Vitamins Blog

Pandora’s Cursed : PART 3

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

60 votes, average: 1.00 out of 1 (60 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

*cerita ini berlatar di Prancis dan semua tokoh dan alur adalah fiksi. Maaf bila typo bertebaran

Ophelia tersadar dari tidurnya saat Samuel menancapkan pedang tersebut kepada Gautama dan Agni. Ia melihat kesekitar dengan pandangan was-was.

 

Itu hanya mimpi.

 

Ophelia menghela nafasnya dan mulai mengendalikan laju nafasnya. Ia melihat kesekitarnya. Cahaya matahari sudah muncul ke permukaan. Dan ini bertanda hari sudah cukup siang. Ophelia bangkit dari posisinya. Ia tidak melihat Gautama dan Agni di gubuk ini. Kemana mereka berdua? Ophelia tidak ingin hal yang ia  takuti benar-benar terjadi.

 

Ophelia berjalan keluar gubuk. Dan saat itu ia bisa melihat beberapa prajurit berkuda dan juga sebuah kereta yang tiba berada di depan gubuk. Ophelia menyipitkan matanya saat cahaya matahari pagi langsung mengenai matanya.

 

“Ophelia,” Panggil Gautama.

 

Ophelia menoleh kearah Gautama yang berada tak jauh dari dirinya. Gautama tersenyum dan berjalan kearahnya. Ophelia mengamati Gautama dengan seksama. Tidak ada luka ataupun yang aneh dari tubuhnya. Gautama tampak sehat dari sebelumnya walaupun ia masih menggunakan perban di bagian perutnya yang luka.

 

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Ophelia langsung.

 

Gautama tersenyum senang saat Ophelia menanyakan hal itu kepadanya. “Aku tidak apa-apa,” Jawabnya.

 

Ophelia menghela nafas lega. Lalu, ia menatap bingung kesekitarnya.

 

“Ada apa ini?” Tanyanya.

 

“Utusan kerajaan telah sampai pagi ini. Aku akan pulang ke istana,” Jawab Gautama.

 

Ophelia hanya bergumam. Gautama akan kembali ke tempatnya dan sekarang ia akan sendirian lagi untuk menelusuri tempat ini. Mungkin itu lebih baik dari pada harus bersama Gautama dalam waktu yang lama.

 

“Kau bisa ikut ke istana bersamaku,” Ujar Gautama.

 

Ophelia menggelengkan kepalanya. “Tidak, terima kasih atas tawaranmu, Pangeran.”

 

“Kenapa? Kau lebih baik di istana. Bukankah sebelumnya aku pernah mengatakannya kepadamu?”

 

“Tidak,” Kali ini Ophelia menjawab dengan tegas. “Aku tidak bisa.”

 

Ophelia mendengar suara rikihan kuda. Ophelia dan Gautama melirik kearah kuda tersebut. Mereka bisa melihat dua orang pengendara kuda yang sedang berjalan kearah mereka. Ophelia tercekat saat menyadari kedua orang tersebut. Mereka adalah utusan dari Kerajaan Prancis untuk menjaga dirinya di India. Mereka, Shiva dan John selalu mencari dan mengejar Ophelia apabila Ophelia melarikan diri dari kuil. John menatap tajam kearah Ophelia. Ia tersenyum sinis saat melihat wajah ketakutan Ophelia saat menemuinya.

 

Shiva dan John turun dari kuda mereka. Mereka menoleh kearah Gautama yang berdiri di hadapan Ophelia. Mereka berdua memberi salam kepada Pangeran tersebut.

 

“Salam Pangeran,” Ucap Shiva.

 

“Salam,” Jawab Gautama.

 

“Suatu kehormatan bisa bertemu dengan dirimu, Pangeran,” John melirik kearah Ophelia. “Kami sedang mempunyai urusan sekarang.”

 

“Kalau boleh tahu, apa itu?” Kata Gautama.

 

“Dia—,”

 

Shiva menggedikkan dagunya kearah Ophelia. Ophelia melebarkan matanya dan mundur beberapa langkah saat John mulai menghampirinya.

 

“Dia adalah seseorang dari daerah utara, Kerajaan Prancis. Dia terkena penyakit yang sangat menular sehingga ia harus di asingkan di sebuah kuil. Kali ini dia berhasil melarikan diri dan bertemu dengan dirimu, Pangeran. Apakah Pangeran tidak apa-apa?” Kata Shiva.

 

“Penyakit menular?”

 

Gautama menoleh kearah Ophelia. Ophelia hanya bisa terdiam mematung. Ia ingin lari sejauh mungkin saat ini. Tapi, melihat kondisi seperti ini tampaknya tidak memungkinkannya untuk bisa segera lari dan menjauh dari mereka.

 

Ophelia berteriak kaegt saat John mencengkram tangannya. Ophelia berusaha meronat dan melepaskan diri. Tapi tenaga John lebih kuat daripadanya sehingga membuatnya menyerah dan pasrah di seret oleh John menuju ke kudanya. Sejenak ia melirik kearah Gautama dan ingin meminta bantuan. Tapi Gautama hanya memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan.

 

“Apa kau baik-baik saja, Pangeran?” Tanya Shiva untuk kedua kalinya.

 

Gautama kembali menoleh kearah Shiva. “Aku—,”

 

“Pangeran,” Agni menghampiri Gautama. “Sebaiknya Pangeran segera kembali ke istana. Tabib Istana akan memeriksa kondisi Pangeran segera.”

 

Gautama menganggukkan kepalanya pelan. Matanya kembali melirik kearah Ophelia yang tampak pasrah. Ada tatapan memohon saat Ophelia bertemu dengan mata Gautama. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Ophelia? Penyakit menular? Ia yakin Ophelia baik-baik saja. Dia hanya terlihat sedikit— tertekan, seperti ada sesuatu yang harus ia sembunyikan.

 

Gautama menaiki kereta kudanya. Lalu, seiring dengan kereta kuda yang mulai menjauh, John naik ke pelana kuda tempat Ophelia berada. Ia duduk di belakang Opheli dan mengetatkan cengkramannya di kedua sisi tubuh Ophelia.

 

“Dasar! Kau selalu saja kabur dan menyusahkan kami,” Gerutu John. “Kau tahu? Ibumu melakukan ini agar kau tidak melakukan hal seperti yang dulu kau lakukan,” John mendekatkan mulutnya ke telinga Ophelia. “Membunuh.”

 

Satu kata yang diberikan oleh penekanan oleh John membuat Ophelia terkesiap dan melebarkan matanya. Memorinya kembali berputar saat masa-masa kelamnya dahulu, saat iblis yang mendiami dirinya menggeliat liar dan mulai kehilangan kendali.

 

“Aku tidak takut kepadamu, Tuan Putri. Aku selalu merapalkan doa dan membawa kalung salib ini bersamaku.”

 

John memberikan isyarat kepada Shiva untuk berjalan terlebih dahulu. Shiva menganggukkan kepalanya. Lalu, ia lebih dahulu mengendarakan kudanya di depan John. Ophelia masih terdiam dan ingatannya tidak berhenti berputar ke masa-masa lalunya itu. Seolah-olah masa lalunya membanjiri pikirannya sekarang dan membawa mimpi buruknya kembali ke masa ini. Ophelia ingin keluar dari memory ini tapi seseorang yang ia ketahui bersemayam di dalam jiwanya langsung membisikkan sesuatu ke telinga Ophelia. Dengan lembut dan penuh keyakinan.

 

“Apakah kau ingin keluar dari masa lalumu, Sayang? Aku akan membantu untuk mendapatkan segala hal yang kau inginkan di dunia ini. Karena itu relakan aku selalu berada di sisimu,”

 

–{—

 

Kereta kuda Kerajaan Bengal melewati jalan perkotaan menuju gerbang istana. Semua rakyat spontan menundukkan kepala mereka menyambut Sang Pangeran dari perjalanan jauhnya. Dua orang prajurit membuka pintu gerbang saat kereta kuda Sang Pangeran telah tiba di depan gerbang. Lalu, kereta kuda itu kembali melaju memasuki pekarangan istana.

 

Kereta kuda itu berhenti tepat di depan tangga yang menuju pintu masuk istana. Raja, ratu, selir, pangeran dan putri kerajaan telah menunggu kedatangan Gautama disana. Salah satu pelayan membukakan pintu kereta untuk Gautama. Gautama segera meloncat turun dari kereta. Ia mendongak kearah puncak tangga dimana kedua orangtuanya telah menunggu disana.

 

Gautama menaiki tangga tersebut dengan dibantu oleh Agni dan pelayannya yang lain. Di depan Raja dan Ratu, Gautama menyentuh kedua kaki mereka dan mengucapkan salam kepada mereka berdua. Sang Ratu tersenyum. Ia mulai melakukan ritual atas penyambutan Gautama.

 

“Selamat datang, Putra Mahkota Gautama,” Sapa Sang Raja.

 

Gautama tersenyum. “Terima kasih, Yang Mulia.”

 

Sang Ratu melirik kearah perut Gautama yang tengah di baluti perban. Ia mengerutkan keningnya dan terkesiap saat menyadari bila ada bercak darah yang merembes keluar dari perban tersebut.

 

“Gautama!” Pekiknya. “Apa yang terjadi padamu?!”

 

Sang Ratu menatap khawatir kepada Gautama. Gautama melirik kearah perbannya. Luka itu telah mulai mngering tetapi bekas bercak darah kemarin tidak bisa hilang dari sana. Agni menundukkan kepalanya dan berniat untuk menjelaskannya kepada Sang Ratu.

 

“Yang Mulia Ratu, Putra Mahkota telah mengalami hal sulit saat berada disana. Seseorang mencoba untuk membunuh Putra Mahkota sehingga Putra Mahkota terkena panahan Si Pembunuh dibagian perut sebelah kanannya,” Jelas Agni.

 

Raja dan Ratu terkejut mendengar penjelasan Agni.

 

“Apa?!” Kata Sang Raja. “Bagaimana dengan Si Pembunuh itu? Apa kalian telah menangkapnya?”

 

“Mereka telah mati,” Jawab Gautama yang membuat mata Raja dan Ratu menoleh kearahnya. “Mereka telah mati. Mereka terjatuh kedalam jurang saat mereka berusaha melarikan diri.”

 

“Benarkah?”

 

Gautama menganggukkan kepalanya. Sang Raja akhirnya bisa bernafas lega.

 

“Sebaiknya kau memeriksa keadaanmu dengan tabib istana,” Ujar Sang Raja.

 

“Baik, Yang Mulia.”

 

–{—

 

Seorang tabib istana Kerajaan Bengal tampak sedang mengibati salah satu prajurit yang terluka. Ia telah memberikan ramuan untuk menghilangkan rasa sakit dan menghentikan pendarahan di bagian kakinya yang tampak tercabik oleh mata pedang yang tajam. Saat ini ia sedang membalutkan perban di kaki prajurit tersebut.

 

“Setelah tiga hari kau bisa datang kesini untuk mengganti perbannya,” Ujar Sang Tabib.

 

Prajurit itu menganggukkan kepalanya. “Terima kasih.”

 

“Tidak usah mengatakan hal itu. Bukankah tugas seorang tabib adalah mengobati semua orang?”

 

Prajurit itu tersenyum kecil. Lalu, Sang Tabib mengambil sebuah botol kecil dan memberikannya kepada prajurit tersebut.

 

“Ini untuk penyembuhan lukamu agar cepat pulih.”

 

Sang Tabib menyodorkan botol itu kepada prajurit tersebut. Prajurit tersebut menerimanya sambil menundukkan kepalanya.

 

“Terima kasih,” Katanya.

 

Tabib tersebut tersenyum. Lalu, Si Prajurit pergi dari mansion tabib tersebut sambil membawa botol yang baru saja di berikan oleh Sang Tabib.

 

Sang Tabib menghela nafasnya. Matanya yang hijau menelusuri setiap ruangan ini. Ia baru saja membuat ramuan untuk para prajurit dan juga keluarga kerajaan. Dan kali ini seluruh ruangannya tampak berantakan dengan kantong-kantong dan dedaunan herbal dimana-mana.

 

Sang Tabib kembali duduk di kursinya dan memilih untuk kembali meracik ramuannya hingga pintu mansion tiba-tiba terbuka dan menampakkan Gautama dan Agni yang sedang berdiri di depan pintu. Sang Tabib segera berdiri dari tempatnya dan memberikan hormat kepada Sang Pangeran.

 

“Salam, Putra Mahkota,” Ucap Sang Tabib.

 

“Tabib Sebastian,” Gautama berjalan kearah Sang Tabib, Sebastian. “Aku ingin kau memeriksa keadaanku.”

 

–{—

 

Sebastian membuka perban yang berbalut di bagian perut area bawah Gautama. Ia mengecek keadaan luka akibat tusukan panah disana. Luka itu sudah mulai mengering dengan beberapa bekas yang berlahan mulai memudar.

 

“Tampaknya lukamu sudah mulai membaik, Putra Mahkota,” Ujar Sebastian.

 

Sebastian kembali memberikan beberapa ramuan herbal untuk memaksimalkan penyembuhan luka tersebut. Lalu, ia kembali mengambil perban baru dan membalutkannya ke perut Gautama.

 

Setelah itu, Sebastian mengambil salah satu tangan Gautama dan mengecek nadinya. Sebastian merasakan detak nadi Gautama yang tampak membaik. Tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi dengan kondisi Gautama. Sang Pangeran baik-baik saja walaupun ia telah terkena luka panahan akibat seseorang yang ingin membunuhnya.

 

“Kondisimu cukup baik, Yang Mulia. Hanya luka panahan ini saja yang perlu diobati kembali untuk proses penyembuhan yang maksimal,” Jelas Sebastian.

 

“Terima kasih,” Kata Gautama.

 

Sebastian memilih untuk membersihkan peralatannya. Ia meletakkan perban dan beberapa dedaunan yang baru saja ia gunakan ke dalam kantongnya. Gautama terus mengamati Sebastian. Mereka sangat mirip. Hidung, rambut, dan kulit mereka yang putih kemerah-merahan. Gadis itu, Ophelia benar-benar berasal dari daerah utara yang mempunyai perawaakan yang sama seperti Sebastian yang juga berasal dari daerah utara.

 

“Ada apa, Putra Mahkota?” Tanya Sebastian.

 

Gautama tersadar dari lamunannya. “Tabib Sebastian—,”

 

Gautama memilih untuk menanyakan hal itu kepada Sebastian. Ia sangat penasaran dengan Ophelia, gadis yang menyelamatkannya dan juga yang tampak selalu menyembunyikan sesuatu darinya.

 

“Seperti apa keluargamu?” Tanya Gautama.

 

“Hm?” Sebastian mengangkat sebelah alisnya. “Apa maksudmu, Putra Mahkota?”

 

“Tidak— Aku hanya ingin tahu seperti apa perawakan orang-orang dari daerah utara. Apakah mereka mempunyai kulit yang pucat? Tubuh yang tegap dan mata hijau sepertimu?”

 

Sebastian tersenyum. “Keluarga memang tampak sepertiku. Kami mempunyai rambut pirang yang khas. Dan juga mata biru dan hijau yang cukup mencolok.”

 

“Benarkah?”

 

Sebastian mengangguk. “Ayahku mempunyai rambut cokelat kehitamannya dan matanya yang berwarna biru keabu-abuan. Sedangkan ibuku mempunyai rambut pirang yang panjang dengan mata yang berwarna biru terang,” Tiba-tiba saja Sebastian tersenyum ironi. “Semua saudaraku mempunyai mata biru yang menawan, hanya aku yang mempunyai mata hijau seperti ini.”

 

Gautama merasakan sesuatu yang menyedihkan merayapi setiap perkataan Sebastian. Bagaikan ia sedikit terkucilkan dari keluarganya. Gautama mencoba untuk kembali menanyakan sesuatu hal kepada Sebastian.

 

“Kenapa kau memilih menjadi tabib? Bukankah kau berasal dari keluarga ksatria juga? Seharusnya kau bisa penasehat raja, perdana menteri, atau pun menjadi seorang jendral?”

 

“Karena aku lebih suka untuk molong orang lain daripada menjatuhkan orang lain,” Sebastian menatap lurus kearah Gautama. “Kau tahu, Putra Mahkota? Politik itu adalah bagaimana caranya untuk menang dengan menjatuhkan orang lain. Politik itu kejam. Mereka hanya ingin bila ego mereka itu tercapai tanpa harus memikirkan perasaan orang lain.”

 

“Aku tahu itu,” Ujar Gautama sambil menundukkan kepalanya. “Bila aku menjadi raja nanti, aku akan berusaha untuk menegakkan kebenaran. Tidak menjatuhkan orang lain seperti yang kau katakan. Aku ingin menjadi raja yang disegani oleh para rakyatku, bukan raja yang ditakuti.”

 

“Bagus, Putra Mahkota. Saya harap Anda bisa mencapai itu semua.”

 

Gautama tersenyum. “Terima kasih.”

 

Sebastian menggantungkan bungkusan yang berisikan dedaunan itu di tempat yang tersedia. Gautama masih duduk disana sambil terus memperhatikan Sebastian. Lalu, ia kembali teringat dengan Ophelia. Ia sungguh penasaran dengan kehadiran Ophelia di wilayah ini. Ophelia bisa mengobati lukanya dan dia juga mempunyai perawakan yang sama seperti Sebastian. Apakah ia harus mengatakan hal mengenai Ophelia kepada Sebastian?

 

“Tabib Sebastian,” Panggil Gautama.

 

Sebastian menoleh kearah Gautama. “Ya, Yang Mulia?”

 

“Aku bertemu dengan seseorang gadis di hutan saat aku sedang berusaha untuk melarikan diri. Dia mempunyai perawakan yang sama sepertimu. Kulit putih, rambut pirang, dan mata biru yang indah seperti yang kau ceritakan. Apakah ia juga berasal dari utara?”

 

Sebastian mengerutkan keningnya tampak berpikir. “Dari penjelasanmu tampaknya gadis itu berasal dari daerah utara, Putra Mahkota.”

 

“Dia juga mengaku bila ia berasal dari daerah utara. Tapi, ada sesuatu yang aneh,” Gautama sedikit memiringkan kepalanya tampak berpikir. “Ia tampak seperti di penjara. Lebih tepatnya diasingkan. Orang-orang itu mengatakan bila ia mempunyai penyakit menular dan harus diasingkan di suatu tempat.”

 

“Penyakit?” Sebastian menoleh kearah Gautama. “Aku sudah memeriksamu tapi aku tidak merasakan adanya penyakit yang menular di tubuhmu.”

 

“Benarkah? Apa mungkin mereka itu bohong?”

 

Sebastian kembali duduk di samping Gautama. Mendengarkan kisah Gautama membuatnya teringat akan seseorang di daerah utara yang nun jauh disana.

 

“Tampaknya Anda sudah sangat dekat dengannya, Putra Mahkota. Kalau boleh aku tahu siapa nama gadis itu?”

 

Gautama tersenyum saat melihat gadis yang baru saja ia ceritakan. “Namanya Ophelia.”

 

Sebastian melebarkan matanya terkejut. “O-ophelia?”

 

“Dia bilang seperti itu. Ophelia, nama yang cukup unik bagiku.”

 

Sebastian terdiam. Gautama mengatakan bila ia bertemu dengan gadis yang bernama Ophelia. Ophelia dikurung dan diasingkan. Dikirim jauh dari Kerajaan Prancis. Bermata biru terang dengan rambut berwarna pirang. Ophelia, apakah yang dimaksud Gautama adalah Ophelia— adik tirinya?

 

–{—

 

Ophelia duduk meringkuk di salah satu sudut ruangan ini. Ruangan ini sangat lembab, gelap, dan kecil. Ini berada di ruang bawah tanah yang berada di kuil tempat ia diasingkan dan hanya beberapa orang tertentu yang bisa mengakses tempat ini. Tempat ini sangat rahasia di kuil ini. Tidak semua Brahmana yang meninggali kuil ini yang mengetahui keberadaan Ophelia dan ruangan rahasia ini. Hanya Brahmana tertentu yang bisa mengakses masuk ke dalam ruang bawah tanah ini.

 

Ophelia memeluk dirinya sendiri. Sebera pun ia berusaha untuk keluar dari ruang bawah tanah ini, ia akan terus berakhir terkurung disini. Bagaimana pun ia tidak akan bisa keluar dari melarikan diri dari tempat ini. Mungkin ia akan menghabiskan sisa waktunya disini, di ruang bawah tanah ini sendirian.

 

“Kau tidak akan sendirian, sayang.”

 

Ophelia terkesiap dan menoleh ke sekeliling ruangan. Tadi ia mendengar suara Samuel di sekitarnya. Iblis itu kembali menemuinya lagi. Ophelia terpekik kaget saat ia merasakan sebuah tangan dingin yang menyentuh pipinya. Ophelia menatap kedepan. Ia memundurkan tubuhnya kaget saat ia melihat sosok iblis dengan mata merah menyala itu menatap nyalang kearahnya.

 

“Jangan takut,” Katanya dengan nada memerintah.

 

Sontak tubuh Ophelia langsung membeku di tempat. Sorot matanya berubah menjadi tajam membuat Ophelia bagaikan tidak bisa bernafas saat Samuel menatapnya seperti itu.

 

“Jangan takut, Ophelia.”

 

Samuel memeluk Ophelia dan menenggelamkan wajahnya di balik rambut pirang Ophelia. Ia menghirupkan keharumannya sesaat dan memejamkan matanya. Ophelia tidak bisa berkutik atas perlakuan Samuel.

 

“Berhati-hatilah.”

 

Dan saat itu,wujud Samuel tiba-tiba saja menghilang bagaikan asap. Di sekitarnya masih terlihat asap tipis berwarna hitam yang menyelimuti dirinya. Ia tahu bila itu adalah perwujudan dari Samuel.

 

Ophelia merasakan udara dingin menusuk bagian tubuhnya. Dan saat itu ia baru menyadari bila pintu tempat sel kurungannya terbuka begitu saja. Awalnya timbul rasa untuk kembali berusaha melarikan diri dari sini. Tapi saat ia melihat seseorang yang berdiri di depan pintu itu, ia tercekat. John berdiri di depan pintu sambil menyeringai kepadanya. Ophelia bisa melihat kilatan pedang di tangan John yang membuat dirinya semakin merasa terpojok ketakutan.

 

“Jo-john?” Gumamnya.

 

John mnyeringai senang saat melihat wajah ketakutan Ophelia. Ophelia beringsut mundur saat John mulai mendekatinya.

 

“Jangan marah kepadaku, Ophelia,” Ujarnya. “Ini hanyalah perintah. Perintah dari Keluarga Kerajaan Prancis untuk membunuh dirimu.”

 

“Tidak,” Ophelia terkesiap saat punggungnya telah menyentuh tembok. “Apa kau tidak tahu? Aku adalah putri yang dikutuk. Dengan kutukanku aku bisa membunuhmu sekarang juga.”

 

“Aku sudah mendengarnya, Tuan Putri. Kau mempunyai iblis di dalam dirimu. Tapi kali ini iblis itu tidak akan bisa menyentuhku.”

 

John memperlihatkan sesuatu kepada Ophelia. Ia menarik sesuatu yang tergantung di balik kerah bajunya. Walaupun ruangan ini cukup gelap, tapi samar-samar Ophelia bisa melihat kalung salib yang tergantung di lehernya.

 

“Kalung ini akan melindungiku dari kejahatan iblis tersebut,” John bersiap-siap untuk mneggunakan pedangnya. “Nah, sekarang biarkan aku untuk membunuhmu.”

 

John mengangkat pedangnya. Ia akan menargetkan kepala Ophelia untuk segera di potongnya dan mengirimnya kehadapan Yang Mulia Ratu Theresa di Prancis. Ini adalah kesempatan emasnya untuk bisa menaikkan statusnya dari kasta rendahan dan menjadi mata-mata ratu. Ia harus mendapatkan posisi itu dengan cara memberikan kepala Ophelia kepada Sang Ratu.

 

Ophelia menutup matanya, lebih memilih pasrah dengan nasibnya saat ini. Mungkin ini adalah akhir hidupnya yang menyedihkan, mati di ruang bawah tanah ini tanpa diketahui orang lain. Ini adalah jalan yang baik untuknya. Dari bayang-banya di ruangan ini, ia bisa melihat John yang tengah menaikkan pedangnya untuk memenggal lehernya. Tapi, ada sesuatu hal yang aneh yang ia rasakan. Sosok bayangan lain dengan aura hitam yang memancar kuat di sekelilingnya.

 

Ophelia mendongakkan kepalanya saat ia mendengar suara rintihan John yang di iringi dengan tubuhnya yang terjatuh di lantai yang lembab ini. Samuel, iblis itu kembali muncul di hadapannya. Kali ini ia tengah memegang sebuah pedang dengan ujungnya yang di penuhi oleh darah. Samuel melempar pedang itu ke sembarang tempat. Lalu, menggeser tubuhnya sedikit menyingkir dari pintu.

 

“Sebaiknya kau lari dari sini. Bukankah itu yang kau inginkan dari dahulu?”

 

–{—

 

Ophelia berlari sekuat tenaga. Akhirnya ia telah berhasil dari kuil tersebut. Saat Ophelia menaiki tangga menuju bagian atas dari kuil, ia tidak melihat para Brahmana yang berlalu-lalang seperti biasa. Mereka tiba-tiba saja menghilang. Ophelia mengendap-endap menelusuri lorong untuk mencari jalan keluar dari kuil ini.

 

Ophelia berhasil keluar dari kuil tersebut, tetapi ia melihat sesuatu yang tidak disangka-sangka olehnya. Saat ia menaiki tangga menuju lantai atas kuil, Ophelia terkejut saat ia menemukan mayat-mayat Brahmana yang tergeletak di lantai kuil. Darah-darah mereka membuat lantai kuil menjadi lautan merah kehitaman. Ophelia bisa merasakan darah itu mengalir disela-sela kakinya.

 

Ophelia bergidik ngeri saat ia merasakan sesuatu yang menyentuh bagian pundaknya secara tiba-tiba. Spontan ia langsung membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan sosok beramata merah tersebut.

 

“Samuel?”

 

Ophelia akhirnya bisa bernafas lega saat ia mengetahui bila itu hanyalah Samuel. Samuel menyentuh pipi Ophelia, merambat ke telinga dan menyisipkan beberapa helaian rambut di balik telinga Ophelia.

 

“Aku membunuh mereka untuk membantumu keluar.”

 

Samuel menatap kearah mata Ophelia.

 

“Kau tidak usah takut, sayang. Aku bisa mengatasi ini semua. Sekarang kau bisa pergi dari sini.”

 

Ini kesempatan emas untuknya. Ia harus berterima kasih kepada iblis itu atas semua yang ia lakukan saat ini. Hanya dia yang bisa membunuh para Brahmana itu dalam kejapan mata. Hanya ia yang bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan dirinya.

 

Malam ini sangat gelap dari malam-malam sebelumnya. Ophelia sedikit kesulitan saat ia berlari menelusuri hutan. Ia tidak membawa pencahayaan apa pun saat ini. Terkadang, ia harus tersandung akibat ranting pohon yang menjalar di tanah.

 

Kali ini ia harus berhasil melarika diri. Ia akan pergi ke kota dan menuju ke pelabuhan. Ia harus kembali ke Prancis bagaimana pun juga. Memang ia tidak mempunyai uang, dan mungkin saja ia harus menjadi budak kapal untuk sementara disana. Apa pun harus ia lakukan agar ia bisa kembali ke tanah kelahirannya. Ia tahu bila ia tiba disana mungkin ia akan diusir atau pun tidak diterima, tapi harus bertemu dengan seseorang disana, ayahnya dan juga Aaron, kakaknya.

 

Kali ini ia mulai kelelahan. Ophelia memperlambat larinya. Tiba-tiba kepalanya pusing dan dunia bagaikan berputar di sekelilingnya. Ophelia mencoba untuk berhenti sejenak dan menggelengkan kepalanya berharap bila pusingnya itu akan hilang. Lalu, beberapa saat kemudian ia kembali melanjutkan perjalanannya.

 

Ia terus berlari menelusuri hutan. Kali ini ia memelankan lajunya karena semakin lama pusingnya itu semakin menjadi. Hingga, ia merasakan sesuatu yang menabraknya. Ophelia merasa oleng dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah. Sebelum ia kehilangan kesadaran, satu kilasan yang ia lihat adalah seekor kuda dengan seseorang yang menungganginya berada di hadapannya.

Bersambung…

10 Komentar

  1. KhairaAlfia menulis:

    Kuda siapakah itu??

  2. rizkiadiffa menulis:

    Seru banget. Nice job, author ?

  3. Ibu tirinya nyuruh john buat ngebunuh ophelia, untung ada samuel
    Akhirnyaa ophelia bisa kaburrrr
    Itu sebastian siapa lagi ??? Bukannya kakak tiri ophelia arron dan charles

  4. Waduhhhh, untung aja bisa kabur yah

  5. farahzamani5 menulis:

    Wahhh udah part 8 ternyata yg diupdate dan aq bru bca ampe part 2, cuzz bca dah hehe

  6. farahzamani5 menulis:

    Ahhhh keren ceritany
    Msh bnyk tanda tanya disini
    Knp bgni bgtu, siapa itu dll hihi
    Aduhhh lanjut ke part selanjutnya
    Semangat trs yak

  7. fitriartemisia menulis:

    o my o my Ophelianya pingsannn

  8. Nice story???

  9. Ditunggu kelanjutannyaa

  10. nananafisah184 menulis:

    Siapa ituu?? :LARIDEMIHIDUP

    Kakak tiri ophelia bukannya aaron sa charles yaa?? Sebastian siapa?? :ragunih