Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 2

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

67 votes, average: 1.00 out of 1 (67 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Nah, ini dia!” Camy tersenyum senang saat bisa keluar dari hutan. Entah kenapa melihat rumah-rumah berdempatan itu membuat hati Camy lega. “Kamu terlihat senang sekali.” Camy mengangguk. Dia melihat ke arah Gize yang masih mengenakan baju berburunya.

“Terima kasih atas bantuanmu serta telah memperbolehkanku menginap di rumahmu.”

Gize tersenyum lebar. “Tidak masalah. Sudah aku bilangkan jika rumah kami tidak pernah kedatangan tamu. Kedatanganmu setidaknya adalah satu hiburan tersendiri bagi kami, kami bisa merasakan bagaimana menyambut tamu di rumah.” Camy tertawa kecil.

“Aku pasti akan merindukan kalian, juga makanannya.” Gize kini giliran tertawa dengan keras. “Aku berharap bisa sesekali berkunjung.”

Gize meredakan tawanya, menatap Camy penuh perhatian. “Aku dan Ren juga. Kami berdua akan menanti kedatanganmu suatu saat.”

Camy mengernyit bingung. “Kamu tidak akan memberitahuku jalan ke rumahmu?” Gize menggeleng. “Kenapa?”

Gize memberkan senyum jenakanya. “Bukankah kamu sendiri yang mendatangi rumah kami. Itu berarti kamu sudah tau jalan ke arah rumah kami.”

“Hey, aku tersesat. Mana aku memperhatikan jalan ke rumahmu.” Camy benar-benar ingin menelan Gize. Saat itu Camy bahkan setengah ketakutan karena tersesat.

Anehnya Gize tidak tertawa seperti sebelumnya. Pria itu malah tersenyum dengan misteriusnya. “Maka tersesatlah dan temukan rumah kami.” Camy cemberut. Gize tidak bisa menahan senyum jahilnya karena terhibur dengan ekspresi Camy. Pria itu mengacak-acak Rambut Camy hingga gadis itu makin cemberut. “Jika memang kita akan bertemu lagi maka biarkan takdir yang memutuskan.”

“Kenapa aku merasa ini seperti salam perpisahan. Kalian akan pindah dari rumah itu?” Gize menurunkan tangannya. Memberikan senyumannya yang kini terasa hangat.

“Tidak. Tidak sekarang. Tidak dengan kondisi saat ini.” Camy mendengar jelas jawaban Gize namun saat gadis itu menanyakan apa maksudnya, pria itu menyangkal dan mengalihkan pembicaraan. Nah, kini Camy makin penasaran dengan kedua manusia yang baru saja ditemuinya serta satu manusia lagi yang belum dikenalnya.

Gize segera pamit dan menghilang di balik rerimbunan pohon, meninggalkan Camy yang rasa penasarannya semakin membuncah. Namun Camy menyadari jika terkadang dia harus menahan rasa penasarannya. dia teringat perkataan Gize, jika memang mereka ditakdirkan akan dipertemukan kembali maka mereka pasti bertemu.

Dengan satu keyakinan itu, Camy akhirnya membalikkan badannya dan berjalan menuju rumahnya.

Sepanjang perjalanan Camy selalu berhenti karena disambut oleh penduduk sekitar. Mereka sangat bersyukur menemukan Camy setelah kemarin gadis itu menghilang. Tentu saja Camy senang dengan penyambutan tersebut dan berulang kali meminta maaf karena membuat semua orang cemas. Saat ditanya bagaimana bisa Camy bertahan di dalam hutan dan bagaimana bisa keluar, Camy menjawab sekenanya tanpa menyinggun masalah Gize dan Ren. Biarlah untuk saat ini hanya dirinya seorang yang tau tentang kedua manusia tersebut.

Saat Camy masuk kedalam restauran sederhana di pinggir sungai, semua orang langsung terperangah. Semua orang berlari mendekat untuk memeriksa apakah gadis yang baru saja memasuki restaurant adalah Camy. Mereka bersorak gembira saat dugaan mereka benar.

Beberapa lainnya berteriak memangil seseorang. Saat itulah Camy melihat ibunya yang tercengung beberapa saat di depan pintu dapur. Detik berikutnya ibu Camy berlari dan membawa masuk Camy ke dalam dekapannya. “Kamu kembali Camy. Kamu pulang. Syukurlah.”

Camy mengusap punggung ibunya. Gadis itu berusaha keras agar tidak ikut menangis seperti ibunya. “Sudah ibu jangan menangis. Aku sudah pulang. Semuanya baik-baik saja.” Ibu Camy mengangguk.

Setelah momen mengharukan tersebut, semua orang kembali ke tepatnya semula. Tentu saja dengan rona bahagia karena Pak Tua Hens mentraktir semua orang atas kembali nya Camy. Traktiran itu disambut sorak gembira semua pengunjung.

Camy kembali ke rutinitas semulanya, membantu ibunya mengurus restauran kecil itu. beberapa kali saat mengantarkan makanan, Camy haru menjawab pertanyaan yang diajuka oleh pelanggannya. Tentu saja pertanyaan sama yang diajukan oleh penduduk yang ditemui Camy tadi. Dan seperti sebelumnya, Camy hanya menjawab semuanya sekenanya tanpa menyindir keberadaan dua manusia yang tinggal di tengah hutan. Ah, sepertinya ada tiga manusia meski Camy belum berkenalan denga manusia katiga itu.

Saat senja mulai bergelung di ujung pegunungan, restauran terpaksa tutup karena kehabisan makanan. Tentu saja ini karena kembalinya Camyke restauran tersebut. Kini yang tersisa hanyalah Camy dan ibunya yang tengah membersihkan beberapa meja dan lantai restauran.

“Ada apa Camy?” Camy mendongakkan kepalanya, menatap ibunya yang masih mengelap meja meski pandangannya terarah kepada Camy.

“Maksud ibu?”

Ibu Camy tersenyum penuh pengertian. “Kamu berbohong saat ditanyai semua pelanggan tadi tentang apa yang terjadi di dalam hutan. Jadi bisa ceritakan ke ibu sebenarnya apa yang sudah terjadi?”

Camy diam. Tangannya masih mengepel lantai yang dipenuhi jejak tanah dari sepatu para pelanggannya tadi. “Hanya sedikit kejadian yang tidak perlu diceritakan.”

“Dan kamu tidak ingin menceritakannya kepada ibu?”

“Apa ibu bisa dipercaya?” Ibu Camy mengernyit sedikit tidka suka.

“Kamu tidak percaya dengan ibu?” Camy menggeleng tegas. Tangannya berhenti mengepel lantai.

“Bukan begitu. Aku hanya tidak yakin ibu percaya dengan apa yang akan aku ceritakan.” Ibu Camy menghela napasnya. Meletakkan kain lap dan menghampiri Camy. Beliau menghela Camy agar gadis itu duduk berhadapan di salah satu tempat duduk restaurant.

“Apa kamu ingat waktu kamu berumur tiga tahun dan bercerita ada monster di bawah tempat tidurmu?” Camy mengangguk tanpa berani melihat wajah ibunya. “Apa ibu menertawakanmu?” Camy menggeleng. Kejadian itu masih berputar di kepalanya. Mengingatkannya bagaiaman ibunya tidak menertawakan rengekannya di tengah malam karena melihat monster di bawah tempat tidurnya.

“Lalu kamu ingat waktu berumur lima tahun dan teman khayalanmu memecahkan piring restauran?” Camy kembali mengangguk. Gadis itu melirik ke arah ibunya yang masih setia dengan senyum penuh pengertiannya. “Ibu juga tidak menertawakanmu, kan. Ibu juga tidak memarahimu karena berkhayal berlebihan.” Kali ini Camy menggeleng kuat. Gadis itu sudah berani  memperlihatkan wajahnya yang sedati tadi ditundukkannya.

“Ibu janji akan mempercayaiku?” Ibunya mengangguk Camy menghela napas berat. “Sebenarnya selama aku di dalam hutan, aku tinggal di dalam rumah pemburu?”

“Pemburu? Kamu yakin itu rumah nyata, bukan khayalanmu?”

“Ibu!”

“Oke, oke. Ibu tidak akan menyela lagi. Lanjutkan!”

“Sebenarnya aku tidak sengaja menemukannya dan mengira rumah itu tidak dihuni. Tapi saat aku mencium bau roti, aku tau kalau rumah itu berpunghuni. Singkat cerita aku diajak menginap disana kemudian paginya aku diantar hingga pinggir hutan.”

Lenggang sejenak. Camy menunggu respon dari ibunya. “Dan itu membuatmu penasaran?” Camy mengangguk dengan semangat. “Penasaran karena rumah itu atau ada hal lainnya?”

Camy menggigit bibirnya. “Sebenarnya Camy penasaran dengan penghuninya?” Camy tanpa sadar menggelengkan kepalanya saat mengingat-ingat sosok yang membuatnya penasaran. “Sepertinya dua orang penghuni rumah itu menyembunyikan fakta jika ada seseorang lagi yang menghuni rumah itu.”

Ibu Camy tersenyum seraya mulai mengusap lembut kepala Camy. “Ibu memang tidak pernah melarang jika kamu melakukan apa saja untuk memenuhi rasa ingin tahumu. Ibu hanya bisa mengingatkan jika terkadang kamu tidak bisa terus mencari jawaban dari soal yang ingin kamu ketahui jawabannya. Terkadang suatu soal tidak memiliki jawaban karena suatu sebab tertentu.”

“Aku tau, Bu.”

“Penasaran memang bagus Camy tapi terkadang hal tersebut juga bisa menjadi bumerang untukmu.”

Camy mengangguk. “Aku juga sudah tau, Bu.” Ibu Camy tersenyum. Kekeraskepalaan yang diturunkan suaminya kepada Camy memang terkadang membuatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Sangat sulit untuk menasehati Camy dengan sifat kekeraskepalaannya tersebut.

“Baiklah, sekarang cepat selesaikan pekerjaanmu lalu bergegas tidur. Kamu pasti masih lelah karena baru sampai di rumah.” Camy hanya mengangguk dan kembali melanjutkan kegiatannya.

Kembali pada kesehariannya semula.

***

Sudah beberapa minggu Camy habiskan semenjak insiden tersesatnya ia di hutan. Selama itu juga Camy kembali pada kehidupannya yang seperti biasa. Rutinitasnya kembali seperti semula, hanya berputar pada membantu ibunya di restaurant ataupun mengantarkan makanan yang di pesan oleh orang-orang.

Kalau boleh jujur, Camy merasa bosan.

Rasa keingintahuannya tentang rumah di tengah hutan itu masih mengusiknya. Meski ibunya telah memperingatkan untuk melupakan kejadian itu beserta rasa penasarannya, Camy tidak bisa melakukannya. Gadis itu diam-diam masih menerka-nerka tentang rumah di tengah hutan beserta penghuninya.

Terutaman penghuni yang misterius itu.

Hal inilah yang membuat Camy selalu menyempatkan diri menatap hutan yang bisa dia lihat dari jendela kamarnya. Diam-diam mengingat rute yag membawanya menuju rumah tengah hutan. Walaupun akhirnya Camy hanya bisa mendesah karena tidak ada satupun ingatan tentang jalan yang dilaluinya.

Camy lagi-lagi merutuki Gize. Mau tidak mau pikirannya kembali terbayang dengan perkataan Gize tentang takdir dan semcamnya. Takdir sialan, kecam Camy.

“Camy?” Camy menoleh ke arah ibunya yang baru saja memasuki kamarnya. “Kamu sedang apa?”

“Hanya menikmati hari libur, Bu!”

Ibu Camy menghela napas lelah. “Kamu pasti memikirkan rumah itu lagi, kan?” Camy mengangguk. “Bukankah ibu sudah memintamu untuk melupakannya? Kenapa masih memikirkannya terus?”

“Aku masih penasaran ibu. Ibu tau sendiri jika aku penasaran aku pasti akan memikirkannya terus-terusan.”

Ibu Camy menghela napas panjang. “Ibu sudah mengatakannya juga bukan, kalo—“

“Rasa penasaranku bisa membahayakanku suatu saat nanti. Iya bu, aku tau. Hanya saja aku merasa ada seusatu. Sesuatu hal besar yang akan terjadi dan itu berhubungan dengan rumah itu serta penghuninya.” Camy mendesah. Inilah kenapa terkadang dia tidak menyukai rasa penasarannya. rasa penasaran itu akan berakhir dengan pemikiran-pemikiran yang menjurus pada hal yang tidak diinginkannya.

“Bolehkah aku ke hutan, Bu?”

Ibu Camy mengernyitkan dahinya. “Untuk apa?”

“Hanya memastikan suatu hal. Boleh ya?” Ibu Camy menggeleng lemah. Namun bukan Camy jika menyerah begitu saja. seperti biasa dia memasang wajah memelasnya yang pastinya tidak bisa ibunya tolak sama sekali.

Ibu Camy mendesah. “Baiklah. Tapi ingat langsung pulang jika urusanmu sudah selesai.” Camy mengangguk dengan semangat. “Dan bisakah sekalian kamu antarkan makan malam milik penjaga perbatasan kota. Hari ini waktu kita memberi makanan mereka.” Lagi-lagi Camy mengangguk.

Setelah membungkus makan malam untuk penjaga perbatasan serta beberapa makanan tambahan untuk penghuni rumah di tengah hutan, Camy langsung berlalu memasuki hutan. Berjalan menuju tempat tanaman obat yang pernah dikunjunginya lalu terhenti disana.

Kemudian jalan mana yang harus dia ambil. Batin Camy berdecak. Apa mungkin dia harus pura-pura tersesat agar bisa kembali ke rumah di tengah hutan itu. pemikiran gila itu membuat Camy menggelengkan kepalanya.

Suasana yang terbilang masih pagi membuat suasana hutan sedikit lebih ramai daripada biasanya. Entah bagaimana caranya, Camy mengikuti instingnya memilih jalan yang dilaluinya. Ada sebersit ketakutan di hati Camy jika malah tersesat dan tidak menemukan tempat tujuan. Mungkin dia akan ditemukan orang-orang atau malah lebih parah lagi mati sebagai santapan binatang buas.

Camy jadi merinding sendiri.

Ketakutan Camy membuatnya tidak memperhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa sadar dia sudah pada jalur yang benar. Pepohonan mulai renggang dan ada jalur lurus tanpa rumput yang sering dilalui. Mengetahui hal itu membuat Camy girang bukan kepalang. Ternyata pemikiran gilanya benar. Dia harus tersesat lebih dulu agar bisa menemukan rumah di hadapannya.

Camy berseru senang. Langkahnya setengah berlari mendekati pintu depan rumah itu. tidak ada yang berbeda, semuaya tetap seperti yang diingatnya. Kecuali bau roti yang baru dikeluarkan dari oven tentunya.

Saat Camy hendak mengetuk pintu, seruan Ren mengagetkannya. Saat menoleh kesana kemari, Camy tidak menemukan gadis itu. seruan itu terdengar kembali tapi Camy tetap tidak melihat sosok Ren.

Suara dahan yang terjatuh serta debu yang tiba-tiba mengepul dari arah belakang rumah menarik perhatian Camy. Rasa penasarannya kembali membuncah saat suara seruan terdengar kembali, kali ini milik Gize. Tanpa sadar kaki Camy telah melangkah ke belakang rumah. Bersembunyi di balik tembok rumah.

Mata bulat Camy makin bulat tatkala melihat pemandangan yang terlihat. Di sana tampak Ren dengan cambuk mengerikan yang menggeliat seperti ular karena diputar-putar oleh Ren, seolah cambuk itu ada bagian tubuh gadis itu. sedangkan Gize, lelaki itu melompat kesana-kemari bagaikan monyet yang terbiasa berayun kesana-kemari.

“Dasar monyet! Kau hanya bisa bersembunyi!” Gize terlihat menyeringai mendengar legkingan Ren.

Satu panah meluncur kemudian diiringi  Ren yang melompat menghindari panah tersebut, panah yang di tembakkan oleh Gize. “Karena memang inilah kemampuanku! Memangnya kau yang hanya bisa memainkan tali,” Gize melompat lagi menghindari cambukan yang mampu menebas dahan yang ditempati Gize yang kini tergeletak lemah di tanah.

Mau tidak mau Camy tercengang. Dirinya sulit untuk menelan salivanya melihat dahan yang jatuh itu. dahan itu sangat besar tapi bisa patah hanya karena cambukan dari Ren. Sebenarnya seberapa kuat gadis itu. lagipula siapa gadis itu sampai bisa melakukan hal seperti itu.

Camy kembali mengamati kedua orang itu. baik Ren maupun Gize saling menyerang satu sama lain. Ren sesekali melompat untuk menghindari panah Gize sedangkan Gize berayun kesana kemari menghindari cambukan Ren. Keduanya seperti bertempur sungguhan dan diiringi ejekan yang diarahkan satu sama lain.

Sekilas mereka seperti bermain kejar-kejaran seperti saat pertama kali Camy bertemu mereka tapi mengingat apa yang ada di depan matanya mau tidak mau Camy menggeleng. Kejar-kejaran mereka saat ini tentu mengerikan jika dibandingkan dengan kejar-kejaran waktu itu. Camy meringis melihat beberapa dahan pohon yang tergelatak serta beberapa bagian tanah yang mencekung dan retak akibat serangan serangan Ren maupun Gize.

Sebenarnya siapa kedua orang itu hingga bisa membuat kekacauan mengerikan ini.

Rasa penasaran Camy membuat gadis itu terus melihat pertempuran antara Ren dan Gize. Namun tanpa sadar kakinya berjalan mendekati keduanya tanpa disadari Ren maupun Gize. Saat kedua orang itu menyadarinya, Ren telah mencambuk tanah di sisi kanan Camy. Meski tangan Camy tidak menjadi sasaran utama tetapi gadis itu tetap terkena sedikit cambukan, menyebabkan lengannya terluka dan mengeluarkan darah.

“Camy!” Ren dengan sigap berlari ke arah Camy yang terduduk seraya memegang lengannya yang terluka. Bekasnya lumayan mengerikan bagi Camy yang tidak pernah memegang benda tajam. Luka yang melintang horisontal itu terasa perih dan membuat Camy hampir menangis.

“Kau tidak apa-apa?” Camy mengangguk pada mulanya tetapi kemudian meringis saat Ren tidak sengaja menyentuh di daerah dekat luka itu.

“Bawa Camy ke dalam dan bersihkan lukanya. Aku akan mencari obat.”  Ren mengangguk dan segera memapah Camy masuk ke dalam rumah sedangkan Gize segera melesat ke dalam hutan.

Ren mendudukkan Camy dengan  hati-hati. Dia mulai membersihkan darah dengan kain yang dibasahi dengan air hangat pada luka Camy. Camy sedikit meringis saat kain hangat itu mengenai lukanya yang menganga cukup lebar.

“Tahan sebentar ya. Gize sebentar lagi sampai.” Camy mengangguk.

Tak lama kemudian Gize datang dengan beberapa obat-obatan di tangannya. Dengan sigap Ren mengambil tanaman itu dan menumbuknya. Hasil tumbukan itu langsung dibubuhkannya pada luka Camy.

“Tahan sebentar, oke? Ini akan sedikit sakit.” Camy meringis saat dedaunan obat itu mengenai lukanya juga saat Ren membalut tangannya dengan kain putih. Rasa nyeri itu memang sebentar, sisanya hanyalah rasa dingin yang dirasakannya pada luka itu.

“Maaf ya Camy. Gara-gara aku kamu jadi terluka seperti ini.” Camy mengalihkan pandangannya dari lukanya saat mendengar permintaan maaf Ren. Hati kecilnya kini berteriak, meronta agar rasa penasarannya bisa terpuaskan.

“Akan aku maafkan.” Camy melihat Ren maupun Gize mendesah lega. Umpannya ternyata berhasil, sorak Camy dalam hati. “Asal—“

“Asal?” pekik Ren terkejut.

“Asal kalian memberitahuku siapa kalian sebenarnya.” Baik Ren dan Gize saling melirik satu sama lain. Seakan dengan lirikan itu bisa membuat keduanya berkomunikasi.

Setelah pelototan tajam Ren pada Gize akhirnya lelaki itu menghela napas kasar kemudia bicara. “Jadi sebenarnya kami pernah menjadi tentara kerajaan.”

“Tentara kerajaan!” Kini ganti Camy yang memekik kaget. “Tapi kenapa kalian ada di sini. Maksudku di tengah hutan seperti ini!” Ren dan Gize kembali saling lirik.

“Itu sudah lama sekali Camy, sekitar lima tahun yang lalu. Sekarang kami sudah berhenti karena lelah, jadi kami memutuskan untuk beristirahat disini.”

Camy berpikir sejenak, pikirannya terfokus pada kalimat yang diucapkan oleh Ren. Lima tahun lalu. Memori Camy mau tidak mau menyeret gadis itu kembali pada kenangan yang sangat memilukan. Hari dimana ayahnya pergi tanpa kabar. Hari dimana semua penjuru negara menjadi kacau balau. Hingga kemudian diakhiri dengan berita meninggalnya ayah Camy. Mengingat itu semua napas Camy tiba-tiba terasa tercekat.

“Kejadian lima tahun lalu, maksud kalian kudeta yang dilakukan oleh Pangeran.” Camy tidak bisa menyembunyikan suaranya yang tercekat. Dan suara itu terdengar jelas oleh Ren dan Gize.

Ren mengangguk ragu. Sepertinya dia lebih peka dengan apa yang dirasakan Camy meski tidak tau atas dasar apa gadis di depannya menampilkan ekpresi gamang seperti itu. “Kami di sana Camy, menjadi barisan terdepan saat pertempuran itu berlangsung. Sangat mengerikan. Peperangan yang paling menyeramkan bagi kami. Karena itulah setelah peperangan itu kami berdua memutuskan untuk berhenti. Kami tidak mau berada di situasi seperti itu lagi, Camy.”

Camy tertegun. Rasanya gadis itu bisa membayangkan apa yang harus dihadapi oleh Ren dan Gize meski dirinya tidak benar-benar melihat pertempuran itu sendiri. Dari yang ia dengar dari semua orang, hampir semua orang yang ikut peperangan itu meninggal. Pastilah Ren dan Gize ketakutan di tengah pertempuran mengerikan itu.

“Maaf. Aku tidak bermaksud membuat kalian mengingat hal itu lagi.” Camy merasa bersalah karena mengingatan kedua manusia di depannya tentang memori kelam mereka.

“Tidak apa. Memang lebih baik kamu tau agar semuanya jelas. Aku harap setelah mendengar ini semua, kamu tidak menjauhi kami Camy.” Camy mengangguk tegas. Dalam hati di berjanji tidak akan membuat kedua orang itu mengingat hal-hal buruk yang tidak mereka inginkan.

“Jadi kami sudah dimaafkan?” Gize kembali pada sikap riangnya. Senyum jenakanya menyambut Camy agar gadis itu segera memberikan jawabannya.

Camy berpikir sebentar. Hatinya masih tergelitik untuk memuaskan rasa penasarannya. ada satu pertanyaan lagi yang belum mereka jawab. “Belum,” ucap Camy menggelengkan kepalanya.

“Memang apa lagi yang hendak kamu tanyakan?” Ren mulai hapal dengan tabiat Camy. Gadis itu akan melakukan segala cara agar mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya. Ren teringat saat gadis itu bertanya terus menerus tentang hutan saat pertama kali bertemu.

Camy memandang keduanya lekat, bergantian. “Kalian tinggal disini hanya berdua atau masih ada orang lain yang tinggal disini?” Camy menangkap Ren yang tercekat di depannya. Hal ini malah membuat rasa penasaraannya bertambah besar.

“Sebenarnya masih ada satu lagi orang yang tinggal disini.” Pengakuan Ren membuat Camy mendesah lega bercampur penasaran. Lega karena bayangannya yang selama ini menganggap rumah ini berhantu menghilang dan penasaran siapa penghuni ketiga di rumah ini.

“Siapa?”

Ren dan Gize saling lirik. Gelengan samar dari Gize seakan mampu memberikan tanda kepada Camy bahwa identitas penghuni ketiga belum bisa dia dapatkan. “Maafkan kami Camy tapi kami tidak bisa memberitahukannya sekarang. Kami tidak berwenang untuk melakukan hal ini.”

Jawaban Ren tanpa sadar membuat alis Camy menyatu. Gadis itu hendak menanyakan apa maksud jawaban Ren namun segera diurungkannya saat melihat pandangan memohon Ren agar tidak bertanya lagi. Mau tidak mau Camy harus kembali menelan rasa penasarannya lagi. Setidaknya kini sedikit berkurang karena dia tau bahwa ada seorang lagi yang tinggal di rumah ini. sesuai dengan perkiraannya.

Camy mendesah lega.

“Oke, jadi kenapa kamu bisa kesini?” pertanyaan Gize disambut senyum lebar Camy. Untuk sejenak dia melupakan rasa penasaraannya dan kembali bercengkrama dengan dua orang teman barunya.

12 Komentar

  1. Makin bikin penasaran .. kapan camy akan ketemu putra mahkota itu ?

  2. Tambah penasaran aja nih ?

  3. farahzamani5 menulis:

    Bnran pangeran ternyata yak ituuuuu
    Wah wah wah langsung lanjut ke part berikutnya ahhh hihi
    Semangat trs yak

  4. makin kepooo

  5. surayyaramadhani menulis:

    kepo sama pangerannya?

  6. RievcaWeldy menulis:

    Curiga Ren Gize pengawal pribadi pangeran :BAAAAAA

  7. Wow, jd itu beneran pangeran yak

  8. fitriartemisia menulis:

    wah, beneran pangeran kayaknya nih

  9. syj_maomao menulis:

    Wahhh sepertinya benar itu pangeran hihihi~
    Tak sabar menantikan Pangeran bertemu Camy :HULAHULA

  10. Kayaknya bener itu pangerannyaa

  11. Ditunggu kelanjutannyA

  12. Aulia Rahmi menulis:

    Kenapa pangerannya di sembunyikan ya??