Chapter 3 – On Rainy Days
—
Hari minggu pun tiba, Rani sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Intan untuk mengambil bahan-bahan yang telah disiapkan. Sedari tadi Yolanda sudah menelponinya berkali-kali untuk segera datang karena perempuan itu sudah sampai di depan rumah Intan.
“Iya OTW, nih.” Rani mengangkat telpon terakhir dari Yolanda.
Langsung Rani menghentikan sebuah angkutan umum setelah berjalan keluar dari area komplek rumahnya. Sekitar sepuluh menit, ia pun sampai di rumah Intan. Di sana Yolanda tengah terduduk di atas motor RX-King-nya, yang sudah dipastikan motor itu milik kakak laki-laki temannya itu.
“Maaf gue telat,” Ujar Rani mengambil napas dalam, “kenapa nggak masuk? Udah ditanyain belom?”
Yolanda tersenyum kikuk, “Takut.”
“Aish.”
Tak lama, Masayu dan Ulan datang menyusul. Mereka pun memberanikan diri mengetuk pintu rumah Intan. Intan pada saat itu tengah mengikuti Try out yang diadakan bimbingan belajarnya dan ia sempat berpesan untuk mengambil sendiri ke rumahnya.
Di rumah itu terdapat Ibu, Nenek dan adik-adik Intan. Sempat sang Ibu melontarkan beberapa pertanyaan mengenai masakan apa yang akan mereka buat. Dan Yolanda sebagai ketua langsung menjawabnya. Setelah mengecek bahan-bahan dan beberapa peralatan, mereka pun izin pamit untuk pulang menuju kediaman Yolanda.
Rani, Masayu dan Ulan terkejut saat mereka sampai di rumah Yolanda yang sangat jauh dari sekolah. Rani pikir sudah jauh dari jalan raya, jalan masuk ke rumahnya pun lebih jauh. Wajar saja kalau temannya itu selalu membawa motor atau diantar-jemput saat ke sekolah.
*
Tidak terasa hampir seharian mereka berkutik di dapur rumah Yolanda ditemani oleh sang Ibu. Praktik yang mereka buat telah selesai tinggal menunggu hasilnya saja, apakah enak atau tidak. Sekarang mereka tengah beristirahat di kamar Yolanda sambil berguling-guling ria.
“Ada sms dari Kintan.” kata Masayu.
“Guys, gue nggak bisa nyusul, sekarang lagi pada istirahat pertama, sejak dimulai pagi tadi.”
“Coba ditelpon.” Usul Rani.
Masayu langsung menelpon Kintan dan langsung mendapat jawaban.
“Gimana ceritanya baru istirahat?” sahut Rani cepat.
“Iya, udah dari tadi pagi kita nunggu. Ini rame banget dari berbagai macam sekolah jadi satu. Gue aja belum dipanggil sampai sekarang.” Jelas Kintan dari seberang sana.
“Ya udah. Nggak apa-apa.” Suara Yolanda.
“By the way, cantik make up-nya.” kata Ulan sambil menunjuk profil instagram Kintan kepada Masayu, Rani dan Yolanda.
“Hahaha, ke salon gue, pagi-pagi buta.” Tawa Kintan. “Udah dulu, ya. Bentar lagi udah mau lanjut. Sorry gue nggak bisa gabung, entar yang bagian jualnya gue deh.”
“It’s ok. Good Luck, Tan!” seru Rani.
“Hamasah!” sahut Masayu lalu mengakhiri telpon itu.
“Kata Intan dia juga nggak bisa nyusul. Masih ada satu sesi TO lagi.” Ucap Ulan menunjukkan pesan baru dari Intan.
“Coba telpon.” Usul Rani, lagi.
Dering operator sekali terdengar dan lalu terdengar suara Intan menyahut.
“Halo.”
“Masih lama, tan?” tanya Masayu sambil menekan tombol loudspeaker.
Suara grasak-grusuk terdengar di seberang sana. “Iya, ini baru mau masuk sesi kedua.”
“What? Dari pagi sampe sore gini baru masuk sesi kedua. Itu Try Out atau bedah soal.” Sahut Rani kaget mendengar penuturan Intan baru saja.
“Nggak tau, deh.” Jawab Intan. “Kalau gue sempet, gue nyusul.”
“Seriusan nih nggak bisa gabung?” tanya Masayu.
“Iya, Mas. Ini juga baru mau masuk sesi kedua.”
“Ya udahlah. Udah selesai juga kita.” Rani bersuara lagi.
“Maaf ya.” Balas Intan.
“Ok.”
Setelah mengakhiri sesi telpon itu, ketiganya mohon pamit kepada Ibu Yolanda untuk pulang. Rani yang tadinya pergi bersama Yolanda minta diantar sampai jalan raya agar ia bisa menyambung angkutan umum.
***
Malamnya cuaca tidak dapat diperkirakan. Siang tadi matahari sangat terik di atas sana seolah ia tengah berbahagia dengan tugasnya, sedangkan kini langit malam tengah bersedih dengan hujan yang turun ditemani petir menggelegar di setiap saat.
Di waktu seperti itu, Rani hanya berdiam diri di kamarnya, tanpa memainkan apapun di tangannya. Bahkan ponselnya ia biarkan tergeletak di atas meja. Ia tidak berani memainkan barang elektronik ketika gemuruh di luar sana bergelegar, ia takut kalau saja barang-barang itu akan tersambar petir.
“Dek, udah makan.” Seorang wanita dewasa mengintip dari pintu kamar.
“Sebentar lagi, Bu.” Balas Rani kepada wanita itu yang ternyata Ibunya.
Kembali Rani terdiam berniat memejamkan matanya sejenak, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah beraktivitas seharian tanpa henti.
Saat rasanya kantuk itu mulai datang, sebuah suara pesan dari ponsel Rani terdengar. Ia langsung menimbang-nimbang suara hujan di luar sana dan gemuruhnya. Sudah tidak terlalu deras. Ia pun langsung mengambil ponselnya dan membaca pesan yang tertinggal.
“Ran, sebenarnya Intan nggak pernah dateng ke Try Out itu hari ini.”
Mata Rani berulang kali membaca teks itu. Ia tidak mengerti maksud pesan yang dikirim oleh Masayu kepadanya.
Langsung ia mengetik balasan.
“Maksudnya, Mas?”
Pesan kembali masuk.
“Intan bohong soal ikut Try Out, sebenernya dia hari ini ikut tes pramugari sama kayak Kintan. Gue dapet sms dari Kintan sendiri. Besok dia bakal ceritain semuanya.”
Setelah membaca pesan balasan itu, mata Rani membulat kaget. Jantungnya berdegup tiba-tiba.
Kembali ia terpikir soal kejadian sore tadi, saat ia dan teman-temannya menelpon Intan.
“Iya, ini baru mau masuk sesi kedua.” “Kalau gue sempet, gue nyusul.”
Tanpa disadari rasa kecewa datang menghampiri. Rani kecewa kepada Intan yang berbohong. Sore tadi sebenarnya ia mengharapkan kedatangan Intan untuk membantu mereka, tapi saat mereka menelpon, ia pun hanya bisa mentoleransikan hal itu dan tidak memikirkannya lagi.
Namun, saat di hadapkan dengan kenyataan. Rasanya sakit ketika berpikir bahwa seseorang tengah berakting di antara kepedulian kita kepada orang itu sendiri. Seolah kita tidak pernah dianggap penting saat sebenarnya kita peduli kepada orang itu.
***
Pagi ini mendung menghiasi langit, seolah semalam masih bergundah dengan kesedihannya bersama pagi. Genangan air di sekitaran SMA Karya Bangsa membuat beberapa orang menjinjitkan kaki mereka saat melewatinya.
Berbeda dari orang-orang, Rani pagi itu terlihat tidak peduli dengan sekitarnya, bahkan ia tidak mempedulikan genangan air yang membasahi alas sepatunya. Suasana hatinya sedang kacau sejak semalam setelah membaca pesan singkat dari Masayu. Pagi itu ia tidak memiliki humor untuk bersuara sedikit pun. Bahkan ia yang seharusnya langsung menuju kelas kini berdiam diri di depan kelas ketiga sahabatnya.
Sisi yang mengenal sikap Rani hanya bisa diam dan menemani perempuan itu dalam diam. Yulinar dan Wulan pun sempat bergabung, lalu kembali lagi ke aktivitas mereka yang tengah piket.
“Kenapa, Ran?” suara Sisi mencoba membujuk Rani untuk bercerita.
Rani menggeleng pelan. Lalu ia berdiri dan pamit pergi ke kelas.
Sisi hanya bisa diam mengamati pundak sahabatnya itu yang berlalu pergi.
“Rani kenapa, si?” Yulinar datang sambil menggenggam sapu di tangannya.
Sisi menggedikkan bahu tanda tidak tau.
Di kelas setiba Rani duduk di kursinya. Masayu, Kintan dan Ulan seolah ikut merasakan suasana Rani saat itu. Mereka tidak ada yang bersuara. Intan yang menjadi latar belakang berubahnya suasana hati Rani, hanya bisa diam tidak tau apa yang tengah terjadi.
Hal itu berlangsung sampai jam pelajaran dimulai hingga memasuki jam istirahat.
Kintan yang merasa berhutang penjelasan pun langsung memberi kode kepada Masayu untuk mengambil tempat lain untuk bercerita.
Masayu menarik Rani yang masih diam di tempatnya.
Mereka berhenti di depan kantor guru dan duduk di sana. Kintan pun mulai menceritakan hal yang sebenarnya kepada Masayu dan Rani.
“Udah dari awal Intan bilang sama gue dia pengen ikut tes itu dan gue hanya bilang terserah dia. Awalnya gue mau cerita ke kalian, tapi dia larang gue buat cerita, katanya kalau lulus seleksi baru deh bilang sama kalian.” Jelas Kintan. “Gue aja nggak tau kenapa dia mau nutup-nutupin hal ini. Karena dia maksa, gue terpaksa tutup mulut aja sampai dia sendiri yang bilang.”
“Gue udah firasat sejak awal dia bakalan ikut tes itu. Tapi saat dia bilang mau ikut Try Out, firasat gue sedikit berkurang. Gue coba untuk percaya. Tapi sekarang gini jadinya.” Suara Rani pertama kali sejak pagi tadi.
Masayu mengelus pelan pundak Rani.
“Maafin gue karena nutupin hal ini dari kalian.” Ujar Kintan lagi.
“Ulan tau.” Seru Masayu cepat kepada Rani. Seolah ia tau apa yang akan Rani katakan selanjutnya.
Rani tersenyum miris lalu menghembuskan napas berat.
Masayu dan Kintan hanya bisa diam mengamati Rani dengan kegundahannya. Tidak lama rintik hujan jatuh dari langit dengan begitu derasnya, seolah langit pun ikut bersedih dengan kegundahan hati Rani saat itu.
***
Sudah dua hari berlalu setelah kejadian terungkapnya Intan yang tidak jujur kepada teman-temannya. Ia pun sudah mengetahui sebab Rani dan Masayu sedikit menjauhi atau mendiaminya dari Ulan. Dan ia merasa bersalah dengan hal itu.
Rani yang biasanya menjahili teman-temannya kini sangat berbeda. Kini Rani yang teman-temannya kenal itu telah berubah menjadi sosok Rani yang belum mereka kenal. Cuek, dingin dan pendiam itulah pandangan teman-temannya saat ini. Namun, dengan sikapnya seperti itu. Ia sesekali masih menjahili dan tertawa bersama.
Sisi tau dengan sifat Rani yang seperti ini. Jika temannya itu telah mengatakan kata andalannya. “Gue nggak apa-apa.” Itu berarti kebalikannya, dan Sisi sangat hapal.
Di setiap kali mereka berkumpul bersama. Ada saja cara Rani menghindari masalah yang tengah ia hadapi.
Kintan pun hanya bisa diam dan membiarkan masalah yang tengah menimpa mereka, tanpa memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya. Ia berpikir biarkan Rani yang menceritakan semuanya pada ketiga sahabatnya itu.
Siang itu pelajaran TIK mengakhiri perjumpaan senin pagi kelas IPS2. Dan lagi, mood Rani menjadi rusak karena guru yang membimbing pelajaran itu memberikan sebuah tugas akhir tahun berkelompok.
Dengan keadaan yang bisa dikatakan canggung, Rani dan Masayu kembali menjadi satu kelompok dengan Intan, di mana kelompok itu sudah disusun sejak kenaikan kelas beberapa bulan lalu, jauh sebelum kejadian dua hari yang lalu terjadi.
Yang membuat Rani bersikap layaknya bermusuhan dengan Intan adalah karena Intan sendiri sampai sekarang belum mengatakan kebenaran dari perkataan-perkataan yang Rani dengar dari Kintan atau pun Ulan, dan hal itu sangat membuat Rani jengah.
Di kelas yang biasanya Rani, Masayu, Kintan, Intan, Ulan dan Lala berkumpul di satu meja yang sama saat beristirahat, kini hal itu sudah tidak pernah terjadi lagi. Jika pun terjadi, hanya ada Rani, Kintan dan Masayu terkadang Ulan dan Lala pun ikut bergabung.
Warga kelas yang biasanya memperhatikan keramaian mereka pun sudah mencium bau kecanggungan antara Intan dan lainnya. Mereka hanya mengetahui sebatas itu tidak lebih sampai ke inti masalah.
Rani menghembuskan napas berat sambil memanggul tasnya lalu berdiri dari bangkunya. Ia selalu keuar kelas saat semua orang sudah seutuhnya keluar.
“Gimana, Ran.” Seru Masayu sembari keluar dari kelas.
“Ya, gimana lagi. Udah terbentuk lama juga kelompok ini,” Balas Rani berhenti di depan kelas sambil bersandar di pagar pembatas. “Bu Maya juga orangnya tegas.”
Siang itu hujan kembali turun mengingat kembali musim penghujan mulai datang di bulan Oktober.
“Jadi, lanjut nih!” Lagi Masayu berseru.
Rani mengangguk kepala malas.
Sejenak mereka terdiam dalam lamunan sambil menunggu hujan yang semakin deras itu reda.
Masayu izin pamit menghampiri temannya untuk pulang bersama. Rani hanya mengangguk dan ikut berjalan turun ke kelas Sisi.
Setelah Masayu mengambil jalan yang berbeda, Rani langsung mengintip ruang kelas ketiga sahabatnya, dan sayangnya mereka tidak ada di sana. Sepertinya sudah pulang sebelum hujan deras tadi.
Akhirnya Rani mengambil duduk di depan kantor guru, yang terdapat beberapa siswa juga tengah menunggu hujan reda. Earphone yang sudah terpasang di kedua telinganya mulai ia sambungkan dengan ponselnya dan memutar sebuah lagu yang cocok dengan suasana hatinya pada saat itu. Judul Loser dari Big Bang menjadi pilihannya. Ia pun mulai kembali menerka-nerka arti lirik dari lagu itu.
Di kejauhan seorang laki-laki tidak sengaja menangkap sesuatu yang menarik di matanya, lalu langkahnya pun mulai bergerak untuk menghampiri. Ketika langkah itu semakin dekat, ternyata laki-laki itu adalah Michael. Semenjak berjalan dari kejauhan matanya tetap terfokus pada Rani berharap perempuan itu tidak pergi sebelum ia berada di sana atau pun kembali dari lamunannya.
Michael mengambil duduk di samping Rani dengan kebisuannya.
Tanpa Michael sadari, Rani ternyata sudah kembali ke kenyataan dan langsung melirik sekilas kehadirannya.
Kini mereka terduduk dibalik deru hujan yang deras sambil sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Sudah beberapa hari terakhir Michael tidak menemukan keberadaan perempuan di sampingnya ini. Beberapa hari terakhir, ia selalu duduk di teras kelasnya menunggu Rani melewati kelasnya sebelum ke kelas di sampingnya. Namun sayangnya, perempuan itu tidak menampakkan wujudnya di saat yang ditunggu-tunggunya, ia sempat frustasi karena tidak satu kali pun melihat wajah Rani. Dan sekarang, ia ingin terus berada di dekat perempuan itu walau pun hanya sesaat.
“Belum pulang.” Michael membuka obrolan.
Ada senyum tipis dari perempuan itu, namun ia masih tidak membalas seruan Michael.
“Nama gue Michael,” Kata Michael lagi sambil mengulurkan tangan kanannya.
Rani menoleh dan melepas sebelah earphone-nya. Tanpa menunggu lama, ia menjulurkan satu tangannya menjabat tangan Michael.
“Rani.”
Michael tersenyum. “Kenapa belum pulang?”
“Hujan.” Jawab Rani cepat.
Michael mengangguk. Ia sedikit gugup berada di samping Rani yang cuek atau bisa dikatakan dingin. Ingin rasanya ia mengutarakan seluruh pertanyaan di kepalanya kepada perempuan ini. Tapi, ia takut kalau saja Rani merasa terganggu atau pun tidak suka dengan sikapnya yang terlalu ingin tau.
“Dari IPS2, ya?” Michael membuka suara, lagi.
Rani mengangguk, menyandarkan bahunya di dinding agar dapat melihat wajah Michael.
“Lo?” tanya Rani.
Michael menunjuk kelasnya di kejauhan. “IPS6,” Ia lalu menoleh ke arah Rani. “gue sering liat lo duduk-duduk di depan kelas IPS5.”
“Iya. Temen-temen ada di kelas itu jadi sering ngumpul di sana. Mereka males kalau mau ngumpul di atas,” Jelas Rani.
Sejenak Rani merasa nyaman bisa mengobrol dengan seseorang, apa lagi dengan orang lain yang belum pernah ia temui atau ajak bicara. Ia merasa hal ini dapat mengalihkan pikirannya sejenak. Mungkin ini adalah salah satu cara Sang Pencipta agar membuatnya untuk tidak terlalu larut dalam masalah yang tengah terjadi.
“Sekarang mereka kemana? Kenapa lo sendirian?”
Rani tersenyum tipis, “Udah pulang,” Sambil memasukkan earphone-nya ke dalam tas, “nggak apa-apa.” Sambungnya.
“Jadi, lo pulang sendiri?” Michael khawatir.
“Iya.”
Rani mengamati jam tangannya, dan sudah menunjukkan hampir setengah enam. Serta langit yang mendung terlihat seolah hari sudah mulai gelap.
“Boleh gue nganter pulang?” pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Michael.
Rani mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan pertanyaan Michael.
“Maksudnya, bolehkah gue nganterin lo pulang?” ulangnya lagi.
Senyuman menahan tawa terlihat di wajah Rani sesaat setelah Michael kembali mengulangi pertanyaannya.
“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri,” Jawab Rani pelan berusaha menahan tawanya.
Pipi Michael sedikit panas melihat Rani yang menahan tawa saat ia bertanya tadi.
“Udah hampir gelap. Kalau lo nungguin bus, bakalan lama mana lagi hujan juga,” Michael masih mencoba untuk membujuk Rani. “gue anter, ya.”
Sejenak Rani diam menimbang-nimbang tawaran itu. Ada benarnya juga penuturan Michael, bisa saja ia pulang setelah adzan magrib atau mungkin lebih.
“Lo pulang arah mana. Gue takut entar ngerepotin lagi.”
Michael berdiri dari duduknya, membenarkan tas dukungnya, “Nggak usah dipikirin. Yuk!” kali ini dengan keberanian ekstra, Michael menarik tangan Rani dan berlari-lari kecil melewati rintikan hujan yang sudah tidak terlalu deras. Rani di sampingnya tidak memberontak, perempuan itu hanya bisa mengikuti langkah kakinya pergi.
Untung saja hari itu Michael membawa mobil karena motornya masih berada di bengkel. Beberapa hari yang lalu ia berniat untuk membawa pulang motor kesayangannya itu. Namun, kata montir di sana, motornya belum selesai direparasi.
Setibanya di parkiran sekolah, Michael membukakan pintu penumpang di samping kemudi untuk Rani. Lalu ia berputar menyusul masuk dan bergegas meninggalkan pemukiman sekolah yang sudah sepi.
Di perjalanan keduanya sesekali mengobrol ringan, kadang Michael memulainya dan kadang Rani yang memulai. Keduanya saling mengenalkan diri masing-masing. Di antara obrolan itu kadang keduanya tertawa bersama dan kadang saling mendengarkan salah satu di antaranya bercerita.
Hal itu membuat perasaan Rani yang tadinya tidak karuan karena memikirkan tentang hubungannya dan Intan yang rumit, kini sudah tergantikan dengan keberadaan Michael.
Perasaan yang sama pun terasa dari Michael, ia merasa senang bahwa perempuan yang ia kagumi beberapa minggu terakhir ini memberikan sikap positif dari perkenalannya tadi. Dan itu membuatnya semakin bersemangat untuk mengenal Rani lebih dekat.
Michael merasa ada sesuatu yang berbeda dari Rani, saat tadi sebelum ia menghampiri Rani, ia sempat melihat ada gurat letih dari wajah kecilnya itu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin selalu dekat dan menemaninya setiap saat. Ada rasa ingin menjaga dan melindunginya. Ia berharap awal yang baik akan menghantarkan kelanjutan hubungan yang baik pula baginya dan Rani nanti.
Memasuki kawasan komplek perumahan, Michael pun memberhentikan mobilnya di salah satu rumah yang ditunjuk Rani sebagai rumahnya.
Sederhana, batin Michael tersenyum.
“Hmm, thanks ya buat tumpangannya.” Ujar Rani seraya melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
Michael mengangguk.
Lalu Rani langsung keluar dari mobil itu dan berbalik menunggu Michael pergi.
Kaca mobil itu terbuka dan membuat Rani merunduk sedikit untuk melihat ke dalam.
“Thanks juga buat hari ini,” Seru Michael dari dalam. “see you at school.”
Setelah itu Michael langsung membawa mobilnya pergi, sesaat setelah Rani membalas seruannya dengan anggukan.
Sungguh hari itu, hari yang sangat tidak pernah disangka oleh Michael. Ia akan mengobrol dengan Rani bahkan mengantar pulang perempuan itu. Sempat terlintas dipikirannya saat kejadian Alvin menawarkan tumpangan kepada Rani dan perempuan itu langsung menolak. Hal yang sama sempat terbesit di otaknya bahwa Rani akan menolak. Namun, nihil ia tidak mendengar sebuah penolakan yang jelas dari mulut Rani dan itu membuatnya sedikit lebih unggul dari Alvin.
***
Yess akhirnya Michael berani jg ngajak knalan tuh, ngantrin jg lg :blackpompom :blackpompom
:inlovebabe :inlovebabe :inlovebabe
Wow!! Michael unggul dari Alvin nih!! Keren keren,,
Wkwwk kerrenn
ini lucu banget deh Michael yang malu-malu wkwk
Iyaiya??
Ih ucul banget :CUBITPIPI
???