Hari itu aku masih ingat sedang turun hujan. Petir menyambar begitu hebat, suaranya memekakkan telinga. Getarannya begitu terasa seakan mengguncang gubuk yang saat ini kami tinggali. Kulihat adik kembarku memeluk lenganku erat, takut akan petir yang masih membawa di luar sana. Malam ini waktu terasa berjalan lambat, bahkan suara petir semakin lama terdengar begitu kencang.
Aku mengusap kepala saudariku, mencoba menenangkannya. Adikku–Qhaira–memang takut dengan suara petir. Rasa takut itu muncul karena sebuah trauma masa lalu yang sampai sekarang terpatri di dalam hatinya.
“Aku takut, Lucya…” rintih Qhaira hampir memangis.
Kulirik dari arah jendela, hujan terlihat semakin deras bersama dengan sambaran petir yang hebat. Deru angin seakan berusaha untuk mendorong paksa jendela kamar yang terbuat dari kayu itu untuk terbuka. Seakan mencoba menakut-nakuti kami.
“Tenanglah Qhai,” aku berbisik pelan, mencoba menenangkan. “Sebentar lagi hujan akan segera reda.”
Qhaira masih menutup mata, masih belum berani melihat sambaran petir yang semakin menghantuinya. Debaran jantungnya berpacu dengan cepat, membuat nafasnya tersengal.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain memeluk erat tubuh gemetar adikku ini. Aku tidak terlalu takut sepertinya, bagiku sudah biasa berhadapan dengan hujan badai pada pertengahan tahun.
Namun harus kuakui. Hujan kali ini berbeda dengan hujan-hujan sebelumnya. Percikan air itu seakan memberikan suatu pertanda.
Pertanda buruk…
Brak!
Kami berdua menoleh ketika mendengar pintu kamar kami dibuka secara paksa. Kulihat kedua orang tuaku menghampiri tempat tidur kami. Aku mengerutkan kening, raut wajah Ayah dan Ibu terlihat aneh.
“Ayah, Ibu, ada a–”
Pertanyaanku terhenti ketika Ayah langsung menarik Qhaira keluar dari tempat tidur. Aku tidak pernah melihat Ayah setegang ini, begitu juga dengan Ibu.
“Aduh!” Qhaira merintih kesakitan karena Ayah menarik lengannya begitu kasar. “Ayah, kenapa menarikku seperti ini?”
Aku mengamati ayah dengan heran. Ayah benar-benar terlihat berbeda dari biasanya, lalu kualihkan menatap Ibu. Baru kali ini aku melihat Ibu benar-benar ketakutan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Ada apa dengan mereka?
“Kecilkan suaramu, Qhaira!” Pinta Ayah tegas, gerakannya begitu terburu-buru. Setelah menyerahkan Qhaira ke tangan Ibu, Ayah berkata kepadaku. “Bangun dari tempat tidurmu, Lucya. Kita harus segera pergi dari sini.”
Aku menuruti perintah Ayah dengan bingung. “Kenapa kita harus pergi dari sini? Diluar sana masih hujan…”
“Ayah tidak ada waktu menjelaskannya. Pokoknya kita harus bergegas!”
Tanpa basa-basi lagi Ayah langsung menarik lenganku dengan cepat. Genggamannya sedikit menyakitiku. Gelagat mereka begitu aneh. Tiba-tiba saja memerintahkan kami berdua untuk ikut dengan mereka meninggalkan rumah kecil yang sudah kami tempati selama yang kuingat.
Hanya bermodalkan jas hujan yang Ayah dan Ibu pakaikan secara asal, kami pun keluar dari rumah. Berusaha meninggalkannya sejauh mungkin, bersatu dengan deru hujan badai yang semakin lebat. Berusaha menembus hujan yang mulai membutakan penglihatan.
Wajahku diterpa air hujan yang turun begitu cepat. Terasa dingin dan menyakitkan. Namun kami terpaksa mengikuti langkah kaki Ayah dan Ibu yang bergerak cepat.
Entah sudah berapa jauh kami berjalan meninggalkan rumah. Tampaknya hujan masih setia mengiringi langkah kaki kami. Aku berusaha fokus menatap ke depan, ke jalanan yang terlihat gelap karena bulan sedang bersembunyi malam ini. Dan tanpa kusadari langkah kami semua terhenti.
Aku menatap Ayah bingung. Wajah Ayahku terlihat ketakutan ketika menatap sesuatu di depannya. Aku mengikuti arah pandang Ayah, tampak siluet berpakaian putih.
Hari itu, dibawah guyuran hujan. Untuk pertama kalinya aku merasakan teror. Perlahan ingatanku di hari itu memudar, tergantikan oleh mimpi buruk yang selalu datang ketika hujan turun.
Kematian Ayah dan Ibu…
Qhaira yang terpaksa kehilangan kemampuan untuk berjalan normal…
Dan juga… kekuatan aneh yang menjadi kutukan yang harus kutanggung seumur hidup…
Sejak hari itu… Ketika untuk pertama kalinya aku mendengarkan siluet putih itu membisikkan sebuah kata yang mengubah takdirku.
“Mulai hari ini kau dan adikmu adalah bagian dari Luna…”
.
.
– Prologue- End
a little note :
Terinspirasi dari The Hunger Games dan Romeo & Juliet.
Kritik dan Saran sangat diterima…
Cerita ini murni hasil imajinasi yang ga sengaja datang pas lagi hujan.
Enjoy~ :)
terinspirasi dari Hunger Games??
keren,, I Like It,,
prolognya nyeremin, tapi keren,,
sayang gak ada tanda lovenya,,
Makasih sudah mampir yah :sopan
Sebenarnya idenya muncul dari banyak film yg ditonton sih… cm yah Hunger games yg paling mendekati :dragonmuach
Tenang aja, Romancenya ttp ada kok :inlovebabe
Prolog nya aja udh bagus apalg ceritanya nanti
Makasih sudah mampir :sopan
semoga nanti ceritanya ga mengecewakan yah :wowkerensekali
keren.. ini genre.a fantasi ya?? :inlovebabe ..
Makasih sudah mampir yah :sopan
Iyaa ini genrenya campur antara Fantasy dan sci-fic :YUHUIII
Prolognya keren.. suasana yg digambarkan terasa nyata dan tentu bikin tegang.. penasaran sama sosok putih itu, kenapa dia bilang lucya dan qhai bagian dari Luna? :ragunih
ditunggu lanjutannya :MAWARR
Oh iya tambahin [ratings] biar ada love lovenya gitu :YUHUIII
Makasih udah baca yah :sopan
Haha iya.. aku lupa gimana caranya bikin rating :AKUGAKTERIMA
nanti aku coba edit deh… Tengkyuu~ :MAWARR
Waahhh bikin dag dig dug .. lanjut kan
Btw aku gk paham apa itu luna??? Sejenis vampir ato werewolf gitu yaa
kereen keren lanjutkan kak
Update tiap hr apa sist??? Biar bisa terus ngikutin cerita mu…
jatuh hati pada pandangan prtma xD
kerreen
Menarik nih, ditunggu ya lanjutannya
aku salah baca, malah baca chapter 1 duluan hehe
Ini masih dilanjut nggak yaaa