Vitamins Blog

DWINA part 23

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

23. Imajinasi

 

Happy reading…

Dinner romantis. Coret

Mengantar Putri ke psikiater. Coret

Janjian ke salon dengan Tari dan Sella. Coret

Rasa pening menyerang kepala Dwina. Dia terpaksa membatalkan setiap janjinya pada orang-orang karena harus mengganti jadwal praktikum yang tidak dia ikuti kemarin selama masa trauma dan liburan ke pulau Tidung.

Dalam seminggu Dwina memiliki sepuluh jam kelas praktikum sesuai dengan sks yang dia ambil. Berhubung minggu ini dia mengejar absensinya. Jadilah lima belas jam dirinya harus menetap di dalam laboratorium. Membayangkannya saja sudah melelahkan tubuhnya.

Dwina berdecak sebal sambil memebenturkan pelan kepalanya di atas meja belajarnya. Belum lagi dia harus menyelesaikan skripsi.

Oh My God….

Ibu…

Alam bawah sadar Dwina meneteskan air mata. Dari awal, para mahasiswa farmasi paling gengsi berurusan dengan absensi praktikum. Pasti akan di pusingkan dengan tim perkuliahan, kalau nekat tidak ingin mengganti absesnsi praktikum tidak akan di bolehkan mengikuti ujian. Itu gawat sekali! Siapapun akan menolak mengulang kelas tahun depan.

“Dek… makan dulu” Bu Aminah sebal harus berulang kali memanggil Dwina yang tak kunjung keluar kamar.

“Iya…”

“Kalau iya. Cepetan kamu keluar, makan!” omel Bu Aminah sembari mengganti chanel tv ke sinetron India favoritenya, dia sudah ketinggalan setengah jam dari waktu tayang.

Dwina menyeret kakinya malas keluar kamar. Ekspresinya sangat melas meratapi takdir. Di ambilah piring dari rak piring kemudian menyendok nasi dari ricecooker dan mengambil lauk tanpa berniat menyiduk sayur. Hari ini dia tidak bernafsu untuk melahap makanan berwarna hijau itu. Lalu dia ikut duduk di sebelah Ibunya, memandang jenuh pertikaian penuh dramatis pada tayangan tv.

“Jangan bersikap seperti itu, aku tidak suka”

“Jangan bersikap seperti itu, aku tidak suka” Dwina mengikuti ucapan tokoh sinetron India dengan akting lebih mendramatisir.

“Kau harus tau. Aku cinta mati padamu”

“Aku nggak tau lagian kamu nggak pernah bilang” balas Kak Bayu juga ikutan nimbrung duduk di atas sofa. Dwina terbahak mendapati muka sebal Ibunya karena di ganggu oleh kedua anaknya. Adegan penuh haru jadi berkurang feellnya.

“Bu, Dwina di lamar sama Arya” seru Bayu dan langsung membuat Ibunya tersenyum senang. Sekalipun Ibunya tidak pernah di beri tahu kalau sudah banyak pelamar Dwina yang berdatangan. Akibatnya, Dwina menjadi sasaran empuk mendapati sindiran pedas Ibunya yang mengatakan anak perawannya nggak laku-laku.

“Ya Allah. Alhamdulillah” Bu Aminah menintihkan air mata.

“Terus kapan mau datang ngelamar resmi ke rumah?”lanjutnya

“Tau sendiri bu. Dwina sibuk kuliah. Paling tahun depan tunggu kelulusan”balas Kak Bayu terdengar ogah-ogahan

“Jangan! nggak boleh lama-lama kalau mau nikah malah nggak baik”

Dwina diam saja. Biarkan hal ini menjadi urusan para orang tua. Pasti semua akan memberikan saran terbaik untuknya.

Ibunya sangat bersemangat dan langsung menelpon Ibunya Arya untuk membicarakan acara pernikahan yang akan lebih baik di adakan sebelum kelulusan atau sesudah kelulusan Dwina. Apalagi Dwina harus menyelesaikan skripsi sampai akhir tahun ini.

Deg deg kan?

Belum. Dwina masih belum merasakan hal seperti itu karena otaknya berpikir pernikahannya akan di adakan dalam jangka waktu yang masih lama. Tidak perlu terburu-buru, rencanakan semuanya dengan perlahan agar berakhir bagus.

Tapi sayangnya para orang tua sudah gencar ingin menikahkan Dwina dengan Arya. Bahkan mau diadakan pada bulan depan. Seketika Dwina panik abis.

“Jangan bulan depan!” tolak Dwina saat mendengar Ibunya berbicara di telpon dengan Bu Ati.

“Udah kamu diem aja. Nanti tinggal terima beres”

“Hah…Gue nggak mau nikah secepat itu!” rengek batin Dwina. Kenapa kata-kata itu begitu sulit untuk keluarkan. Mulutnya seolah terlem rekat.

Dwina sudah tidak bisa lagi menelan makanannya, perutnya terasa melilit dan memilih berhenti makan. Kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Tak lepas telinganya menangkap pembicaraan Ibunya sedang menelpon.

“Nanti saya tanyakan pada Dwina mau akan adakan di mana resepsinya”

Setelah hampir satu jam menelpon akhirnya pembicaraan itu berakhir. Helaan napas keluar Dwina bersamaan dengan Bu Aminah.

*

*

*

Selama seminggu ini Dwina hanya bisa sekali bertemu dengan Arya. Dwina sibuk kuliah dan Arya sibuk pada proyek pembangunannya. Bahkan sangking sibuknya, keduanya tidak saling menelpon atau sekedar mengirim pesan. Untung saja tak ada yang keberatan dengan keadaan mereka satu sama lain.

Sekalinya bertemu, Arya datang bersama keluarganya untuk lamaran. Keponakannya juga pada ikut. Dan Dwina sudah gregetan ingin menggendong Serin yang baru datang. Bayi mungil itu kini sudah tumbuh lebih gemuk. Pipinya sangat gembil dan lembut.

“Aku mau gendong” ujar Dwina pada Kak Bika yang baru saja memasuki rumah. Kangen sekali menghirup aroma minyak telon di tubuh Serin.

“Nanti aja selesai lamaran” bisik Bu Aminah lalu menarik Dwina agar duduk manis di atas sofa.

Muka Dwina langsung ketekuk. Sekarang Arya muncul merangkul lengan Bu Ati. Memang benar kalau orang mau nikah auranya makin menjadi-jadi. Semua kalah dengan pemeran utama. Dwina langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain karena kesilauan dengan kegantengan Arya.

“Calon mantu…” Bu Aminah sangat sumringah saat Arya mencium punggung tangannya.

Setelah semua berkumpul duduk di ruang tengah. Para orang tua saling membahas perihal lamaran sekaligus membahas pernikahan yang akan di adakan sebulan lagi.

Dwina kaget tangannya di cubitin oleh Ibunya supaya berhenti mengunyah makanan yang tersedia di atas meja. Nggak enak memang di lihat sama calon besan, tapi ini cara satu-satunya agar dia tidak gugup.

“Sakit Ibu..” Dwina mengeluh

“Kamu itu kalau makan celemotan. Malu!” balas Bu Aminah sambil menggegat ketat rahangnya. Tangannya bergerak membersihkan mulut Dwina dengan sapu tangan yang berada di genggamannya.

Butuh waktu lama untuk mengakhiri acara ini. Tubuh Dwina pegal-pegal kebanyakan duduk. Semua sudah orang bisa bebas melakukan apapun. Para laki-laki mengobrol membahas pengalaman hidup mereka satu sama lain begitu juga para perempuan ngerumpiin banyak hal. Sedangkan Dwina duduk di gazebo sembari meneguk perlahan sirup. Matanya mengawasi para keponakan Arya yang sedang berlari-lari takut ada yang jatuh dan terluka. Biasa anak kecil, hiperaktif.

“Dwina” Dwina menoleh menatap Arya. Oh iya… mereka belum sempat saling mengobrol selama seminggu.

“Duduk..” Dwina tersenyum menepuk sebelahnya. Arya mengikuti permintaan itu tanpa melepaskan pandangannya.

Hati Dwina berdesir saat Arya mengambil salah satu tangannya kemudian di tempelkan di pipi laki-laki itu “kangen” eluh Arya.

“Baru juga seminggu” balas Dwina terkekeh. Padahal dirinya juga merindukan laki-laki tersebut. Arya sekarang terbalut baju batik berlengan pendek berpadu dengan celana khaki coklat, dia tampil begitu baik dan tak luput pergelangannya melingkar sebuah jam tangan pemberiannya.

“Aku nge-fans benget sama kamu”

“Hah?” Arya tertawa bingung pada apa yang Dwina katakan. Kalau Dwina mengatakan sayang padanya, dia menyukai itu. Namun, Dwina mengatakan nge-fans padanya? itu sangat aneh.

“Waktu Putri dulu masih pacaran sama kamu. Dia nggak berhenti ceritain tentang kamu. Kamu itu kayak laki-laki di dalam novel. Ganteng, pinter, perfect deh..” giliran Dwina menertawakan dirinya sendiri.

“Tapi aku nggak pernah berharap ketemu sama kamu”lanjut Dwina.

“Kenapa?” tanya Arya penasaran. Alam bawahnya merasa gugup menunggu penjelasan lengkap Dwina.

“Karena kamu hanya ada di imajinasi aku dan aku kaget banget tiba-tiba kamu ada di dalam rumah aku, terus kita pergi bareng ke Bandung”

“Itu namanya jodoh”

“Iya kali ya? tapi aku masih nggak nyangka kamu ngelamar aku” Dwina meringis membayangkan takdirnya berjalan tak terduga dan tatapan mesum Arya pada pertama kali mereka saling bertemu, membuatnya jengkel setengah mati.

“Dan sebentar lagi aku bakalan miliki kamu” untuk ke dua kalinya Arya mencium punggung tangan Dwina. Desiran hangat mengisi perasaan Dwina. Ternyata dirinya sudah jatuh cinta pada Arya dari sebelum mereka saling bertemu.

10 Komentar

  1. aduh yang lagi kangen-kangenan manis banget sih,,,

  2. Ichhh…. Romantisnya…. hihhaaa…

  3. Ichhh…. Romantisnya…. hihhaaa… Hehe

  4. Ga ketemu sekalinya ketemu bawa rombongan hihihihi
    Dwina ngefans sama arya bukan suka sama arya hahhahha
    Smua secara ga langsung berkat putri juga yach mereka bisa berjodoh

  5. Ciyeee yg lepas kangen

  6. fitriartemisia menulis:

    Duilehh, meleleh yang baca hahaha

    1. ???

  7. Romantisnyaaa???

    1. ???

  8. Ditunggu kelanjutannyaa