Chapter 7 – Singing
—
“Michael!” panggil Rafi, mengejar Michael keluar kelas.
Michael masih berlalu tidak memperdulikan Rafi yang memanggilnya.
“Ish, ini orang. Michael, gue mau ngomongin sesuatu.” Rafi tak juga menyerah menghentikan langkah Michael. Dengan cara menghalangi langkah laki-laki itu, Michael pun terpaksa berhenti.
Michael melirik Rafi bosan.
“Cepetan!” seru Michael seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Lo udah sembuhan?” tanya Rafi.
Michael menghembuskan napas malas, berniat meninggalkan Rafi. Namun kembali Rafi menahannya.
“Apaan sih, Raf?”
“Soal Rani.” ujar Rafi.
Michael langsung terdiam saat Rafi menyebutkan nama Rani di hadapannya. Entah setiap kali ia mendengar nama perempuan itu rasanya ada sengatan kecil yang membuatnya terdiam dan ingin mendengarkan apapun yang berhubungan dengan perempuan itu.
“Dia kenapa?”
Rafi memberikan gerakan kepala, yang mengartikan bahwa mereka harus memiliki ruang sepi untuk berbicara. Michael pun mengerti dengan maksud Rafi, lalu ia mengawali langkah menuju tempat sepi untuk memulai pembicaraan.
Parkiran sekolah menjadi pilihan Michael.
“Lanjutin.” Seru Michael mengingatkan Rafi untuk segera memulai kembali pembicaraan mereka.
“Menurut gue, ada yang beda dari Rani.” Singkat Rafi.
Kerutan samar muncul di dahi Michael, “Maksud lo?”
“Lo tau ‘kan, gue udah deket banget sama anak-anak cewek di kelas kita.” Michael mengangguk cepat, “rata-rata sifat mereka saat berhadapan sama cowok akan selalu sama. Ada yang malu-malu, ada yang genit dan ada yang salting kelewatan. Bahkan menurut gue mereka udah punya sifat dasar setiap kali deketan sama seorang cowok ataupun suka sama cowok.”
“Terus apa hubungannya sama Rani? Jangan bilang lo—” ucapan Michael terhenti saat mendengar Rafi melanjutkan kembali ucapannya.
“Rani beda. Gue udah lama tau dia karena dia sering banget lewat kelas kita, walaupun sekedar nyamperin temen-temennya di sebelah kelas kita. Tapi gue nemuin beberapa fakta akhir-akhir ini, mengingat lo lagi deket sama dia. Salah satu fakta yang gue simpulin adalah dia jaga jarak banget sama cowok.” Jelas Rafi panjang lebar.
Michael diam, tidak lagi berniat memotong ucapan Rafi.
“Gue udah tanyain ke beberapa cowok dari kelas doi, dan mereka semua nggak terlalu kenal sama doi. Ada juga yang bilang, si doi pendiem, misterius dan jarang berinteraksi sama kaum adam.”
Bayang-bayang wajah Rani pun langsung memenuhi isi kepala Michael, secara otomatis ia pun berusaha mengingat segala penjelasan yang Rafi baru saja katakan kepadanya tentang perempuan yang mencuri perhatiannya saat ini.
Beberapa kejadian tiba-tiba muncul ke permukaan. Di mana saat Alvin yang tiba-tiba mendatangi Rani untuk pulang bersama, namun dengan segera sebuah penolakan yang Rani berikan. Lalu kejadian di mana ia berkelahi dengan Alvin, dan Rani juga ada di sana untuk melerai dirinya. Ada gurat emosi yang mendalam dari wajah kecil Rani, seolah kemarahan itu meledak bagaikan semburan lahar panas gunung berapi yang telah lama tidak aktif dan kini kembali aktif.
Michael tidak pernah menyangka akan berpikir tentang seseorang sebegitu detail-nya. Apalagi yang tengah ia pikirkan adalah seorang perempuan dan hal itu tidak pernah menjadi topik utama dalam kepalanya. Namun, kali ini Rani telah berhasil merubah pemikiran Michael tentang cara pandang setiap orang.
“Mic, kok lo diem, sih.” Suara Rafi membuatnya kembali ke kenyataan.
“Enggak.”
“Jadi sekarang lo masih mau kenal Rani?” tutur Rafi.
“Bukan urusan lo. Gue juga nggak ada apa-apa sama dia. Kita cuma sebatas kenalan dan sesekali saling tegur kalau nggak sengaja ketemu.” Bohong Michael pada Rafi.
Rafi menyipitkan kedua matanya, mengamati Michael dengan seksama.
“Sshh… gue ngerasa lo bohong deh.” Tebak Rafi, menyipitkan kedua matanya.
Michael melirik Rafi tajam. Ia tidak suka dengan suasana hati dan sikap Rafi saat ini, yang bergaya layaknya seorang detektif.
“Nggak usah sotoy, deh. Gih, balik.” Michael berjalan melewati Rafi yang masih berkacak pinggang tengah mengamatinya.
Michael berbalik dan menemukan Rafi masih berdiri diam sambil mengamati pundaknya.
“Lo ngapain?”
“Nggak.” Geleng Rafi lalu berjalan menghampiri Michael, mensejajarkan langkahnya.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Michael tak henti-hentinya melirik Rafi di sampingnya. Ada sesuatu yang aneh dari temannya itu sekarang. Tidak biasanya sikap Rafi begitu diam saat tengah bersamanya, biasanya temannya itu akan selalu bercerita apapun kepadanya. Namun kali ini setelah meninggalkan halaman parkir, Rafi tak juga kembali menyuarakan suaranya.
Aneh ini orang, batin Michael.
***
Semilir angin bertiup begitu sejuk untuk waktu di pagi hari. Cahaya sang mentari tengah redup di karenakan awan mendung menghalangi aktivitas sehari-hari sang mentari. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Musim penghujan pun sudah mulai berdatangan membasahi bumi.
Hal yang sama pun berjalan cukup damai, setelah berunding dengan kepala dingin. Tugas-tugas yang awalnya menumpuk kini perlahan terselesaikan. Rani hanya mengikuti alur yang tengah teman-teman kelasnya jalani, jika ia harus profesional maka ia akan melakukannya semaksimal mungkin. Dan hal itu pun berpengaruh kepada anggota tim lainnya.
Masayu, Kintan, Intan, Ulan dan Lala pun melakukan hal yang sama. Mengingat tinggal beberapa hari lagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional, mereka pun mulai bergerak cepat untuk menuntaskan semua tugas-tugas yang sempat terhambat oleh kurangnya komunikasi yang jelas antar anggota, dan salah satunya hubungan Rani, Kintan dan Intan. Tak ada komunikasi yang jelas diantara Rani dan Kintan kepada Intan.
Sebelumnya beberapa fakta sudah Rani ketahui tentang sikap Intan kepadanya maupun kepada Kintan. Sempat ada rasa kesal saat mendengarnya, namun ia kembali menyingkirkan sikap emosinya. Jika ia harus menjalani semua ini dengan keras kepala dan Intan pun melakukan hal yang sama, maka tak ada satu pun yang akan menyelesaikannya dengan cepat.
“Selesai.” Masayu dan Kintan datang dari arah pintu kantor guru.
Rani yang menunggu keduanya di depan kantor menoleh ke arah sumber suara.
“Udah?” tanyanya.
“Yap. Alhamdulillah akhirnya tugas-tugas selasai.” Syukur Kintan bersorak senang.
“Gue udah bilang sama Pak Basyid soal subtitle kita yang nggak kelihatan di videonya. Terus katanya, beliau minta file subtitle-nya aja.” Jelas Masayu.
“Ok. Bisa diatur.” Ujar Rani.
“Huh, susah ya, jadi anak kelas tiga. Tugas udah banyak, kayaknya kita semua lagi diuji. Dari fisik maupun jiwa. Belum lagi hadepin UN nanti.” Tutur Rani.
“Stress.” Komentar Masayu sambil menggeleng-geleng kepala.
**
Bel istirahat, setelah memisahkan diri dari Kintan yang tengah sakit perut di kelas, Masayu dan Rani pergi ke koperasi untuk membeli sesuatu. Keduanya tidak langsung kembali ke kelas, malahan keduanya duduk santai di koridor.
“Mas, tadi gue liat Kak Ilyas.”
Masayu menoleh cepat saat mendengar nama laki-laki yang sempat dijodoh-jodohkan oleh teman-teman kelas sepuluhnya dulu.
“Lah kenapa laporan ke gue? Nggak ada hubungannya.” Sahut Masayu.
Senyum jahil muncul dari wajah Rani, “Serius nggak ada hubungan. Kalau perasaan, ada?” jahilnya.
“Udah kali, Ran. Males gue ngomongin dia.”
“Ok, ok.”
Saat bel masuk sudah berbunyi keduanya mulai bergegas beranjak dari duduk menuju kelas. Setibanya di lantai atas, bertepatan dengan itu, Kintan keluar dari kelas dan menghampiri Intan yang duduk sendiri di teras kelas. Rani dan Masayu yang melihatnya pun langsung datang menghampiri. Sempat Ulan dan Lala ikut bergabung, dan menjelaskan kenapa Kintan bisa seemosi itu.
Setelah mendengar penjelasan singkat Ulan, Rani dan Masayu pun ikut bergabung dan menahan Kintan untuk tidak gegabah dalam keputusannya. Kini setelah Intan menyuruh Ulan dan Lala pergi untuk meninggalkan mereka berempat, belum ada diantara keempatnya untuk memulai masalah yang tengah mereka hadapi.
Dengan berani Intan memulainya dan mengatakan semua alasan yang sampai saat ini belum ketiga temannya tau. Bahkan Intan mengeluarkan isi hatinya selama ini sejak ia berteman dengan ketiganya, dari beberapa ulasan yang dikatakan Intan diantara sudah diketahui oleh Rani, Masayu dan Kintan. Dan hasilnya sangat menggores hati.
Kenyataan kini terungkap, dibalik sebuah hubungan pertemanan, ada perasaan yang tengah tersakiti. Dengan cara tidak di sengaja perasaan sakit itu semakin mendalam menggoresi hati. Tinggal sakit yang tidak dapat lagi terobati.
Ungkapan yang selama ini terpendam dari masing-masing mereka kini hilir mudik tersuarakan. Dimulai dari hal-hal kecil hingga ke hal-hal yang besar, mereka ungkapkan. Agar semuanya jelas dan tidak ada yang perlu di permasalahkan lagi.
Rani pun melakukan tugasnya. Ia meluruskan semua kesalahpahaman yang selama ini Intan tujukan kepadanya, dan Intan pun menerima hal itu dengan wajar.
Masayu pun tak tinggal diam, ia pun sesekali menjelaskan semua sikap yang selama ini mereka lakukan kepada Intan. Intinya hanyalah satu, mereka butuh dihargai. Mengingat sikap Intan yang terlalu cuek setiap kali mereka menanyakan tugas-tugas.
Setelah saling mendengarkan curahan hati masing-masing dan juga alasan-alasan yang dituturkan Intan. Kini keempatnya pun saling berjabat tangan mengakhiri kesalahpahaman yang telah terjadi. Hal itu pun diakhiri dengan tangisan air mata Intan.
***
Jam pulang sekolah sudah tiba, kini Rani tengah menunggu Sisi di dalam kelas IPS5. Menurut Rani kelas ini adalah kelas yang paling sibuk dan pintar dari kelas IPS lainnya. Entahlah dari mana presepsi itu muncul di kepalanya, tapi dengan melihat gerak cepat dan kekompakkan kelas itu, Rani sudah langsung menyimpulkan bahwa pemikiran siswa-sisiwi kelas ini lebih tinggi di antara kelas IPS lainnya.
“Tunggu bentar ya, ran.” Seru Sisi seraya menyelesaikan tugasnya.
“Yap,” Jawab Rani duduk di samping Yulinar. “lo udah selesai?”
Yulinar mengangguk, matanya masih terfokus ke arah bacaan di depannya.
“Baca apaan, sih? Serius banget?”
“Wattpad.”
“Ah…” respon Rani, mengangguk kepala.
Rani mengintip bacaan yang tengah Yulinar baca, dan tak sengaja Rani membaca sebuah tulisan. “Pangeran berkuda putih.”
Yulinar melirik Rani dengan wajah jahil, “Hayo, siapa pangeran berkuda putihnya?”
Pipi Rani bersemu, tiba-tiba wajah seseorang terbayang di dalam pikirannya. Michael.
Kenapa gue mikirin dia, batin Rani.
“Siapa, ran?” sungut Yulinar lagi.
“Ada deh.” Elak Rani.
“Ngomongin apaan sih?” sambung Sisi datang mendekati keduanya.
“Udah selesai?” tanya Rani.
Sisi mengangguk seraya menutup ujung penanya.
“Nggak.” Kompak Rani dan Yulinar sambil tersenyum jahil.
Sisi merengut sebal, “Lo berdua ngobrolin apa?” sebalnya.
“Ih kepo!” jawab Rani berdiri dan menyuruh Sisi membereskan barang-barangnya.
Sisi menggerutu sebal karena tidak mendapatkan jawaban dari kedua sahabatnya.
“Eh, gitu aja ngambek,” Gumam Yulinar sambil menunjuk-nunjuk pipi tembam Sisi. “Rani tadi bilang soal Pangeran berkuda putih. Gue nanya siapa Pangerannya. Dia bilang ‘Ada deh.’ Udah gitu aja.” Jelas Yulinar sambil mengikuti gaya Rani saat menjawab pertanyaan darinya tadi.
Rani tertawa mendengar penuturan ulang Yulinar dengan cara mengikuti ucapannya tadi.
“Oh,” Respon Sisi sambil mengamati Rani. “Kayaknya ada yang lagi seneng nih.” Kontan mendengar penuturan Sisi, Rani langsung terdiam.
“Siapa?” tanya Rani.
“Ya, Lo-lah.” Tunjuk Sisi kepada Rani.
Sejenak Rani terdiam, lalu tanpa disadari perempuan itu sudah terduduk dan menceritakan semua yang beberapa jam lalu telah ia lalui. Dari mulai emosi Kintan yang tiba-tiba mendatangi Intan hingga hubungannya dan Intan membaik.
Sejak awal Rani belum menceritakan permasalahan ini kepada Sisi dan sahabat-sahabatnya karena ia mencoba untuk tidak berbagi kegelisahan kepada orang lain. Sudah cukup ia saja yang merasakan kegundahan pada saat itu.
Sisi juga tidak pernah memaksakan Rani untuk menceritakan masalah yang tengah perempuan itu hadapi. Ia hanya bisa menunggu, waktu dimana Rani sudah siap untuk berbagi cerita kepadanya. Dan kini waktunya sudah datang. Sekarang ia tau alasan kenapa akhir-akhir ini Rani tidak begitu bersemangat.
“Oh gitu. Ya udah ‘kan masalahnya udah clear, jadi udah, nggak usah dipikirin lagi. Yang jelas kalian udah saling minta maaf, dan juga udah saling kasih pendapat satu sama lain. Untuk selanjutnya dijalanin aja.” Saran Sisi.
“Iya tapi gue nggak tau deh bisa deket kayak dulu lagi atau nggak.” Ujar Rani.
“Jalanin aja dulu, Ran. Kalau si Intan biasa-biasa aja, ya di biasa-biasain aja.” Seru Yulinar.
Rani mengembungkan pipinya seraya mengangguk-angguk kepala.
***
Malam harinya Michael dan Rafi kini tengah berada di luar rumah. Keduanya tengah berada di Monumen Nasional (Monas). Awalnya Michael menolak ajakan Rafi, namun saat melihat tingkah sahabatnya itu siang tadi sedikit aneh. Dengan terpaksa Michael pun menyetujui ajakan laki-laki itu.
Sejak tiga puluh menit yang lalu, setiba keduanya di tempat tujuan. Michael tak henti-hentinya menggerutu sebal.
“Kok, lo berisik banget sih, Mic?” sembur Rafi, yang menahan umpatannya setiap kali Michael menggerutu tidak jelas.
Michael melirik Rafi sekilas, “Hah, gue berisik. Nggak salah lo?”
“Ya terus, mulut lo kenapa dari tadi nggak bisa diem.”
“Sekarang gue mau nanya sama lo, ngapain lo ngajak gue ketemuan disini?” tanya Michael dengan nada sebal.
“Nongkrong.” Jawab Rafi cepat, dengan wajah polosnya.
Michael menyangga kepalanya dengan tangan dilipat di atas dengkul. “Nongkrong? Di Monas?”
Rafi mengangguk cepat.
Michael menggarut-garut kepalanya, mencoba menahan emosinya saat ini.
“Lo kenapa, sih?” tegur Rafi.
“Lo lagi nggak sakit, kan?” tanya Michael seraya mengulurkan punggung tangannya ke dahi Rafi.
“Apaan sih, Mic!” Rafi menangkis tangan Michael di dahinya.
“Terus, ngapain kita disini.”
Mata Rafi menyisir ke segala arah, seolah mencari tontonan yang menarik untuk ia pandang, “Sumpek gue di rumah. Orang rumah nggak ada yang bisa diajak kompromi.”
Michael menoleh ke arah Rafi di sampingnya. Jarang sekali ia melihat sahabatnya itu berada di kondisi seperti ini. Terakhir kali ia melihat hal ini pada Rafi sekitar satu tahun yang lalu, saat ia baru mengenal laki-laki itu. Dan kini sepertinya sesuatu yang besar tengah menghampiri sahabatnya itu.
Michael menggarut kepalanya yang tidak gatal, sambil memikirkan solusi agar suasana hati sahabatnya itu kembali seperti semula.
“Ok. Sekarang lo mau ngapain?” suara Michael terdengar serius.
Rafi menoleh dan menemukan raut wajah Michael seolah menunggu jawabannya. Lalu kembali ia berpaling ke arah keramaian di kejauhan.
“Gue nggak mau ngapa-ngapain, kok. Gue maunya lo lakuin sesuatu buat gue.” Terang Rafi sambil menaik-naikkan alisnya.
Sejenak Michael terdiam, menimbang-nimbang apa yang akan sahabatnya itu lakukan kepadanya. Selama ia berteman dengan Rafi, tak ada satu pun pemikiran laki-laki itu yang wajar, menurutnya untuk dilakukan, dan kini lagi, ia harus mewujudkan keinginan laki-laki itu hanya untuk mengubah suasana hati sahabatnya itu seperti semula.
“Apa?” Michael pasrah.
Tatapan Rafi terarah ke sesuatu di kejauhan sana. Lalu berpaling kepada Michael.
“Berhubung gue bawa gitar acoustic, gue pingin lo nyanyi.” Ujar Rafi, memberikan tas gitarnya kepada Michael.
Awalnya Michael menerima keinginan Rafi untuk bernyanyi, namun saat mendengar lanjutan perkataan Rafi.
“Lo mesti nyanyi di keramaian itu.” Rafi sambil menunjuk keramaian orang di dekat monas.
Keduanya kini tengah duduk di trotoar tidak jauh dari monas dan ditemani pedagang ketoprak di samping keduanya.
“Ah, gila lo. Nggak! Gue nggak mau.” Tolak Michael mengembalikan tas gitar Rafi.
“Ayolah, Mic. Gue lagi mumet. Kali ini aja. Please!” mohon Rafi mencoba menarik kedua tangan Michael.
Michael langsung menarik tangannya menjauh.
Lagi, Rafi memohon dengan berbagai cara dan hal terakhir yang laki-laki itu lakukan adalah memasang tampang puppy eyes.
“Iya. Gue mau.” Jawab Michael cepat.
“Yes.” Senang Rafi, lalu berdiri dari duduknya sambil membayar makanan yang keduanya makan kepada penjual ketoprak. “Makasih ya, Mas. Ambil aja kembaliannya, saya lagi seneng karena temen saya mau nyanyi.”
“Wah, terima kasih, mas. Sukses buat temen mas, ya.” Balas Pedagang itu.
Lalu dengan cepat Rafi menarik Michael ke arah keramaian di dekat monas. Setelah menimbang-nimbang tempat yang tepat Rafi pun langsung menyuruh Michael mulai melakukan aksinya.
Dengan senyum manis yang dibuat-buat, Rafi mengambil posisi sedikit menjauh dari Michael.
Hal itu pun langsung mendapatkan lirikan tajam dari Michael. “Jangan coba-coba kabur lo. Awas aja lo kabur.” Ancam Michael.
“Nggak bakal. Swear.” Rafi mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke udara.
Tak lama kemudian, Michael pun mulai memetikkan gitarnya. Lagu pilihannya adalah Ed Sheeran, Photograph.
Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it’s the only thing that i know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive
Suara Michael terdengar sendu, alih-alih mendongak. Tak sengaja ia melihat senyum jahil Rafi yang tengah mengangkat ponselnya, merekamnya yang tengah berdiri memainkan gitar bersama nyanyian sendunya.
We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts are never broken
And time’s forever frozen, still
Rasanya Michael ingin mengakhiri aksinya itu, namun terlanjur, pandangan orang-orang telah terarah kepadanya. Kini berangsur-angsur langkah-langkah mereka mendekat.
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won’t ever be alone, wait for me to come home
Keramaian yang tadinya berada di samping Michael, kini sudah sepenuhnya mengerumuni Michael. Rasa gugup melingkupi Michael, ia tidak berani mendongak melihat pandangan orang-orang terarah kepadanya, yang hanya bisa ia lakukan hanyalah merunduk dan berkonsentrasi pada lirik lagu yang ia nyanyikan.
Loving can heal, loving can mend your soul
And it’s the only thing that i know, know
I swear it will get easier, remember that with every piece of ya
And it’s the only thing we take with us when we die
Sebuah panggilan membuat Michael mendongak, Rafi memanggilnya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang berada di sisi lain tempatnya berdiri. Michael pun menyisirkan pandangannya ke arah telunjuk Rafi terarah. Mata coklat gelap seseorang dan wajah kecilnya kini menjadi fokus pandangan Michael.
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won’t ever be alone
And if you hurt me
That’s okay baby, only words bleed
Inside these pages you just hold me
And i won’t ever let you go
Wait for me to come home
Michael mengakhiri nyanyiannya. Pandangannya masih terfokus pada mata coklat gelap itu, ada rasa yang aneh dalam dirinya. Tepukan tangan ramai orang-orang tak lantas membuatnya berpaling, malah sebaliknya. Mata coklat itu kini tersenyum ke arahnya. Dan hal itu langsung membuatnya membalas senyuman itu.
Tak pernah ia sangka, di tempat ini, ia akan bertemu dengan perempuan yang belakangan ini mengambil fokusnya. Rani masih berdiri di sana sambil menunggu keramaian orang-orang meninggalkan lingkaran yang tanpa disadari telah terbentuk dengan sendirinya.
Rafi menepuk punggung Michael pelan, laki-laki itu juga memanggil Rani untuk datang mendekat.
Dengan segera Michael mengembalikan gitar acoustic Rafi.
“Udah puas.” Mulainya sambil melotot tidak jelas ke arah Rafi.
Rafi menyunggingkan senyum jahil kepada Michael, “Udah.” Balas Rafi memasuki kembali gitarnya ke dalam tas, “Hi, Ran.” Sapanya saat Rani sudah berdiri di hadapan keduanya.
“Hi.” Balas Rani, “Tadi itu keren.” Rani mengacungkan dua jempolnya kepada Michael.
Pipi Michael langsung bersemu saat mendengar Rani memuji aksinya baru saja.
“Ah, thanks. Oh iya, lo ngapain malem-malem disini? Sendirian?”
“Hmm… nggak. Cuma jalan-jalan aja.” Jawa Rani.
Tiba-tiba Rafi memotong obrolan singkat kedua pasangan itu.
“Mic, gue duluan ya.” Sembur Rafi sambil bergerak seperti cacing kepanasan.
Michael merengut sebal dengan sikap Rafi, tadi ia disuruh menyanyi di depan keramaian orang dan kini ia harus di tinggal bersama Rani berdua.
Rafi bergerak kesana-kemari sambil sesekali menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas. “Hm… gue… ah… sakit perut. Ah, iya sakit perut. Duluan ya, bye.” Rafi berlari pergi hendak meninggalkan keduanya. Namun, langkah laki-laki itu tiba-tiba berhenti dan berbalik. “Eh iya, Mic. You know what i mean.” Katanya sambil sesekali melirik Rani dan Michael secara bergantian dan tak ketinggalan dengan kedipan mata tidak jelasnya pula.
Sebelumnya Rafi sudah mengetahui kehadiran Rani di sana. Ia sengaja tidak memberitahukan Michael, sampai tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di kepalanya dan membuat Michael bernyanyi di depan keramaian orang. Ia sudah menjamin bahwa Rani akan tertarik dengan apa yang ia pikirkan, dan ternyata benar. Bahkan saat dirinya memberi kode kepada Michael, sahabatnya itu pun langsung terpaku ke arah perempuan itu.
Kini Michael dan Rani terdiam sambil mengamati punggung Rafi yang mulai menjauh. Michael tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, ada saja hal yang berhasil membuatnya ingin marah dengan tingkah bodoh yang sahabatnya itu lakukan. Dan kini disinilah ia berada melakukan permainan bodoh yang sudah Rafi berikan kepadanya.
“Ah, itu orang, rasanya pingin gue pukul.” Omel Michael sambil berkacak pinggang.
“Gitu-gitu temen lo. Wajar kalau kadang-kadang bikin sebel.” Ujar Rani.
Michael tidak tau harus melakukan apa, yang ia pikirkan saat ini. Ia harus bertanggung jawab dengan perempuan di sampingnya hingga sampai ke rumah dengan selamat.
“Ahm… ran. Habis ini lo mau kemana lagi.”
“Tadinya sih udah mau pulang, karena tadi nggak sengaja liat ada yang nyanyi jadinya di samperin, deh.” Tutur Rani.
Kembali rasanya kedua pipi Michael bersemu panas, mengingat saat ia bernyanyi pandangan matanya tak kunjung berakhir dari Rani.
“Ah, itu. Kerjaan Rafi. Tadinya dia lagi nggak mood, jadinya dia nyuruh gue buat nyanyi. Eh, sekarang dia malah ninggalin gue.”
Rani mengangguk-angguk kepala, bahkan perempuan itu tersenyum geli saat melihat ekspresi wajah Michael saat mengomeli Rafi.
“Kalau gitu sekarang lo pulang bareng gue aja.” Terang Michael. Lalu mengajak Rani berjalan menuju parkiran motornya berada.
***
Sweet bgt si Michael :inlovebabe
:tepuk2tangan :tepuk2tangan :tepuk2tangan
???
Michael gemesin banget malu-malu gitu :ELUSELUS
Wkwkwkwk iya bener, mom??