Vitamins Blog

Terbang [Bab 3]

Bookmark
Please login to bookmark Close

 

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bab 3. Kasih Sayang Ibu


Rasha berjalan di sekitar koridor. Semua murid tampak sibuk dengan aktivitasnya. Di saat berjalan, Rasha mendengar suara keributan lagi di sekitar ruang BK yang tak jauh dari Rasha berdiri sekarang. Keributan itu tampak menggelegar yang menimbulkan banyak perhatian murid di sekitar. Di sana terlihat Raihan sedang masuk ke ruang itu dengan tergesa disusul dua guru lain.

Rasha kembali meneruskan perjalanannya tak memedulikan keributan di ruang BK. Namun langkahnya terhenti saat sosok pria tampan yang diyakini Rasha adalah pria yang kemarin telah memberikannya ponsel baru itu.

Pria itu masuk ke dalam ruangan BK dengan jas yang masih melekat di tubuhnya. Rasha terpaku sejenak, sebelum akhirnya dia mengintip di balik jendela ruangan itu. Terlihat samar di sana terjadi keributan. Di mana Adriel sedang membela dirinya di hadapan guru-guru. Juga  gerombolan Adriel yang sepertinya menimbrung untuk membela ketua geng mereka. Rasha menguping Adriel yang sedang bicara mengenai alasan kenapa dia berkelahi. Sedang Raihan tampak bergeming juga pria itu hanya diam mendengarkan celotehan dari Adriel.

Rasha yang sedang mengamati, tiba-tiba dikejutkan dengan tepukan pelan pada bahunya. Rasha berbalik badan dan mendapati Aliya, teman sekelas yang setiap hari rambutnya selalu dikepang, juga kacamata besar yang selalu membingkai matanya, sedang berdiri di hadapannya.

“Apaan sih?” bentak Rasha pelan, karena dia takut orang yang di dalam menyadari bahwa dirinya tengah mengintip mereka.

Gadis pendiam itu masih memperlihatkan senyumnya, kemudian berujar, “Lagi ngapain di sini?”

Rasha memutar bola matanya jengah, kemudian dia berkacak pinggang. “Menurut lo, gue lagi ngapain, huh?” Rasha kembali memutar badannya menghadap jendela ruang itu lagi. Dia tidak memedulikan eksistensi gadis berkepang itu.

Aliya mengernyit, melihat Rasha sedang mengintip di balik jendela, seakan ada hal unik apa yang terjadi di dalam sana. Tak lama Aliya melongokkan kepala mengikuti Rasha untuk mengintip di balik jendela.

Rasha yang saat itu menyadari prilaku gadis berkepang itu. Dia menaikkan alis sebelah sebelum akhirnya kembali mengamati keributan di dalam sana. “Al, lo kenal ama pria ber-jas itu gak?” tanya Rasha yang tak mengalihkan perhatiannya pada sosok pria ber-jas di dalam sana.

“Oh itu Kak Randy, dia pengusaha sukses di Indonesia, juga dia adalah kakak dari ketiga anak kembar yang fenomenal di SMA Cendakia.”

Rasha mangut-mangut mengerti atas respon dari jawaban Aliya. Dia baru menyadari bahwa pria yang sudah merengut kehormatannya kemarin adalah kakak dari ketiga bersaudara itu. Rasha belum mengerti, bukannya keluarga itu orangnya baik-baik minus Adriel, meski tanpa orangtua? Tapi kenapa pria itu seperti kebanyakan pria lainnya yang suka menghisap kenikmatan perempuan. Dan kenapa hanya Rasha yang mau dia ajak bercinta? Atau mungkin sudah banyak perempuan di luar sana yang sudah dia ajak bercinta?

Pertanyaan Rasha harus tertelan kembali ketika guru keluar dari ruangan disusul Adriel dan gerombolannya juga Raihan yang mengekor di belakangnya. Detik selanjutnya, orang yang ada di benak Rasha akhirnya keluar ruangan. Rasha memandang pria itu bukan tatapan terpesona ataupun tatapan memuja yang selalu perempuan lain gunakan. Dia memandang pria itu sedikit memberengut karena telah merengut kehormatannya. Tapi dia tidak berbohong, berkat pria itu, dia bisa memiliki ponsel bagus yang dijadikan bahan pamer ke teman-temannya.

Pria itu menoleh menyadari kehadirannya. Mata pria itu akhirnya bertubrukkan dengan mata Rasha yang tengah mengamatinya. Rasha yang saat itu sedang memandangnya sontak mematung, kemudian dia berjalan cepat demi menghindari tatapan sinis pria itu.

Aliya yang kebingungan dengan tikah laku Rasha, akhirnya dia menyusul mengikuti jejak cewek itu menuju ruang lain.

***

Kimberly dan Vera membawa adik kelas berbadan gemuk ke arah trimbun lapangan indoor. Adik kelas itu tampak ketakutan yang dibuktikan dengan keringat dingin mengucur di sekitar dahinya dan bibir yang bergetar. Namun itu tak menyurutkan Kimberly dan Vera untuk berbelas kasihan, dan ketakutan gadis gemuk itu semakin membuat Kimberly meneruskan aksinya.

Bukan tanpa alasan Kimberly dan Vera membully gadis gemuk itu. Gadis itu sudah berani membicarakan kejelekan Kimberly di hadapan teman-temannya. Dikala gadis gemuk itu membicarakannya, dikala itu pula Kimberly sedang berjalan di sisi mereka dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Otomatis Kimberly dan Vera berang, kemudian dia membawa gadis gemuk itu ke trimbun lapangan untuk memberikannya pelajaran. Agar gadis itu tau bahwa jangan macam-macam pada Kimberly kalau tidak mau berakhir dengan aksi dipermalukan.

Kimberly menarik kerah baju gadis gemuk itu yang menyebabkan tubuh gempalnya terdorong dan itu menyebabkan ketakutan yang dirasakan gadis itu bertambah. Kemberly mengibaskan rambut  blonde-nya kebelakang dengan gerakan anggun, lalu menatap Vera dengan seringai licik.

Vera merogoh kantong plastik yang dibawanya. Membawa sebuah tepung terigu dan telur yang kemudian diberikan kepada Kimberly.

Kimberly menatap kembali pada gadis gemuk itu yang sudah berlumur keringat dingin. Lalu Kimberly menaburkan semua tepung dan telur tersebut kepada gadis gemuk itu. Dia tertawa puas dengan hasil karyanya membuat gadis itu berlumur tepung dan berbau amis dari telur.

Sedang Vera, dia sejak tadi mengambil video gadis itu sambil tertawa puas.

“Kuenya sudah jadi.” Kimberly bergaya di kamera dengan pose yang dibuat sedang memerlihatkan sebuah karya yang bagus.

Vera tersenyum kemudian menyudahi rekaman video-nya.

Gadis gemuk itu menangis sesenggukan sambil berlari keluar lapangan. Kimberly dan Vera mengamati kepergiannya dengan tertawa puas.

Kimberly melirik Vera. “Satu masalah telah selesai. Ayo cabut.”

Kimberly dan Vera melangkah keluar. Namun langkah Vera terhenti, karena dia melihat sebuah ponsel baru tergeletak di antara kursi trimbun. Vera mengambil ponsel itu dan mengamatinya. Dia baru menyadari bahwa ponsel itu milik Rasha. Vera kemudian membuka layar ponsel itu mengutak-atik sesaat.

Kimberly yang saat itu sedang berjalan, menyadari bahwa Vera tidak mengikutinya, kemudian berbalik memandang Vera di sana yang sedang mengutak-atik sebuah ponsel.

Sementara itu, Vera membelalakkan mata. Secara tak sengaja Vera membuka sebuah galeri yang memerlihatkan sebuah foto. Dia melambaikan tangan menyuruh Kimberly untuk mendekat.

Kimberly mengernyit, lalu dia menghampiri Vera sambil memandang sesuatu yang ada di dalam ponsel tersebut. Sebelum akhirnya berkata kaget, “What! Apa-apaan ini?” Kimberly merebut ponsel tersebut berniat menghapusnya. Namun tangan Vera menghentikkan tangan Kimberly yang akan menghapus foto tersebut.

“Jangan dulu. Siapa tau kita butuh foto itu.”

Kimberly menuntut penjelasan lebih dari Vera. “Tapi ini?”

Vera menyeringai licik. “Itu bisa di edit.” Dia kemudian merebut kembali ponsel itu dan memindahkan gambar tersebut pada ponselnya. Setelah pengiriman foto berhasil, Vera menghapus foto itu dari galeri ponsel milik Rasha. Lalu dia menyimpan ponsel itu di dalam sakunya, berniat mengembalikannya tanpa ada lagi foto tersebut di sana.

***

Rasha kembali ke kelasnya yang tidak mendapati sosok Kimberly dan Vera di bangku mereka. Juga keadaan kelas tampak lenggang di jam istirahat ini. Rasha duduk di kursinya dan ingatannya kembali pada sosok pria yang diyakini adalah saudara anak kembar yang paling fenomenal di SMA Cendakia. Sosok itu mengingatkannya pada malam pertukaran kemarin. Malam pertukaran yang membuat semuanya menjadi berantakan.

Rasha yang sedang duduk di bangkunya, lalu merogoh saku rok mencari keberadaan ponselnya. Tapi ponselnya tak ada. Dengan panik, dia mencari-cari ponsel itu di dalam tas, kolong meja, dan tumpukkan buku, namun tak ada sama sekali.

Di tengah pencariannya, Kimberly dan Vera masuk ke dalam kelas. Melihat gelagat Rasha mencari-cari sesuatu, Vera merogoh sakunya dan mengeluarkan benda yang sedang dicari Rasha.

Sejenak Rasha menghentikkan aktivitasnya dan mengernyit pada benda yang sedang disodorkan Vera. Helaan nafas lega Rasha mendapatkan benda itu terdengar jelas. “Akhirnya hp gue ada juga. Makasih ya, Ver.” Rasha mengambil benda itu.

Kimberly dan Vera bertukar pandang dengan tersenyum licik.

Mereka akhirnya duduk di bangku mereka masing-masing. Kimberly melirik Rasha. “Sha, lo nggak nyembunyiin sesuatu dari kita ‘kan? Maksud gue… mungkin seseorang yang lo sukai… atau apa gitu?”

Vera membalikan badan menghadap Kimberly.

Rasha kebingungan. Rahasia apa yang dia sembunyikan. Kecuali rahasia dia bercinta dengan seorang pria. Sampai kapanpun Rasha tidak akan pernah mengatakannya.

Rasha menghela napas panjang. Mungkin ada baiknya dia menceritakkan rahasia itu. Dan semoga saja Kimberly dapat membantunya. “Maaf yah, Kim. Gue suka ama kakak lo, Adriel, dari dulu.”

Jawaban yang di luar dugaan. Kimberly dan Vera membelalakkan mata, tidak percaya apa yang dikatakan Rasha barusan.

Kemudian Kimberly mengubah kembali ekspresi wajahnya. “Kenapa lo nggak bilang dari dulu? Mungkin gue akan bantu lo.”

Rasha menunduk dan memilin jarinya. Rasanya malu bila hal ini diceritakan, terlebih lagi Kimberly adalah adik dari orang dia suka.

“Kim, bantuin gue buat bilangin ama kakak lo.”

Kimberly tampak menimbang-nimbang. Dia menatap Vera sesaat dengan seringaian. “Akan kulakukan… mungkin.”

Vera melirik Rasha. “Lo nggak nyembunyinyin apapun lagi, kan?”

Rasha tertegun, selanjutnya menggeleng.

Guru masuk ketika Kimberly, Vera, dan Rasha menyudahi acara ngobrolnya. Guru itu memanggil Rasha ketika dia sudah duduk di bangku guru. Rasha menghampiri guru itu sedikit malas, karena dia sebagai sekretaris harus mau disuruh ini-itu oleh guru, dan itu hampir setiap hari dilakukan.

Sepeninggal Rasha, Kimberly dan Vera mendekatkan wajah mereka. Mereka menengok-nengok penjuru kelas, berharap tak ada yang menguping pembicaraan mereka. “Gue makin curiga dengan tingkah lakunya. Atau pulang sekolah kita bongkar kedok dia.” Kimberly menyudahi ucapannya dan menjauhkan kepalanya di telinga Vera.

Vera bersemangat, kemudian mengangguk.

Rasha kembali dari depan kelas. Dia duduk kembali dan tak menyadari seseorang tengah membicarakannya. Rasha mengernyit dengan tingkah Kimberly di sampingnya yang terus menelisik seluruh tubuhnya. “Ada yang salah, Kim?”

Kimberly tersadar dari acara menelisiknya sambil menggeleng. “Nothing.”

****

Matahari sangat terik menyinari waktu pulang sekolah ini. Rasha keluar gedung sekolah dengan tangan tersampir di kepala, menghalau kontak langsung antara kulit dan sinar matahari. Hampir setiap hari Rasha sengaja menunda pulang sekolah. Seharusnya pulang itu pukul satu tepat, tetapi dia pulang pada pukul setengah dua. Alasannya, ya, karena dia tidak mau orang mengetahui bahwa dia pulang naik angkot.

Rasha mengamati penjuru sekolah di mana tak ada seorang murid warga SMA Cendakia, kecuali anak-anak eskul, itupun Rasha tidak mengenalnya. Dia berjalan bermeter-meter jauhnya menuju tempat pemberhentian angkot yang biasa dia naiki. Tak lama, angkot itu datang, dan lantas Rasha menaiki angkot itu.

Tanpa disadari, Kimberly dan Vera sejak tadi mengamati kepergian Rasha. Ketika Rasha agak berjalan jauh, Kimberly dan Vera segera mengejarnya. Sesekali bersembunyi di balik pohon atau tong sampah.

Sejenak Kimberly dan Vera mengamati Rasha yang sedang naik angkot. Kimberly menatap angkot itu, sambil berujar tanpa mengalihkan tatapannya pada angkot itu yang sedang menaikkan penumpang. “Tuh kan, kecurigaan kita akhirnya terungkap. Lihat aja dia naik angkot. Yah pasti dia itu orang miskin.”

Ankot berjalan perlahan. Spontan Kimberly berseru, “Cepat bawa mobilnya! Buruan, kita kejar angkot itu!”

Mereka segera pergi menuju mobil mewah milik Kimberly yang terparkir tak jauh di sana. Setelah menaiki mobil tersebut yang dikemudikan oleh Vera, lantas mobil itu melaju sangat kencang mengikuti angkot yang dinaiki Rasha.

Angkot yang dinaiki Rasha berhenti di jalan yang mengarah ke gang sempit. Setelah membayar, Rasha berjalan menuju gang itu tanpa menyadari seseorang sedang mengikutinya.

Mobil mewah yang dikendarai Vera terus mengikuti angkot itu, dan ketika angkot itu berhenti, Vera yang tadinya menjalankan mobilnya cepat, mengerem mendadak, membuat Kimberly maupun Vera itu sendiri terdorong ke depan. “Buruan turun, sebelum kita kehilangan jejak!” ujar Kimberly dengan paniknya.

Rasha terus berjalan sesekali menyapa ramah penduduk kampung itu.

Dua orang itu masih setia mengikuti Rasha. Kadang-kadang berhenti lalu bersembunyi ketika Rasha sedang menengok ke samping maupun ke belakang.

Rasha tiba di rumahnya tepat pukul dua siang. Tanpa disangka ibunya tengah menunggunya di luar rumah dengan bertopang dagu. Melihat Rasha masuk ke pekarangan rumah, seketika ibunya menyambut anaknya itu dengan pelukan hangat. Rasha tertegun mendapat pelukan seperti ini. Dia berpikir kenapa ibunya masih bisa-bisanya menyayanginya, walau dia sudah melawan dan meninggalkan rumah untuk mencari sebuah ponsel. Bahkan sekarang dia dengan sayang mengusap dan mecium puncak kepalanya.

“Sayang, kamu ke mana dari kemarin gak pulang?” sang ibu melepaskan pelukan lalu menatap putri semata wayangnya khawatir.

“Aku… aku… t-tidak ke mana-mana.” Rasha mendudukkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya.

“Kamu tidak macam-macam, kan?”

Rasha menggeleng. Namun dalam hati dia membenarkan perkataan ibunya.

“Oh, syukurlah.”

Detik selanjutnya, ibunya menggiring Rasha ke dalam rumah sederhana itu dan menutup pintunya pelan.

Sementara di sisi lain, Kimberly dan Vera sedang mengamati Rasha yang tengah dipeluk ibunya di sebuah tembok yang cukup tersembunyi. Mata mereka nyaris keluar dengan mulut yang saling terbuka.

“Tuh, dia itu orang miskin,” tandas Kimberly tanpa mengalihkan tatapannya, sambil menunjuk-nunjuk pada Rasha disana dengan gelagat gemas.

Vera sempat tersadar, kemudian dia merogoh saku rok-nya mengambil keberadaan ponsel.

“Mau ngapain lo?” tanya Kimberly.

“Ambil dokumentasi.”

Vera menyesuaikan posisi kamera ke arah Rasha beserta ibu dan rumah sederhana itu. Beruntung sekali ibu Rasha hanya menggunakan daster merah marun sederhana, jadi mudah meyakinkan murid-murid yang memepercayai jika cewek itu orang kaya sebenarnya adalah orang miskin.

Satu gambar berhasil diabadikan.

Kimberly melihat hasil jepretan itu lalu dia tersenyum miring. “Besok semua sudah selesai, Sahabatku.” Dan ketika mengatakan kata terakhirnya, dia merasa ingin mintah, tapi itu terdengar lebay.

Setelah itu, Kimberly dan Vera berlalu untuk kembali ke mobilnya dan pulang. Mereka membayangkan reaksi seperti apa yang akan mereka dapatkan ketika mengetahui bahwa Rasha itu orang miskin. Sebelum itu, Kimberly dan Vera memang tidak sepenuhnya berteman dengan Rasha. Hanya saja sebelum kebohongan cewek itu terungkap, Kimberly dan Vera percaya Rasha itu orang kaya raya. Jadi Kimberly dan Vera tak segan untuk berteman dengannya. Namun, ketika dia melihat kenyataan ini secara langsung, dia tidak sudi lagi berteman dengannya.

***

Suasana di kediaman Ardinata tampak bersitegang. Randy menatap adiknya dengan tatapan bengis. Semenjak pulang dari sekolah memang Randy sudah jengah dengan kelakuan Adriel. Dia menyeret Adriel pulang, walau sering Adriel pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah. Tapi kali ini, tiap kali Adriel memiliki masalah di sekolah, pasti Adriel akan menurut dengan kakaknya.

Adriel sedang duduk di sofa dengan satu kaki dinaikkan ke kaki lainnya, juga tangan yang dilipat di dada. Dia lalu mendengus mendapatkan tatapan seperti itu dari kakaknya.

“Mau sampai kapan kamu mau seperti ini terus, Adriel? Apakah kurang kasih sayangku padamu… hingga kau seperti ini?”

Mendengarkan pertanyaan itu, Adriel hanya memberikan tatapan meremehkan dengan menyungging senyum licik. “Yang kurang adalah, Kakak gila kerja. Sebagai gantinya, aku gila nakal.” Adriel menunjuk di depan wajah kakak sulungnya dengan tatapan sinis, kemudian dia mengambil jaket hitam yang tersampir di pinggiran kursi sambil berlalu keluar rumah, dengan jeblakkan pintu yang menggelegar di seisi rumah Ardinata yang sangat sepi.

Randy mengacak-ngacak rambut gusar. Dia teringat kata-kata Adriel di bagian terakhir yang seakan menohoknya. Randy menggelengkan kepala. Mengenyahkan kata-kata itu lalu melirik Raihan yang sedang belajar di sana. “Jaga adik-adikmu! Jangan pada rumus terus.”

Raihan melirik sekilas dengan tatapan datar, lalu kembali menekuri rumus-rumus itu lagi.

Randy menghempaskan tubuhnya di sofa. Tak lupa dia melonggarkan ikatan dasinya agar tidak terlalu mencekik. Tiba-tiba terdengar pintu depan berderit dan terbuka, menampilkan sosok anggota keluarga yang belum pulang. “Dari mana kamu!?”

Kimberly terdiam sejenak di balik pintu seolah terhakimi, kemudian menggeleng.

***

Rasha menurut pada ibunya yang bernama Marlina untuk masuk. Tak hanya di luar saja Marlina terus saja memeluk Rasha, bahkan sampai di dalam rumah pun Marlina terus-terusan memeluknya. Seakan-akan Rasha itu sudah menghilang selama bertahun-tahun. “Ayo, Nak, kita makan.”

Rasha mengangguk. Ibunya mencekal lengan Rasha menuju meja makan, yang sana sudah tersaji banyak hidangan. Melihat banyak makanan itu, kontan perut Rasha ikut keroncongan.

Marlina mendudukkan Rasha di salah satu kursi yang ada di meja makan. Tanpa berganti seragam dan tanpa melepaskan tas, Marlina tetap menyedokkan nasi beserta lauk-pauk pada piring, sampai piring yang digunakan Rasha tertutup penuh hidangan. “Ibu tau kamu pasti pulang, jadi Ibu masakin makanan ini buat kamu.” Sekali lagi Marlina menggenggam tangan Rasha dengan tersenyum hangat.

Rasha merasa malu jika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Bagaimana tidak, ibunya telah rela berkorban demi dia, tapi dirinya telah menghancurkan pengorbanan ibu itu. Rasha menunduk, memilin jarinya dan tersenyum getir. “Ibu gak sedih punya anak kayak aku? Aku keras kepala, sering melawan Ibu, bahkan pergi meninggalkan rumah.”

Marlina tersenyum pedih, menatap hidangan yang masih mengepul itu dengan tatapan mengawang. “Ibu hanya menjalankan perintah Tuhan aja bahwa kamu itu titipan dari Tuhan yang paling berharga. Jadi seharusnya Ibu menjaga dan merawat kamu.”

Rasha mendongak. Setetes air bening menggenang dan mengucur dari pelupuk matanya. “Kalau misalnya aku mengecawakan Ibu. Mungkin seperti menghilangkan kehormatanku atau perbuatan keji lainnya yang mungkin aku jalani. Apakah ibu akan terus menerimaku?”

Marlina kembali tersenyum sambil mengusap pipi putri semata wayangnya.

“Itu tidak mungkin terjadi, karena Ibu percaya padamu. Lagian mana mungkin anak Ibu yang cantik ini melakukan itu.” Marlina mencubit pipi Rasha dengan gemas, tanpa menghilangkan senyum di bibirnya.

Setelah selesai makan, Rasha masuk ke kamarnya. Tak jauh beda, kamar itu seperti sedia kala, yaitu rapi. Meski kamar itu sederhana, tapi di sana menyimpan kenyamanan tersendiri. Dia duduk di tepi ranjang. Mengamati sekilas kamarnya yang tampak bersih. Namun tatapannya tertuju pada sebuah kotak kecil yang tersimpan di meja belajar. Kotak itu terbungkus kertas kado berwarna merah muda dengan pita melilit di sekeliling kado tersebut. Rasha mengamatinya sesaat, kemudian mengambilnya dan duduk di kursi belajar, sedang kotak kado itu disimpan di pangkuannya.

Rasha membuka pita yang membungkus kotak tersebut, disusul dengan kertas kadonya. Setelah semua terbuka, Rasha kembali mengernyit. “Sebuah ponsel?”

Di dalam kotak itu terdapat sebuah ponsel berukuran kecil yang masih menggunakan tombol. Rasha berspekulasi bahwa ponsel itu tak lebih dari harga 200 ribu. Tapi kenapa ibu memberikannya ponsel?

Pertanyaan itu menggantung tat kala pintu kamar Rasha terbuka, menampilkan sosok ibunya yang menggunakan daster sedang melongokkan kepala pada pintu kamar.

“Sudah buka kadonya?”

Rasha memandang Marlina dengan mata berkaca-kaca. Detik selanjutnya dia menubruk dan memeluk Marlina.

“Kenapa Ibu kasih ini buat aku?”

Marlina mengusap belakang kepala Rasha, tanpa melepas pelukan itu. “Karena kamu ‘kan tidak punya ponsel, jadi ibu belikan. Maaf yah Ibu gak bisa ngasih handphone bagus buat kamu, Ibu hanya bisa ngasih ini.”

Rasha melepas pelukan itu dan menatap mata ibunya. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa ibu akan membelikan dia ponsel. Padahal ibunya harus bekerja lebih keras demi membelikannya barang itu. Dan ponsel tersebut tak seberapa dengan yang kini Rasha miliki dari penukaran itu. Namun ponsel yang diberikan ibu lebih baik dibanding miliknya dengan cara yang tak bermoral.

“Aku suka kok. Makasih yah, Bu.”

 


Update insyaAllah pada hari selasa dan sabtu.

 

9 Komentar

  1. Wow wow wow ketemu Randy euyy hihi
    Kasian rasha ny huhuhu
    Siap2 apa yg terjadi sma rasha nnt huhu
    Wahhh ibu ny sayang bngt ya ama rasha
    Semangat trs ma

    1. Ntar tunggu aja di bab 6. Akan ada kejutan haha

  2. :ragunih Jd kejutan nih

    1. Kejutan apa yaaa

  3. Wahhh, bakal ada kejutan nih di next part

    1. Apa ya kejutannyaaa

  4. Namanya Randy???

    1. ???

  5. Ditunggu kelanjutannyaa