Chapter 2 – Heart Attack
—
Suasana pagi di SMA Karya Bangsa, terlihat seluruh siswa-siswi sudah berkumpul di tengah lapangan menantikan pemberian penghargaan atas lomba kemerdekaan kemarin. Piala-piala sudah terpampang jelas di depan sana, menunggu pemiliknya menerima dan menjadi pusat perhatian.
Berbeda dari tahun-tahun lalu yang biasanya kelas dua belas memenuhi deretan pemenang, kali ini berbanding terbalik, kelas sepuluh dan sebelas menjadi dominan dalam perlombaan tahun ini.
Melihat kehebohan kelas dua belas berikan kemarin ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, namun hal itu tidak langsung mereka sesali.
“Bukan kemenangan yang kami inginkan. Tapi yang kami inginkan adalah kenangan untuk di masa tua.”
Sungguh dramatisir mendengarnya.
Apalagi yang mengatakannya adalah anak IPS yang kemarin begitu ramai menyuarakan suara mereka. Walaupun rasa kecewa akan kegagalan itu ada, tapi mereka tetap menghargai kerja keras yang telah diberikan oleh para peserta lomba.
Setelah pemberian piala dan penghargaan. Semua murid diperintahkan untuk kembali ke ruang kelas masing-masing. Hal itu sempat membuat ribut di sepenjuru sekolah, karena mereka harus kembali lagi dengan aktivitas belajar mengajar seperti biasa.
Berbeda dengan kelas lainnya. Kelas IPS2 pada saat itu bertepatan dengan jam olahraga dan membuat seisi kelas keluar masuk untuk mengganti seragam sekolah mereka.
“Mas, cepetan!” Seru Rani berdiri di depan pintu kelasnya.
“Sabar,” Ketus Masayu.
Mereka pun berjalan berdampingan.
“Liat tuh si Kintan cepet banget ganti bajunya,” Rani menoleh ke arah lapangan yang sudah terdapat beberapa teman kelasnya.
“Udah biasa kalau Kintan, mah.”
Seusai mengganti dan mengembalikan seragamnya ke kelas Rani dan Masayu kembali ke lapangan, dan bergabung dengan yang lainnya.
Praktik hari itu adalah lompat tinggi. Setelah pemanasan sekitar lima menit semuanya mulai serius dengan pembelajaran. Sempat beberapa siswi menjerit frustasi karena tidak berhasil melompati dengan benar. Namun hal itu tidak masalah bagi siswi yang memiliki tinggi sekitaran 160cm, dan Rani berada di salah satu siswi itu.
Dua jam hampir berlalu, mata pelajaran olahraga pun segera usai. Menit-menit terakhir Pak Purwantara mengizinkan para siswa/i melakukan aktivitas mereka masing-masing. Anak laki-laki bermain sepak bola sedangkan perempuan beristirahat atau mengganti seragam sekolah mereka.
Pada saat itu, Rani, Kintan dan Masayu tengah beristirahat sejenak di koridor bawah gedung IPS, sambil menyaksikan permainan sepak bola teman kelas mereka. Kadang mereka tertawa bersama saat melihat aksi kocak dari teman-teman kelasnya di lapangan.
Di waktu yang sama, ruang kelas IPS6 terlihat begitu khidmat dalam pelajaran yang pada saat itu salah satu guru senior tengah berdiri di depan kelas.
Michael tidak terlalu memperhatikan guru di depan sana. Ia sibuk dengan mencoret-coret kertas di belakang bukunya, sedangkan Rafi di sampingnya sudah tertidur dengan pulasnya.
Pak Bakar tipe guru yang sangat cuek. Ia membiarkan siswanya tidur di kelas. Katanya, “kalau sama Bapak terserah kalian, mau tidur, mau main hp, terserah. Kembali lagi nanti siapa yang rugi, yang jelas bukan Bapak.”
Tiba-tiba sebuah suara tawa terdengar tidak jauh dari tempat Michael. Sejenak Michael menyipitkan kedua matanya, memfokuskan indera pendengarannya, setelah itu barulah ia sadar bahwa perempuan yang tengah mencuri perhatiannya saat ini tepat berada di samping tembok kelasnya.
Michael yang tadinya sibuk mencoret-coret buku langsung berhenti, dan memfokuskan obrolan Rani dan temannya di luar sana. Kadang ia tersenyum saat mendengar suara Rani terdengar nyaring, kadang juga ia terdiam saat Rani menceritakan sesuatu.
Tak lama suara bel istirahat berbunyi, hal itu membuat Michael langsung berdiri dari kursinya dan berniat keluar. Setelah mendorong tubuh Rafi yang tertidur dengan kasar, ia buru-buru keluar kelas mencari sosok Rani. Namun, nihil, ia tidak menemukan perempuan itu di mana pun.
Michael berdiri di depan pintu kelas dan langsung mendapat ketukan di kepalanya.
Pak Bakar menggeleng kepala tanpa berujar.
“Maaf, Pak.”
Setelah Pak Bakar berlalu, sebuah jitakan keras kembali melayang di kepala Michael.
“Siapa, sih?” bentaknya.
“Apa? Lo mau marah. Gih, gue dengerin,” Balas Rafi keras. “gue yang mestinya marah sama lo. Orang lagi tidur didorong-dorong sampai jatuh pula. Jahat banget lo, Mic.”
Michael berkacak pinggang, “Ya, sorry. Nggak sengaja.”
“Nggak sengaja, kepala lu!” bentak Rafi.
Michael menghela napas berat, “Terus lo mau apa sekarang?” tuturnya.
“Mau bakso.”
Mereka pun berlalu ke kantin sekolah yang sudah dipadati siswa-siswi yang juga ingin mengisi perut mereka.
Rasa kecewa sempat menghampiri Michael karena ia tidak menemukan Rani di mana pun. Walaupun begitu, ia cukup senang karena dapat mendengar suara perempuan yang ia sukai, walau hanya sebentar.
***
“Vin, gih sana coba deketin cewek lo!” Seru Gerald pada Alvin yang sedari tadi hanya diam di kelas.
Alvin sudah lama menyukai Rani, sejak kelas sebelas ia sudah mengenal Rani dari teman-teman kelasnya.
Sebenarnya Rani bukanlah perempuan yang banyak dikenal siswa-siswi kelas lain. Rani sama seperti siswi-siswi lainnya, ia tidak terlalu membaur atau berteman dengan teman kelas lainnya. Ia hanya dekat dengan beberapa orang saja, dan berhubung ketiga sahabat Rani yang lainnya berada di lain kelas, dan ia juga sering mengunjungi ketiga sahabatnya itu, maka hampir seluruh IPS5 mengenalnya. Itu pun hanya siswi-siswi yang mengenalnya.
“Emang udah istirahat?” jawab Alvin.
“Eh, ini bocah. Suara bel sebesar itu nggak kedengeran. Itu kuping apa, kuping.” Celoteh Gerald.
“Entar deh. Pas pulang, gue mau ngajakin pulang bareng.” Jelas Alvin.
“Wih… good luck, ya.”
Setiba jam pulang sekolah, Alvin sudah duduk santai di atas motor besarnya menunggu perempuan yang dinanti muncul dari keramaian pintu gerbang. Beberapa siswi perempuan sempat menyapanya dan Alvin hanya membalas dengan anggukan beserta senyum ramahnya.
Tidak lama, orang yang dinantinya muncul diantara keramaian itu. Perempuan itu berjalan sendiri ditemani dengan earphone menggantung dikedua sisi telinganya.
Alvin pun langsung turun dari motornya dan menghampiri.
“Hai.” Sapanya menghentikan Rani.
Rani terkejut lalu mendongak, “Ya?”
“Alvin.” Alvin mengulurkan tangannya kepada Rani.
Rani menjabat tangan itu dengan cepat, “Rani.”
“Lo mau pulang, ya?”
Rani mengangguk seraya memegangi tali earphone-nya.
“Gue anter, ya.” Tutur Alvin langsung.
Rani sedikit ragu dengan laki-laki di hadapannya ini. Ia tau yang berada di hadapannya saat ini adalah Alvin. Laki-laki yang banyak disukai oleh siswi-siswi sekolahnya, dan ia tidak ingin berada di antara perempuan-perempuan itu untuk mendekati orang yang mereka sukai.
Serem, batin Rani.
“Ah, nggak usah. Gue bisa pulang sendiri, kok.” Tolak Rani pelan.
“Nggak apa. Bareng gue aja. Kali aja rumah kita searah,” Alvin masih tidak ingin menyerah.
Rani merasa tidak enak dengan penolakannya kepada Alvin. Tapi, mau bagaimana, ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan laki-laki ini. Ia juga tidak memiliki riwayat dibonceng oleh laki-laki.
“Kayaknya kita nggak satu arah, deh.” Rani memasang earphone-nya, “gue duluan, ya. Bye.”
Alvin terdiam ditempatnya sambil mengamati Rani yang berlalu begitu saja melewatinya.
Susah banget ya dapet perhatian lo, pikir Alvin.
Lalu ia berjalan kembali ke motornya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvin menjalankan motornya, ia berinisiatif untuk mengikuti Rani diam-diam.
Setelah suara motor Alvin sudah tidak terdengar, seorang siswa keluar dari pos satpam yang tidak jauh dari gerbang sekolah.
“Gila! Berani banget dia langsung nawarin pulang bareng,” Michael membenarkan tas dukungnya.
Sedari tadi ia sudah berada di pos satpam itu dan mendengar apa saja yang dibicarakan Rani dan Alvin tadi. Sebenarnya ia tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang itu, awalnya ia berada di pos satpam ini untuk menunggu Rafi yang pergi ke toilet.
Michael menggeleng-geleng kepala tak habis pikir dengan sikap Alvin tadi.
Lalu ia berbalik mencari keberadaan Rafi yang tidak juga muncul. Akhirnya ia pun meninggalkan temannya itu, dan berjalan menuju halte bus. Hari ini motor kesayangannya tengah berada di bengkel dan ia berniat untuk mengambilnya setelah pulang sekolah.
Setelah menyebrangi tangga penyebrangan, Michael langsung berjalan kearah halte bus yang sudah dipenuhi siswa-siswi sekolahnya, mulai dari juniornya dan beberapa siswa-siswi satu angkatan dengannya.
Melihat halte yang penuh, Michael pun hanya berdiri di anak tangga sambil menunggu bus jurusannya datang.
Selang waktu, beberapa orang sudah menaiki bus jurusan mereka masing-masing. Yang tersisa hanya tinggal beberapa dan Michael pun menaiki anak tangga berniat duduk di kursi yang ada di halte itu.
Namun langkahnya terhenti ketika matanya tidak sengaja melihat keberadaan Rani yang duduk di samping kursi kosong itu. Rasa gugup menjalarinya, kakinya seolah tidak dapat bergerak maju saat melihat perempuan itu.
Rani menoleh ke arah Michael yang berdiri mematung di tempat.
Merasa diamati, Michael pun langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seolah salah tingkah. Saat ia menemukan seorang ibu tengah berdiri bersama beberapa kantung belanjaan, tanpa menghilangkan rasa hormat, ia pun menyuruh ibu itu untuk duduk di tempat yang tadinya ingin ia tempati.
“Oh, terima kasih, nak.” Seru ibu itu lalu duduk dan menaruh belanjaannya.
Setelah melakukan hal itu Michael langsung membuang muka kearah lain. Ia tidak berani mencuri pandang ke arah Rani. Ia takut kalau-kalau Rani tengah mengamatinya.
Ah jantung gue, batin Michael sambil memegangi dadanya.
***
Vote dlu yak
Bca ny nnt mlm hihi
:byesampaijumpa
Ninggalin jejak dulu ah :LOONCAT
ahh michel shy shy cat :dragonmintacium
ouh… :TERHARUBIRU
Yah keburu Alvin start duluan kan… :LARIDEMIHIDUP
????
Alvin mental baja!!
Kenalan langsung nawarin Antar pulang,,
Michael jangan mau kalah dong!!
???
wkwkwk Michael gugup
??
:tidakks!
???