Vitamins Blog

Wish in Winter

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Daddy!” teriakan histeris meluncur dari bibir mungil yang kini bergetar diikuti isak tangis dari gadis kecil dengan rambut cokelat panjang bergelombangnya.

Ia menatap nanar sebuah mobil yang melaju kencang meninggalkannya seorang diri, lelah untuk terus berlari mengejar mobil itu. Jadi inikah akhir hidupnya sekarang? Dibuang oleh orang yang ia panggil daddy ketika baru mulai bisa mengucapkan sebuah kata. Ironisnya. Kenapa bukan mommy kata pertama yang keluar dari bibirnya ketika baru bisa bicara?

Air mata itu terus mengalir seiring dengan isakannya yang semakin keras. Ditemani oleh dinginnya malam tanpa pakaian tebal yang dapat menghangatkan dirinya, hanya sebuah kaos tangan panjang di tengah-tengah butiran dingin seputih kapas yang terus turun menyelimuti bumi.

Gadis kecil malang berdiri sendirian tanpa ada seorang pun yang tergerak hatinya untuk menolong. Mereka hanya lewat dan sekadar menatap iba ke arahnya kemudian berlalu begitu saja. Mungkin manusia di dunia ini sudah tak memiliki hati nurani karena membiarkan gadis kecil sepertinya kedinginan sambil memeluk tubuhnya, berusaha menghangatkan diri.

Melangkah tak tentu arah hingga akhirnya menemukan sebuah kursi yang diselimuti salju, gadis kecil itu menghempaskan tubuh lelahnya. Bersandar pada kursi taman dengan mengangkat kedua kaki ke atas, memeluk lututnya dan menyembunyikan kepala dengan bibir yang sudah membiru menahan dingin di balik lututnya.

Mommy, aku ingin bertemu pangeran Cinderella. Tolong … aku!”

Usai mengucapkan kalimat itu, tubuh kecilnya yang rapuh kini sudah terbaring kaku masih dalam keadaan memeluk lutut di kursi taman itu. Hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang sudah tak mampu ia tahan lagi. Sisa air mata membasahi pipi putih pucatnya yang lembut.

***

Perlahan mata cokelat almond itu mengerjap dan mulai terbuka sempurna. Dingin yang tadi ia rasakan kini berganti dengan kehangatan serta kerasnya kursi taman juga sudah berubah menjadi ranjang yang empuk. Rasanya benar-benar nyaman bagi gadis kecil itu. Pandangannya menyusur ke sekeliling ruangan dan mendapati warna merah dan cokelat mendominasi kamar itu.

Tarikan pelan yang membuat tubuhnya membentur sesuatu yang keras dan hangat ia rasakan membuatnya semakin merasa nyaman. Menoleh ke samping dan mendapati sosok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sungguh tampan, mengingatkannya pada sesuatu yang selalu terekam jelas dalam benaknya.

“Pangeran Cinderella,” gumaman kecil meluncur begitu saja dari bibir munglinya, mata cokelat almond itu juga sibuk memandangi sosok yang sedang terlelah di sampingnya. “Mommy, aku menemukannya,” ia tersenyum dengan suara yang sedikit lebih keras membuat sosok tampan itu menggeliat pelan dan akhirnya mata elang itu terbuka.

“Kau sudah bangun,” ujar suara berat sosok di sampingnya itu yang kini sudah menyandarkan tubuh di kepala ranjang tanpa menoleh ke arah gadis kecil yang berbaring menghadapnya.

Gadis kecil itu hanya mengangguk, masih terus memerhatikan segala pesona yang terpancar dari sosok pria remaja berusia delapan belas tahun di sampingnya. Merasa diperhatikan, akhirnya pria itu menoleh dan mendapat sambutan senyum manis dari gadis kecil itu. Ia sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya membalas senyum gadis kecil tersebut.

“Ada apa?” tanyanya.

“Apa kau Pangeran Cinderella yang dikirim mommy untukku?”

“Namamu Cinderella?” tanya pria remaja itu yang disambut gelengan cepat dari gadis kecil disampingnya. “Lalu?”

“Namaku Emma. Emma Watson. Apa kau Pangeran Cinderella yang dikirim mommy untukku?” gadis kecil bernama Emma itu kembali mengulang pertanyaannya karena belum mendapat jawaban dari lelaki remaja di sampingnya.

“Aku bukan Pangeran Cinderella,” jawabnya dan membuat raut wajah Emma mendung dalam sekejap. “Hei! Kau mau ke mana?” tanya pria itu karena melihat gadis kecil yang baru ia ketahui namanya adalah Emma itu buru-buru bangkit dari tempat tidur.

“Aku mau mencari Pangeran Cinderella. Mommy bilang jika aku bertemu Pangeran nantinya pasti aku hidup bahagia seperti Cinderella,” jelas Emma menjawab pertanyaan laki-laki remaja itu.

Sepertinya dia terlalu sering didongengkan Cinderella oleh ibunya,” pikir laki-laki remaja itu dalam hati.

Namun, baru saja ia lengah dan bermain dengan pikirannya sebentar lelaki remaja itu sudah merasakan ranjangnya bergoyang kecil. Ia mengerjap sekali dan benar gadis kecil itu sudah turun dari ranjangnya, berjalan menuju pintu. Lelaki itu pun segera turun dari ranjang mengejar Emma lalu menggendong gadis kecil itu dan kembali membawanya ke ranjang.

Emma menatap lelaki remaja di hadapannya dengan pandangan seolah bertanya. Sorot mata cokelat almond yang menyorotkan kebingungan ketika menatapnya membuat lelaki remaja itu merasa gemas dengan gadis kecil di hadapannya ini. Ia pun mengacak rambut cokelat panjang bergelombang nan halus Emma sehingga membuat bibir mungilnya mengerucut.

“Aku akan menjadi Pangeran Emma, kau mau?” tanya lelaki remaja itu.

“Kau bisa menjadi Pangeran Emma? Apa kau dikirim oleh mommy dari surga untuk melindungi Emma?”

Jadi ibunya sudah meninggal?” batin lelaki remaja itu.

Merasa pertanyaannya tak ditanggapi, lagi-lagi Emma mengerucutkan bibir mungilnya. Ia menatap kesal lelaki remaja di hadapannya. Pikirannya menanyakan apakah memang laki-laki ini yang dikirim mommy untuk menjaganya? Karena daddynya sendiri bahkan sudah membuangnya.

Jemari mungilnya menarik ujung kaos yang dipakai oleh remaja lelaki itu. Lagi-lagi pikirannya berlari entah ke mana hingga membuat ia mengabaikan keberadaan gadis kecil yang masih menunggu jawaban darinya. Lelaki remaja itu membawa Emma dalam dekapan pangkuannya dan menyandarkan dagunya pada puncak kepala Emma.

“Ya, aku yang akan menjadi Pangeran Emma. Jadi mulai sekarang dan seterusnya kau akan tinggal bersamaku, pangeranmu. Oh, berapa usiamu?”

“Aku delapan tahun. Euhm, Pangeran punya nama?”

“Ah, ya. Namaku Zac Efron dan usiaku delapan belas tahun,” sahutnya memperkenalkan diri.

“Baiklah, aku akan memanggilmu Prince Zac. Wah, ternyata nama Pangeran Emma hanya berbeda sedikit dengan Pangeran Barbie. Jack dan Zac. Keren!” Emma bertepuk tangan, kegembiraan terpancar jelas dari wajahnya.

“Okay, karena mulai sekarang aku adalah pangeranmu jadi Emma selamanya akan menjadi milik Prince Zac, mengerti? Tidak ada pangeran lainnya kecuali Prince Zac untuk Emma, janji?” Zac mengulurkan jari kelingkingnya pada Emma dan langsung disambut gadis itu dengan senyum sumringahnya.

***

Pertemuan mereka mungkin memang sudah ditakdirkan. Sembilan tahun berlalu sejak janji mengikat keduanya, menyatakan kepemilikan Emma atas Zac. Pria itu pun kini sudah sangat matang di usianya dua puluh tujuh tahun. Begitu pula dengan Emma, gadis kecil yang manis sudah beranjak remaja menjadi gadis belia yang menjadi pusat perhatian para pria di usia tujuh belas tahun.

Zac juga semakin posesif pada Emma karena beberapa pria baik yang seusia gadis itu atau pun beberapa rekan bisnisnya sudah menunjukkan rasa ketertarikan mereka. Sementara Emma yang masih dengan kepolosannya di usia remaja ini tak mengerti apapun dengan pesona yang terpancar dari dirinya.

Kesibukan Zac yang kini mewarisi perusahaan milik keluarganya serta beberapa perusahaan yang memang milik ia sendiri hampir membuatnya tak memiliki waktu untuk sering bersama Emma. Hal itu membuat ia di beberapa kali kesempatan membawa Emma ke kantornya sepulang gadis itu dari sekolah. Itulah yang membuat menyesal karena secara tidak langsung ia mengundang lebih banyak saingan untuk mendekati Emma walau ia sendiri tahu jika Emma pasti akan memilihnya.

“Prince Zac, aku ingin mengunjungi King,” Emma melontarkan permintaannya dengan suara yang sangat pelan.

Saat ini mereka baru saja tiba di Efson Security of World, perusahaan milik Zac yang ia bangun sendiri beberapa tahun lalu. Hari ini gadis itu sudah resmi lulus dari Senior High School. Zac tahu Emma pasti sangat lelah sekarang begitu pula dengan dirinya. Lalu apa? Gadis itu ingin bertemu King?

TIDAK! Ingin rasanya Zac meneriakkan kata itu tapi begitu ia ingin mengeluarkan suara sambil melihat Emma, gadis itu menunduk takut. Saling memainkan jemari lentiknya sendiri menunggu jawaban Zac. Sungguh Zac tak pernah bisa menolak keinginan gadisnya. Tapi …. God! Kenapa sulit sekali?

“Kau ingat apa yang King lakukan ketika terakhir kali kau mengunjunginya?” tanya Zac yang disahuti anggukan pelan Emma. “Lalu untuk apa mengunjunginya lagi?”

“Aku merindukannya,” lirihnya mendongakkan kepala perlahan hingga mata cokelat almondnya kini sudah beradu pandang dengan mata elang Zac.

Padahal tujuan Zac memindahkan King ke perusahaannya ini sudah jelas untuk menjauhkan Emma dari King demi keamanan gadis itu sendiri. Tapi, mungkin karena mereka sejak kecil sudah bersama hingga membuat Emma sangat menyayangi King, singa peliharaannya. Namun, kini King sudah berbeda. Ia lebih ganas karena memang sudah dididik oleh sang pawang untuk menjadi salah satu asset pelindung di perusahaan.

Well, tak mungkin bukan jika sebuah perusahaan keamanan terbaik di dunia ini tak memiliki sistem keamanan nyata selain teknologi? Lalu kenapa bukan anjing seperti yang biasa digunakan oleh polisi untuk membantu menjaga keamanan? Yah, karena King sudah menjadi sahabatnya sendiri sejak kecil. Lebih tepatnya, dulu Zac mendapat King sebagai hadiah dari sahabat baiknya yang kini sudah tenang di surga. Ia pun merawat King seorang diri selama satu tahun hingga akhirnya bertemu dengan Emma yang ikut membantunya mengurus dan menyayangi King hingga sekarang.

“Hanya melihat dari luar kandangnya, okay?” Emma mengangguk cepat sementara Zac hanya bisa mengembuskan napas kasar sambil mengusap wajahnya frustasi.

Zac menggenggam erat jemari Emma, menjaganya agar tidak melarikan diri. Yah, sulit memang untuk menjaga Emma jika sudah sangat ingin bertemu King. Ia akan menjadi dua kali lebih aktif dari biasanya. Jujur saja Zac sedikit khawatir mengingat sebulan yang lalu Emma hampir saja diterkam oleh King padahal gadis itu baru membuka kandangnya. Untung saja Zac berada di samping Emma saat itu sehingga dengan cepat ia menarik tubuh Emma dan langsung menutup kandang King.

Shit!” umpatnya karena merasakan getaran pada ponsel di kantong celananya menandakan ada panggilan masuk. “Ingat, jangan membuka kandangnya! Cukup lihat dari luar, okay?” sekali lagi Zac menegaskan sebelum ia berjalan sedikit menjauh untuk menjawab teleponnya.

“Hai, King!” panggil Emma pada singa besar yang meringkuk di pojok kandang sambil memandang ke arahnya. “Apa kabar? Aku merindukanmu, apa kau juga merindukanku? Bolehkah aku masuk dan memelukmu seperti dulu?” tanya Emma masih berada di luar kandang menanti jawaban dari singa di dalam.

Namun, ia tak memperoleh apa yang diharapkannya. Singa itu masih memandang Emma dengan tajamnya. Mengabaikan peringatan dari Zac sebelumnya, Emma yang memang sudah sangat merindukan hangatnya bulu King akhirnya membuka kandang binatang besar nan buas itu. Ia masuk dan perlahan berjalan mendekati King.

“Kau tidak akan melukaiku kan, King? Aku hanya ingin memelukmu sebentar saja. Aku janji, okay?” ujar Emma membujuk King yang mulai menegakkan tubuhnya.

Semakin Emma mendekat, King pun tak kalah sigapnya mulai berjalan perlahan mendekati Emma. Gadis itu menoleh ke belakang, takut ketahuan oleh Zac karena sudah melanggar perintah pria itu. Namun, tanpa ia sadari sebuah terkaman kuat dari King ssudah menindih tubuh mungilnya.

Arghh …,” pekikan Emma menggema dan seakan menjadi alarm peringatan bagi Zac membuatnya menoleh dan mendapati tubuh mungil itu sudah berada dalam terkama King.

“EMMA! Oh, God! Chris!” teriaknya memanggil orang yang memang bertugas untuk mengawasi King.

Seseorang yang ia panggil namanya datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa sebuah plastik hitam besar. Itu makanan King. Yah, singa buas itu tengah kelaparan saat ini dan ketika melihat tubuh mungil berjalan mendekatinya secara naluriah kebuasan singa itu menerkam langsung mangsanya.

“Berengsek! Dari mana saja kau, hah? Cepat selamatkan Emma!” bentaknya.

Kepanikan menyerang Zac terlebih melihat tubuh mungil gadis itu sudah memiliki banyak cakaran. Ia tak bisa kehilangan Emma. Tidak lagi karena hal yang sama membuat Zac harus kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dulu Claire, sahabatnya juga harus meninggal karena menyelamatkan King bayi yang hampir ditabrak mobil. Sekarang apa? Ia tak mau kehilangan Emma karena King yang kelaparan.

God, please save her!”

Setelah berhasil mengeluarkan Emma dari dalam kandang King, Zac langsung menggendong tubuh mungil gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Banyak bekas luka luar yang bisa ia lihat di sekujur tubuh Emma. Sekarang ia hanya bisa berharap agar tak ada luka dalam pada diri Emma.

“Maaf, King. Aku menyayangimu. Bunuh dia!”

Mungkin sudah saatnya ia melepas satu-satunya kenangan Claire yang tersisa. Zac tak ingin lagi merasa kehilangan apalagi Emma adalah satu-satunya wanita yang menghuni hatinya. Ia tak mungkin sanggup membiarkan gadisnya pergi untuk selamanya.

Begitu tiba di rumah sakit, Zac langsung memanggil dokter agar segera melakukan tindakan terbaik untuk menyelamatkan Emma. Ia menunggu di luar ruang ICU sementara tim dokter menangani Emma di dalam sana. Air mata yang sudah ia tahan bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali sewaktu Claire dinyatakan meninggal dunia kini kembali mengalir. Zac yang sekarang sungguh terlihat begitu rapuh.

***

Dua bulan berlalu sejak hari kematian King dan hingga sekarang mata cokelat almond itu masih belum terbuka. Dokter mengatakan jika Emma mengalami shock karena serangan mendadak yang ia dapatkan dan terlebih lagi ada benturan kecil yang terjadi di kepala ketika ia terdorong oleh tubuh besar King menyebabkan terjadi pembekuan darah di otak.

Namun, hal itu masih bisa diatasi oleh para dokter kecuali rasa shock yang diterima oleh Emma. Mungkin karena sebelumnya gadis itu sangat dekat dan terlalu menyayangi King sehingga otaknya sendiri tak bisa menerima kenyataan jika King tiba-tiba menyerangnya dan bahkan ingin memakannya.

Sudah bulan Desember dan sekarang New York sedang diselimuti salju. Zac kembali teringat pada pertemuannya dengan Emma pertama kali. Saat ia melihat tubuh kecil nan rapuh meringkuk kedinginan di kursi taman membuat hatinya tergerak iba dan menolong gadis kecil itu.

“Tuhan, tolong kembalikan dia padaku!” Zac tak henti-hentinya memanjatkan doa agar gadisnya cepat sadar.

Pintu terbuka dan sepasang paruh baya memasuki ruangan itu. Memandang sedih pada gadis belia yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu. Walaupun mereka bukan orang tua dari gadis itu tapi rasa sayang keduanya sudah sangat besar pada Emma.

“Dia belum sadar juga?” tanya wanita paruh baya pada putranya, Zac hanya menggeleng sebagai jawaban sambil sesekali mencium punggung tangan Emma.

“Bersabarlah Zac, aku yakin Emma adalah gadis yang kuat. Ia pasti kembali bangun dan tersenyum ceria pada kita,” pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya menimpali seraya menepuk pundak putranya itu.

Zac sekali lagi mengangguk dan masih terus memandangi wajah cantik kekasih hatinya. Yah, Zac sudah menyukai gadis ini sejak pertama kali mendengar suara lembut yang mengalun dari bibir mungil itu terlebih ketika mata cokelat almondnya beradu pandang dengan mata elang miliknya.

Pangeran Cinderella.”

Yah, itu adalah kalimat pertama yang ia dengar. Gadis polos yang menyebutnya Pangeran Cinderella karena mommynya dulu seringkali menceritakan dongeng itu pada Emma. Saat mereka berkenalan pertama kali dan bagaimana ia mencegah gadis kecil itu agar tidak pergi untuk mencari pangerannya. Sungguh ia merasa takut kehilangan sosok polos gadis manisnya.

“Emma!” panggilnya ketika merasakan jemari lentik dalam genggamannya bergerak pelan. “Bangun, sayang!”

Mata itu akhirnya terbuka kembali, mengerjap pelan menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dan menyilaukan penglihatannya. Setelah merasa normal kembali, pandangannya beralih pada sosok pria tampan yang menggenggam jemarinya. Ia ingat rasanya seperti ketika pertama kali bangun sembilan tahun lalu dan berada dalam dekapan hangat pria ini.

Prince Zac,” ujarnya lirih.

Lindsay langsung memberikan segelas air putih pada Zac agar membantu Emma untuk minum. Ia yakin seraknya suara gadis itu karena kehausan setelah dua bulan lamanya tak sadarkan diri. Lindsay melirik pada Robert, suaminya mengajak untuk keluar meninggalkan Zac dan Emma berdua. Mereka akan ke ruangan dokter untuk memberitahu bahwa Emma sudah sadar.

“Aku bertemu mommy,” ujar Emma sementara Zac masih terdiam mendengarkan kembali suara lembut Emma yang sangat ia rindukan. “Kau tidak perlu mencari daddy

“Daddy!” teriakan histeris meluncur dari bibir mungil yang kini bergetar diikuti isak tangis dari gadis kecil dengan rambut cokelat panjang bergelombangnya.

Ia menatap nanar sebuah mobil yang melaju kencang meninggalkannya seorang diri, lelah untuk terus berlari mengejar mobil itu. Jadi inikah akhir hidupnya sekarang? Dibuang oleh orang yang ia panggil daddy ketika baru mulai bisa mengucapkan sebuah kata. Ironisnya. Kenapa bukan mommy kata pertama yang keluar dari bibirnya ketika baru bisa bicara?

Air mata itu terus mengalir seiring dengan isakannya yang semakin keras. Ditemani oleh dinginnya malam tanpa pakaian tebal yang dapat menghangatkan dirinya, hanya sebuah kaos tangan panjang di tengah-tengah butiran dingin seputih kapas yang terus turun menyelimuti bumi.

Gadis kecil malang berdiri sendirian tanpa ada seorang pun yang tergerak hatinya untuk menolong. Mereka hanya lewat dan sekadar menatap iba ke arahnya kemudian berlalu begitu saja. Mungkin manusia di dunia ini sudah tak memiliki hati nurani karena membiarkan gadis kecil sepertinya kedinginan sambil memeluk tubuhnya, berusaha menghangatkan diri.

Melangkah tak tentu arah hingga akhirnya menemukan sebuah kursi yang diselimuti salju, gadis kecil itu menghempaskan tubuh lelahnya. Bersandar pada kursi taman dengan mengangkat kedua kaki ke atas, memeluk lututnya dan menyembunyikan kepala dengan bibir yang sudah membiru menahan dingin di balik lututnya.

“Mommy, aku ingin bertemu pangeran Cinderella. Tolong … aku!”

Usai mengucapkan kalimat itu, tubuh kecilnya yang rapuh kini sudah terbaring kaku masih dalam keadaan memeluk lutut di kursi taman itu. Hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang sudah tak mampu ia tahan lagi. Sisa air mata membasahi pipi putih pucatnya yang lembut.

***

Perlahan mata cokelat almond itu mengerjap dan mulai terbuka sempurna. Dingin yang tadi ia rasakan kini berganti dengan kehangatan serta kerasnya kursi taman juga sudah berubah menjadi ranjang yang empuk. Rasanya benar-benar nyaman bagi gadis kecil itu. Pandangannya menyusur ke sekeliling ruangan dan mendapati warna merah dan cokelat mendominasi kamar itu.

Tarikan pelan yang membuat tubuhnya membentur sesuatu yang keras dan hangat ia rassakan membuatnya semakin merasa nyaman. Menoleh ke samping dan mendapati sosok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sungguh tampan, mengingatkannya pada sesuatu yang selalu terekam jelas dalam benaknya.

“Pangeran Cinderella,” gumaman kecil meluncur begitu saja dari bibir munglinya, mata cokelat almond itu juga sibuk memandangi sosok yang sedang terlelah di sampingnya. “Mommy, aku menemukannya,” ia tersenyum dengan suara yang sedikit lebih keras membuat sosok tampan itu menggeliat pelan dan akhirnya mata elang itu terbuka.

“Kau sudah bangun,” ujar suara berat sosok di sampingnya itu yang kini sudah menyandarkan tubuh di kepala ranjang tanpa menoleh ke arah gadis kecil yang berbaring menghadapnya.

Gadis kecil itu hanya mengangguk, masih terus memerhatikan segala pesona yang terpancar dari sosok pria remaja berusia delapan belas tahun di sampingnya. Merasa diperhatikan, akhirnya pria itu menoleh dan mendapat sambutan senyum manis dari gadis kecil itu. Ia sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya membalas senyum gadis kecil tersebut.

“Ada apa?” tanyanya.

“Apa kau Pangeran Cinderella yang dikirim mommy untukku?”

“Namamu Cinderella?” tanya pria remaja itu yang disambut gelengan cepat dari gadis kecil disampingnya. “Lalu?”

“Namaku Emma. Emma Watson. Apa kau Pangeran Cinderella yang dikirim mommy untukku?” gadis kecil bernama Emma itu kembali mengulang pertanyaannya karena belum mendapat jawaban dari lelaki remaja di sampingnya.

“Aku bukan Pangeran Cinderella,” jawabnya dan membuat raut wajah Emma mendung dalam sekejap. “Hei! Kau mau ke mana?” tanya pria itu karena melihat gadis kecil yang baru ia ketahui namanya adalah Emma itu buru-buru bangkit dari tempat tidur.

“Aku mau mencari Pangeran Cinderella. Mommy bilang jika aku bertemu Pangeran nantinya pasti aku hidup bahagia seperti Cinderella,” jelas Emma menjawab pertanyaan laki-laki remaja itu.

“Sepertinya dia terlalu sering didongengkan Cinderella oleh ibunya,” pikir laki-laki remaja itu dalam hati.

Namun, baru saja ia lengah dan bermain dengan pikirannya sebentar lelaki remaja itu sudah merasakan ranjangnya bergoyang kecil. Ia mengerjap sekali dan benar gadis kecil itu sudah turun dari ranjangnya, berjalan menuju pintu. Lelaki itu pun segera turun dari ranjang mengejar Emma lalu menggendong gadis kecil itu dan kembali membawanya ke ranjang.

Emma menatap lelaki remaja di hadapannya dengan pandangan seolah bertanya. Sorot mata cokelat almond yang menyorotkan kebingungan ketika menatapnya membuat lelaki remaja itu merasa gemas dengan gadis kecil di hadapannya ini. Ia pun mengacak rambut cokelat panjang bergelombang nan halus Emma sehingga membuat bibir mungilnya mengerucut.

“Aku akan menjadi Pangeran Emma, kau mau?” tanya lelaki remaja itu.

“Kau bisa menjadi Pangeran Emma? Apa kau dikirim oleh mommy dari surga untuk melindungi Emma?”

“Jadi ibunya sudah meninggal?” batin lelaki remaja itu.

Merasa pertanyaannya tak ditanggapi, lagi-lagi Emma mengerucutkan bibir mungilnya. Ia menatap kesal lelaki remaja di hadapannya. Pikirannya menanyakan apakah memang laki-laki ini yang dikirim mommy untuk menjaganya? Karena daddynya sendiri bahkan sudah membuangnya.

Jemari mungilnya menarik ujung kaos yang dipakai oleh remaja lelaki itu. Lagi-lagi pikirannya berlari entah ke mana hingga membuat ia mengabaikan keberadaan gadis kecil yang masih menunggu jawaban darinya. Lelaki remaja itu membawa Emma dalam dekapan pangkuannya dan menyandarkan dagunya pada puncak kepala Emma.

“Ya, aku yang akan menjadi Pangeran Emma. Jadi mulai sekarang dan seterusnya kau akan tinggal bersamaku, pangeranmu. Oh, berapa usiamu?”

“Aku delapan tahun. Euhm, Pangeran punya nama?”

“Ah, ya. Namaku Zac Efron dan usiaku delapan belas tahun,” sahutnya memperkenalkan diri.

“Baiklah, aku akan memanggilmu Prince Zac. Wah, ternyata nama Pangeran Emma hanya berbeda sedikit dengan Pangeran Barbie. Jack dan Zac. Keren!” Emma bertepuk tangan, kegembiraan terpancar jelas dari wajahnya.

“Okay, karena mulai sekarang aku adalah pangeranmu jadi Emma selamanya akan menjadi milik Prince Zac, mengerti? Tidak ada pangeran lainnya kecuali Prince Zac untuk Emma, janji?” Zac mengulurkan jari kelingkingnya pada Emma dan langsung disambut gadis itu dengan senyum sumringahnya.

***

Pertemuan mereka mungkin memang sudah ditakdirkan. Sembilan tahun berlalu sejak janji mengikat keduanya, menyatakan kepemilikan Emma atas Zac. Pria itu pun kini sudah sangat matang di usianya dua puluh tujuh tahun. Begitu pula dengan Emma, gadis kecil yang manis sudah beranjak remaja menjadi gadis belia yang menjadi pusat perhatian para pria di usia tujuh belas tahun.

Zac juga semakin posesif pada Emma karena beberapa pria baik yang seusia gadis itu atau pun beberapa rekan bisnisnya sudah menunjukkan rasa ketertarikan mereka. Sementara Emma yang masih dengan kepolosannya di usia remaja ini tak mengerti apapun dengan pesona yang terpancar dari dirinya.

Kesibukan Zac yang kini mewarisi perusahaan milik keluarganya serta beberapa perusahaan yang memang milik ia sendiri hampir membuatnya tak memiliki waktu untuk sering bersama Emma. Hal itu membuat ia di beberapa kali kesempatan membawa Emma ke kantornya sepulang gadis itu dari sekolah. Itulah yang membuat menyesal karena secara tidak langsung ia mengundang lebih banyak saingan untuk mendekati Emma walau ia sendiri tahu jika Emma pasti akan memilihnya.

“Prince Zac, aku ingin mengunjungi King,” Emma melontarkan permintaannya dengan suara yang sangat pelan.

Saat ini mereka baru saja tiba di Efson Security of World, perusahaan milik Zac yang ia bangun sendiri beberapa tahun lalu. Hari ini gadis itu sudah resmi lulus dari Senior High School. Zac tahu Emma pasti sangat lelah sekarang begitu pula dengan dirinya. Lalu apa? Gadis itu ingin bertemu King?

TIDAK! Ingin rasanya Zac meneriakkan kata itu tapi begitu ia ingin mengeluarkan suara sambil melihat Emma, gadis itu menunduk takut. Saling memainkan jemari lentiknya sendiri menunggu jawaban Zac. Sungguh Zac tak pernah bisa menolak keinginan gadisnya. Tapi …. God! Kenapa sulit sekali?

“Kau ingat apa yang King lakukan ketika terakhir kali kau mengunjunginya?” tanya Zac yang disahuti anggukan pelan Emma. “Lalu untuk apa mengunjunginya lagi?”

“Aku merindukannya,” lirihnya mendongakkan kepala perlahan hingga mata cokelat almondnya kini sudah beradu pandang dengan mata elang Zac.

Padahal tujuan Zac memindahkan King ke perusahaannya ini sudah jelas untuk menjauhkan Emma dari King demi keamanan gadis itu sendiri. Tapi, mungkin karena mereka sejak kecil sudah bersama hingga membuat Emma sangat menyayangi King, singa peliharaannya. Namun, kini King sudah berbeda. Ia lebih ganas karena memang sudah dididik oleh sang pawing untuk menjadi salah satu asset pelindung di perusahaan.

Well, tak mungkin bukan jika sebuah perusahaan keamanan terbaik di dunia ini tak memiliki sistem keamanan nyata selain teknologi? Lalu kenapa bukan anjing seperti yang biasa digunakan oleh polisi untuk membantu menjaga keamanan? Yah, karena King sudah menjadi sahabatnya sendiri sejak kecil. Lebih tepatnya, dulu Zac mendapat King sebagai hadiah dari sahabat baiknya yang kini sudah tenang di surga. Ia pun merawat King seorang diri selama satu tahun hingga akhirnya bertemu dengan Emma yang ikut membantunya mengurus dan menyayangi King hingga sekarang.

“Hanya melihat dari luar kandangnya, okay?” Emma mengangguk cepat sementara Zac hanya bisa mengembuskan napas kasar sambil mengusap wajahnya frustasi.

Zac menggenggam erat jemari Emma, menjaganya agar tidak melarikan diri. Yah, sulit memang untuk menjaga Emma jika sudah sangat ingin bertemu King. Ia akan menjadi dua kali lebih aktif dari biasanya. Jujur saja Zac sedikit khawatir mengingat sebulan yang lalu Emma hampir saja diterkam oleh King padahal gadis itu baru membuka kandangnya. Untung saja Zac berada di samping Emma saat itu sehingga dengan cepat ia menarik tubuh Emma dan langsung menutup kandang King.

“Shit!” umpatnya karena merasakan getaran pada ponsel di kantong celananya menandakan ada panggilan masuk. “Ingat, jangan membuka kandangnya! Cukup lihat dari luar, okay?” sekali lagi Zac menegaskan sebelum ia berjalan sedikit menjauh untuk menjawab teleponnya.

“Hai, King!” panggil Emma pada singa besar yang meringkuk di pojok kandang sambil memandang ke arahnya. “Apa kabar? Aku merindukanmu, apa kau juga merindukanku? Bolehkah aku masuk dan memelukmu seperti dulu?” tanya Emma masih berada di luar kandang menanti jawaban dari singa di dalam.

Namun, ia tak memperoleh apa yang diharapkannya. Singa itu masih memandang Emma dengan tajamnya. Mengabaikan peringatan dari Zac sebelumnya, Emma yang memang sudah sangat merindukan hangatnya bulu King akhirnya membuka kandang binatang besar nan buas itu. Ia masuk dan perlahan berjalan mendekati King.

“Kau tidak akan melukaiku kan, King? Aku hanya ingin memelukmu sebentar saja. Aku janji, okay?” ujar Emma membujuk King yang mulai menegakkan tubuhnya.

Semakin Emma mendekat, King pun tak kalah sigapnya mulai berjalan perlahan mendekati Emma. Gadis itu menoleh ke belakang, takut ketahuan oleh Zac karena sudah melanggar perintah pria itu. Namun, tanpa ia sadari sebuah terkaman kuat dari King ssudah menindih tubuh mungilnya.

“Arghh …,” pekikan Emma menggema dan seakan menjadi alarm peringatan bagi Zac membuatnya menoleh dan mendapati tubuh mungil itu sudah berada dalam terkama King.

“EMMA! Oh, God! Chris!” teriaknya memanggil orang yang memang bertugas untuk mengawasi King.

Seseorang yang ia panggil namanya datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa sebuah plastik hitam besar. Itu makanan King. Yah, singa buas itu tengah kelaparan saat ini dan ketika melihat tubuh mungil berjalan mendekatinya secara naluriah kebuasan singa itu menerkam langsung mangsanya.

“Berengsek! Dari mana saja kau, hah? Cepat selamatkan Emma!” bentaknya.

Kepanikan menyerang Zac terlebih melihat tubuh mungil gadis itu sudah memiliki banyak cakaran. Ia tak bisa kehilangan Emma. Tidak lagi karena hal yang sama membuat Zac harus kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dulu Claire, sahabatnya juga harus meninggal karena menyelamatkan King bayi yang hampir ditabrak mobil. Sekarang apa? Ia tak mau kehilangan Emma karena King yang kelaparan.

“God, please save her!”

Setelah berhasil mengeluarkan Emma dari dalam kandang King, Zac langsung menggendong tubuh mungil gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Banyak bekas luka luar yang bisa ia lihat di sekujur tubuh Emma. Sekarang ia hanya bisa berharap agar tak ada luka dalam pada diri Emma.

“Maaf, King. Aku menyayangimu. Bunuh dia!”

Mungkin sudah saatnya ia melepas satu-satunya kenangan Claire yang tersisa. Zac tak ingin lagi merasa kehilangan apalagi Emma adalah satu-satunya wanita yang menghuni hatinya. Ia tak mungkin sanggup membiarkan gadisnya pergi untuk selamanya.

Begitu tiba di rumah sakit, Zac langsung memanggil dokter agar segera melakukan tindakan terbaik untuk menyelamatkan Emma. Ia menunggu di luar ruang ICU sementara tim dokter menangani Emma di dalam sana. Air mata yang sudah ia tahan bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali sewaktu Claire dinyatakan meninggal dunia kini kembali mengalir. Zac yang sekarang sungguh terlihat begitu rapuh.

***

Dua bulan berlalu sejak hari kematian King dan hingga sekarang mata cokelat almond itu masih belum terbuka. Dokter mengatakan jika Emma mengalami shock karena serangan mendadak yang ia dapatkan dan terlebih lagi ada benturan kecil yang terjadi di kepala ketika ia terdorong oleh tubuh besar King menyebabkan terjadi pembekuan darah di otak.

Namun, hal itu masih bisa diatasi oleh para dokter kecuali rasa shock yang diterima oleh Emma. Mungkin karena sebelumnya gadis itu sangat dekat dan terlalu menyayangi King sehingga otaknya sendiri tak bisa menerima kenyataan jika King tiba-tiba menyerangnya dan bahkan ingin memakannya.

Sudah bulan Desember dan sekarang New York sedang diselimuti salju. Zac kembali teringat pada pertemuannya dengan Emma pertama kali. Saat ia melihat tubuh kecil nan rapuh meringkuk kedinginan di kursi taman membuat hatinya tergerak iba dan menolong gadis kecil itu.

“Tuhan, tolong kembalikan dia padaku!” Zac tak henti-hentinya memanjatkan doa agar gadisnya cepat sadar.

Pintu terbuka dan sepasang pria paruh baya memasuki ruangan itu. Memandang sedih pada gadis belia yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu. Walaupun mereka bukan orang tua dari gadis itu tapi rasa sayang keduanya sudah sangat besar pada Emma.

“Dia belum sadar juga?” tanya wanita paruh baya pada putranya, Zac hanya menggeleng sebagai jawaban sambil sesekali mencium punggung tangan Emma.

“Bersabarlah Zac, aku yakin Emma adalah gadis yang kuat. Ia pasti kembali bangun dan tersenyum ceria pada kita,” pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya menimpali seraya menepuk pundak putranya itu.

Zac sekali lagi mengangguk dan masih terus memandangi wajah cantik kekasih hatinya. Yah, Zac sudah menyukai gadis ini sejak pertama kali mendengar suara lembut yang mengalun dari bibir mungil itu terlebih ketika mata cokelat almondnya beradu pandang dengan mata elang miliknya.

“Pangeran Cinderella.”

Yah, itu adalah kalimat pertama yang ia dengar. Gadis polos yang menyebutnya Pangeran Cinderella karena mommynya dulu seringkali menceritakan dongeng itu pada Emma. Saat mereka berkenalan pertama kali dan bagaimana ia mencegah gadis kecil itu agar tidak pergi untuk mencari pangerannya. Sungguh ia merasa takut kehilangan sosok polos gadis manisnya.

“Emma!” panggilnya ketika merasakan jemari lentik dalam genggamannya bergerak pelan. “Bangun, sayang!”

Mata itu akhirnya terbuka kembali, mengerjap pelan menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dan menyilaukan penglihatannya. Setelah merasa normal kembali, pandangannya beralih pada sosok pria tampan yang menggenggam jemarinya. Ia ingat rasanya seperti ketika pertama kali bangun sembilan tahun lalu dan berada dalam dekapan hangat pria ini.

“Prince Zac,” ujarnya lirih.

Lindsay langsung memberikan segelas air putih pada Zac agar membantu Emma untuk minum. Ia yakin seraknya suara gadis itu karena kehausan setelah dua bulan lamanya tak sadarkan diri. Lindsay melirik pada Robert, suaminya mengajak untuk keluar meninggalkan Zac dan Emma berdua. Mereka akan ke ruangan dokter untuk memberitahu bahwa Emma sudah sadar.

“Aku bertemu mommy,” ujar Emma sementara Zac masih terdiam mendengarkan kembali suara lembut Emma yang sangat ia rindukan. “Kau tidak perlu mencari daddy lagi karena sekarang daddy bahagia bersama mommy di surga. Mommy bilang padaku untuk mencari pangeran yang mau menikahiku seperti Cinderella agar ada yang menjagaku nantinya karena mommy dan daddy tidak bisa melakukannya lagi,” air mata menetes dari kedua mata cokelat almond Emma.

Zac masih diam tak bersuara, ia menghapus air mata yang mengalir di pipi pucat itu dari kedua mata Emma. Sebenarnya Zac masih terus mengucap syukur pada Tuhan karena sudah mengabulkan doanya dengan mengembalikan Emma kembali.

“Apa Prince Zac akan menjadi pangeran yang menikah denganku?” pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil Emma membuat Zac tertegun sejenak hingga sedetik kemudian kedua sudut bibirnya terangkat.

“Ya, sayang. Akulah pangeranmu sejak dulu hingga sekarang dan nanti di masa depan. Kita akan menikah setelah kau keluar dari rumah sakit ini. Jadi kau harus cepat sembuh, okay?”

Emma mengangguk dengan senyum yang terukir indah di wajahnya. Namun, tak lama senyum itu memudar dan berganti dengan kerutan di dahinya. Ia mengingat sesuatu yang penting. Hal yang membuat dirinya bisa berada di tempat ini.

“King?” tanya Emma dan membuat tubuh Zac menegang seketika namun tak lama ia tersenyum tipis.

“Ia sudah bersama Claire dan menemaninya di surga,” ujar Zac, ia bisa melihat raut sedih di wajah Emma. “Memang sudah takdirnya untuk kembali bersama Claire, sayang. Jangan bersedih!” Zac mengecup punggung tangan Emma dan juga keningnya.

“Semoga dia tenang bersama Claire di surga juga mommy dan daddy. Aku sayang mereka semua.”

Zac tersenyum tulus untuk menenangkan Emma. Ia berterima kasih pada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan gadis ini. Mungkin dulu doa Emma ingin dipertemukan dengan pangerannya terkabul. Begitu pula dengan doanya agar Tuhan mengembalikan Emma padanya juga terkabul. Sekarang harapan mereka agar bisa bahagia bersama hingga melewati Winter puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun lagi bersama karena mereka sendiri dipertemukan ketika musim salju.

*** End***

2 Komentar

  1. fitriartemisia menulis:

    horeee, happy ending xoxo :tebarbunga

  2. farahzamani5 menulis:

    Haiii ini ceritany ke copy 2 kli kah, aq menemukan bnyk paragraf yg diulang diatas
    Wahhh akhirnya Emma bahagia bersama pangerannya
    Ditunggu karya2 lainnya
    Semangat trs ya