Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 1

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 1 – Her name is Rani 

Di salah satu Sekolah Negeri di Ibu Kota Jakarta terlihat lalu lalang para siswa sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berlarian membawa karton-karton berwarna, ada yang membawa balon berwarna merah, putih dan ada juga yang berlarian untuk segera memasuki kawasan sekolah, mengingat hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.

Hari itu merupakan hari spesial bagi rakyat Indonesia karena bertepatan dengan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Di setiap jalan raya sudah terpampang jelas bendera merah putih menghiasi sudut kota. Menunjukkan bahwa semua orang harus kembali mengingat pengorbanan para pahlawan yang telah berkorban untuk memerdekakan tanah air tercinta.

Beberapa perkantoran pun harus dan wajib melaksanakan upacara khusus untuk memperingati hari itu. Bahkan ada yang menyelenggarakan upacara bersama di salah satu tempat bersejarah di Ibu Kota. Pemerintah pun tak luput dari sorotan. Di Istana Negara sudah menjadi tradisi setiap tahunnya untuk melaksanakan upacara pengibaran Sang Merah Putih dengan diramaikan dengan Paskibraka, TNI, Polri dan warga setempat. Dan tak ketinggalan Pemimpin Negeri, Presiden Republik Indonesia menjadi Pembina dalam upacara tersebut.

Begitu pun dengan SMA Karya Bangsa. Mereka telah menyiapkan acara perayaan 17-an yang bertepatan setelah upacara selesai.

Kembali mengingat waktu telah menunjuk pukul 7 lewat, tak lama kemudian, terdengar bel tanda masuk berbunyi. Para siswa yang berada di kelas ataupun di gerbang, segera mempercepat langkah mereka agar tidak tertinggal dalam barisan upacara.

Suara guru-guru yang memerintahkan para siswa sudah berkumandang di se-penjuru gedung sekolah itu. Agar para siswa segera cepat berbaris di lapangan. Apalagi di bagian gerbang, beberapa guru langsung meneriakkan siswa-siswa yang masih berjalan dengan santainya menuju ke halaman sekolah, seolah tidak peduli dengan teriakan-teriakan para guru yang sudah terdengar di mana-mana.

Setelah sepuluh menit membentuk barisan. Akhirnya upacara pun dimulai. Barisan-barisan setiap kelasnya terlihat begitu penuh tampak tak ada satu pun yang meninggalkan lapangan untuk menyaksikan pengibaran bendera merah putih.

Masing-masing barisan itu terdapat beberapa guru berdiri mengawasi para siswa atau hanya berjaga-jaga jika saja ada yang tumbang atau pingsan nantinya.

Tiba-tiba dari arah belakang seorang guru, terlihat seorang siswa tengah menarik napas terengah-engah. Guru itu pun langsung menoleh dan menegur siswa itu.

“Terlambat lagi, Michael?” tanya Guru itu yang bernama Sundari.

Siswa itu mengadah dan menemukan guru yang merupakan wali kelasnya tengah berdiri berkacak pinggang di hadapannya.

Siswa yang bernama Michael itu hanya tersenyum malu kepada guru itu. “Macet, Bu. Kan, hari ini senin, mana lagi 17-an pula. Ya, ramai, deh, Bu jalanan,” kata Michael membela diri.

“Ya sudah, cepat masuk ke dalam barisan!” Perintah Bu Sundari tegas.

Michael pun menurut dan mencari-cari teman sekelasnya.

“Lagi, Mic?” seru seorang siswa saat Michael memasuki barisan kelasnya.

Michael menoleh dan menemukan teman satu bangkunya berada di sampingnya. “Motor gue mogok. Jadi terpaksa dorong dari lampu merah rumah sakit sampai ke sekolah,” Ujar Michael membenarkan topinya.

“Lah, tadi kenapa lo bilang sama Bu Sun macet. Kenapa nggak bilang aja motor lo mogok?” tanya Rafi nama teman satu bangku Michael.

“Kemarin gue udah pakai alasan itu. Jadi, nggak mungkin gue bilang sama beliau mogok lagi. Yang ada entar panjang ceritanya,” Jelas Michael.

Rumahnya terbilang jauh dari sekolah. Hampir satu setengah jam perjalanan tiap harinya ia berkendara dengan motor kesayangannya.

Setelah mendengarkan alasan yang dikatakan Michael. Tak ada lagi pembicaraan di antara keduanya mengingat di belakang mereka sudah berdiri Bu Sundari mengamati pergerakan mereka.

Bertepatan dengan hal itu. Di depan sana para Paskibraka sudah siap dengan bagian mereka untuk mengibarkan bendera. Mata setiap orang langsung tertuju ke arah depan untuk menyaksikan secara langsung kejadian itu termasuk Michael dan Rafi. Walaupun berada di barisan paling belakang, Michael yang tinggi masih bisa melihat dengan jelas orang-orang di depan sana. Ia dapat melihat siapa saja yang menjadi petugas pengibar bendera hari itu.

Di bagian tengah lapangan, sebagai pemimpin upacara, ia mengenal siswa itu. Aldo namanya. Ia dan Aldo sering bertemu di lapangan saat bermain futsal ataupun sepak bola yang merupakan hobi keduanya. Ia juga mengenal beberapa petugas lainnya.

Petugas pengibar bendera sudah tepat berada di dekat tiang bendera untuk melakukan tugasnya. Ada tiga perempuan yang berada di sana, dan di antaranya tak satu pun Michael kenal.

Namun, di antara ketiga perempuan itu. Salah satunya telah berhasil membuat arah pandangan Michael tak berpaling. Michael mengamati perempuan yang berada di bagian kanan tiang bendera yang bertugas sebagai pengibar bendera. Entah bagaimana selanjutnya fokusnya tak berpindahkan  kepada perempuan itu sampai suara perempuan itu terdengar.

“Bendera siap!”

Tanpa disadari, Michael tersenyum tipis setelah mendengar suara itu. Entah apa yang membuatnya secara refleks melakukan hal itu. Tapi sesuatu di dalam hatinya menginginkan hal itu terjadi.

***

Upacara di SMA Karya Bangsa telah usai sejak lima menit yang lalu. Beberapa siswa terlihat berlalu-lalang di koridor kelas dan ada pula yang masih mengistirahatkan kakinya di kantin sekolah.

Sebuah perbincangan baru terdengar di kalangan siswa IPS yang berada di kantin itu. Mereka membicarakan kejadian yang terjadi di lapangan upacara tadi.

Aldo yang bertugas sebagai Pemimpin upacara menjadi sorotan karena di lapangan tadi sesaat setelah Petugas pengibar bendera menyuarakan bendera siap dengan lantang. Aldo yang seharusnya memberikan tugas hormat kepada sang merah putih terdengar tidak begitu lantang. Hal itu membuat para siswa-siswi merasa kagum dengan sang pengibar bendera dengan suaranya yang lebih kentara dari sang pemimpin.

“Perasaan biasa-biasa aja, deh. Suara gue tadi,” seru Rani sembari meminum air mineralnya.

“Ih… keren tau, Ran!” Seru Sisi yang baru saja datang.

“Aish…” geram Rani.

Menurut Rani orang-orang di sekitarnya terlalu berlebihan membahas tentang apa yang terjadi di lapanan upacara tadi.

Apa yang keren coba, malahan gugup ada, batin Rani merutuki teman-temannya.

“Iya. Keren tau, Jjang!” seru Yulinar mengacungkan kedua jempolnya.

“Ya, ya. Terserah kalian, deh. Kintan ke kelas, yuk!” Kintan langsung menoleh setelah menghabiskan isi botol air minumnya.

“Yuk!”

“Ke kelas dulu ya. Ada pengumuman dari Bu Dewi.” Rani dan Kintan lalu pergi meninggalkan kantin dan menaiki tangga menuju kelas. Mereka berdua berada di satu kelas yang sama yaitu 12 IPS 2, sedangkan ketiga teman lainnya berada di kelas yang berbeda yaitu 12 IPS 5.

Saat sedang menaiki tangga Kintan berujar, “Ran, tugas ekonomi kreatif kita kayak mana?”

Pandangan Rani masih menjurus ke arah tangga di bawahnya.

“Kan, udah sepakat di rumah Yolanda,” ujar Rani.

“Iya, tapi gue belum tau bisa apa nggak. Soalnya kalau mau minggu ini buatnya, gue nggak bisa. Minggu ini ada tes pramugari di Hotel Amaris. Gimana?” ujar Kintan histeris.

“Ya udah tinggal bilangin aja sama yang lainnya. Entar kalau bisa lo yang lebih aktif jualin praktek kita,” Usul Rani.

Keduanya sudah berada di depan pintu kelas. Bu Dewi sudah duduk di singgasananya menunggu siswa lainnya masuk ke dalam kelas. Melihat keberadaan Bu Dewi, keduanya bergegas berjalan menuju kursi mereka masing-masing.

Tinggal beberapa siswa yang belum memasuki ruang kelas itu. Masayu. Teman sebangku Rani masih santai memainkan ponselnya.

“Mas, siapa aja yang ikut lomba dari kelas kita?” bisik Rani mendekati Masayu di sampingnya.

“Nggak tau,” Singkat Masayu, “dari mana aja, Bu Dewi udah nungguin dari tadi.”

Rani tersenyum, “Beli minum,” Masayu mendengus. “ditraktir soalnya. Mana bisa nolak.”

Tak lama setelah itu, Bu Dewi memberikan arahannya tentang lomba 17-an yang akan diadakan sebentar lagi di lapangan sekolah. Ia juga berpesan agar yang mengikuti lomba bermain dengan adil dan sportif. Lalu Bu Dewi pergi meninggalkan ruang kelas dan kembali ke ruang guru.

Setelah itu kebisingan kelas mulai terdengar. Beberapa siswa-siswi berniat keluar kelas untuk melihat lomba yang akan dimulai dan sebagian lainnya memilih tinggal di dalam kelas.

Rani yang duduk di barisan nomor dua dari depan mencolek Kintan yang berada di depannya.

“Tan, gih bilang sama Yolan, kalau lo nggak bisa ikut minggu nanti.” Ucapan Rani membuat Intan dan Ulan yang juga satu kelompok dengannya menoleh dari arah depan.

“Apanya yang nggak bisa, Ran?” tanya Ulan sembari menarik kursinya ke samping meja Rani.

Rani menggaruk pipinya yang tidak gatal, “Itu Kintan. Hari minggu nanti, dia nggak bisa dateng buat tugas Ekonomi Kreatif kita,”

“Tapi kalau sempet gue nyusul kok. Serius.” Potong Kintan cepat.

“Ya udah. Nggak apa-apa lagi. Malahan kalau rame-rame gue nggak yakin bakal selesai tugas kita.” Sambung Yolanda yang duduk bersebrangan dengan Masayu tidak sengaja mendengar penuturan Rani.

“Ok.”

***

Sama dengan kelas-kelas lainnya yang sibuk dengan perayaan lomba. Kelas Michael yang berada di lantai bawah ujung koridor, bersebelahan dengan lorong kantin terlihat begitu ramai karena dilalui siswa-siswi yang ingin pergi menuju kantin. Namun, sepertinya keramaian itu tidak mengusik seisi kelas IPS6. Sampai sekarang hampir seluruh siswa-siswi di dalamnya masih santai dengan kesibukkan masing-masing.

Perbincangan siswi-siswi di depan kelas begitu heboh tentang kejadian di lapangan upacara beberapa waktu lalu.

“Eh, eh, ternyata cewek yang selama ini ditaksir oleh Alvin itu Rani, yang ngibarin bendera tadi,”

“Serius lo?”

“Wih, hot news, nih,”

“Lo tau dari mana kalau cewek itu yang ditaksir oleh Alvin?”

“Gue nggak sengaja denger obrolan Alvin bareng temennya di lapangan tadi. Gue liat Alvin ngangguk pas Andre bilang ‘eh, itu cewek yang lo suka kan?’ yaudah deh gue langsung mikir dan nyimpulin bahwa bener Rani yang selama ini Alvin suka.” Penjelasan Fio di depan kelas terdengar di telinga Michael yang tengah termenung sendiri di kursinya. Ia duduk di barisan belakang, di pojok ruangan.

Ternyata Rani namanya, cantik. Batin Michael tersenyum sendiri.

“Hayo loh! Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” Rafi datang menyikut Michael, “Jangan-jangan lo lagi buka yang gitu-gituan. Ikutan, Mic.”

Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di dahi Rafi.

“Mulut lo tuh ya. Ember banget emang. Mana ada gue buka yang begituan. Yang ada lo kepingin.” Sahut Michael langsung berdiri dan berlalu meninggalkan Rafi yang meringis kesakitan.

Michael berjalan keluar dari kelasnya menuju teras kelas dan mengambil duduk di salah satu tempat kosong.

Pandangannya terarah ke lapangan yang sudah dipenuhi dengan anggota OSIS dengan segudang kesibukkan mereka. Lalu tak jauh dari itu ia melihat beberapa guru pun sudah mengambil posisi untuk menyaksikan lomba. Terakhir pandangan Michael terarah kepada sekumpulan siswa di lantai atas, tepatnya di gedung IPA.

Ia melihat Alvin tengah dilingkupi teman-temannya sambil melirik-lirik sesuatu yang berada di lantai atas gedung IPS.

Michael penasaran, ia segera bertindak dan berjalan sedikit ke arah depan untuk melihat apa yang tengah terjadi di lantai atas gedung IPS, dan ternyata setelah menimbang-nimbang Michael mengerti bahwa Alvin dan teman-temannya tengah membicarakan Rani.

Perempuan itu tengah bersandar di pinggir pagar lantai atas bersama temannya. Sesaat ada guratan kesal dari Michael saat melihat Alvin yang tak henti-hentinya menatap Rani begitu tajam. Rasanya ia ingin menggulingkan kedua bola mata laki-laki itu dari tempatnya. Dengan perasaan aneh, Michael kembali duduk di tempatnya dan sesekali mengamati Alvin di atas sana.

Entah ada apa dengan dirinya, ia pun tidak tau. Sejak mendengar suara Rani di lapangan tadi, ia merasa ingin mengenal perempuan itu lebih. Saat melihat tatapan yang Alvin berikan kepada Rani. Hal itu berhasil membuat rasa kompetisinya meningkat. Ia tidak ingin tersaingi. Apalagi, terhadap Alvin yang latar belakangnya adalah teman satu kelasnya saat kelas sepuluh.

Pandangan Michael tidak sengaja terarah ke pintu kelasnya, di sana ada Rafi berdiri mengamati lingkungan sekolah dengan khas ke-PD-annya, sambil berkacak pinggang dan sesekali menjahili seorang siswi yang tengah duduk tak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri.

Michael hanya bisa menggeleng kepala, melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak pernah berubah.

Namun, saat pandangan Michael ingin berpaling. Di belakang Rafi muncul perempuan yang beberapa saat tadi ia lihat. Perempuan itu baru saja turun dari tangga dan berbelok ke arah kantin sekolah. Saat ia sedang melihati kepergian Rani. Rafi yang berada di antara pandangannya menoleh ke arahnya.

Desahan sebal muncul dari mulut Michael saat melihat Rafi sudah melangkah mendekatinya.

“Ngapain, bro? Kangen ya sama gue? Sampe segitunya liatin.” Usil Rafi duduk di lantai teras kelas.

Malas menghiraukan ucapan Rafi, Michael mengibas-ibaskan tangannya tanda terserah apa yang sahabatnya itu pikirkan.

***

“Bakso gue nggak pakai bawang, ya.” Seru Rani kepada Kintan. Lalu ia mengitari pandangan mencari tempat kosong di sisi lain kantin yang dipenuhi orang-orang.

Tepat di bawah tangga ia melihat ada tempat kosong, lalu ia langsung menghampiri tempat itu.

“Ini punya gue, yang ini punya lo, nggak pakai bawang, kan?” Masayu datang membawa mangkuk baksonya dan juga milik Rani.

Yes.”

Tak lama Kintan menyusul di belakangnya. “Bete banget deh, gue. Udah di bilang nggak usah pakai mie, eh malah dimasukin.” Gerutunya.

“Ya udah kali, tan. Siniin mie-nya, buat gue aja,” Sambut Rani menggeser mangkuk baksonya.

“Ran, entar hari minggu lo pergi ke rumah Yolanda bareng siapa?” tanya Masayu sambil menyeruput kuah baksonya.

Rani mengedikkan kedua bahunya. “Nggak tau. Bukannya Yolanda bilang ketemuan di rumah Intan dulu, sekalian ngambil bahan-bahannya,”

Masayu hanya ber ‘oh’ ria.

Setelah perut terisi, ketiganya kembali ke kelas untuk menyaksikan perlombaan yang sudah di mulai.

*

Sorak-sorakan ramai terdengar dari masing-masing kelas, upaya menyemangati perwakilan kelas mereka masing-masing. Anak-anak IPS yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, sibuk dengan teriakan dan nyanyian-nyanyian mereka. Hal itu kini terjadi di samping kelas Rani, tepatnya di kelas IPS3. Beberapa siswa-siswa di kelas Rani pun ada yang ikut bergabung di dalamnya. Sebagian kelas IPS2 dan IPS1 yang bertetangga melihatnya hanya bisa menggeleng-geleng kepala.

Namun seolah tidak ingin kalah ramai dengan aksi anak IPS, gedung IPA pun semakin mengencangkan teriakan-teriakan mendukung mereka. Seolah kedua kubu itu saling memberikan efek setiap kali menyuarakan suaranya masing-masing.

Di lain pihak, siswa-siswi tingkat sepuluh dan sebelas hanya bisa menyaksikan senior-senior mereka dari kelas masing-masing, seolah mereka mengalah dengan keramaian yang tengah terjadi.

“Nggak ada malu-malunya anak IPS.” Sembur Masayu melihat kekacauan siswa-siswa IPS3.

“Buat kenang-kenangan, Mas.” potong Rani.

“Liat tuh, padahal Pak Daud udah melirik, masih aja nggak habis-habis.” Sambung Ulan mengamati guru Geografi di bawah sana.

Tidak ada yang menyahuti perkataan Ulan baru saja. Mereka kembali sibuk menyaksikan perlombaan yang tengah terjadi.

Namun tiba-tiba Rani mendapatkan pesan di ponselnya, dari Sisi.

Ran, kenapa nggak ke kelas?

–yulinar-

Sebelah alis Rani terangkat membaca isinya. Tertera kontak nama Sisi di sana namun isinya dari Yulinar. Rani tersenyum melihati pesan itu.

Lalu ia mencolek pundak Kintan.

“Ke kelas Sisi, yuk.”

Kintan pun mengangguk.

Setelah sampai di lantai satu dengan kesusahan saat melewati kelas IPS3, keduanya menemukan ketiga sahabatnya yang lain tengah duduk di teras kelas sambil menyaksikan lomba di hadapan mereka.

Rani dan Kintan pun ikut bergabung.

Saat Rani dan Kintan melewati IPS6 terlebih dahulu. Michael yang masih duduk di tempatnya tidak sengaja melihat Rani melewatinya. Pandangannya pun langsung mengamati perempuan itu hingga perempuan itu bergabung dengan teman-temannya.

Ada guratan senyum di wajahnya. Hal itu ternyata berhasil terlihat di pandangan Rafi di samping Michael.

“Cie… Michael naksir cewek. Cie…” jahil Rafi sambil menunjuk-nunjuk pipi Michael.

Michael menghela napas kesal. “Berisik lo.” Sembur Michael.

Tiba-tiba Fio datang membuat Michael dan Rafi mendongak.

“Eh, Fio. Ada apa? Mau ngomong sama aku ya?” ujar Rafi dengan logat aku-kamu kepada Fio.

Mulai deh, batin Michael.

Fio yang mendengarnya hanya mendengus, tidak peduli.

“Gue tadi denger lo bilang Michael naksir cewek? Siapa, Raf?” bisik Fio sedikit merunduk.

Michael memutar matanya sebal.

“Itu cewek yang tadi ngib—” ucapan Rafi terpotong karena Michael sudah membekap mulut laki-laki itu.

“Nggak usah dengerin omongan Rafi. Lagi nggak enak badan, ini anak.” Ujar Michael masih membekap Rafi.

Sesaat terdiam, akhirnya Fio berlalu pergi meninggalkan keduanya. Setelah itu Michael melepaskan tangannya dari mulut Rafi.

“Bahhh…” Rafi terengah-engah. “Gila lo ya, Mic. Mau ngebunuh gue ya lo? Nggak kayak gitu juga kali, bro. Tinggal bilang, kalau lo mau bunuh gue, entar gue ambilin pisau.” Omel Rafi keras.

“Ya, lo juga. Mulut kok ember banget.” Sahut Michael.

“Kan, bener gue. Fio nanya siapa cewek yang lagi lo taksir? Ya udah gue jawab. Yang mana coba yang embernya?”

Michael mengernyit, “Kan, lo tau, Fio mulutnya kayak mana. Gue males berhubungan sama itu cewek. Yang ada entar gue kelewat emosi sama dia.”

Rafi mencibir, “Oh… berarti bener dong, yang barusan gue bilang.”

Michael langsung menoleh kepada Rafi dengan kaget.

“Udah deh, nggak usah ditutup-tutupin. Gue tau, lo baru aja liatin Rani, kan?” terang Rafi menunjuk Rani yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Ye… nggak usah ditunjuk juga kali.” Michael menurunkan jari Rafi.

Rafi ingin tertawa rasanya melihat teman sebangkunya tengah jatuh hati dengan seseorang. Sekarang ia hanya bisa menahan tawanya, saat ia tak sengaja menangkap gurat tersipu dari wajah Michael.

“Mau gue bantuin nggak?” usulnya.

Michael menggeleng kepala, “Nggak. Gue nggak mau dengerin usulan lo. Yang ada entar lo yang tebar pesona.”

Rafi tersenyum jahil, ia meraih kedua tangan Michael. “Serius nggak mau? Kesempatan langkah ini, dibantuin oleh Rafid Alamsyah.” Serunya masih memegang tangan Michael.

Michael membulatkan kedua matanya, “Ih… apaan sih, Raf? Geli gue liat lo,” Gerutu Michael lalu pergi meninggalkan Rafi.

“Woy… tungguin gue.” Jerit Rafi.

*

Jeritan itu terdengar di telinga Rani yang tidak jauh dari sana. Ia sekilas melirik seorang siswa tengah berlari mengejar temannya yang berada di depan. Lalu ia kembali berpaling kepada teman-temannya.

Sedari tadi Rani merasa ada seseorang yang membicarakannya. Namun, ketika pandangannya menyisir ke segala arah tak ada satu pun yang ia temukan tengah memandanginya ataupun menatapnya.

“Eh, entar liat Sisi bareng Miranda ikut lomba bakiak!” seru Yulinar.

Kintan dan Rani mendongak, “Wih… tumben ikut lomba. Biasanya jadi pemandu sorak.” Kata Rani.

“Tadi Miranda maksain ikut. Nama gue juga udah ditulis di pendaftaran bareng yang lain.” Terang Sisi.

“Lo ikut?” tanya Kintan menunjuk Wulan.

Wulan mengangguk sambil tersenyum menunjukkan kedua lesung pipinya.

Lalu mereka kembali sibuk bersorak-sorak ramai ke arah lapangan, menyemangati perwakilan kelas masing-masing.

***

 

19 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Vote dlu yak
    Bca ny nnt mlm hihi

    1. Hertina Rani menulis:

      oke..

  2. Ninggalin jejak dulu :BAAAAAA

    1. Hertina Rani menulis:

      oke

    2. Sipdah

  3. Liat judulnya langsung inget lagu 5sos tapi napa ya gue baca judulnya sambil nyanyi :dragonmikirdulu :wuakakakak

    1. Hertina Rani menulis:

      Iya, terinspirasi aja sama judulnya. Hehehe

    2. Oh heheheh

  4. cinta masa abu2 emang bikin baper :LOONCAT

    1. Hertina Rani menulis:

      Baper banget :PATAHHATI :PEDIHH

    2. Bapeeeer huhuhu

  5. Cie cie Michael ada rasa nih ma Rani… Kpn nih mulai pedekate nya…lanjuttt y :tepuk2tangan :MAWARR

    1. Hertina Rani menulis:

      Rasa apa? :DOR! :DOR! hehehe. Ditunggu aja ya. Makasih udah baca

    2. Rasa suka.. Klo rasa buah ma adanya di tukang jus, hahaa… :LOONCAT

  6. KhairaAlfia menulis:

    Michael malu nih yee,,
    ketauan sama Rafid,,,

    1. Iyaa gimana itu yaa?

  7. fitriartemisia menulis:

    jadi pengen balik ke SMA lagi hahaha

    1. Wkwkwwkwk?

  8. :TERHARUBIRU