Vitamins Blog

Chapter 1 – The Broken Mask –

Bookmark
Please login to bookmark Close

34 votes, average: 1.00 out of 1 (34 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

The Broken Mask

~ Luna & Solis ~

.

Aku menatap kosong ke arah jendela, diluar hujan turun dengan damai. Membasahi setiap sudut kota Veclana, sebuah distrik yang terletak di selatan negara Celes. Tidak terasa 7 tahun telah berlalu sejak teror malam yang hampir menghantui setiap kakiku melangkah. Hari ini pun, mimpi buruk itu tetap menghantui meski saat ini otakku terjaga. Dengan malas kulirik celotehan Ibu Marra yang selalu menjelaskan sejarah tentang Luna, dengan intonasi suara yang sama, dengan isi cerita yang sama, dan dengan perintah yang sama.

Selama 7 tahun ini aku tersiksa mendengarkan setiap ceramahannya. Semakin mendengarnya, aku merasa semakin dicuci otak.

Luna… Luna… Luna…

“Sebagai anggota dari klan Luna, kita harus menjunjung tinggi serta menghormati sang dewi bulan. Dahulu kala, seorang dewi bernama Lunafreya datang ke bumi dengan membawa pesan dari maha dewa Zeul. Namun, raja iblis, Luficer, ternyata diam-diam membuat rencana untuk mengacaukan rencana Lunafreya untuk mendamaikan bumi. Raja iblis sengaja berubah wujud menjadi manusia dan berubah namanya menjadi Solis…”

Dan bla bla bla lainnya…

Aku mendesah pelan. Aku sudah hafal betul bagaimana kelanjutan kisah tersebut. Akhirnya lunafreya tahu siapa sesungguhnya Solis dan berusaha untuk bernegosiasi dengannya agar dia tidak mengacaukan umat manusia. Namun karena kesombongan Luficer, akhirnya pihak langit pun memutuskan untuk berperang meleyapkan kerajaan iblis. Dalam peperangan tersebut, Lunafreya terpaksa mengorbankan nyawanya sendiri dengan harapan perang berhenti. Namun, yang tidak sang dewi sadari, bahwa Luficer menyebarkan benihnya ke setiap manusia yang terpilih untuk mengandung keturunan yang nantinya membentuk sebuah marga bernama Solis.

Aku tidak begitu senang mendengar nama itu.

Kedua nama itu, selalu memberiku sakit kepala. Yang jelas aku tidak menyukainya. Dengan malas, aku sengaja berdiri dengan sedikit memukul meja. Sengaja memotong celotehan yang tidak ada habisnya itu.

“Ada yang bisa kubantu, Lucya?” tanya Ibu Marra kepadaku. Kerutan di keningnya menandakan bahwa dia tidak menyukai tindakanku yang mengganggu kelasnya.

Dengan malas aku berkata, “Bolehkah saya pulang duluan, Bu? Ada banyak hal yang ingin aku kerjakan setelah ini.”

“Tidak boleh!” sahut wanita paruh baya itu, sepertinya dia tersinggung dengan sikapku. “Kau harus memperbaiki sikap tidak sopanmu itu disaat aku sedang menjelaskan sejarah penting!”

“Cih…” aku mendecah sebal, menyebalkan sekali jika aku harus mendengarkan ceramah nenek tua ini sekali lagi. “Aku minta maaf atas ketidaksopananku, Ibu Marra. Selama ini aku sudah sering mendengar sejarah tentang Luna, dewi Lunafreya, Luficer, perselisihan tentang Luna dan Solis, bla bla bla…”

Aku mulai menggerutu, kesal karena keinginanku tidak terpenuhi sebelum membalas kata-kata pedas Ibu Marra. Semua anak-anak di dalam kelas itu menatapku dengan berbagai macam ekspresi.

Aku tidak peduli! Aku harus enyah dari kelas ini! Kalau perlu dari negara sialan ini!

“Sejarah tidak akan memberiku ilmu apa-apa, Ibu. Kekuatanlah yang nantinya akan menyelamatkan nyawaku.”

Atau dalam hal ini nyawa kami berdua, aku dan adikku.

Setelah mengucapkan hal yang tidak perlu, aku memutuskan untuk keluar tanpa permisi. Meninggalkan suara Ibu Marra yang semakin meninggi memanggilku. Biarkan saja, aku juga tidak suka bertemu dengannya setiap hari.

Aku hanya ingin mencari ketenangan meskipun hanya sesaat.

.

xXxXx

.

Aku memasuki sebuah kedai kopi yang terletak persis di pinggir jalan Veclana bernama Aira’s Coffee. Nuansa pedesaan yang kental menjadi tema di kedai ini. Semua pondasinya dibangun menggunakan kayu mahoni terbaik dan sengaja di tata sedemikian rupa sehingga orang-orang yang datang kemari akan merasa berada di rumah sendiri. Suasana yang disuguhkan di tempat ini sangat nyaman. Aku senang melihat susunan piring dan gelas yang sengaja disusun rapi di sebuah kabinet segi empat yang di pajang persis di belakang bar.

Ketika pikiranku sedang kacau, aku biasa kemari. Menyeduh kopi susu hangat bukan ide yang buruk. Lagipula, Qhaira bekerja di sana.

“Sedang apa kau di sini, Lu?” Qhaira muncul dari balik tirai, sepertinya dia baru habis mencuci piring. Tatapannya terkejut ketika melihatku. “Bukankah kau seharusnya ada kelas Ibu Marra?”

Aku menghampiri tempat duduk yang berada di pojok kanan kedai, tempat favoritku ketika berada di sini. Kurebahkan tubuhku yang tegang, mencoba rileks.

“Besok aku akan mengajukan protes ke nenek sihir itu. Aku sudah tidak tahan mendengar dia berdongeng tentang sejarah Luna.”

Qhaira cekikikan mendengar keluhanku. Dia sudah paham dengan kebiasaanku yang mengeluhkan tentang pendidikan yang kudapatkan.

“Anggap saja sedang melatih mental sebelum pertarungan yang sesungguhnya.”

Aku merenung.

Melatih mental, yah…?

Pikiranku melayang, sebenarnya apa yang akan aku hadapi ketika lulus dari sekolah itu? Institut khusus yang melatih orang-orang yang mempunyai kekuatan magis, sengaja melatih orang-orang agar bisa mengontrol kekuatan mereka. Semuanya dengan berbagai latihan fisik dan juga otak yang menguras tenaga. Lalu mendorong mereka untuk bertarung untuk harga diri Luna sampai mati.

Waktu kelulusanku sudah bisa dihitung dengan jari, sebentar lagi aku akan keluar dari sekolah sialan itu. Lalu di terjunkan ke dalam lubang neraka…

Mungkin ini adalah beban yang ditanggung oleh seorang Luna…

Orang yang terpilih seperti aku…

Yang sengaja diciptakan sedemikian rupa agar tidak mempunyai hati ketika harus menghadapi musuh.

Yang terpaksa harus bersikap kejam ketika nyawamu ada di ujung tanduk.

Seketika itu, sebuah kilasan muncul sekelebat di depan mataku. Sebuah memori yang tiba-tiba muncul. Bayangan akan darah yang hampir membasahi semua tubuhku.

Darah dan juga tubuh orang-orang yang tergeletak tak bernyawa. Aku berdiri tengah-tengah mereka, memandang tubuh itu hampa.

Sebuah kenangan yang tidak ingin kuingat, yang selalu memberiku mimpi buruk.

Tubuhku langsung kaku, jantungku berdetak tidak karuan. Nafasku mulai terasa berat. Sial, rasa panik mulai menyerang diriku. Ingatan akan orang-orang yang terpaksa kubunuh selama ini mulai menghantuiku, berusaha menarikku ke dalam lubang hitam. Aku harus keluar dari tempat ini sebelum sesuatu yang menakutkan menghancurkan tempat ini.

“Lucya?” Qhaira menyadari perubahan wajahku. “Kau tidak apa-apa, Lu? Tenanglah… semuanya tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja,” katanya berusaha memahami. Aku merasakan kedua tanganku digenggam oleh Qhaira dengan erat, berusaha menarikku kembali ke dunia nyata.

Aku tersenyum tipis. Menyadari bahwa pemilik kedua tangan yang menggenggam tanganku inilah alasanku selama ini untuk bertahan dari penyiksaan ini.

Sejak hari itu, rasa panik mulai menyerangku. Mulai merayap masuk ke dalam mimpi hingga membuatku sulit tertidur. Biasanya aku menghilangkan perasaan ini dengan merenung dalam kegelapan. Mencoba sembunyi dari kenyataan yang ada.

Yang perlu kulakukan adalah meyakinkan Qhaira bahwa aku baik-baik saja.

Aku akan baik-baik saja.

Tidak ada hal yang perlu ditakutkan.

“Aku tahu.” jawabku seperti biasa. “Aku hanya ingin melihat keadaanmu, apa kakimu masih sakit?”

Kulihat perban yang melilit lutut sebelah kanan adikku. Sepertinya dia baru saja menggantinya. Karena keputusan bodohku, Qhaira harus terpaksa kehilangan kemampuan berjalannya. Lututnya cedera ketika kami mencoba untuk melarikan diri dari institut para Luna. Saat itu Qhaira yang tidak kuat berlari setelah menempuh berpuluh-puluh jarak menuju hutan lebat sampai dia akhirnya terpeleset dan terjatuh. Para prajurit Luna tentu saja akhirnya menemukan kami, dan sejak saat itu mereka membatasi setiap gerakanku.

Tapi tenang saja, itu sudah cerita masa lalu. Sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi dengan kondisi Qhaira yang sekarang aku sudah terlanjur berjanji dengan mempertaruhkan nyawa adikku.

Aku harus setia atas nama Luna.

“Kakiku sudah tidak sakit lagi selama aku tidak terlalu sering memforsirnya.” Qhaira tersenyum ceria. “Aku harus kembali ke dapur untuk membantu Rizel. Saat ini kondisi hatinya sedang buruk.”

“Kau terlambat datang lagi, yah?” tuduhku langsung. Qhaira memang punya kebiasaan masuk telat. Dia memang tidak bisa bangun pagi.

Qhaira tertawa singkat. “Tentu saja tidak. Dia protes karena aku terlihat cantik dan itu akan mengakibatkan kedai ini ramai karena semua pria terpesona kepadaku.”

Aku mendengus geli. Suaranya Qhaira terdengar begitu percaya diri ketika bercanda. Kami berdua tertawa sampai tidak memperhatikan suara batuk seseorang yang sengaja dibuat. Aku dan Qhaira menoleh dan mendapati sang pemilik kedai Aira sedang bersandar santai sambil melipat kedua tangannya di meja kasir.

“Apa aku mengganggu perbincangan kalian, nona-nona?” Rizel langsung menatap Qhaira setelah tersenyum singkat kepadaku. “Dan kau Qhaira, kukira kau keluar karena ingin melayani tamu, ternyata malah asyik bersantai dengan kakakmu, yah. Bersiaplah untuk lembur, nona.”

“Eh?! Kenapa aku harus lembur lagi? Kemarin aku sudah lembur, kakiku sudah kelelahan, master.” seru Qhaira pura-pura merengek.

Aku tahu Rizel tidak bersungguh-sungguh ketika menyuruh Qhaira untuk lembur. Pria itu tahu tentang kondisi kaki adikku, dan juga sebenarnya Rizel adalah pria yang baik. Dia adalah salah satu orang yang tidak takut berada dekat dengan kami.

Yah, lebih tepatnya denganku. Rizel menganggap kami berdua seperti adik kandung, mungkin karena adik Rizel meninggal ketika masih kecil karena sebuah penyakit. Untuk mengenang adiknya pria itu bahkan mendirikan sebuah kedai kopi dengan memakai nama adiknya.

Mungkin Rizel mempekerjakan Qhaira karena kemiripan dia dengan Aira. Rizel pernah berkata kepadaku Aira juga dulu begitu cerita seperti Qhaira, dan mungkin jika Aira masih hidup, dia akan seperti Qhaira. Tumbuh menjadi gadis yang bersinar, yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan melindunginya.

Sangat bertolak belakang denganku.

Jika Qhaira diibaratkan dengan sinar senja yang menenangkan hati, maka aku adalah awan hitam yang selalu memberikan teror angin malam.

Suasana hatiku kembali buruk. Mungkin bukan waktunya untuk menikmati kopi susu hangat, aku harus pergi ke tempat itu.

Tanpa sadar aku berpamitan dengan Qhaira dan Rizel dan mulai melangkah menuju hutan yang berada di luar distrik Veclana.

Saat itu aku tidak sadar bahwa aku akan bertemu dengannya…

.

Chapter 1 – end –

.

a little note : Kalau ada typo atau ceritanya jelek mohon dimaklumi yah…

Cerita ini aku update ga sesuai jadwal… jadi tergantung mood dan waktu luang aja.

Terima kasih buat teman2 yang sudah membawa cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan. ^^

Cerita ini hanya fiksi belaka. Sejarah yang ada didalam cerita ini itu murni cuma karangan ngawur saya. Maklum, sedikit terobsesi sama sejarah mitologi yunani #abaikan

Enjoy~ :)

6 Komentar

  1. Masih penasraan tentang Luna itu. Sebenarnya Luna itu apa?? *polos :ragunih :ragunih

    1. Makasih sudah baca cerita ini yah :sopan
      Luna itu sebenarnya cuma nama klan yang diambil dari nama dewi bulan, maaf memang kurang dijelasin sih… ga terlalu pandai buat deskripsi cerita :PATAHHATI

  2. Ini end chap 1, berarti masih dilanjut lagi kn

  3. Neexxttt :LARIDEMIHIDUP

  4. fitriartemisia menulis:

    ditunggu lanjutannyaaa

  5. Wah seru nih