Apakah obat memang semengerikan itu?
***
“Lis, lo kok sendirian? Marrie mana?” tanya Rian saat melihat Lisa hanya berangkat sendiri.
“Marrie nggak masuk hari ini. Dia lagi demam,” jawab Lisa.
“Demam?”
“Iya. Kemarin dia keluar, entah kemana, dan baru pulang jam 7 malam. Mana basah kuyup lagi badannya. Kemarin dari sore hujan gede sih. Kayaknya dia nerjang hujan,” jelas Lisa. “Gue ingat kemarin waktu dia masuk ke kamar. Dia bilang gini, ‘Lis, kayaknya gue demam’, terus badannya langsung ambruk ke lantai. Dan herannya, dalam keadaan nggak berdaya kayak gitu pun dia masih aja keras kepala. Dia nggak mau minum obat yang udah gue beliin buat dia,” jelasnya lagi dengan nada kesal. Ia kesal sekali dengan sifat Marrie yang keras kepala itu. Ingin sekali dia memaksa Marrie agar gadis itu mau meminum obatnya. Tapi melihat kondisi gadis itu, ia jadi tidak tega.
“Lo kayak nggak tahu Marrie aja. Dia kan alergi sama rasa dan bau obat. Jadi sebisa mungkin dia jauh-jauh dari benda bernama obat itu,” terang Rian. Ia ingat dulu waktu gadis itu pingsan karena kelelahan saat mengikuti MOS di sekolah, sampai-sampai pihak sekolah harus membawanya ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Dokter memberinya resep obat yang harus ia beli. Namun gadis itu menolaknya mentah-mentah dengan alasan ia alergi dengan bau dan rasa obat yang pahit. Sepertinya ia harus turun tangan untuk menghadapi gadis itu.
***
“Nih, minum obatnya!” suruh Lisa. Marrie yang sedang membaca buku pun terpaksa mendongakkan kepalanya untuk melihat temannya itu. Dan sedetik kemuadian matanya membelalak lebar. Ngeri melihat obat yang disodorkan oleh Lisa.
“Nggak mau ah. Pahit tauk,” Marrie menolahnya mentah-mentah, mendorong jauh tangan Lisa yang terulur kepadanya. Lalu dengan santainya ia melanjutkan acara membacanya. Tidak memedulikan omelan Lisa setelahnya.
“Issshh, anak ini. Terus mau lo apa, hah? Lo mau obat yang manis? Sirup, gitu? Lo pikir umur lo berapa, gundul?” ujar Lisa jengah. Bagaimana bisa ada gadis yang sudah berusia 17 tahun masih merengek-rengek tidak mau minum obat? Aissshh…. sepertinya hanya Marrie saja, gerutu Lisa dalam hati. Ia berpikir sesaat, mencari cara agar temannya ini mau meminum obatnya.
“Aha!” seru Lisa setelah mendapatkan ide, membuat Marrie yang sedang menekuni bukunya terlonjak kaget. Ingin sekali ia mencekik leher gadis itu karena telah membuatnya kaget, dan tentu saja membuatnya kehilangan konsentrasi membaca.
“Lo tunggu di sini! Jangan kemana-mana, oke?” Marrie hanya menatap Lisa yang berlari ke luar kamar dengan wajah bingungnya. Mau apa anak itu? Dan sedetik kemudian terdengar pintu yang ditutup dengan keras, membuat Marrie lagi-lagi terlonjak kaget.
“Lisa!!! Awas ya lo!” jeritnya kesal, dan tanpa pikir panjang melemparkan bukunya ke arah pintu. Sakit benar-benar membuat emosinya menjadi tak terkendali.
Dengan kesal Marrie turun dari ranjang dan memungut bukunya yang tadi dilempar ke arah pintu. Saat sedang menunduk untuk memungut bukunya, tiba-tiba pintu di depannya didorong masuk oleh seseorang. Membuat kepalanya terbentur pintu dengan keras hingga ia merasakan pusing seketika itu juga. Ia mengusap-usap kepalanya yang sepertinya benjol itu, sambil memungut buku lalu berdiri dan berniat mengumpat orang yang berani-beraninya membuat kepalanya benjol. Siapa lagi kalau bukan Lisa?
“Sialan lo Lis…” umpatannya terhenti ketika melihat ternyata bukanlah Lisa yang mendorong pintu itu.
“Lis?”
“Oh, Rian,” ucapnya kaku. Tiba-tiba ia merasa gerogi. Dan tanpa ia sadari, tangannya masih saja mengusap-usap kepalanya yang masih terasa sakit.
“Kepalamu kenapa?” tanya Rian.
“Oh, ini…. Barusan kepentok pintu pas kamu buka. Tadi aku lagi….”
“Sakit ya?” sela Rian. Dan tanpa sadar mengulurkan tangannya. Mengusap-usap kepala Marrie dengan gerakan lambat. Membuat Marrie terpaku di tempat.
“Maaf,” ucap Rian, menyesal telah membuat gadisnya mendapatkan tambahan penyakit. Niatnya datang ke tempat kos Marrie adalah untuk menjenguk gadis itu yang sedang sakit, dan memastikan sendiri bagaimana keadaan gadis itu. Tapi yang dilakukannya sekarang malah membuat gadis itu tambah sakit.
Suasana seketika hening. Baik Marrie maupun Rian tidak ada yang bersuara.
“Mer, ini gue bikinin…. teh,” ujar Lisa tiba-tiba. Membuat Rian kaget dan buru-buru menjauhkan tangannya dari kepala Marrie.
“Oh? Ada Rian ternyata,” ucap Lisa senang. Sepertinya pria ini bisa menaklukkan teman sekamarnya yang keras kepala itu.
“Lo bawa apaan Lis?” tanya Marrie sambil berjalan ke arah tempat tidurnya lagi. Di belakangnya, Lisa dan Rian mengikuti.
“Gue bawa teh nih, buat lo. Tadi lo bilang nggak mau minum obat karena obatnya pahit kan? Jadi gue bikinin teh aja. Terus ini ada pisang. Kata ibu kos dia sering minum obat pakai pisang, dan obat itu jadi nggak kerasa pahit. Mungkin lo mau coba?” jelas Lisa panjang lebar. Marrie hanya terbengong-bengong mendengarkan penjelasan Lisa. Kalau biasanya gadis lain akan terharu melihat temannya yang perhatian, maka hal itu tidak akan berlaku untuk Marrie. Gadis itu benci sekali dengan yang namanya obat. Tapi temannya ini malah mengusahakan segala cara agar dia mau meminum obatnya. Itu sama saja dengan menyuruh Marrie untuk bunuh diri! Oke itu berlebihan.
“Tapi kan Lis,” ujar Marrie, hendak memprotes Lisa. Ia mengeluarkan jurus andalannya, puppy eyes. Biasanya jurus itu bisa menaklukkan Lisa. Mungkin saja jurus itu masih mempan terhadap gadis itu.
“Jijik tauk Mer,” ujar Lisa sadis sambil mendorong kepala Marrie. Membuat Marrie mengumpat-umpat dalam hati. Ah, sialan lo, Lis! Awas aja lo. Kalau gue udah sembuh, abis lo!
“Atau…. Lo mau Rian yang nyuapin obat?” tanya Lisa, bermaksud menggoda Marrie. Dan hal itu berhasil membuat wajah Marrie memerah.
“Pangeran berkuda putih yang tampan, datanglah kemari. Putrimu yang cantik ini ingin disuapi olehmu,” kata-kata yang Lisa lontarkan itu sukses membuat perut Marrie menjadi mual seketika. Astaga, bagaimana dia bisa memiliki teman yang menjijikkan seperti itu? Apa itu pangeran berkuda putih? Memangnya dia anak kecil apa?
Marrie melihat Rian mendekat ke arah ranjang dengan senyum aneh menghiasi wajahnya. Seperti sedang menahan tawa yang bisa meledak kapan saja.
“Ini obatnya, dan ini minumnya. Kamu harus buat Putrimu yang keras kepala itu mau minum obat ini. Kalau nggak, jangan harap kamu bisa pulang dengan selamat, pangeran! Mengerti? Do you understand?” suruh Lisa menyerahkan obat itu kepada Rian. “Gue pergi dulu. Mau ngerjain PR sama Mona. Bye bye putri cantik!” lanjutnya, lalu melenggang pergi. Keluar dari kamar.
“Huh, dasar Mona Lisa,” ujar Marrie kesal. Hah… lagi-lagi temannya itu bisa kabur dengan alasan yang masuk akal. Membuatnya tidak bisa mencegahnya dan terkurung dengan pria yang sekarang sudah berstatus sebagai pacarnya itu.
“Jadi, kamu mau minum obat apa nggak?” tanya Rian, menyodorkan obat yang ada di tangannya ke depan wajah Marrie. Marrie menimbang-nimbang sejenak. Minum, atau tidak ya?
“Kalau aku mau minum obat itu, aku dapat apa?” tanya Marrie. Astaga…. Apakah sakit bisa membuat orang menjadi kekanakan seperti ini?
“Yaampun… Jadi kayak gini kelakuan pacarku kalau lagi sakit? Manja banget,” goda Rian, membuat Marrie gugup. Sejak kapan pria itu jadi suka menggodanya seperti Lisa?
Marrie membalikkan badannya memunggungi Rian. Berharap pria itu tidak melihat wajahnya yang memerah.
“Kalau kamu nggak suka, kamu bisa cari cewek lain buat kamu pacari,” ujar Marrie asal.
“Sayangnya aku suka. Aku suka sifatmu yang manja itu. Asal jangan ditunjukin ke cowok lain aja,” jawab Rian. Kali ini Marrie semakin menyembunyikan wajahnya. Ia yakin wajahnya sekarang sudah semerah tomat.
“Nih,” tangan Rian terulur, mengulurkan sebatang coklat ke depan wajah Marrie. Marrie tersenyum senang. Namun beberapa detik setelahnya, coklat itu sudah hilang dan digantikan oleh obat pahit yang sangat dibenci Marrie. Membuat senyum itu hilang dan digantikan wajah cemberutnya. Hah, sepertinya ia tidak bisa menang melawan Rian. Pria itu tahu saja kelemahannya.
Marrie berbalik, menemukan Rian yang tengah tersenyum penuh kemenangan. Pria itu mengulurkan coklatnya lagi. Kali ini benar-benar memberikannya pada Marrie. Lalu mengulurkan tangannya lagi, kali ini untuk menyuapi Marrie obat. Gadis itu menurut. Membuka mulutnya, membiarkan obat itu masuk ke mulutnya dengan tidak rela. Dan sedetik kemudian ia bisa merasakan rasa pahit itu di lidahnya. Buru-buru ia merebut gelas yang Rian sodorkan kepadanya. Rasanya pahit sekali. Ia meminum teh yang ada di gelas itu banyak-banyak. Menghilangkan rasa pahit obat yang diminumnya.
“Nah… udah kan? Nggak kerasa pahit lagi kan?” tanya Rian.
“Tetep aja awalnya pahit,” gerutu Marrie, mengingat-ingat rasa pahit obat tadi. Ia jadi ingin mengeluarkannya lagi.
“Segitu mengerikannyakah obat buat kamu?”
“Hmm… Bener-bener mengerikan,”
“Makanya, jangan buat tubuhmu sakit. Jadi kamu nggak perlu minum obat,” ujar Rian. Terdengar helaan nafas dari mulutnya. “Berjanjilah kamu nggak akan sakit lagi. Berjanjilah untukku.”
Manisnya,,
Aihhh co cweet bngt Rian hihi
Cuzz ke part selanjutny
Duh Rian, kan jd pengen
eyyy riaaann haha
Tuhkan so sweet. Jadi mupeng kaaaaan??