Vitamins Blog

Terbang [Bab 4]

Bookmark
Please login to bookmark Close

 

16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bab 4. Gulungan Tak Berarti


 

Matahari menyinari pandangan Rasha pada pagi hari yang cerah ini. Rasha berjalan di koridor menuju lokernya. Sekolah sudah tampak ramai. Entah dia yang terlalu siang atau semua murid yang terlalu pagi berangkat sekolah, yang dia tahu tadi dia kesiangan bangun tidur.

Rasha mengambil beberapa buku untuk dipakai hari ini di dalam loker. Setelah dapat, dia lalu kembali menutupnya. Namun dari arah mading tak jauh dari tempat dia berdiri, seluruh murid sedang mengerubun di sana. Layaknya semut mengelilingi gula. Baik perempuan maupun laki-laki, baik yang terkeren maupun yang tercupu, semua tengah menamati berita apa yang dipampang di mading sana. Sambil berbisik-bisik membuat suasana koridor menjadi bising dengan bisikan keras mereka.

Rasha penasaran ada apa di sana. Tak menunggu lama, dia berjalan melihat apa yang terjadi di sana. Di setiap langkah, dapat didengar apa yang mereka bisikan. Seperti…

Wah gue kira dia tuh kaya, ternyata…”

“Dasar pembohong. Dia tuh orang miskin! Sok-sokan jadi orang kaya.”

Rasha kembali meneruskan berjalan tak memedulikan celotehan mereka. Setelah sampai di sana, Rasha harus kembali berjuang dengan berdesak-desakan. Meski dia terpelanting bahkan terhimpit, tapi itu tak menyurutkan niatnya untuk melihat apa yang terjadi. Ketika berhasil meraih terdepan. Detik itu juga tubuhnya menegang dengan mata terbelalak. Rasha membuka mulut terkejut, kemudian menutup kembali. Di sana terpampang sebuah gambar dirinya yang sedang dipeluk oleh ibunya dengan latar rumah sederhana. Rumah miliknya! Tak lupa gambar itu bertuliskan…

ORANG YANG KITA ANGGAP KAYA, TERNYATA MISKIN! 

“Apa-apaan ini!?” Rasha merobek gambar itu dari mading dan meremasnya menjadi gulungan kertas tak berarti. Sontak semua murid memandangnya dengan sudut pandang berbeda. Ada yang sinis, bertanya-tanya, bahkan ada yang tidak peduli. Rasha mengeraskan rahangnya. “Siapa yang melakukan ini, Hah?!” Rasha menatap semua murid yang ada di hadapan dengan marah. Tapi semua murid menggeleng.

Dari arah kanan terdengar pekikkan Kimberly dan Vera yang sedang melangkah ke arah mading dengan menjerit-jerit heboh. “Ada apa ini? Apakah aku ketinggalan sesuatu?” Kimberly dengan hebohnya menghampiri Rasha yang masih diliputi amarah. “Ada apa, Rasha?” tanya Kimberly dengan wajah tak tau apa-apa.

“Gue cuman pengen tau siapa yang memasang gambar ini?” Rasha menunduk, membuka kembali gulungan kertas itu.

Kimberly mengamati gambar itu sesaat kemudian dia menyentuh kedua pundak Rasha. “Kita akan cari tau bersama. Iya, kan, Ver?”

Medengar seruan Kimberly, Vera yang saat itu sedang mengemut lolipop sambil melamun, sontak tersadar dan menumbukkan tatapan polosnya pada Kimberly dan Rasha. “Oh itu pasti, kita akan mencari tau siapa pelakunya.” Vera kembali mengemut lolipop-nya sambil tersenyum sinis pada Kimberly.

Kimberly berbalik memandang kembali pada Rasha yang masih menunduk.

“Makasih yah, kalian adalah sahabat terbaikku.” Kimberly, Vera, dan Rasha meninggalkan mading karena terdengar bel berbunyi. Murid-murid yang masih ada di sana perlahan-lahan bubar pergi ke kelas masing-masing. Di saat berjalan, Rasha membuang gulungan itu di lantai koridor sambil kembali berjalan dan berbincang dengan Kimberly dan Vera.

Gulungan itu tergeletak di lantai. Tiba-tiba sebuah tangan mengambil gulungan itu dan memasukannya ke dalam saku celana, kemudian berjalan kembali tanpa disadari siapapun.

***

Jam pelajaran bahasa inggris kali ini Rasha tidak sepenuhnya terfokus pada pembelajaran. Pikirannya melayang dengan pandangan lurus ke depan memerhatikan guru yang sedang mengajar. Kembali kejadian beberapa jam tadi terngiang lagi di dalam pikiranya seakan kejadian itu tak mau pergi berkeliaran mengisi otak Rasha.

Dia berpikir, siapa orang yang menyebarkan gambar itu? Padahal tak seorang pun warga SMA Cendakia mengetahui seluk beluk dirinya kecuali tetangganya. Rasha berspekulasi bahwa ada orang yang sengaja mengikutinya. Tapi siapakah dia? Pikiran itu buyar ketika bel istirahat berbunyi. Rasha mengembalikan kesadarannya, kemudian membereskan peralatan belajarnya ke dalam tas, sambil berdiri berniat keluar.

Sebelum itu, Kimberly menahan bahu Rasha sesaat dan Rasha balik menatapnya.

“Hari ini kita gak bisa jajan bareng. Gue dan Vera mau ada rapat ama anggota cheers.”

Rasha menghela napas panjang, kemudian mengangguk. Kimberly dan Vera bergegas pergi.

Sejak dari kelas 10 memang Kimberly dan Vera sudah menjadi anggota cheers SMA Cendakia. Menurut mereka, untuk menjadi anak hits, mereka harus menjadi anggota cheers dulu. Tapi Rasha tidak mau. Meski kedua temannya memaksa, dia tetap tidak mau. Bukannya tidak suka, dia hanya tidak mau menjadi sorotan orang-orang dengan menjerit-jerit atau beratraksi. Dia hanya ingin kehidupannya tentram saja.

Setelah kedua sahabatnya pergi. Rasha kembali didera bingung. Bingung jika ke kantin tak ada teman yang bisa menemani, kalaupun sendiri pastilah dia menjadi objek cemoohan orang-orang yang ada di kantin pasca kejadian beberapa jam lalu. Lagi jika diam di kelas dengan dikerubuni anak-anak kutu buku yang sehariannya berdiam di bangku dengan buku tebal mengelilingi aktivitas mereka, dia pasti tidak akan tahan dengan mereka.

Rasha yang bingung akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar koridor yang sekiranya agak sepi. Seperti koridor yang mengarah ke gudang atau ke perpustakaan, karena itu adalah tempat yang paling keramat di sekolah ini. Mungkin tempat itu adalah tempat terakhir yang akan mereka singgahi.

Rasha berjalan santai dengan mengutak-atik ponselnya bermain game yang baru-baru ini dia pasang. Sejenak dia berhenti untuk melihat ke jalanan dan kembali meneruskan perjalanan. Sebelum itu Rasha menemukan sebuah ruangan yang agak ramai dengan lengkingan-lengkingan cempreng khas cewek-cewek bawel. Di atas pintu ruangan itu tergantung tulisan Cheers Organization. Namun Rasha tidak memedulikannya, toh mereka di dalam dan dia di luar, kemungkinan kecil mereka dapat melihat dan mengolok-oloknya.

Rasha kembali berjalan dan meneruskan permainannya yang sempat tertunda. Sesaat dia tertegun dan menghentikan langkahnya karena di dalam ruangan itu terdengar sayup-sayup suara Kimberly dan Vera sedang bicara dengan menyebut-nyebut namanya. Rasha mendekati jendela, lalu menguping di sana.

“Eh, lo tau guys gambar yang ada di mading itu?”

Itu seperti Kimberly. Rasha dapat mengenalinya karena suara Kimberly paling cempreng di antara yang lainnya.

Kemudian terdengar anggota cheers lain menyahuti. “Tau dong. Emang kenapa?”

“Kalian tau siapa pelaku yang menempelkan gambar itu?” terdengar suara Vera.

“Lalu siapa?”

“Tadaa! Gue dan Vera.”

Setelah itu tak ada suara lagi terdengar saling bersahutan karena secara tiba-tiba pintu ruangan rapat itu ditutup dari dalam. Detik itu juga, Rasha dengan kuat menahan amarahnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana kedua sahabatnya dengan tega menyebarkan aib yang selama ini dia sembunyikan. Meski dia telah berbohong, tapi kenapa kedua sahabatnya tega melakukan itu? Rasha tak kuasa menahan tangisnya lalu berlari menuju gudang yang berada tak jauh dia berdiri sekarang. Sekali lagi dia menyeka air matanya sambil memegang dadanya yang teramat sangat sakit.

Rasha menutup pintu gudang. Dia meluruhkan tubuhnya pada sandaran pintu dan memeluk lutut sambil menangis di ceruk lututnya. Rasanya sakit, kedua sahabatnya yang dulu dia sangat percaya, kini berkhianat dengan begitu kejamnya. Rasha mendongak. Memandang nanar pada langit mendung di luar jendela. Dia berpikir, apakah ini hukuman atas kebohongannya yang selama ini dia tutup-tutupi? Apakah ini hukuman karena dia pernah merelakan kehormatannya hilang? Tapi kenapa Tuhan memberikannya hukuman yang sangat berat.

Rasha berdiri. Dia sudah tidak terlalu kalut lagi dengan kejadian beberapa jam lalu, toh itu sudah terjadi dan itu sudah seharusnya dia alami karena kesalahannya. Rasha berbalik. Hendak membuka pintu, namun naas, pintu itu tak mau terbuka. Sekuat tenaga Rasha menarik-narik gagang pintu itu dan masih tetap tidak terbuka. Rasha terdiam sejenak. Sebelum ke gudang, pintu itu masih terbuka dan kuncinya masih tergantung di pintu. Tapi sekarang kenapa pintunya tidak terbuka?

Rasha menggebrak-gebrak pintu berharap ada yang mendengar. “Woy yang di luar! Bukain gue. Gue ada di dalem,” teriak Rasha yang suaranya hampir teredam karena gudang ini kedap udara. Rasha menggedor-gedor lagi dan semua itu sia-sia, tak ada yang menyahut. “Plis, bukain dong,” kata Rasha lagi dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Rasha meluruhkan tubuhnya lagi dan bersandar pada pintu. Air mata Rasha kembali mengucur. Dia tidak mengerti, kenapa ada orang yang membencinya, padahal dia tidak membuat salah pada orang-orang.

Tiba-tiba suara gemerincing kunci yang terdengar dari luar. Sontak saja Rasha mengelap air matanya dengan cepat dan berdiri menghadap pintu. Ketika pintu terbuka, seorang tukang bersih-bersih masuk ke dalam yang di kedua tangannya tergenggam kunci dan sebuah kain pel. Rasha menatapnya sebentar sebelum akhirnya dia berlari keluar gudang tak menghiraukan tatapan heran dari tukang bersih-bersih itu.

Rasha berlari di sekitar koridor menuju kelasnya. Di sana terlihat sepi karena murid semua pasti sudah pada belajar. Rasha melihat jam tangannya yang menunjukan pukul 11, yang artinya dia tersekap di gudang sudah lebih dari setengah jam. Pastas lingkungan sekolah sudah sepi. Rasha mempercepat langkahnya. Sial! Dia baru teringat bahwa hari ini ada pelajaran Bu Sahida, guru pkn yang disegani oleh murid-murid, karena ketegasan guru itu yang amat ditakuti.

Setelah sampai, Rasha memandang pintu kelasnya yang sudah tertutup juga keadaan kelas sangat sepi. Terdengar Bu Sahida yang menyeramkan sedang menjelaskan pelajaran di dalam kelas. Rasha mengangkat tangan hendak membuka gagang pintu, meski dia cukup ragu untuk membukanya. Dengan meyakinkan tekad, akhirnya dia membuka pintu itu dengan perlahan. Saat Rasha masuk, seluruh pandangan tertuju pada dirinya. Terlebih Bu Sahida menatapnya dengan penuh amarah yang tertahan. Rasha meneguk ludah getir dan mengangguk sopan pada Bu Sahida.

“Dari mana kamu!” tanya Bu Sahida tegas.

Bulu kuduk Rasha berdiri. Dia magusap tengkuknya canggung. Saat Rasha membuka mulut, Bu Sahida dengan cepat menimpali. “Telat 30 menit. Artinya kamu tidak bisa mengikuti pelajaran saya. Sekarang kamu keluar! Dan masuk setelah pelajaran saya berakhir.”

Rasha menghela nafas panjang. Ini akibatnya kalau berani macam-macam pada Bu Sahida. Dia melangkahkan kaki keluar kelas dan menutup pintu itu lagi secara pelan. Entah mau kemana lagi dia sekarang. Hari ini memang benar-benar sial. Setelah kebenarannya terungkap, terkunci di gudang, dan sekarang terhukum Bu Sahida. Lengkap sudah kesialannya hari ini.

Setelah lama terdiam, akhirnya Rasha memutuskan untuk pergi ke belakang sekolah, karena di sana adalah tempat yang paling strategis untuk merenung.

Rasha tiba di belakang sekolah. Di sana terdapat pohon besar dengan kursi kayu yang sudah lapuk, mungkin karena jarang dipergunakan. Dia mendekati kursi itu dan duduk di sana. Mengamati sekeliling di depannya yang tidak menarik. Rasha terdiam sejenak dengan pandangan terpaku pada sesosok Adriel dan ke empat gerombolannya sedang berjongkok di bawah semak-semak belukar. Entah apa yang di lakukan mereka, yang dipastikan mereka tak jauh dari merokok.

***

Sementara di sisi lain. Adriel tengah menyulutkan rokoknya sambil mengepulkan asapnya pada udara bebas. Sengaja dia di belakang sekolah, tepatnya di balik semak-semak, karena dia tidak mau terlihat oleh guru dan dibawa ke ruang BK lagi. Sudah ratusan kali Adriel keluar masuk ruangan itu. Sampai-sampai dia sudah hafal betul tata letak barang-barang apa saja yang ada di ruangan itu.

“Riel, lo tau si Rasha gadis yang katanya orang miskin itu?” ucap Rino, teman Adriel sambil menyulutkan rokoknya pada korek api tanpa mengalihkan tatapannya pada batang rokok itu.

Adriel berdehem. Melepaskan rokok dari dalam mulutnya. “Ya, emang kenapa?”

“Gue perhatiin napa dia selalu merhatiin lo, ya?”

“Emang si Adriel ganteng kali,” timpal Dion sambil menjentikkan batang rokoknya.

“Iya emang dia ganteng. Maksud gue… sepertinya dia naksir lo deh,” ucap Rino tak mau kalah.

Dion menyahut lagi sambil menepuk-nepuk bahu Adriel. “Gebet aja, Men. Sayang yang satu ini dianggurin. Kalau gue jadi lo, gue mungkin bisa punya pacar 5 kali.”

Adriel terdiam. Menghentikan sejenak aktivitas merokoknya, kemudian dia berdiri, membelakangi teman-temannya, memandang kosong pada pandangan di depan. “Gue gak mau, karena dia cewek bekas kakak gue.”

***

Koridor tampak ramai. Pada pergantian jam pelajaran saat ini biasanya murid-murid pasti ada yang keluar kelas untuk ribut, atau sekadar mencari udara segar. Sudah setengah jam Rasha menghabiskan waktu di belakang sekolah, yang hanya diam sambil mengutak-atik ponsel padahal tak ada satupun notifikasi masuk.

Mengamati koridor, Rasha melihat kelasnya yang sepi, tak ada satu anak pun yang diam ataupun mengobrol di sekitar ruang kelas. Padahal setiap pergantian jam pelajaran, baik kelas Rasha, maupun kelas lainnya, pasti menyempatkan diri berdiam di luar. Rasha menduga kalau Bu Sahida pasti masih mengajar.

Pintu kelas XI-ips 4 masih tertutup. Rasha menghembuskan nafas kasar, karena dia harus kembali menunggu beberapa saat lagi. Rasha menjauhi pintu, lalu duduk di depan kelas. Tiba-tiba pintu terbuka. Menampilkan Bu Sahida yang kerepotan membawa buku tebal di kedua tangannya. Bu Sahida melirik Rasha sesaat, kemudian berjalan santai tanpa berbicara sepatah kata apapun.

Anak-anak di kelas XI-ips 4 masih sibuk memasukkan buku dan peralatan lain ke dalam tas ketika Rasha masuk. Rasha berjalan santai pada bangku tak peduli pada sorot bertanya temannya dari mana saja dia dan kenapa bisa telat. Padahal Rasha adalah orang yang disiplin waktu.

Rasha mengernyit. Pasalnya tas warna coklat bercorak milik Kimberly tak ada di samping kursinya. Begitu pula dengan tas merah Vera, tak ada di depan kursi Rasha. Kedua kursi itu tergantikan dengan tas berwarna hitam dan seorang cewek berkepang alias Aliya menghampiri Rasha.

“Hai, lo pasti bertanya-tanya kenapa tas gue ada disini. Gue disuruh ama Kim dan Vera untuk pindahan tempat, jadi gue ama lo. Gapapa yah?”

Rasha menautkan alis kebingungan. Kemudian seorang cewek dengan rambut tergerai duduk di bangku bekas milik Vera.

“Lo juga?” tanya Rasha.

Gadis dengan rambut tergerai itu-Sinta mengangguk.

Rasha merasakan sakit yang menghujam dadanya. Sampai segitunya kah Kimberly dan Vera membencinya? Sampai-sampai mereka tak mau berdekatan lagi dengannya.

Rasha mengedarkan pandangannya. Lirikannya berhenti pada sosok Kimberly dan Vera yang sedang berpekik ketika melihat sesuatu di ponsel Mereka. Rasha mengeram. Dengan langkah cepat dia menghampiri Kimberly dan berhenti di belakangnya. Tangan Rasha yang semula terkepal, kemudian menjambak rambut Kimberly yang berkilauan.

“Mau lo tuh apa sih hah!?” Rasha melepaskan jambakannya dan menarik kerah baju Kimberly. Kimberly yang tadinya tak siap harus merelakan dirinya sebagai sasaran dari amukan Rasha. Tak terima dengan itu akhirnya Kimberly mendorong bahu Rasha, hingga tubuh Rasha terdorong sedikit.

“Apaan sih lo?”

“Lo yang apaan nempelin foto gue di mading! Iya, gue emang orang miskin. Puas lo! Dulu gue anggap bahwa lo itu adalah sahabat. Sekarang….”

“Sekarang kita bukan sahabat lagi karena lo orang miskin. Dan ya, penyebab lo terhukum Bu Sahida, itu adalah gue.” Kimberly meneruskan ucapan Rasha yang menggantung akibat tarikan nafas dalam. Kimberly merapikan rambut beserta kerah yang dijambak Rasha dengan gerakan seolah-olah ada kotoran yang menempel di bajunya. Dia menatap Rasha sekilas, kemudian menarik tangan Vera yang masih bengong untuk keluar kelas.

Rasha termangu. Tak menyangka Kimberly sampai seperti itu pada dia, padahal dulu mereka pernah dekat. Rasha mengerjap. Tersadar lagi pada dunia nyata. Dia mengepalkan tangan. Semangatnya kembali mengebu, bukan Rasha namanya kalau tidak bertindak.

***

Pukul setengah dua belas, yang artinya itu adalah waktu istirahat kedua. Rasha bersembunyi di balik tembok toilet perempuan. Di tangannya terdapat sebuah sabun colek yang isinya sudah habis setengah. Kali ini Rasha sudah siap dengan rencananya untuk pembalasan. Pada saat orang yang akan Rasha balaskan dendamnya berada di toilet, sengaja Rasha mengoleskan sabun colek pada lantai dengan memilih tempat ramai sebagai sasarannya. Berharap orang sasaran itu akan malu dan jera karena telah berani macam-macam dengan yang namanya Rasha.

Rasha mengoleskan sabun itu lebar-lebar, bahkan dia terpaksa untuk menyingkirkan dulu orang-orang yang ingin lewat, menyuruh mereka supaya memilih jalur lain yang tak terolesi. Agar mereka tidak terjatuh.

Pintu toilet terbuka. Pada saat itu Rasha bersembunyi di balik tembok memerhatikan sasaranya mengenai perangkapnya. Rupanya mereka tengah berbincang dengan suara cempreng yang amat keras. Rasha yang tak kuasa melihat hanya mendengarkan suara mereka mendekat pada sabun itu dan…

Bruk!!

Suara itu mewakili kesenangannya bahwa orang sasarannya kini mungkin sedang terpeleset. Rasha keluar dari tempat persembunyiannya.

Namun detik itu juga dunia seakan berhenti berputar. Tak jauh disana Rasha melihat Kimberly dan Vera tangah berdiri seakan tak terjadi apapun. Orang yang dijadikan sebagai objek pembalasannya kini terganti dengan sosok cowok bertubuh tegap, sekaligus orang yang dicintainya, Adriel, yang kini tengah dibantu oleh orang lain. Parahnya lagi dia terduduk di bawah lantai. Cowok itu tampak meringis, mungkin menahan sakit.

Dengan cepat Rasha menghampiri Adriel.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa yang akan terkena sasaran adalah Adriel. Padahal sebelum merencanakan ini semua, yang akan terjatuh itu adalah Kimberly dan Vera. Sempat terlintas bayangan bagaimana ekspresi mereka ketika dipermalukan, karena yang seperti Rasha tahu, mereka adalah orang yang menuntut segala kesempurnaan dan menepis segala kekurangan. Terlebih menutupi rasa malu.

Bisa dilihat Adriel meringis ketika bangun berdiri. Rasha yang tak tega dengan itu,  tak bisa apa-apa selain mengamatinya dari jarak yang agak jauh. Murid-murid yang mengerubuni Adriel terjatuh hanya menatap kasihan, bahkan ada juga yang menatapnya sambil terkikik.

Setelah Adriel bangun dengan sempurna. Para murid berpencar dan membubarkan diri. Tinggalah Kimberly, Vera, Adriel dan Rasha. Anehnya kenapa Adriel tidak bergabung dengan gengnya? Hanya dia seorang diri. Setelah Kimberly menenangkan kakaknya, kemudian Kimberly beserta Vera pergi meninggalkan Adriel.

Hanya berdua di tempat itu dengan jarak pemisah sekitar tak lebih dari 5 meter. Adriel yang menyadari ada seseorang di sekitarnya, kontan menoleh dan mendapati seorang cewek tengah mengamatinya dengan sorot mata penuh penyesalan.

Rasha yang saat itu tengah mengamati Adriel, sontak memalingkan wajah ke arah lain dengan salah tingkah. Rasha melirik sedikit pada Adriel yang sedang mengamati sesuatu di genggaman tangan kanannya. Rasha mengikuti arah pandang Adriel. Saat mengangkat tangan, dia menyadari ada sebuah sabun colek yang dari tadi dia genggam dan tak urung dibuangnya. Rasha memandang lagi Adriel, yang dibalas cowok itu dengan tatapan dingin.

Tak lama Adriel melenggang, tak mengucapkan sepatah kata apapun, padahal Rasha-lah yang menyebabkan semuanya, tapi kenapa Adriel tidak marah padanya?

 

***

Pulang sekolah tak biasanya Rasha dilanda kecemasan. Setelah lima belas menit berdiam di kelas XI-ips 1, dengan berbekalkan kata maaf, dia kini sedang menunggu di depan kelas Adriel. Kebetulan jam terakhir kelas Adriel adalah pelajaran Pak Wardi, guru sejarah, yang artinya pelajaran itu selalu telat dalam hal jam pulang.

Pintu kelas XI-ips 1 terbuka. Anak-anak terpontang-panting untuk keluar kelas disusul pak Wardi yang kewalahan berjalan sambil menyalami anak-anak. Adriel masih belum juga terlihat, akhirnya Rasha duduk kembali di kursi yang kebetulan ada di depan kelas, menunggu lagi orang yang dia cari.

Di kerumunan di barisan anak-anak terakhir, terlihat Adriel keluar dengan tangan yang sibuk mengetik di ponsel. Hati Rasha kembali bergetar, disela itu Rasha merapikan rambut lurusnya dengan sela-sela jarinya.

Rasha berjalan dan berhenti di hadapan Adriel.

Adriel yang saat itu sedang memasukkan ponsel, menyadari kehadiran seseorang di hadapannya kontan mendongak. Tatapannya tertuju pada pemilik mata coklat terang yang tengah melihatnya dengan berbinar.

Adriel tertegun sesaat, tanpa memedulikan Rasha yang tersenyum manis, Adriel kembali meneruskan langkahnya tanpa menoleh lagi pada Rasha yang sedikit kecewa.

Melihat itu, dengan cepat Rasha menyergah langkah Adriel dan menahan lengannya. Adriel berhenti kemudian berbalik. Menampilkan ekspresi jengkel dipadukan dengan tatapan dingin.

Agak gugup Rasha melepaskan cengkramannya dan berkata, “Maaf soal tadi, g-gue salah sasaran.”

Adriel yang mendengarkan ucapan cewek itu hanya merespon dengan menaikkan alis sebelah. Tak mengucapkan kata apa pun, Adriel berjalan kembali. Sebelum itu dia mendengar pekikkan suara Kimberly yang tengah menyerukan namanya di lorong koridor dengan masih memakai pakaian cheers.

“Kak Adriel!” Kimberly menghampiri Adriel dan Rasha yang berdiri tak jauh darinya. Dengan nafas terengah, akhirnya Kimberly sampai di hadapan Adriel. “Kak Randy katanya gak pulang malam ini. Dia bilang ada rapat mendadak.”

“Selalu gak pulang,” balas Adriel ketus.

Kimberly menyadari ada seseorang di samping kakaknya. Dia mengibaskan rambut dan menatap Rasha dengan pandangan sinis. “Oh ada Rasha. Kakak!  Aku baru ingat, si Rasha ini mau ngomong sesuatu ama kakak.”

Rasha mengerjap dan menatap nyalang pada Kimberly. Dia baru teringat bahwa dia sudah menyampaikan pada Kimberly bahwa dia menyukai Adriel dan menyuruhnya untuk bicara. Tapi ini bukan saatnya, kata maaf Rasha saja belum terbalas. Rasha menundukan wajahnya yang sudah memerah dengan menatap sepatu hitamnya.

“Ah kelamaan. Jadi gini, Kak, dia itu suka ama kakak. Apa kakak mau menerimanya? Trus jadi pacarnya? Aku harap jangan deh, orang kaya seperti kita gak level bersanding ama orang miskin.”

Rasha menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Kimberly barusan seakan menusuk jantungnya. Takut-takut, Rasha melirik-lirik sekilas wajah Adriel yang masih menampilkan ekspresi dingin dari balik rambutnya.

Secara tak sadar Rasha merasakan sesuatu dilempar di bawah sepatunya.

Tak lama Adriel pergi. Sambil memasukkan tangan pada kedua saku celananya, seolah-olah pengakuan Rasha tak ada artinya.

“Gak di terima, kan. Kasihan,” ucap Kimberly dengan nada angkuh sambil mengibaskan rambut berkilaunya. Kimberly kembali lagi ketempat asalnya, yaitu ke lapangan, mengikuti latihan cheerleaders yang sempat tertunda.

Rasha menghembuskan nafas kasar. Tak seharusnya dia berharap bersanding dengan kaum kaya, walau dulu dia pernah bergaul dengan kaum kaya. Dan sekarang semua sudah berubah.

Rasha berjalan untuk pulang. Namun tak sengaja di balik sepatunya dia seperti menginjak sesuatu. Rasha mengambilnya. Itu adalah sesuatu yang dilempar Adriel ke hadapannya. Sebuah gulungan kertas yang sudah diremas. Perlahan Rasha membuka gulungan itu dan seketika matanya terbelalak. Gulungan itu menampilkan sebuah gambar yang ditempel di mading yang tadi dia sudah buang. Tapi kenapa Adriel bisa memilikinya?

Tak mau berkelut dengan hal itu, Rasha meremas lagi gulungan itu dengan perasaan marah. Kemudian dia melemparkan gulungan itu pada tong sampah terdekat, agar gulungan itu terbuang. Supaya dia tidak melihatnya lagi.

 

 

5 Komentar

  1. Hm, hmm, ini masih ada lanjutannya?

  2. fitriartemisia menulis:

    Rasha ditolak Adriel ? bikin Adriel jatuh sih Rasha #eh :LARIDEMIHIDUP

  3. farahzamani5 menulis:

    Jdi kangen tulisan kmu ma
    Ga mau nerusin nulis disini kah?

  4. Masih ada lanjutannya, nggak??

  5. Ditunggu kelanjutannyaa