Tak terasa sudah hampir seminggu waktu yang terlewat. Seperti dugaan Camy, uang yang mereka kumpulkan tidak mencukupi untuk membayar kekurangan upeti. Apalagi diperparah dengan sebagian warga kota yang pergi dari kota sehingga semakin sedikit pembeli yang datang ke restauran mereka.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
Camy menggelengkan kepalanya. Tangannya kembali fokus untuk membalut luka Finner yang mulai membaik. Namun untuk sesaat Finner tidak akan bisa berjalan menyebabkan laki-laki itu tidak bisa memimpin pasukannya untuk menjaga perbatasan.
“Bagaiamana keadaan di bawah? Kau tidak membantu ibumu?”
Camy lagi-lagi menggelengkan kepalanya. “Tidak terlalu ramai di bawah, jadi aku bisa mengganti perbanmu.” Camy mengikat perban di bahu Finner. Menepuknya pelan yang menimbulkan ringisan kesakitan Finner. “Sepertinya lukanya belum menutup sempurna,” Canda Camy melihat reaksi Finner.
“Jika tau belum menutup sempurna, kenapa kau pukul seperti itu,” gerutu Finner di sambut kekehan Camy. Finner mau tidak mau ikut tersenyum meilhat Camy yang terkekeh. “Bagaimana keadaan diluar?”
Untuk kesekian kalinya Camy menggeleng. “Keadaan tidak terlalu baik. Beberapa orang mulai pergi dari kota, sebagian orang mencari pekerjaan tambahan untuk mendapatkan uang agar bisa membayar upeti.”
“Lalu bagaimana dengan kalian. Apa kalian sudah mendapatkan cukup uang untuk memenuhi upeti kalian?”
Camy kembali menggeleng. “Setengahnya pun tidak ada. Padahal besok para penagih itu akan datang. Entah apa yang akan terjadi besok.” Camy tidak bisa membayangkan dirinya dibawa oleh prajurit-prajurit itu. kekhawatirannya menjadi saat memikirkan apa yang terjadi jika Camy meninggalkan ibunya sendirian.
“Maafkan aku, Camy. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Ini bukan salahmu Finner. Kau pun tidak bisa melawan mereka meskipun kau ingin.” Baik Camy dan Finner kembali bungkam. Keduanya berpikir bagaimana cara untuk menghadapi esok hari.
“Jika saja kita tau dimana sisa-sisa para pemberontak, aku yakin mereka mau membantu kita untuk menghadapi prajurit-prajurit itu.”
“Bukannya seluruh pemberontak sudah dieksekusi?” Camy masih mengingat kabar pengeksekusian itu. hampir seluruh pemberontak disiksa terlebih dahulu sebelum dijatuhi hukuman mati. Camy merinding membayangkan hukuman eksekusi itu.
“Tidak. Beberaa berhasil kabur saat pengeksekusian, termasuk sang pangeran.”
Camy mengernyitkan dahinya. “Maksudmu pangeran pemberontak itu berhasil kabur saat eksekusi? Bagaimana bisa?”
Finner mengusap dagunya dengan pandangan ke arah langit-langit. Mencoba menggali ingatannya. “Mereka beruntung karena saat itu terjadi badai sehingga mereka berhasl kabur. Sepertinya alam pun mendukung mereka memberontak kepada kerajaan.” Finner memandang Camy lekat-lekat. “Dan dibandingkan pangeran pemberontak, aku lebih suka julukan pangeran tanpa mahkota. Bagaimanapun sang pangeran tetaplah pangeran meskipun beliau membelot dan pada akhirnya diturunkan dari tahtanya sehingga mahkotanya diambil dari kepalanya.”
“Aku tidak mengerti. Bukannya sama saja jika aku memangilnya pangeran—“
“Finner! Bagaimana keadaanmu?”
“Ah, kau datang rupanya. Seperti yang kau lihat, aku masih saja berbaring disini.” Camy memandang laki-laki yang baru saja memasuki ruangan. Seorang prajurit yang umurnya tidak jauh dari Finner dengan penampilan layaknya seperti prajurit lainnya.
“Apa yang kalian bicarakan?” laki-laki itu berdiri di samping Camy, nampak tertarik dengan pembicaraan yang baru saja didengarnya.
“Hanya obrolan kecil tentang para pemberontak. Aku berpikiran jika kita mungkin bisa melawan para prajurit kerajaan besok jika kita meminta bantuan para pemberontak.”
Laki-laki disamping Camy itu mengangguk setuju. “Benar juga. Apalagi jika bisa meminta bantuan para pengawal pangeran. Aku yakin para prajurit itu bisa langsung disingkirkan dalam waktu singkat. Kau masih ingat saat pengawal perempuan itu mencambuk tangan seorang prajurit hingga tangannya terputus. Itu sangat mengerikan.”
Camy mengerutkan keningnya. Pengawal perempuan? Cambuk?
“Benar. Apalagi pengawal laki-laki itu. kau ingat saat dia bisa menembakkan panah dari jarak puluhan meter di atas tebing dan tidak pernah meleset. Aku masih ingat saat dia memanah kuda yang kau tunggangi itu, As.” Finner menimpali ucapan laki-laki itu.
Camy semakin bingung dengan obrolan Finner dengan laki-laki disampignya. Terutama dengan panggilan Finner kepada laki-laki disebelahnya. As?
“Tunggu dulu, aku tidak mengerti yang kalian bicarakan.”
Finner dan laki-laki disebelah Camy menatap ke arah Camy. Finner pun teringat dengan cerita Camy saat mendatangai dirinya saat dia sedang berada di perbatasan. “Ah, maafkan aku Camy. Kau pasti bingung dengan pembicaraan kami. Sebelumnya aku akan memperkenalkan kalian dulu. Camy, ini Panalass, biasa dipanggil As. Dia kan yang membantumu keluar dari hutan dan menyelamatkanmu dari serigala itu.”
Laki-laki disamping Camy, yang bernama As, mengerutkan dahinya. Camy pun memandang As dengan seksama. Lelaki di sebelahnya ini berpostur tinggi tegap seperti prajurit umumnya. Rambutnya coklat agak kemerahan dengan kumis tipis yang menghiasi. Dibandingnkan dengan Finner, laki-laki terlihat jauh lebih tua akibat penampilannya. Sangat berkebalikan dengan laki-laki yang membantunya beberapa hari yang lalu. “Bukan dia yang membantuku.”
Finner menampilkan wajah bingungnya. “Tapi katamu kau diselematkan oleh prajurit yang bernama As. Dialah prajurit yang bernama As.”
Camy menggelengkan kepalanya. “Aku memang diselematkan oleh prajurit bernama As tapi bukan dia orangnya. Laki-laki itu berambut hitam dan bermata hampir emas.”
“Kamu mungkin salah orang, atau salah mendengar namanya.” Finner menggelengkan kepalanya bingung. “Satu-satunya orang bernama As hanya dia seorang—“ Finner menunujuk ke arah As yang masih setia berdiri di sebelah Camy, “Lagi pula tidak ada dalam prajuritku yang berambut hitam dan bermata emas. Kau sendiri tau jika standar seorang yang dapat menjadi prajurit harus memiliki rambut berwarna agak cerah. Dan orang berambut hitam seperti yang kau kataan tentu tidak akan lolos seleksi.”
Tentu saja, kenapa Camy melupakan peraturan konyol itu. dimanapun orang dengan rambut berwarna agak cerah pasti akan dihargai karena dianggap memiliki kasta yang agak tinggi. Sedangkan orang yang memiliki rambut yang agak gelap dianggap sebagai kasta rendah. Bahkan bangsawan pun memiliki warna rambut yang cerah. Peraturan konyol, gerutu Camy.
“Tapi tetap saja bukan orang ini. lagi pula aku kira dia salah satu prajuritmu karena dia memakai seragam yang biasanya dia pakai prajurit seperti kalian.” Camy masih tidak mau kalah. Dia masih meyakini keberadaan orang yang menyelamatkannya. Orang itu pasti bukan hantu, bain Camy meyakinkan diri.
“Sudahlah kalian berdua. Lebih baik kita berpikir apa yang harus kita lakukan besok.” As segera melerai perdebatan diantara Finner dan Camy, membuat keduanya memusatkan perhatiannya pada As. “Aku mendapat informasi jika markas pemberontak ada di wiayah utara, di daerah Brones. Tapi dari rumor yang ku dengar tidak ada sang pengeran disana, begitu juga para pengawalnya.”
Finner tersentak. “Bagaimana bisa? Bukankah mereka kabur bersama-sama?”
As mengangkat kedua bahunya seraya menggelengkan kepalanya. “Sepertinya mereka berpisah di tengah jalan. Atau memang sang pangeran dan pengawalnya dengan sengaja berpisah dari kelompok pemberontak.”
“Tunggu dulu, kalian tadi bilang jika pengawal pangeran perempuan dan laki-laki. Jadi pengawal pangeran hanya dua?” Camy menatap bingung Finner serta As.
“Aku belum menceritakan jika pengawal pangeran hanya dua ya, Camy?” tanya Finner.
Camy menatap tajam Finner yang tersenyum kikuk karena menyadari jika belum menceritakan keseluruhan ceritanya. “Kau hanya cerita jika pangeran dilindungi ‘para pengawal’ aku pikir pengawalnya ada banyak, ternyata hanya dua.”
“Maaf untuk itu. aku sepertinya lupa memberi taumu.” Finner meringis melihat Camy menatap geram ke arahnya. Finner tau ekspresi Camy ini. ini adalah ekspresi yang membuat semua orang dituntut untuk menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Camy, si gadis yang selalu penasarn. “Oke, aku akan ceritakan apapun yang ku ketahui. Jadi apa yang ingin kau tanyakan?”
Camy bersedekap dengan mata melotot tajam, “Semuanya, tanpa terkecuali.”
Finner pun akhirnya menceritakan apa yan diketahuinya dari awal sampai akhir. Dari ketika dia mengetahui tentang pengawal pangeran hingga melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana keahlian kedua pengawal pangeran itu yang mampu menghadapi ribuan pasukan. Hampir semua yang diceritakan oleh Finner telah di dengar oleh Camy dan sisanya belum pernah didengarnya. Termasuk detail fisik para pengawal pangeran.
Saat Finner selesai dengan ceritanya, Camy terdiam. Tubuhnya membeku saat suatu kenyataan menghantamnya tepat di kepalanya.
“Gize dan Ren,” bisiknya saat menyadari deskripsi yang diceritakan oleh Finner barusan.
Finner mengernyitkan dahinya, begitu pula As. “Tunggu, bagaimana kau tau nama pengawal pangeran?”
Camy menghiraukan pertayaan Finner. Kepalanya menggeleng menolak kenyataan yang baru saja terpikir oleh otaknya. Tidak mungkin, bisik batin Camy mulai berkecamuk. Namun saat itu juga sebuah ide meluncur di kepalanya.
“Aku harus pergi!” langkah Camy terhenti saat As menahan lengannya.
“Kau mau kemana?” As ikut khawatir saat Camy tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Ku rasa aku tau bagaimana cara kita menangani para prajurit besok. Aku harus meminta tolong kepada mereka.” Camy segera menyentakkan tangannya dan berlari keluar ruangannya. Dihiraukannya teriakan ibunya serta beberapa pengunjung yang memandang heran ke arahnya.
Langkah kaki Camy segera memasuki hutan. Pikirannya berkecamuk tak menentu memilih jalan yang harus di lalui. Keadaan yang mulai menggelap akibat kumpulan awan hitam menyulitkan Camy melihat keadaan hutan yang ikut menggelap. Terlebih lagi hujan deras mulai turun sehingga pandangan Camy sangat terbatas. Namun Camy tetap berlari, mengikuti instingnya untuk memilih jalan yang dilaluinya. Pikirannya hanya tertuju pada dua orang yang kemungkinan menjadi satu-satunya penyelamat yang bisa menyelamatkan kotanya esok hari.
Saat bisa melihat rumah di depan matanya, Camy tidak menurunkan kecepatannya. Dia bahkan dengan menggebu-gebu mengetuk pintunya hingga pintu itu terbuka dan menampilkan sosok Gize yang tercengang melihat sosok Camy. “Camy!” Gize tercekat saat Camy menubruk badannya dan mencengkeram kedua lengannya.
“Gize, kau harus menolongku. Kau harus menolong penduduk di kota. Mereka dalam bahaya. Besok prajurit itu datang menagih upetinya. Jika kami tidak membayar upeti sesuai dengan ketentuannya, aku takut mereka akan mencelakai—“
“Hei tenang.” Cengkeraman tangan Gize di lengan Camy mampu membungkam rancauan tidak jelasnya. Gize pun langsung menghela Camy untuk memasuki rumahnya agar Camy tidak lagi kehujanan. “Kamu duduk di sini dulu. Aku akan ambil selimut dan baju ganti, setelah itu kamu baru cerita.” Camy menurut saja saat dirinya di dudukkan di kursi. Sedangkan Gize segera memanggil Ren yang langsung terpekik kaget melihat keadaan Camy.
“Ya ampun Camy! Apa yang terjadi padamu?”
“Ren temani Camy dan berikan dia sup hangat setelah itu carikan baju ganti. Aku akan mencari handuk, selimut serta menyiapkan air hangat.” Ren mengangguk dan segera mengambil sup hangat yang baru saja di masaknya.
Camy menerima mangkuk berisi sup yang diberikan oleh Ren tanpa mau memakannya. Badannya sudah dililit oleh selimut tebal yang mampu menghangatkan tubuhnya. Camy tidak bergeming saat Ren membujuknya untuk mandi dan berganti pakaian.
“Camy jangan begini. Kamu harus mandi dan ganti pakaian kalau tidak kamu akan sakit.” Camy tetap bungkam. Ren pun yang berada di sebelahnya kebingungan sendiri. Gize pun hanya menggelengkan kepalanya saat pandangan Ren bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi pada Camy.
“Camy, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau mendatangi kami?” bujukan Ren mampu menyentak Camy. Tubuh gadis itu menghadap ke arah Ren dengan sorot tatapan sendu menahan tangisnya.
“Kumohon tolonglah aku. Besok prajurit kerajaan datang untuk menagih upeti. Seluruh warga kota sampai saat ini tidak mampu membayar peti yang dinaikkan hingga dua kali lipat. Ku mohon tolong kami. Tolong bantu kami mengusir prajurit itu. tolong..” Ren memandang ke arah Gize meminta pendapat. Gize pun hanya bisa menggeleng sebagai jawabannya kepada Ren.
“Maafkan kami Camy, tapi kami tidak bisa melakukannya. Kami tidak memiliki kemampuan untuk melumpuhkan prajurit kerajaan. Mereka terlalu kuat.”
Camy mengeratkan pegangannya pada selimut yang membelit tubuhnya. Dirinya tau bahwa Ren maupun Gize berbohong saat ini. mereka menolak permintaan tolong Camy secara halus. Namun kenapa. “Aku tau kalian mampu. Kalian pengawal pangeran. Kalian bisa mengalahkan ratusan prajurit berpengalaman. Kalian pasti bisa menolong kami.”
Ren tersentak saat Camy mengetahui identitas keduanya. Sedangkan Gize menajamkan tatapannya pada Camy. Keduanya mulai bersikap siaga tanpa mereka sadar. “Bagaimana kau bisa tau?” tanya Ren seraya sedikit demi sedikit bergeser menjauh dari tempat duduknya.
“Aku pada awalnya tidak tau. Tapi setelah mendengar cerita dari salah satu saudaraku yang merupakan prajurit, aku menduga bahwa pengawal itu adalah kalian. Apalagi beberapa hari lalu kalian berlatih di belakang rumah.”
“Aku harap kau belum mengatakan keberadaan kami pada orang lain.” Camy menggelengkan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan Gize.
“Aku berjanji akan melakukan apapun tapi kumohon tolonglah kami. Aku tidak mau warga kota disakiti. Aku tidak mau mereka menyakiti ibuku dan membawaku pergi sebagai ganti upeti yang tidak bisa dibayarkan. Kumohon tolonglah kami. Tolong aku…” Ren mendekati Camy, mengusap lengan gadis itu untuk menenangkan Camy yang badannya mulai bergetar.
“Kami sangat ingin menolongmu Camy, kau adalah gadis yang baik. Tapi kami tidak bisa.” Camy memandnag Ren yang menatapnya penuh dengan rasa sesal. Pandangannya kemudian beralih pada Gize yang sedari tadi bungkam seakan enggan berinteraksi dengan Camy.
“Gize, kumohon tolong aku..” Gize menggeleng kepalanya kaku. Laki-laki itu tetap membungkam mulutnya. “Kenapa kalian tidak mau menolongku. Kenapa kallian diam saja?”
Ren terdiam. Gize yang sedari tadi menyandarkan punggungnya kini mulai berdiri tegak seakan tau bahwa sudah saat dia membuka mulutnya. “Maafkan kami Camy. Kami tidak bisa seenaknya melakukan tindakan. Kami harus mematuhi perintah.”
Camy mengernyitkan dahinya. gadis itu kebingungan dengan pembicaraan yang mula menjerumus ke arah yang tidak dimengertinya. “Perintah? Perintah siapa?”
“Perintahku.” Semua mata kini menuju pada sumber suara yang berjalan menuruni tangga.
Camy memandang sosok yang menuruni tangga itu. meski sudah hampir satu minggu terlewat tapi Camy masih mengingat sosok laki-laki berambut hitam dengan mata keemasan itu. laki-laki yang menolongnya dari terkaman serigala. Laki – laki yang mengantarnya hingga pos perbatasan. Laki-laki yang memenuhi kepala Camy karena penasaran dengan sosoknya. “As,” gumam Camy tak percaya dengan kehadiran laki-laki itu.
Laki-laki beridiri di ambang pintu. Matanya memandang Camy sekilas sebelum akhirnya menatap Ren maupun Gize dengan pandangan tajamnya. “Gize, segera siapkan tunggangan untuk pergi dari sini. Ren, siapkan segala kebutuhan untuk satu minggu kedepan. Seperlunya saja. aku ingin segalanya siap sebelum kita berangkat saat pagi buta.”
Ren dan Gize pun segera berdiri dan menunduk patuh pada laki-laki itu. “Baik,” jawab keduanya bersamaan.
Laki-laki yang diketahui bernama As kembali berlalu menaiki tangga. Sedangkan Ren maupun Gize pun menatap Camy seakan memberitahukan keadaan yang sedang keduanya alami. Sedangkan Camy menatap keduanya bergantian degan tatapan terkejut. “Jangan bilang jika itu tadi—“ Gize mengangguk sebelum Camy bisa menyelesaikan pertanyaannya.
“Sekarang kau taukan Camy kenapa kami tidak bisa menolongmu meskipun kami bisa. Keadaan kami pun terdesak. Jika mereka mengetahui kami disini, kotamu akan menjadi medan pertempuran,” ucap Ren mencoba membuat Camy mengerti.
“Dan sekalipun kami ingin menolong pun, itu harus merupakan perintah dari Pangeran karena kami harus mematuhi setiap perintah beliau,” timpal Gize.
Camy menatap keduanya. Sekarang benak Camy mengerti kenapa kedua manusia ini, Ren dan Gize berada di tengah hutan. Akhirnya dia tau siapa sosok orang ketiga yang selama ini terus membuatnya penasaran karena bersembunyi di balik pintu itu. dan kini kepala Camy dipenuhi tekat untuk meminta bantuan mereka, mengabaikan apakah mereka pemberontak ataupun bukan. Karena Camy yakin bahwa mereka adalah orang baik yang mau menolongnya.
“Kalai begitu akan meminta tolong langsung pada Pangeran.” Sebelum Ren maupun Gize dapat mencegah, Camy sudah beranjak menaiki tangga. Kaki mungilnya berderap menuju pintu kamar yang dulu penuh teka-teki namun kini teka-teki itu sudah terpecahkan. Teka-teki tentang siapa sebenarnya penghuni kamar di balik pintu itu.
Camy diliputi kebingungan saat hendak membuka pintu itu. sedari kecil Camy tidak pernah dididik tentang tata krama yang baik karena dirinya sibuk membantu ibunya. Dirinya hanya tau bahwa dia harus tersenyum sopan ataupun menmpilkan wajah ceria agar para pengunjung restaurannya betah di dalam restauran. Dan sekarang Camy bingung bagaimana berhadapan dengan Pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kerajaan. Bagaimana tata krama kerajaan sebenarnya.
Bayangan ibu Camy serta warga kota yang menjadi pelanggan di restaurannya berputar di kepalanya. Semakin lama waktu Camy di depan pintu itu, maka semakin lama pula bantuan yang akan datang membantu mereka. Bermodalkan tekat, Camy akhirnya membuka pintu itu tanpa mengetuknya. Dan disanalah sosok laki-laki yang dikenalnya berdiri, membelakanginya dan tengah menatap ke luar jendela.
“Yang Mulia Pangeran.” Tidak ada jawaban. Bahkan berbalik untung menghadap Camy pun tidak. “Yang Mulia.” Lagi-lagi panggilan Camy hanya dianggap angin lalu.
Camy mengeratkan kepalan tangannya. Dia tau ini tidak akan mudah namun Camy akan terus berusaha meminta pertolongan pada Pangeran. “Yang Mulia, bisakah anda menolongku dan warga kota dari prajurit istana besok?” Lagi, tidak ada reaksi dari laki-laki di depannya. Camy mendesah lelah bercampur geram. “Kenapa Yang Mulia tidak mau mengabulkan permintaanku. Kenapa Yang Mulia diam saja meskipun telah mendengar permintaan tolongku?”
Akhirnya sosok di depan Camy menghadap ke arah Camy. Menatap Camy dengan pandangan dingin nan tajam yang mampu membuat Camy sedikit gemetar. “Kenapa aku harus membantumu.”
Camy tercekat saat mendengar pernyataan Laki-laki di hadapannya. “Bu-bukah itu sudah kewajiban anda seb-sebagai Pangeran, Yang Mulia,” ucap Camy ragu sendiri dengan apa yang dikatakannya.
“Aku bukan Pangeran. Apa kau melihat aku memakai mahkota?” Camy meneguk ludahnya susah payah. Pandangannya tanpa disadarinya sudah melihat ke atas kepala laki-laki yang mengenalkan dirinya sebagai As saat mereka pertama bertemu. Disana tidak ada mahkota seperti bayangan Camy. Hanya rambut hitam legam yang menghasi kepalanya. Hitam legam? Kenapa orang dengan kasta setinggi pangeran memiliki rambut hitam legam bukannya berwarna lainnya yang lebih cerah.
Camy menggelengkan kepalanya mengusir pertanyaan yang berkumul di kepalanya. Nanti, janjinya dalam hati untuk bertanya kenapa rambut itu berwarna hitam. Saat ini prioritasnya adalah meminta bantuan pada sosok yang ada di depannya.
“Ta-tapi,” Camy kembali meneguk ludahnya. Dirinya tidak ingin mendebat saat sorot mata itu semakin tajam mendengar suara Camy yang hendak membantah. “Apa Yang Mulia tidak merasa kasihan kepada kami. Apakah Yang Mulia hanya akan diam saja melihat kami kemungkinan disiksa besok?”
Pangeran terdiam di tempatnya. Sosok itu tidak bergerak dan tetap menatap ke arah Camy yang berdiri gemetar di tempatnya. “Apakah kalian juga menolongku saat aku dulu disiksa oleh kerajaan?” Camy lagi-lagi tercekat untuk kesekian kalinya. Tanpa sadar dia sudah menggigit bibir bawahnya agar tidak mebuat suara terkseiap yang biasa dilakukan. “Dan kenapa sekarang aku harus menolong kalian sedangkan kalian tidak menolongku.”
“Itu, itu…” Camy tidak bisa membalas perkataan Pangeran. Pikirannya mendadak dibingungkan dengan semua jawaban yang harus dikatakan pada sosok di depannya. Bagaimana caranya agar Pangeran di depannya ini mau membantunya serta seluruh warga kota sedangkan mereka tidak pernah menolongnya, bahkan mengacuhkannya saat dirinya mengalami hal yang serupa bahkan mungkin lebih parah. Mau tidka mau Camy merasa bersalah sendiri karena menyadari bahwa dia telah menuntut banyak sedangkan dirinya tidak pernah melakukan hal yang bisa menolong Pangeran maupun Gize serta Ren. Sedari awal Camy hanya bisa merepotkan mereka.
“Maaf,” cicit Camy entah untuk kesalahan yang mana yang dilakukannya.
“Kenapa kau meminta maaf?” Camy memberanikan menatap sang Pangeran, menahan rasa takutnya pada mata keemasan yang memapu menggetarkan seluruh tubuhnya ketakutan.
“Maaf karena sedari awal telah merepotkan Pangeran serta Gize dan Ren.” Camy terdiam mengingat perkataan Pangeran terakhir. “Dan maaf karena tidak ada disana saat Pangeran membutuhkan bantuan.” Camy menundukkan kepalanya sebagai tanda rasa bersalah atas yang telah diperbuatnya.
Lengang sejenak. Keterdiaman sosok di depannya membuat Camy memberanikan dirinya lagi untuk melihatnya. Untuk sesaat, untuk sekejap saja, Camy bisa melihat sorot lembut di mata keemasan itu, mengingatkannya pada sinar matahari pada pagi hari yang terlihat lembut. Kemudian sorot itu kembali menajam meski tidak setajam pada saat Camy pertama kali melihat.
“Hanya kali ini saja, apakah Pangeran mau menolongku, menolong warga kota dari para prajurit itu?” tidak ada jawaban lagi. Camy sudah kehabisan kata-kata untuk meminta bantuan sosok dihadapannya. “Aku, aku akan melakukan apapun yang Pangeran inginkan tapi tolong kabulkan permintaanku untuk menolong kami mengusir para prajurit itu.”
Pangeran terdiam. Detik selanjutnya dia kembali membalikkan badannya untuk melihat keluar jendela yang masih diterjang hujan deras. “Aku tetap dengan keputusanku untuk pergi saat pagi buta.”
Camy tidak bisa berkata-kata lagi. Dirinya jatuh terduduk di tempatnya. Tangisnya pecah saat menyadari apa yang dilakukannya sia-sia. Rasa bersalahnya makin mernjadi saat menyadari bahwa besok mungkin akan menjadi neraka baginya maupun orang-orang yang dikenalnya di kota. Saat ingatannya kembali mengingat ibunya sebuah tekat kembali menyeruak dalam dirinya. Mata yan sedari tadi menatap ke lantai dengan uraian air mata kembali menatap sosok di depannya. Tatapannya memberikan sorot tajam seakan membalas segala sorotan tajam yang diterimanya.
“Kalau begitu aku akan tetap disini sampai Pangeran mau membantuku.” Pangeran tidak bergeming begitu pula Camy yang maish bersimpuh di tempatnya mengharapkan sang Pangeran mengubah keputusannya agar mau membantunya.
:KETAWAJAHADD :KETAWAJAHADD :YUHUIII good job camy ,, memohon nya gitu amat yaak
Ceritanya keren ….. serasa masuk ke cerita … :LARIDEMIHIDUP
Wah….ternyata betul pangeran yg hilang…
Wahhh pangeran, ayoo tlng camy hihi
Suka deh camy tuh gigih bngt sihhhh hihi
Lanjut ke part berikutnya
Semangat trs yak
semangat Camy !!
Pangeran buruan itu tolongin si camy
Semangat camyyy
Camy kekeuh banget ya minta tolongnya haha
terus tiap nyasar, nemu aja lagi rumahnya hihi
Benar dugaanku itu pangeran >_<
Aihhh serba salah juga sihh. Warga atau para rakyatnya dulu juga begitu sama si Pangeran /,\
Semangat kak dan untuk Camy~
Wah ceritanya seru nih
Ditunggu kelanjutannyaa
Semoga aja pangerannya mau menolong amiiinnn…
Cerita yang menarik, lanjutkan dong thor, di tunggu, terimakasih.