Aku bisa merasakannya—tatapan tajam yang mengikuti setiap gerak-gerik tubuhku. Pria itu—lelaki dengan jas hitam dan jam tangan mahal yang selalu bersinar di bawah lampu disko, duduk dengan kaki bersilang di atas sofa empuk bak raja. Jejeran lelaki bertubuh besar dan kepala plontos berdiri rapi di belakangnya.
“Amy, sepertinya lelaki itu memerhatikanmu sejak ia masuk ke klub.” Zoe teman kerjaku menyikut lengan. “Lihat ke arah jam lima. Dia…” Kalimat Zoe menggantung di udara bagaikan tikaman pisau kasat mata yang dilemparkan pria itu. “Apakah dia semacam pemilik klub atau apapun? Kenapa dia memiliki banyak bodyguard?”
Aku malas berbalik untuk melihat pria yang dimaksud Zoe. Tanganku terlalu sibuk membersihkan meja nomor enam sampai tidak memiliki waktu satu detik pun untuk disiakan.
“Uh-oh. Manajer penjilat kita keluar dari ruang persembunyiannya. Sepertinya dia ingin menemui pria berkuasa itu.” Ocehan Zoe terus terdengar dan aku tetap bergeming. Bukan tidak tertarik, hanya saja pria seperti itu adalah jenis yang aku hindari; egois dan selalu memaksakan kehendak. Memangnya dia Tuhan?
Selesai membersihkan meja enam dan menyerahkan nampan kotor pada Zoe, aku bergerak menuju meja selanjutnya. Namun, tubuhku terhenti ketika sebuah colekan menyentuh lenganku yang terekspos.
“Dipanggil manajer.” Begitu kata Lala sambil menunjuk arah pria yang masih menatapku tajam.
Dengan malas aku melirik ke arahnya, yang langsung dibalas oleh tatapannya. Dari samping pria itu terlihat manajer yang melambaikan tangannya padaku dengan panik.
“Kau akan melayaninya?” Zoe yang sudah kembali dari dapur bertanya. Nampan kotor yang kuberikan padanya sudah berganti dengan yang bersih. “Jika kau merasa tidak nyaman, aku bisa menggantikanmu—”
Aku menggeleng. Jika Zeo, atau siapa pun, melawan kehendaknya, seisi klub adalah landasan amarahnya. Aku tahu itu. Jenis pria arogan dan menyebalkan…
“Jangan memaksakan diri, Amy. Kau tahu jenis pelayanan seperti apa yang diinginkan manajer. Dan kau tahu kondisi tubuhmu seperti apa. Aku bisa menggantikanmu, percayalah.”
Selama beberapa minggu bekerja di klub malam, aku mengetahui bahwa setiap wanita yang bekerja di sini harus melakukan pelayanan seperti menemani pelanggan minum. Dan sejak itu pula pekerjaanku selalu diambil alih oleh Zoe.
Aku menghela napas panjang, seolah akan bertempur, lalu menyerahkan lap pada Zoe.
“Doakan aku berhasil,” kataku penuh harap.
●○●○
Ada kalanya aku ingin menampar seseorang tanpa sebab dan inilah saat itu. Melihat seorang arogan yang menatapku dari ujung kepala hingga kaki dengan menyelidik dan di saat bersamaan terlihat begitu menggoda.
Apakah itu mungkin?
“Anda ingin pesan apa?” Begitu berdiri di depannya, aku melupakan etika dan menyemburkan pertanyaan tanpa basa-basi. Pria itu bergeming, sedangkan manajer mengeluarkan suara mencicit yang menyedihkan.
“Tuan Rudolph, maafkan ketidaksopanan pelayan kami. Ini adalah—”
Pria itu mengangkat tangan lalu manajer menutup mulut.
Tunggu. Apakah dia semacam penyihir atau sejenisnya?
“Aku tidak bisa mendengarnya. Bisa lebih dekat?” ucap pria itu sambil kedua matanya menatapku lekat-lekat. Manajer bergerak mendekat, yang langsung disambut geramannya.
“Siapa yang menyuruhmu mendekat?!” geram pria itu marah. “Kau,” katanya sambil menunjukku dengan dagu runcingnya, “maju.”.
Kakiku sedikit gemetar oleh ketakutan dan gairah yang bercampur menjadi satu. Aku melangkah mendekatinya, dan secepat kilat—jika memungkinkan—pria itu menarikku ke pelukannya, yang disambut dengan pekikkan dari bibirku. Pria itu menyunggingkan bibir penuh kemenangan sedangkan darahku mendidih oleh sikap seenaknya.
Aku mencoba menjauhkan diri dari genggaman pria itu namun tangannya yang kuat memaku tubuhku di tubuhnya. Bagaikan sepasang perangko dan amplop, tubuh kami menempel erat, membuat manajer membuka dan menutup mulut seperti kehabisan oksigen.
“Siapa namamu?” Suara serak penuh gairah itu berhembus di telingaku. Aku merinding, mencoba menetralkan diri agat tidak tersentuh pesonanya namun terasa sulit. Bagaikan tali yang melitit leher dan siap menggantung, auranya yang memabukkan nyaris membuatku sulit bernapas.
“Amy Stewart,” jawabku di antara deru napas.
Pria di belakangku terkekeh pelan, yang teredam oleh dentum musik di penjuru ruangan, lalu menyusurkan tangan di sepanjang jemari tanganku. Dan ketika aku tahu kemarahannya akan kembali berkobar, detik itu juga kemenangan milikku.
Sambil menyembunyikan wajahnya di balik rambutku yang tergerai, pria itu menggeram marah. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata, aku sudah memanfaatkan kesempatan itu dengan menyentakkan tangannya dari tubuhku hingga aku terlepas dari genggamannya.
“Aku rasa kau membutuhkan air putih, Tuan Rafael Rudolph. Aku yakin, selain memadamkan amarahmu, air juga akan memadamkan gairahmu?” Tanpa menunggu jawabannya pun aku berbalik. Persetan dengannya. Persetan dengan pekerjaanku.
Suasana klub yang ramai, yang diisi dengan musik, gemerlap lampu, dan goyangan lautan manusia berubah setelah alarm kebakaran berbunyi. Tubuh-tubuh saling berlomba untuk keluar dari ruangan. Aku yang berdiri di antaranya terombang-ambing, akan jatuh kalau saja sepasang tangan kokoh tidak memegang tubuhku.
Dan, di antara semua orang, dialah yang menolongku.
Kami terdiam di antara kerumunan orang yang mencoba keluar ruangan. Kedua tangannya memelukku erat sedangkan seluruh bodyguard yang ia miliki mencoba memberikan ruang pada kami. Awalnya aku berpikir bahwa ia akan membawaku keluar dengan pasukannya—yang terjadi adalah sebaliknya. Kami berdiam di tengah kerumunan, dengan suara alarm yang meraung-raung. Setelah semua orang sudah keluar, dan alarm sudah berhenti berbunyi, ia membalikkan tubuhku.
Rafael Rudolph. Mantan pacarku. Atau… mantan partner seksku? Entah. Kurasa aku yang terlalu percaya diri untuk menyebut hubungan kami sebagai pacaran. Ketika yang sebenarnya adalah…
Aku hanya seorang penghangat ranjang. Tidak kurang dan tidak lebih.
“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan Rafael yang lembut, juga belaian tangannya pada rambutku yang berkeliaran di kening, membuatku nyaris mengeluarkan air mata. Ia terlihat tulus—tapi aku tahu yang sebenarnya.
Tanpa banyak kata, Rafel memelukku. Dia mengecup puncak kepalaku yang berada jauh di bawah dagunya sambil membisikkan kalimat menenangkan. Mungkin, entahlah, dia berpikir bahwa aku merasa shock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ketika kenyataannya… aku hanya merasa kesal. Aku kesal dengan hidupku, dengannya, dan ini semua.
Apakah emosi ini adalah hormon? Entahlah.
Aku menjauhkan kepala dari bibirnya yang siap mencium dengan lembut lagi—kali ini dengan amarah di dada.
“Kau tidak perlu berpura-pura lagi. Aku tahu kejadian alarm tadi adalah ulahmu!”
Rafael menatapku selama beberapa mili detik lebih lama sebelum berkata dengan nada mematikan. “Kau tahu bahwa aku tidak menyukai setiap pasang mata menikmati tubuhmu, bukan? Kau adalah milikku, Amy. Aku sudah mengatakannya beberapa bulan lalu dan memastikan bahwa kau memahaminya. Tapi, sayang, sepertinya kepalamu yang cantik itu melupakannya.”
Dia—dia menghinaku sebagai pelacur?!
Aku mengangkat tangan ke udara, bersiap menampar lelaki kurang ajar yang entah bagaimana masih bersemayam di hatiku. Namun, secepat gerakanku, gerakannya jauh lebih cepat untuk mengunci tanganku. Sebagai gantinya, Rafael menamparku…
Dengan bibirnya. Keras. Penuh gairah.
Mencoba berontak, aku ingin melepaskan diri. Tapi Rafael begitu kuat dan aku begitu lemah. Lemah karena pesonanya yang memabukkan. Lemah karena gairah yang ia tawarkan.
Kami saling beradu. Ciuman keras dan panas itu bagaikan ajang bertarung untuk melihat siapa yang lebih kuat. Dan, tentu saja, Rafael pemenangnya.
Setelah memenangkan pertarungan, Rafael melepaskan pagutannya dari bibirku. Keningnya menempel dengan milikku. Sambil mengatur napas, lelaki itu kembali memerintah seenaknya. “Katakan alasan kau pergi dairiku begitu saja.”
Aku yang merasa lelah setelah kegiatan yang menguras tenaga masih memiliki sedikit persediaan untuk membalasnya dengan keras kepala. “Menurutmu?”
Rafael mendesah. “Amy…”
“Aku sudah lelah dengan hubungan kita, Rafael.” Sudah. Aku sudah mengatakan yang sebenarnya—meskipun tidak seutuhnya. Wajah Rafael di depanku memerah seperti siap meledak—yang aku yakin akan terjadi dalam hitungan detik—tapi ia tetap diam di tempat. Mulutnya yang membengkak akibat ciuman tidak membuka dan aku merasa terkejut.
Di mana Rafael yang kukenal?
“Apa yang membuatmu lelah?”
“Dengar, Rafael. Aku sudah mengetahuinya. Setiap mantan pacar.” Aku menghentikan diri sebelum mengoreksi. “Maksudku mantan partner seksmu kau putuskan, kau selalu memberikan hadiah berupa kalung untuk mereka. Dan di pertemuan terakhir kita kau memberikanku hadiah cincin. Bukankah kau telah mengakhiri apa pun yang kita miliki?”
Aku tidak bisa mendengar apa pun selain deru napas kami yang saling berlomba—dan, tentu saja, roda di kepala Rafael yang berputar.
Apakah ia baru menyadari?
Keheningan itu dipecahkan oleh suara mengumpat Rafael yang terlalu kasar. Aku tahu ia bukan seorang lelaki lembut namun ini adalah kalimat terkasar yang pernah ia ucapkan. Tanpa sadar tanganku bergerak di antara tubuh kami, menutupi perutku dengan protektif, lalu melayangkan tatapan mengancam pada Rafael. Lelaki itu mengikuti tanganku, balas menatapku dengan… apa? Maaf?
Rafael berdeham. “Kau…” Tangannya mengepal di udara seolah menahan kekesalan. “Kau itu bodoh atau apa?”
Apa? Aku mengerutkan kening tidak suka dengan pertanyaan Rafael. Dia… selain menghinaku sebagai pelacur, dia juga menghinaku sebagai orang bodoh?
Aku akan membuka mulut untuk membantahnya namun ia dengan cepat memotong. “Aku tidak memintamu untuk memutuskan hubungan kita! Astaga, Amy… aku melamarmu untuk menjadi istriku!”
Tergagap, aku membuka dan menutup mulut bagaikan ikan di laut. “Tapi kau… tidak melamarku,” kataku keras kepala. Well, tentu saja. Aku mengingat setiap kata—bahkan setiap tanda baca—bahwa pria di depanku tidak memintaku menjadi istrinya! “Kau hanya bilang, biar kukutip, ‘Amy, pakai cincin ini di jarimu, jangan melepasnya satu detik pun, dan mulai detik ini kau adalah milikku seutuhnya, baik itu hidupmu, cintamu, dan tubuhmu’,” ucapku kesal.
“Ya! Dan itu adalah lamaran!” Rafael berteriak. Urat-urat di lehernya timbul akibat pelepasan emosinya. “Aku memintamu menjadi pendamping hidupku dan kau menghancurkan bayangan masa depanku. Bahkan kau mengambil anak kita tanpa memberitahu apa pun.”
Aku ternganga. “Bagaimana bisa kau—”
“Mengetahuinya?” Rafael mencibir. “Aku menemukan surat dokter di dalam laci lemarimu. Lagi pula, bagaimana bisa dokter kandunganmu seorang lelaki? Dia menyentuhmu seenak jidat?”
Tidak pernah dalam hidup aku bertanya-tanya dengan Tuhan. Tapi, kali ini saja…
Siapa yang lebih bodoh, aku yang tidak mengetahui bahwa seorang lelaki yang kucintai telah melamarku atau Rafael yang tidak mengerti seorang wanita?
Kami saling bertatapan lama, Rafael yang menatapku kesal dan aku yang menatapnya geli.
“Jadi, maksudmu…”
“Kau tunanganku, baik kau menerimanya atau tidak.” Tetap memerintah seperti biasa, kulihat. Tapi, berbeda dengan reaksiku sebelumnya, kali ini senyuman tipis tersungging di bibirku, yang membuat Rafael mengerutkan kening.
“Dan untuk menjawab pertanyaanmu, iya.”
“Apa?” Kerutan di kening Rafael semakin dalam. Kalau ia terus melakukannya, bisa-bisa aku akan memiliki suami keriput yang tampan.
“Kau melamarku beberapa minggu lalu dan jawabannya adalah iya,” kataku menerangkan. Bahkan, meski aku sudah menjelaskan padanya, aku yakin Rafael memiliki sejuta pertanyaan di dalam kepalanya.
“Tunggu. Aku tahu wanita hamil memiliki emosi tidak stabil. Tapi… kenapa kau tiba-tiba menurutiku?”
“Rafael.” Kedua tanganku yang bebas menggenggam kepalanya dengan lembut meski harus berjinjit. “Apakah kita harus berdebat saat ini?”
Dengan cepat Rafael menggeleng. “Tidak. Tidak. Tidak.” Kedua matanya menatapku dengan binar bahagia—seperti seorang anak kecil yang diberikan permen. “Kau akan menjadi istriku…”
Ketika kupikir duniaku baik-baik saja, tak disangka seluruhnya menjadi terbalik. Rafael sedikit memutar dan mengangkat tubuhku sehingga kini aku berada dalam gendongannya. Ia mengangkat tubuhku seolah aku seringan bulu—yang mungkin terjadi karena mual selama kehamilan—lalu membawaku menuju pintu keluar ruangan. Klub yang ramai kini sunyi, tanpa suara, kecuali suara sepatu Rafael yang menggsek lantai.
“Kau ingin kita menikah kapan? Dua minggu lagi? Sebulan?”
Aku mengerang mendengarnya. “Kenapa tidak besok sekalian?” sindirku keras. Seharusnya aku menghentikan kalimat itu sebelum terlambat. Karena detik berikutnya, Rafael meminta bodyguard-nya untuk menghubungi asistennya agar mempersiapkan pernikahan kami esok hari.
Dan aku, meski sedikit kesal, mencium bibirnya lembut. Kapan pun dan bagaimana pun bentuk upacara kami, aku tidak peduli. Karena yang terpenting adalah kebahagiaan tanpa batas yang terbentang di depan kami.
Love nya ga ada yak :BAAAAAA
Bagus lanjutkan! :MAWARR
Love apa kakak?
Ehehehe maksudnya [ratings] nya. Tulis di bagian atas postinganmu.
Pake [r] di depan
Pake [s] di belakang
Pake kurung buka []
Tulis [ratings] tanpa spasi
Yuk, dicoba?
Ternyata salah paham toh.. ya masak ngelamar tanpa ada kata lamarannya ya jelas salah paham toh :CURIGAH
Emang semua cowok ga peka!!! *loh??
ahayyy ternyata dilamar sosweeeeeet
????
Tks ya kak udh update, Ditunggu kelnjutanya hehehhe
Hahaha ini short storyy jadi ga ada lanjutannyaa. Makasih udh baca by the wayy ???
Bagus ceritanyaa
Haha makasiii ???
Lamaran aneh?
Hahahaha???
Baguss, gak bersambung ajja sist ? Hehe
Takut jadi anehh hehe
Padahal kata2 nya rafael udah mencerminkan lamaran loh, yah walopun ga ada will you marry me atau apalah sejenisnya. Tp kan raf udah bilang kalo dia mau amy jd milikku seutuhnya.
Mungkin si amy agak lemot waktu dilamar, makanya dia gak.ngeh. hihihihi
???
Aku baper :PATAHHATI
Kenapa gk dikasih lope2 yaa .. biar aku vote
Hahhaa baru dapet ilmunyaa
Bahaya juga sih cewe kalo kaya si amy, gapaham kalo dilamar wkwkwk
Salam juga buat kak nastasha, keren ceritanya, pengen ada lanjutannya terus :NGEBETT
Hahaha diusahakann
tempo nya cepat & to the point….??
Iya???
Ehhh aq bca cerita ini
Wahhhh so sweet bngt cerita nya
Keren ihhhh, aduhhhhh lamaran ny co cweet bngt sih, Amy ny salah paham ihhhh jdinya gtu deh hihi
Keren keren keren
Ditunggu karya2 lainnya
Semangat trs ya
Oia untuk memunculkan lope-lope, diedit dikit tulisan nya, dibagian atas tulisan kamu tambahin kata [ratings]
-Pake kurung [ ] tanpa spasi
-Pake huruf r
-Pake huruf s dibelakangny nya
Yuks dicba, nnt muncul lope lope bwt kita2 klik untuk mengapresiasi karya ny dikau
Ohhh ini toh maksudnya… Makasih udah kasih tauu hahaha
Eh berhasill makasih yaa wkwkw
Sma2 yak hehe
Awww so sweet pengen cowo kayak rapael dapet dimana nih?:v
coba ceritanya ga oneshot lebih seru berchapter :v#banyakmaunya
Hahahah iyaa ini oneshot soalnya kalo dipanjangin takut aneh ??? makasih udah baca btww
Rafael itu sifat nya kaya jendral akira .. Langsung to the point gitu.. Jadi ga ada kata2 sweeeeett nya wkwkwkwk..
Ini cuma oneshot ya??
Hahahaha iyaa?? kalo dipanjangin takut aneh. Makasih udh baca btww
Rafael so sweet banget daaahhh aahhh :inlovebabe :inlovebabe :inlovebabe
Tapi sayang banget. Ceritanya one shot :PATAHHATI
Hahaha iyaaa ???
Bikin lagi dung.?
tuhan, bolehkah sisain satu yg kek gini :inlovebabe
Sempet ngira sejenis prolog atau intro untuk cerita yg lebih panjang wkwkwkkw ?
Short storynya bagus, suka sukaaa. Bakal dibikin full version nya ga? Hehehe
Weeeww, mau dong 1.
Hehe
kusuka wkwkwkwkwk boleh lah atu kalo masih ada stok mah xD
aaayookkk buatlagi cerita yg kek gini wkwkwkwkwk xD
semangaaaattttt
Ternyata salah paham dikira diputusin ternyata di lamar hehehhe
Aku kira masih ada lanjutannya kak….
wkwkwk cowok ny sama ceweknya dua2 nya bikin ngakak… tapi ujungnya sweet bgt :inlovebabe
Sweet Couple…..
:NGEBETT :inlovebabe
Short story :tidakks! :tidakks!
Iyaa wkwkw
Amy belum minum aqua kali jadi salpok???kalimat lamaran kan ga harus slalu dg kata”will you marry me”
Tapi sweet banget tuh couple
lamaran yang aneh :dragonmikirdulu
Rafael belum tau cara melamar yang benar ya??
Minta ajar dulu sana sama bapakmu,,
Lamarannya kurang greget, dasar ya Rafael :LARIDEMIHIDUP
ini oneshoot ya?
Iyaa