okeh, jdi aq ga bca dlu ya, tp sdh di vote kok hehe
Nnt aq kembali lgi untuk bca dan komen yak
Semangatttt
Penyesalan selalu datang terlambat. Ini si Karen kayak judul lagunya Maudy- Cinta Datang Terlambat :KETAWAJAHADD
Waktu awal ketemu langsung suka. Waktu udah deket perasaanya Karen biasa aja. Tapi pas Dylan udah ga ada, mulai cinta. Hadeuhhh labil banget si Karen. Greget sama kamuuu :ASAHPISAU2
Kasian kan tanpa kamu ketahui, Dyaln mengidap penyakit kanker yang mematikan ituuu :TERHARUBIRU
Aku aja terharu baca suratnya :PATAHHATI
Cinta sampai akhir hayat, aku ingin kau menemani sisa hidupku….huaaaaa :beruraiairmata
Penyesalan emang selalu dateng terlambat yak
Aku baca ini ntah kenapa jd inget novel Dylan, wkwkwk
Dylannya meninggal ternyata hiks