Chapter 8 – Rival
—
Setelah merampungkan segala macam tugas yang diberikan oleh setiap guru di berbagai bidang sebagai nilai tambahan akhir semester. Kini siswa-siswi tingkat akhir SMA Karya Bangsa sudah bersiap dengan Ujian Nasional. Mereka pun memiliki berbagai macam ciri saat-saat menjelang Ujian Nasional itu terjadi. Beberapa ada yang menanggapi dengan biasa saja dan beberapa yang lainnya berteriak histeris, merasa takut tidak dapat menjawab soal-soal dengan benar.
Hari berganti hari, keluh kesah dari setiap murid menjadi ritual tersendiri setiap kali keluar dari ruang ujian. Hal itu terjadi hingga hari terakhir ujian.
“Ah!” jerit Rafi merentangkan kedua tangannya.
Di depan laki-laki itu, Michael sudah lebih dulu keluar dan menunggu sahabatnya itu menyelesaikan ujiannya.
“Nggak usah lebay.” Komentar Michael tajam.
Rafi mengerut sebal mendengar suara dingin Michael, “Lo kenapa sih, Mic? Rese banget.” Sebalnya sambil memasang sepatu.
Michael mengamati tingkah sahabatnya yang tengah kesulitan memakai sepatu sambil berdiri. Dengan niatan jahil, Michael mendorong Rafi supaya terduduk di lantai dengan cepat. Sesaat setelah kejadian itu, sebuah jeritan keras keluar dari mulut Rafi.
“Aaa!” jeritnya lagi.
Michael terkekeh melihat raut wajah Rafi yang terlihat kesakitan.
“Parah lo, Mic. Asli! Pantat gue langsung nggak terasa apa-apa.” Komentarnya sambil memegangi bokongnya.
Namun bukannya meminta maaf atau membantu Rafi untuk bangkit. Malahan sebaliknya Michael semakin mengencangkan tawanya setelah mendengar komentar Rafi tentang apa yang laki-laki itu rasakan saat ini.
Tiba-tiba sebuah dehaman keras menghentikan gelak tawa Michael, laki-laki itu langsung berbalik dan langsung menemukan wajah seram dari guru pengawas. Sebelum guru itu membuka suara, dengan segera Michael membantu Rafi berdiri dan meninggalkan daerah itu.
Sesaat setelah keduanya turun ke arah lapangan, mulailah umpatan sebal dan makian kasar dari mulut Rafi keluar.
“Kacau. Parah. Lo. Mic. Argh!” Rafi mengumpat tidak jelas.
Michael mencoba untuk menahan tawanya sambil mengamati sahabatnya itu sejak tadi yang tak henti-hentinya mengelus daerah belakang tubuhnya.
Rafi yang melihat ekpresi Michael, langsung saja bergumam, “Nggak usah ditahan. Ketawa aja sepuas lo. Gue persilakan.”
“Oh… cup… cup, sakit ya.” Jahil Michael, menepuk-nepuk kepala Rafi seperti anak kecil.
Rafi dengan segera menepis tangan Michael di kepalanya.
“Lo kenapa sih, Mic? Tega banget dorong gue.” Tuturnya masih sambil memegangi belakang tubuhnya.
Michael langsung memasang wajah sebalnya dan mengepalkan tangannya untuk menjitak kepala sahabatnya itu, “Biar kita impas.”
Rafi mengerutkan dahi, bingung, “Impas apanya?”
“Nggak usah pura-pura lupa. Kejadian malam itu, yang lo nyuruh gue nyanyi di monas.” Michael melipat tangannya di depan dada, seolah ia tengah menunggu reaksi yang akan Rafi berikan.
Michael memang sengaja tidak membalas kejahilan Rafi pada saat itu, mengingat keesokkannya mereka harus memulai Ujian Nasional. Rasa sebal Michael kepada Rafi, sudah ia tahan sampai seminggu ini. Dan saat inilah bayaran yang harus sahabatnya itu terima.
Tak berapa lama, deretan gigi dari laki-laki itu terlihat, “Ah… itu. Ya ampun, Mic. Lo kayak nggak tau gue aja,” Cengiran Rafi membuat wajah Michael semakin marah, “tapi lo seneng, kan. Bisa deket sama Rani. Bahkan nganter dia pulang. Seharusnya lo terima kasih sama gue.” Sombongnya, lalu berjalan meninggalkan Michael.
“Eit… lo mau kemana.” Susul Michael menarik kerah belakang seragam Rafi.
“Pulang.” Senyum miris Rafi.
“Nggak sekarang.”
Michael menarik Rafi menuju lapangan sekolah, ditemani gumaman tidak jelas dari mulut Rafi.
Keduanya kini menjadi pusat perhatian dari siswa-siswi yang berada di koridor itu. Suara Rafi membuat mereka menolehkan pandangan ke arah lapangan dimana laki-laki itu kini berada.
Michael sebenarnya tidak tau apa yang ingin ia lakukan kepada sahabatnya itu, tidak ada niatannya untuk membalas kejahilan Rafi kepadanya. Namun, melihat raut wajah Rafi yang sudah pasrah, tiba-tiba pikiran konyol itu muncul di kepalanya.
“Mic, kita diliatin orang-orang.” Bisik Rafi mendekati Michael.
“Biarin. Biar lo ngerasa gimana perasaan gue malam itu.” Balas Michael membisikkan ke telinga kiri Rafi.
“Hai, temen-temen. Gue dari IPS, kalian nggak perlu tau gue siapa. Tapi, sekarang gue dan sahabat gue ini, berdiri di sini mau memberikan pertunjukan yang menarik buat kalian semua,” Suara Michael mengitari sepenjuru sekolah. “ini sahabat gue, namanya Ra—” ucapan Michael terpotong saat mendengar bisikan dari Rafi.
“Gue tampol ya, kalo lo kasih tau nama gue.” Bisik Rafi kejam.
Bukannya merasa terancam mendengar ancaman Rafi, Michael malahan tertawa jahil kepada laki-laki itu.
“Namanya Rafid Alamsyah. Dan dia bakalan stand up comedy. Selamat menyaksikan.” Ungkap Michael lalu berniat meninggalkan Rafi di tengah lapangan sendiri.
Michael berdiri di pinggir lapangan sambil bersiap dengan ponselnya untuk merekam kelakukan Rafi, namun saat matanya hendak terangkat untuk bersiap merekam. Dari arah samping kiri Rafi, datang rombongan Alvin yang langsung mendorong Rafi hingga terjatuh.
Melihat sahabatnya tertindas di depan banyak orang, Michael langsung berlari kembali ke tengah lapangan. Dengan keras, ia mendorong Alvin menjauh dari tubuh Rafi.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Alvin, Michael membantu Rafi berdiri dan menepuk-nepuk kotoran di seragam sekolah sahabatnya itu.
Dengusan keras terdengar dari Alvin. “Wow… life saver.” Ucap Alvin sambil bertepuk tangan.
Michael melirik Alvin dengan tajam setelah mendengar ucapan laki-laki itu.
“Tadi temen lo mau ngapain? Stand up comedy. Gimana kalau kita ubah sedikit permainan yang lebih menarik ditonton dari pada harus ngelitin cerita temen lo yang bego itu.”
Merasa geram mendengar penghinaan Alvin kepada Rafi, Michael dengan cepat menarik kerah baju Alvin. Tangannya sudah terangkat berniat memukul muka licik Alvin hingga babak belur. Namun, Rafi langsung menahan tangannya dari belakang.
“Jangan disini, Mic.” Ujar Rafi di telinganya.
Michael mengerti maksud Rafi, matanya langsung melirik ke belakang tubuh Alvin, di mana ruang guru berada. Di sana sudah terdapat beberapa guru yang ia kenal tegas. Ia tidak pernah menginginkan masuk ke ruangan itu karena perkelahian yang ia buat. Dengan terpaksa Michael menurunkan kepalan tangannya di udara dan di kerah seragam Alvin dengan keras.
Alvin menyeringai licik.
Michael membalas dengan tatapan tajam.
Alvin maju mendekati Michael hingga tidak ada jarak sedikit pun di antara keduanya.
“Gue bakalan berhenti mengejar Rani, kalau lo terima tantangan gue.” Bisik Alvin di telinga kanan Michael.
Michael tidak membalas ucapan Alvin.
“Basket.”
Satu kata itu berhasil membuat mata Michael membulat sempurna. Ia tau bahwa Alvin sengaja menantangnya dengan olahraga yang tidak ia kuasai. Dulu ia pernah menceritakan kenangan kelamnya tentang basket kepada Alvin, dan sekarang ia ditantang untuk memenangkan olaharaga itu hanya untuk membuat laki-laki di hadapannya ini, menjauh dari perempuan yang kini mencuri hatinya, Rani.
Tangan Michael terkepal keras. Rona merah, marah, dari wajah laki-laki itu membuat Alvin semakin tersenyum menang.
Ketika Alvin akan kembali membuka suara, Michael segera maju dan membisikkan ke telinga Alvin.
“Gue tau rencana lo. Dan asal lo tau, gue nggak pernah takut untuk memenangi orang yang gue sayang dari orang licik kayak lo,” Suara Michael tajam, seolah dibalik ucapannya itu terdapat senjata yang paling menakutkan, “gue terima tantangan lo, dan asal lo kalah gue harap lo menjauh dari Rani.”
Michael mundur, lalu menarik Rafi pergi dari tontonan orang-orang. Ketika hendak meninggalkan lapangan, tak sengaja pandangan Michael terangkat, tertuju ke arah kelas Rani berada. Di sana ternyata perempuan itu sudah menyaksikan semuanya, sejak awal.
Michael merasa sedikit menyesal dengan tindakannya, namun mau bagaimana lagi. Semua ini demi perempuan itu, jika saja Alvin tidak bersikap layaknya badboy, ia tidak akan bertindak maju membela perempuan itu. Ia akan melepaskan Rani kepada Alvin, jika laki-laki itu memperlakukan Rani layaknya putri.
Namun melihat sikap Alvin yang kekanak-kanakan dan egois, Michael tidak akan tinggal diam. Ia akan melindungi Rani dari tindakan kasar Alvin.
Michael tersenyum tipis kepada Rani di atas sana, entahlah apa maksud dari senyumnya itu. Kemudian ia berpaling dan meninggalkan halaman sekolah dengan sorak-sorakkan ramai dari siswa-siswi yang sejak tadi menjadi penonton.
***
“Argh…” jerit Rafi tertahan saat Michael memasang plaster ke pipinya.
“Diem!” perintah Michael.
Rafi mengamati raut wajah Michael dengan intens. Ia tidak pernah melihat sahabatnya itu tersulut amarah seperti tadi. Ia tau Michael memiliki tempramen yang stabil, laki-laki itu akan bisa menahan emosinya jika dalam keadaan terancam. Namun kali ini pertama kali baginya melihat Michael seperti ini.
“Mic, lo nggak pa-pa?” tanyanya.
Michael menyelesaikan tugasnya dan berpaling ke arah lain.
“Mic, maafin gue. Gue tau, gue salah.”
Michael melirik Rafi, “Bukan salah lo.” Ujar Michael singkat.
“Tapi lo nggak pa-pa, kan? Tadi, Alvin ngomong apa sama lo. Dia ngancem? At—”
“Lo bisa diem nggak!” bentak Michael, wajahnya sudah memerah kembali.
Rafi terkejut melihat respon Michael. Michael tidak akan pernah semarah itu. Ada sesuatu yang membuat laki-laki itu berubah seperti ini, dan Rafi tidak tau apa yang mengganggu sahabatnya itu. Ia tidak tau apa yang Michael dan Alvin bicarakan tadi.
“Mic, gue tau lo lagi mikirin omongan Alvin tadi. Tapi lo juga bisa berbagi sama gue. Ceritain apa yang sekarang ganggu pikiran lo.” Rafi menawarkan diri untuk Michael bercerita kepadanya, di saat laki-laki itu tengah tersulut amarah.
“Lo nggak ngerti.” Sinis Michael menatap Rafi tajam.
Mendengar Michael yang sinis, membuat Rafi merasa, ia harus mencoba membuat sahabatnya itu membuka suara. Bagaimana pun juga, tadi Michael telah menolongnya.
“Ok. Gue nggak ngerti apa yang tengah lo pikirin dan rasain sekarang. Gue terlalu bodoh jadi sahabat lo, gue bahkan nggak ngerti perasaan sahabat gue saat ini,” Mulai Rafi dengan nada serius, “gue emang sahabat lo yang bodoh, tapi biarin gue jadi sahabat lo yang perduli. Perduli sama keadaan lo.” Tutur Rafi sambil mengerutkan dahinya dalam. Menunggu respon yang diberikan Michael kepadanya.
Michael mendongak dan menatap sahabatnya yang kini sudah tertunduk lesu. Ada rasa bersalah dalam dirinya saat membentak Rafi beberapa saat lalu. Ia tidak bermaksud melakukan hal itu. Saat ini ia hanya memikirkan tawaran yang Alvin berikan kepadanya dan itu berhasil mengganggu konsentrasinya.
Michael menghela napas berat, “Lo nggak akan ngerti, Raf.” Ulangnya dengan nada datar.
Rafi mendongak dan melirik Michael di sampingnya, “Lo tau caranya jelasin sesuatu yang sulit buat gue ngerti menjadi sesuatu yang akhirnya gue ngerti.” Balas Rafi sambil menatap Michael dengan senyum misterinya.
Michael berdecak sebal mendengar penuturan Rafi.
“Cerita aja ke gue. Gue bakalan kerja keras agar gue ngerti apa yang lo omongin. Cepetan.” Semangat Rafi sambil mengepalkan tangan di udara.
Michael hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.
“Dia nantangin gue main basket.”
“What? Kenapa basket coba?” ujar Rafi mendesah tidak karuan seolah tengah berpikir keras alasan apa yang tengah Alvin tawarkan kepada Michael.
“Dia tau masa lalu gue.” terang Michael seraya membuka botol air mineralnya.
Rafi termangu mengamati Michael, sambil menggigiti sedotannya.
“Dia bilang, dia bakalan berhenti deketin Rani kalau gue terima tantangannya.” Lesu Michael.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rafi, saat Michael mengatakan bahwa Alvin mengetahui masa lalu laki-laki itu.
“Kalau gue boleh tau. Masa lalu apa yang dia tau tentang lo.” Rafi mengatakan dengan pelan dan ragu-ragu, takut Michael akan menghentikan mode ceritanya.
“Waktu SMP, gue berada di tim basket, dengan keinginan bokap. Gue dulu nggak ngerti yang mana yang harus didahului antara keinginan gue dan keinginan orang tua gue. Mungkin sekarang gue bisa menyimpulkan, bahwa gue nggak punya saudara jadi wajar gue lebih dulu mewujudkan keinginan orang tua dibandingkan keinginan gue sendiri.” Michael memulai ceritanya.
Dengan cermat Rafi segera mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Michael.
“Pada dasarnya gue itu orang yang egois, tapi gue berpikir kembali. Kalau orang-orang di sekitar gue harus menanggung keegoisan itu, maka, apakah hidup gue bakalan mendapatkan kebahagiaan yang tulus dari mereka?”
“Sejak saat itu gue berusaha menahan segala keinginan terbesar gue. Bokap selalu berpesan untuk serius di setiap bidang yang gue pilih. Sepak bola adalah keinginan terbesar gue, tapi gue kembali teringat dengan keinginan bokap pada basket dan sejak saat itu juga tanpa memikirkan harapan terbesar gue, gue memilih basket. Berjalannya waktu, gue pun mulai suka sama dunia basket, gue juga sempet jadi kapten. Tapi semuanya nggak berjalan dengan mulus.”
Rafi sampai saat ini dapat mengerti setiap kata yang diucapkan Michael. Hingga ia pun merasakan apa yang sahabatnya itu rasakan dulu.
“Kita kecelakaan. Tangan kanan gue patah dan bokap meninggal di tempat. Sejak saat itu juga gue ngerti alasan kenapa bokap selalu berpesan kepada gue buat serius di bidang yang gue pilih. Mungkin itulah akibatnya gue nggak serius, tangan kanan gue patah dan membuat gue harus berhenti dalam basket.”
Rafi refleks memegangi lengan kanan Michael.
“Sorry, karena gue nggak tau masa lalu lo. Gue ikut sedih sama apa yang lo rasain saat itu.”
Michael mengangguk sebagai jawaban.
Kini keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing, mencari solusi dari tantangan yang ditawarkan Alvin kepada keduanya.
“Tapi, Mic. Kalau lo nggak serius, kenapa lo bisa jadi kapten?” tanya Rafi tiba-tiba.
“Itu sebagai bukti ke bokap bahwa gue nyaman di basket, tapi kenyataannya gue nggak pernah merasa nyaman.” Jawab Michael cepat.
Rafi menghembuskan napas lega, karena kali ini ia berhasil membujuk Michael untuk menceritakan masa lalu laki-laki itu.
“Ok. Sekarang kita pikirin solusi atas tawaran Alvin.” Tutur Rafi bergaya seolah ia tengah memikirkan sesuatu yang serius.
Michael terkekeh, melihat tingkat Rafi yang seperti itu, “Udah nggak usah dipikirin, buat apa juga lo mau cari solusi segala. Pada akhirnya juga kita bakalan melawan Alvin, kan.” Pernyataan Michael sontak membuat Rafi melirik tajam ke arah Michael.
“Eh, kita?”
“Iya.” Michael menaikkan kedua alisnya seraya mengangguk kepala santai.
“Yakin lo? Gue nggak pernah pinter dalam basket.” Terang Rafi sambil menunjuk diri sendiri.
“No problem.” Jawab Michael singkat lalu berdiri.
Rafi mendongak mengikuti gerak-gerik Michael di depannya.
“Gue cabut. Mau nemuin seseorang.” Kata Michael menaikki motornya.
“Siapa?”
“You know him.”
***
Maafkan kalau banyak typo :cry:
Waahh jadi pertandingan basketnya di menangkan oleh Michael kan? Iya kan? Duuhhh penasaran nih
wah, mau tanding basket nih, hahaha