Saat bibirku tak bisa menarik lengkungan indah untuk menyapamu dalam kehidupan nyata dengan terang-terangan, aku tak begitu mengkhawatirkannya, aku masih punya bongkahan indah dalam dadaku yang setiap hari akan menyapamu dengan tulus. Aku yakin Tuhan akan mengetuk hatimu dan melihat ketulusan hatiku suatu saat nanti.
****
Hari ini aku memulai rutinitasku setelah dua minggu lamanya berdiam di rumah tanpa hasil yang jelas. Liburan yang singkat membuatku sedikit merindukan sekolah dan teman-temanku. Saat ini aku tercatat sebagai siswi di kelas IPA walaupun aku berpisah dengan teman-teman baikku di kelas satu, tak membuatku terlalu bersedih. Meskipun awalnya sempat berpikir untuk pindah kelas. Mungkin ini akan menjadi pengalaman baruku tanpa teman-teman baikku.
Aku sedang duduk di depan kelasku dan asik berbincang dengan teman-temanku.
“Eh, bagaimana kelas baru kalian?” tanya Shilla pada Jingga dan Anin.
“Hmm, sekarang sih masih biasa-biasa aja.” Jawab Jingga
“Sama…,” timpal Anin.
Sementara mereka sedang asik berbincang-bincang, mataku tak henti-hentinya memandang makhluk tampan di depan kelas sebelah. Siapa namanya? Entahlah. Ah, mungkin hanya tatapan sementara. Sudahlah lupakan. Aku kembali mengobrol dengan ketiga temanku yang asik membicarakan kelas baru mereka.
“Eh, apa yang sedang kau pandangi?” tanya Jingga membuyarkan lamunanku tentang sosok tampan di depan kelas sebelah.
“Gak ada.” Jawabku berbohong tentunya.
“Hmm…?” Goda Anin sambil mengerling nakal padaku. Aku tahu tatapannya ingin mencari tahu sekali.
“Iya deh.” Jawabku pasrah.
“Siapa sih?” tanya Shilla sambil mengerling nakal padaku. Lagi.
“Siapa apanya?” tanyaku balik.
“Siapa sosok tampan yang sedang kau pandangi?” tanya Shilla dan membuatku semakin gugup.
“Gak tau, aku gak tahu namanya.” Jawabku sekenanya.
“Ya ampun, bagaimana bisa naksir pada seseorang tapi gak tahu namanya?” sindir Anin.
“Siapa yang naksir siapa?” ucapku membela diri.
“Sudahlah, mau aku bantu gak?” tawar Shilla.
“Bantu apa?” tanyaku polos.
“Ya ampun Sera di mana otakmu sih? Tentu aja bantu cari tahu namanya.” Jawab Shilla sambil mengerling nakal ke arahku. Lagi. Please!
“Ah gak perlu, aku gak suka dia.” Jawabku mencoba menolak. Sebenarnya ada perasaan ingin tahu namanya juga.
“Ah jangan malu, kami kan teman-teman kamu.” Timpal Jingga yang sejak tadi hanya mendengar obrolan kami bertiga.
“Ah, baiklah kalau kalian memaksa.” Balasku sambil jual mahal.
“Aishhh, jual mahal segala.” Timpal Anin.
****
Aku tak tahu sejak kapan mulai menyukai sosok tampan yang tempo hari ku lihat sedang berdiri di depan kelas sebelah. Namanya pun aku tak tahu. Payah.
Pagi ini aku tak sengaja melihat sosok tampan itu lagi. Ia sedang mengobrol dengan teman satu kelasku. Aku mencoba membaca namanya namun sangat sulit. Ah, apakah aku harus menyerah? Tidak. Tidak ada kata menyerah. Aku kan masih bisa meminta bantuan pada teman-temanku.
“Shilla, kapan kamu mau bantu aku cari tahu nama dia?” tanyaku pada temanku yang baru datang. Ia bahkan belum meletakan tasnya di bangku.
“Bantu apa?” tanyanya berpura-pura lupa. Sepertinya ia sedang mencoba menggodaku karena kemarin aku menolak tetapi hari ini malah meminta bantuannya.
“Oh ayolah.” Ucapku memelas.
“Yang mana orangnya?” tanya Shilla padaku. Bagus, Shilla mau menolongku.
“Benarkah kamu mau nolong aku?” tanyaku padanya.
“Hmm.” Jawabnya singkat. Segera kutarik lengan Shilla ke dapan pintu kelasku.
“Tadi di sini.” Ucapku sambil mencari sosok tampan itu.
“Mana?” tanya Shilla.
“Nah, itu dia.” Ucapku sambil menunjuk sosok tampan yang tengah berdiri di depan kelas Anin.
“Yang mana?” tanya Shilla lagi.
“ Itu, yang matanya sedikit sipit dan kulitnya putih.” Ucapku antusias sambil menujuk sosok tampan tersebut.
“Oh yang matanya mengantuk itu.” Ucap Shilla sambil memastikan target yang akan ia cari tahu namanya tersebut.
Pletak !!
“Aww…” ringis Shilla pelan ketika tanganku mendarat dengan mulus di kepalanya. Salah sendiri menghina pangeranku. Jadi, jangan salahkan aku bila tangan ini menjitakmu.
“Cepet…” ucapku sambil mendorong Shilla.
“ Hmm…” Balas Shilla sedikit kesal.
Dari depan kelas kulihat Shilla tengah berjalan ke arah sosok tampan tersebut. Ku lihat Shilla berhenti tepat di depan sosok tampan tersebut. Ya Tuhan! Bahkan aku tak berani berdiri dengan jarak satu meter tapi Shilla sangat berani. Kulihat Shilla sedang memandang ke arah lapangan tapi sesekali matanya memandang name tag sosok tampan tersebut. Shilla segera berbalik sedetik kemudian. Apakah ia berhasil?
“Gimana?” tanyaku pada Shilla.
“Namanya Raha.” Ucap Shilla singkat dan masuk ke dalam kelas.
“Raha? Ya ampun namanya bagus sama kayak orangnya.” Gumamku sambil tersenyum.
****
Sejak hari di mana aku tahu namanya, aku selalu melihat Raha dengan diam-diam. Aku selalu tersenyum sendiri dan organ vitalku yang ada di dalam dadaku selalu berdetak dua kali lebih cepat bila melihat siluet wajahnya walaupun hanya beberapa detik. Ya Tuhan, mengapa kau menciptakan makhluk dengan wajah setampan dia? Aku selalu tak bisa berhenti untuk melihatnya. Seoalah menjadi candu bagiku, sehari saja tak melihatnya membuatku sangat gelisah dan uring-uringan.
Aku menginkan kontak yang lebih lagi dengannya, bukan hanya sebatas memandang dengan diam-diam dan tersenyum padanya dengan diam-diam. Setidaknya aku harus bisa menjabat tangannya dan mengobrol dengan akrab. Tapi apakah aku punya keberanian untuk memulainya? Bahkan berdiri dengan jarak satu meter saja membuatku hampir tak bisa merasakan tapakan kakikku di bumi ini lagi dan sedetik kemudian aku pasti berlari entah ke mana. Itulah aku setiap ada dia.
Apakah kau tahu setiap hari kau selalu bergelayutan dengan liarnya di otakku? Apakah kau tahu aku selalu mencari tahu tentangmu pada teman sekelasku? Apakah kau tahu aku bertaruh berapa banyak untuk keberanianku? Semuanya hanya untukmu. Bisakah kau menatapku dan membalas tatapanku? Walau hanya beberapa detik tapi aku ingin kau menyadari kehadiranku. Aku ingin berterima kasih padamu. Karena dirimulah aku mendapat semangat dan rasa was-was yang berlebihan. Aku menikmati perasaan ini. Aku tersenyum karenamu dan aku gelisah karenamu.
****
“Bukankah itu guru fisikamu?” ucap Jingga sambil menunjuk ke arah guru –Bu Neni– yang berjalan ke kelasku.
“Benar, itu guruku. Aku harus segera masuk.” Ucapku sambil pamit pada Jingga dan Anin temanku. Ketika berbalik mataku tak sengaja berpapasan dengan mata indah milik Raha.
Deg !!!!!
Jantungku tak bisa ku kotrol dengan baik. Terus berdetak, berdetak dan berdentak dengan kencang. Aku besyukur karena tak memiliki riwayat penyakit jantung. Mungkin bila aku punya, saat ini aku sudah tergeletak tak sadarkan diri di depan kelasku. Mataku dan mata Raha tak sengaja berpapasan untuk beberapa detik. Tuhan mendengar doaku. Memang sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya. Ketika melihatnya lagi, kejadian ini yang terjadi. Walaupun hanya beberapa detik saja tapi jantungku tak henti-hentinya membuat ulah dengan berdetak dua kali lebih cepat. Tatapannya sama terkejutnya denganku tapi aku tak tahu ia terkejut karena apa. Apakah mungkin ia juga menyukaiku? Ah tidak mungkin. Apakah ia dapat merasakan tatapanku yang terkejut ketika menatapnya? Raha aku menyukaimu.
****
Cuaca siang ini tak begitu bagus. Hujan lebat mengguyur sekolahku. Aku berlari dari lapangan ke arah kelasku dengan cepat. Ketika hampir mendekati kelasku, aku melihat Raha di depan kelasku sedang berbincang-bincang dengan teman sekelasku. Bagaimana ini? Ah sebaiknya aku berlari saja. Kuputuskan untuk berlari dengan kencang.
CLAAAAKK !!!
Bunyi apa itu? Jangan katakan aku telah membuat sebuah masalah. Bunyi air seperti terciprat setelah aku melangkahkan kakiku setengah berlari ke kelasku terdengar sangat keras. Aku yang sibuk berlari tak menghiraukan hal apa yang baru saja kuperbuat. Tiba-tiba aku merasakan sebuah cengkraman di lenganku.
“Kamu mengotori celanaku.” Ucap suara yang sangat ku kenal dengan benar. Aku segera membalikkan badanku dan mataku yang sipit ini membulat dengan maksimal ketika menatap sosok yang mencengkram lenganku.
“…” Mataku masih membulat dengan sempurna. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku kaku, syarafku seolah rusak total. Impuls tak tiba dengan selamat ke tempat tujuannya. Otakku tak bisa berpikir dengan jernih. Kutelan ludahku yang terasa membatu entah sejak kapan, sulit sekali rasanya. Ku lihat ia berbalik dan meninggalkanku.
Rasanya aku ingin mengutuk diriku. Mengapa aku tak bisa mengatakan satu kata yang sangat simple? Apakah kata maaf begitu sulit untuk kuucapkan? Ya sangat sulit. Ia berbalik dengan celana yang basah karena ulahku. Apakah ia marah? Ya Tuhan, bukan kontak seperti ini yang kuinginkan. Bagaiman mau memulai sesuatu yang baik bila sudah seperti ini? Sera di mana otakmu yang cerdas itu?
****
Semenjak kejadian bodoh yang kulakukan tempo hari, aku bahkan tak berani menatapnya lagi. Perasaanku selalu merasa bersalah. Apakah ia marah? Aku merasa ia tak menatapku sama sekali. Walaupun sebelum-sebelumnya ia tak pernah menatapku. Tapi ini berbeda. Ah, sulit untuk ku jelaskan. Ia begitu sangat sulit untuk ku tatap walaupun jarak kami sangat dekat. Maafkan aku Raha.
Aku berjalan di koridor sekolah sendirian sambil melamun. Hari ini aku ada ekskul musik jadi masih menetap di sekolah sementara Shilla, Anin, dan Jingga telah pulang sejak satu jam yang lalu. Aku tak menemukan sosok Raha di lingkungan sekolah. Padahal ia akan pulang sore karena asik mengobrol dengan teman-teman prianya. Aku ingin waktu berulang dan akan ku ucapkan satu kata simple itu. Aku terus berjalan sambil menunduk.
“Kamu sendirian aja?” ucap sebuah suara di depan pintu sebuah kelas yang kulewati.
Deg !!!!
Suara ini?, Gumamku dalam hati. Sedetik kemudian aku berbalik dan melihat sosok tampan di belakangku. Raha apakah itu dia?
“….” lagi-lagi mataku membulat dengan sempurna dan tubuhku kaku.
“Hei! Kenapa kamu selalu membulatkan matamu yang sipit itu. Apakah kau ingin mengalahkan mataku yang sipit?” ucap Raha sambil tersenyum manis.
“Kamu?” ucapku sambil mengerjap-ngerjapkan mataku.
“Ya ini aku.” Balas Raha lembut.
“Maafkan aku soal waktu itu.” Ucapku dengan menyesal, aku tak ingin membuang kesempatan emas ini untuk kesekian kalinya. Untuk pertama kali aku berusaha untuk memberanikan diri.
“Hmm, gimana ya? Celanaku jadi sangat kotor karena kamu.” Ucap Raha yang sontak membuatku terkejut. Harusnya ia berkata tidak apa-apa. Ya, itu yang biasa disebutkan orang-orang pada umumnya.
“Aku harus ngapain biar nebus kesalahanku?” ucapku dengan wajah harap-harap cemas.
“Teruslah menatapku. Jangan karena kejadian waktu itu kamu jadi berhenti menatapku. Aku sudah tak tahan kau tak menatapku lagi.” Ucap Raha kemudian.
“Eh !?” ucapku terkejut. Jadi selama ini ia menyadari semua sikapku padanya? Bagaimana ini? Rasanya malu sekali.
“Iya, jangan berhenti menatapku lagi. Kamu buat aku was-was ketika kamu berhenti menatapku. Mulai sekarang jangan tersenyum sendiri. Tersenyumlah padaku, aku akan membalasmu.” Ucap Raha lagi. Kali ini ia tersenyum manis, itu… itu menenangkan sekali. Ia tak berbicara seolah ia mengejekku, ia berbicara seolah ia memang mengharapkan aku melakukan apa yang ia minta.
Apa ini? ucapku dalam hati. Aku masih mencerna ucapan Raha. Tunggu, apakah itu artinya selama ini ia mengetahui perasaanku padanya? Ya Tuhan, apakah aku begitu terang-terangan saat menatapnya? Setahuku itu sudah diam-diam. Ya, aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa bila kita menatap orang, orang tersebut mungkin menyadarinya. Seperti kata Pak Dadang –guru bahas sunda– bila kita ingin mencontek, jangan melihat ke arah guru. Langsung lakukan saja karena bila kita melihat ke arah guru, guru akan sadar bahwa ia sedang ditatap. Mungkin kasusku dan Raha sama seperti apa yang dikatakan Pak Dadang.
“Kenapa kamu diam?” tanya Raha.
“Ak… aku.” Ucapku terbata-bata dan terpotong oleh ucapannya.
“Sepertinya aku mulai menyukai kamu Sera, terima kasih karena sudah menyukai dan tersenyum padaku setiap hari. Mulai sekarang balaslah senyumanku juga. Aku juga tak ingin hanya bisa tersenyum diam-diam ketika melihatmu. Aku ingin semuanya nyata.” Ucap Raha. APA!? Aku tidak salah dengar kan? Adakah sesuatu yang lebih membahagiakan selain orang yang kita sukai justru menyukai kita juga?
Aku hanya mengangguk dengan kesadaran yang mungkin mendekati angka nol. Ia membalas perasaanku? Ia juga menyukaiku? Tidak, mulai menyukaiku. Ya Tuhan wajahku pasti sudah semerah tomat di pasaran. Raha aku juga menyukaimu. Bukan, tapi sangat menyukaimu.
Tuhan mendengar doaku. Bukan hanya membalas senyumanku, ia juga bahkan punya perasaan yang sama denganku. Selama ini aku tak hanya sendirian memandangnya ia juga memandangku. Tuhan mengetuk hatiku untuknya dan mengetuk hatinya untuku.
Hai hai
Tulisan [ratings] nya typo tuh ka jdinya ga muncul deh lope-lope nya
Yuks dicba lgi
Semoga berhasil
Aq blom bca ceritanya hehe
Insya Allah nnt dibca
Semangat
Hore hepi ending :cintakamumuach
Adeehhhh :dragonbaper
Aihhhh so sweet bngt
Melting ting ting ting
Hehe
Senangny jdi mereka yak
Aihhhhhh hihi
Ditunggu karya2 lainnya
Semangat
:inlovebabe
So sweet… Jadi ingat masa2 waktu sekolah :inlovebabe
So sweet sih mereka berdua
So sweettttt
waah, so sweet bangeeet :inlovebabe
So sweeettt
whoaaa, meleleh adek haha