Kritik dan saran dari kalian sangat membantu. Tinggalkan jejak setelah membaca.
Happy reading guys!!!
******
AKU akui, aku memang sangat berbeda dengan Lily yang pintar.
Big yes, I’m totally stupid. Aku bodoh.
Tetapi sekiranya aku cukup mengerti kalau sebenarnya ibuku memang benar-benar tidak pernah menyukaiku. Buktinya, setelah pemakaman Lily ia secara terang-terangan langsung mengusirku pergi dari rumah.
Apalagi ditambah dengan tertanamnya kesalahpahaman yang pasti dibuat oleh Dave, mengenai akulah yang membunuh Lily karena aku iri. Ayahku yang tadinya bertahun-tahun hanya dalam posisi aku sama sekali tidak perduli padamu Luna, kini juga ikut turun tangan melempari barang-barangku keluar dari rumah.
Penampilan dan pergaulan? Bukan, bukan karena itu kedua orangtuaku tidak menyukaiku. Justru karena perlakuan mereka yang masa bodoh itulah yang membuat penampilan dan pergaulanku jadi seperti ini.
Aku rasa, mereka memang sudah benci kepadaku bahkan sejak aku belum ada di dunia ini. Oke-oke kalian mungkin tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Tapi ketika kalian melihat secara langsung bagaimana tatapan mata mereka ketika memandangku, kalian pasti akan percaya lahir batin kalau mereka benar-benar memiliki dendam kesumat untukku.
Well. Mungkin jika ini adalah dulu, aku tidak begitu memperdulikannya. Karena aku tau, masih ada Lily yang menjadi tameng di depanku. Malaikat tanpa sayap yang pernah berjanji akan selalu membantuku kapanpun dan dimanapun aku butuh. Dialah ibu sekaligus ayahku yang paling hebat di dunia ini.
Dengan parasnya yang cantik, perilaku yang baik, kesabarannya, sifat keibuannya, aku tidak heran kalau orang hanya perlu meliriknya satu kali untuk bisa jatuh cinta pada Lily. Sedangkan aku? Orang melirikku seratus kalipun, belum tentu ia akan jatuh cinta.
“Lun?”
Aku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya tersadar. Max yang berdiri dengan bertelanjang dada di ambang pintu menatapku dengan cemas. Ia mengerutkan dahinya dalam sekali hingga wajahnya mirip seperti Shrek ketika bingung.
“Apakah kau baik-baik saja?” Max mengelus pipiku dengan lembut, tapi matanya melirik koper besar yang ada di samping pintunya.
Oh ya, sepertinya fikiranku berjalan terlalu dalam hingga aku lupa kalau sedang berdiri di depan pintu flat Max Molloy, salah satu orang waras yang berubah menjadi setengah waras setelah divonis mengidap autis seumur hidupnya, dan hell that, walaupun begitu aku tetap saja sangat mencintaimu, Max.
“Lun?”
“W-well… kalau kau mengizinkan, aku ingin menginap di sini.”
“Hanya tiga hari kok.” Tambahku cepat-cepat ketika melihat ekspresi Max yang semakin mengerutkan dahinya.
“Ada apa Lun?” Tanyanya menuduh.
“Tidak ada apa-apa Max, aku hanya ingin menginap saja.” Aku mencoba tersenyum lebar, tapi sepertinya gagal total, karena yang keluar malah sebuah ringisan seperti orang kesakitan.
Max dan Tuhan tau kalau aku payah dalam hal berbohong, tapi kali ini walau ia tau aku berbohong, ia diam saja. Max hanya menatapku lama sambil masih mengusap pipiku beberapa kali, sebelum akhirnya mengambil koperku dan membawanya masuk ke dalam. Aku mengikutinya.
“Tidak masalah kau mau menginap berapa lama di sini. Mau tiga hari, seminggu, sebulan, setahunpun aku tidak akan pernah mempermasalahkan hal itu, Lun. Tapi setidaknya ceritakanlah apa yang sedang terjadi, sehingga aku lebih tampak seperti sahabat daripada pemilik penginapan.” Katanya sambil menaruh koperku di samping sofa.
Aku menjatuhkan diri ke kasur dan berbaring telungkup. Membenamkan wajahku dalam-dalam pada bantal Max yang berbau khas badannya, sambil sesekali menghela nafas. Max benar. Aku memang selalu begini ketika ada masalah, datang kepadanya hanya untuk menumpang bermimpi saja tanpa mau repot-repot bercerita mengenai apa yang sedang terjadi.
Max menghela nafas. “Baiklah, baiklah. Aku tau kau butuh waktu. Tapi setidaknya untuk yang satu ini kuharap kau benar-benar akan menceritakannya padaku.”
Aku tau saat ini Max pasti sedang menggigit-gigit bagian dalam bibirnya, menahan keinginan untuk memaksaku lebih jauh lagi. “Kau menganggapku sebagai sahabat kan Lun? Aku tau kau kuat. Tetapi berbagilah, toh kau membaginya kesahabatmu kan, bukan ke orang lewat?”
Aku hanya mengangguk, masih dengan kepala di bantal.
Kasur kemudian berderak turun. Max ikut berbaring di sebelahku. Tapi diluar dugaan, ia mematikan lampu dan refleks aku langsung beringsut memeluk tubuhnya.
Kucengkeram bagian depan kaosnya sekuat tenaga dan mataku dengan liar berlari kesana kemari berusaha mencari pasokan cahaya yang cukup agar aku bisa tenang. Tapi sial, kamar Max gelap gulita. “Max sialan! Aku takut gelap kau tau itu kan! Mana saklar lampunya?! Cepat nyalakan!”
Max menggelengkan kepalanya dengan cara yang tidak normal – kau tau, seperti bocah TK yang tidak mau disuruh makan sayur. Ia menepuk-nepuk punggungku dan senyum konyol autis andalannya terlihat samar di ruangan yang minim cahaya ini.
Dasar Max menyebalkan. Fine, aku menyerah.
Kulingkarkan tanganku pada lehernya dan merapat agar bisa memeluknya lebih erat.
Max Molloy. Diantara banyaknya teman-teman brandalku, dialah the one and only yang aku pilih untuk kujadikan sahabat. Menurutku kau hanya cukup memandangnya dan dengan begitu masalahmu akan lenyap begitu saja. Dia itu ajaib, seakan punya kekuatan super untuk memahami orang-orang yang ada di sekitarnya, memberikan mereka kekuatan magis yang dapat memicu timbulnya kebahagiaan. Entahlah apakah sifat Max ini bekerja pada kalian atau orang lain, yang jelas itu selalu terjadi padaku.
“Max…”
“Hm.”
Kuhirup oksigen sebanyak mungkin sembari di dalam hati kurapalkan doa beberapa kali sebelum akhirnya aku berkata… “Max, Lily meninggal.”
Max diam sesaat, tapi lalu ia mulai tertawa terbahak-bahak sampai matanya berair. Ia mengorek-ngorek kuping dan memandangku geli. “What the hell. Tau tidak, aku seperti mendengar kau mengatakan Lily meninggal.”
“Itu benar, Max.” Walau sebenarnya aku ingin kalau itu hanyalah sebuah mimpi.
Perlahan tepukkan Max pada punggungku melambat hingga akhirnya berhenti. Max melotot padaku. “APA KAU BERCANDA?! BAGAIMANA MUNGKIN LILY MENINGGAL?!”
*****
Max bukanlah tipe laki-laki pemarah yang dengan mudahnya berkata-kata kasar dan membentak-bentak wanita. Dia lebih cenderung ke arah laki-laki pendiam yang suka menyendiri ketika emosinya sedang menguasai. Pembawaannya memang sangat tenang, bahkan 1 cm mendekati dingin.
Tapi dibalik semua itu..
Dibalik ketenangannya yang dingin. Ia tengah berusaha meredam emosinya, mencegah agar tangan dan mulutnya tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku. Hal itu terlihat dari kepalan tangannya yang amat kencang dan garis bibirnya yang sudah berbentuk lurus karena dikatupkan terlalu rapat.
Aku mengenal Max dari kecil. Aku tau dia luar dalam. Aku tau apapun yang dia lakukan tiap harinya. Apa kebiasaannya, apa makanan favoritnya, apa merk celana dalamnya. Dan aku tau dia memang seperti itu ketika marah, aku sering melihatnya ketika ia marah pada temannya. Tapi ini pertama kalinya untukku.
Ini pertama kalinya Max marah padaku.
“Max…”
Max mengangkat satu telapak tangannya. “Aku tidak ingin bicara, Lun. Nanti saja.” Katanya tanpa perlu repot-repot menoleh padaku. Ia beranjak dari sofa, pergi menuju dapur. Mengambil sekaleng softdrink dari kulkas, ia kemudian kembali duduk dan menyesap minumannya. Mengabaikanku yang berdiri seperti patung.
Aku meringis. Tanganku saling memelintir satu sama lain, sampai terasa sedikit sakit beberapa menit kemudian. “Maaf Max. Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir.”
“Apa kau lupa? LILY ITU JUGA SAHABATKU, LUN!”
Tanganku berhenti. Max membentakku. Oke, di dalam hatimu tadi, kau bilang lebih baik Max marah dengan membentak-bentak dari pada diam saja kan? Sekarang kenapa kau malah takut?
“Aku tau Max, aku tau. Aku tidak pernah lupa tentang fakta itu. Percayalah, aku ingin mengabarimu, tapi…” Tapi kondisinya tidak memungkinkan Max. Aku takut kau yang khawatir akan langsung datang dan membuat semuanya jadi tambah rumit. Mengenai aku yang dituduh membunuh Lily. Aku tidak mau kau jadi ikut bermasalah. Cukup aku saja, Max. Cukup aku.
“Tapi apa?” Tanya Max dengan intonasi yang menghakimi. “Tapi kau takut aku khawatir? Cih, bilang saja kau lupa. Kau lupa punya sahabat karena kau terlalu sibuk dengan kehidupanmu sendiri.”
Kepalaku menunduk. “Aku sungguh minta maaf, Max.”
Max melarikan jari-jarinya ke rambut dan menyisirnya dengan gusar. Ekspresi wajahnya benar-benar terlihat marah, sedih, sekaligus menyesal. Ya, ya aku tau aku memang kejam. Bayangkan ketika sahabat terbaikmu mati dan kau tidak mengetahuinya sama sekali?
“Aku bahkan tidak ada di sampingnya ketika dia mulai diturunkan untuk saat-saat terakhir. Aku sama sekali tidak menemaninya, Lun…”
Oh Max…
Baru aku ingin membalas perkataan Max, ketika tiba-tiba ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja berbunyi. Max bangkit, mengambil ponsel dengan satu tangannya yang bebas tidak memegang kaleng.
Aku rasa sebuah pesan, karena bunyi nadanya sangat singkat.
Max mengernyit. “Dari Danny Jo.” Katanya lebih berbicara kepada diri sendiri sebenarnya, namun berhubung nama yang disebut adalah pemilik studio tato tempatku bekerja, mau tidak mau aku jadi sedikit waspada.
“Dia menanyakan apakah kau ditempatku. Katanya kau susah sekali dihubungi. Memangnya kemana ponselmu?” Ujarnya.
“Sudah kujual.”
Max menganga. “Apa katamu? Kau jual?”
Aku mengangguk gugup. “Kau tadi sudah mendengar kalau aku ini diusir dari rumah kan? Well, aku tidak punya uang sama sekali, jadi aku putuskan untuk menjual ponselku saja. Toh aku tidak terlalu membutuhkannya.”
Max berdecak. “Lalu mau aku balas apa pesan dari Danny ini?” Tanyanya, mengabaikan pasal terjualnya ponsel tersayangku.
“Katakan saja kalau aku memang ditempatmu.”
Max menghela nafas dan mengetik di ponselnya lagi. Tidak beberapa lama setelahnya, ponselnya kembali berbunyi. Siapa tau Danny menanyakan keberadaanku karena aku mendapatkan job mentato. Lumayan, setidaknya bayarannya bisa menambah nominal uangku yang sangat tipis saat ini.
Tapi dilihat dari raut wajah Max yang tidak biasa –camkan, tidak biasa oke? Bukan tidak normal, karena raut wajah tidak normal memang sudah paten ada pada Max- sepertinya harapanku mendapatkan job mentato tidak terkabul.
“Kau dicari polisi, Lun..”
Nah benarkan dugaanku. Ouch tunggu, aku dicari polisi? “A-apa?”
“Danny bilang, polisi sangat sulit menghubungimu, jadi Danny yang dihubungi oleh kepolisian karena dari data yang polisi dapat, kau bekerja di tempat Danny.”
Ponsel Max kembali berbunyi, tanda ada pesan lagi yang masuk.
“Luna masuk ke dalam daftar orang yang dicurigai sebagai tersangka pembunuhan Lily Flaw. Polisi bilang, kehadiran Luna ditunggu pada senin minggu depan, pukul 9 am di kantor kepolisian Dublin.”
.
.
Dan begitulah kawan-kawan, bagaimana seorang Max Molloy membacakan surat keputusan kematian Luna dengan amat lancar. Mari kita doakan semoga arwahnya tenang disana. Rest in peace Luna Flaw, setidaknya kau tidak perlu berlari terlalu jauh jika ingin berjalan beriringan dengan Lily.
*****
Ya ampuun sadis bngt hidupnya Luna dan Max aku takut dia jd memusuhi Luna jngn sampe dehh
ngga ko, di part selanjutnya Max udah baikan??
Nahhh loh ini kelewat, kirain dah dibca haha
Cuzz bca
Lunaaaaaa, i’m coming hihi
:YUHUIII :YUHUIII
Ya Allah Lunaaaaaaa
Nasibmu sungguh ahhhh apa ya namany
Dah ditinggal wafat lily, diusir dri rmh skrng dicari polisi
Aduhhhhh
Gmn nasib Luna kedepannya
Huaaaaaa
Ditunggu kelanjutanny
Semangat trs ya
ya gitulah, My name is Luna and this is my story. hidup itu memang datang dengan kesakitan tapi sakit kan sementara dan waktu bisa menyembuhkan
sign -Luna
Wahh Luna komen nih hihi
orang tua luna ga da kepriorang tuaan masa nuduh anak sendri tanpa ada bukti nya atau jangan2 luna cuman anak angkat???????
Aku juga tidak tau mengapa orangtuaku seperti itu, entah salahku dimana dan apa.
sign -Luna
Duh kasian bener nasibnya lunaa
ada banyak orang-orang bernasib sepertiku di luar sana. Jadi, jika kamu salah satu yang tidak, jangan sia-siakan fakta tersebut.
sign -Luna
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
Ya ampun ngenes banget hidupnya Lunaaa :PATAHHATI :PATAHHATI
Iyatuh kasian ya, udah mana Luna ikut ikutan comment lagi di bawah. Aku jadi rada ga enak :PEDIHH
sign -bintarinf
Kenapa oh kenapaaaa :PATAHHATI :PATAHHATI
koreksi dikit ya :)
difonis seharusnya divonis..
cmiiw
oh aku nulisnya difonis ya? ?? oke makasih
Lunaaaa, apes bener sih kamuuu
kasihan hiks
Ouuww jadi ini berlatar di dublin? Saya pikir temanya kayak hollywood gitu kyk newyork atau chicago… Berarti saya bacanya sembari ngebayangin suasana di dublin ?
biar ngga mainstream??