Vitamins Blog

DWINA part 19

Bookmark
Please login to bookmark Close

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

19. Tercekat

Pikiran Dwina tersita membayangkan betapa malasnya dia harus berurusan dengan tim perkuliah karena ia mengambil cuti kuliah selama beberapa hari kedepan. Ditambah lagi ia mengira akan tetap berada di rumah sampai keadaannya membaik. Beberapa menit yang lalu tepat jam empat pagi Ibunya masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam ransel miliknya. Karena merasa terganggu Dwina terpaksa bangun kemudian bertanya apa yang terjadi, tapi Ibunya tidak menggubris perkataannya sama sekali.

Dwina yang masih setengah mengantuk hanya menurut saja saat Ibunya memintanya untuk mandi air hangat lalu berganti pakaian. Dan dia masih diam saja ketika rambutnya disisir rapih oleh Ibunya.

Sebuah mobil Audy terpakir di depan kediaman rumah Dwina. Arya kini sedang mengobrol dengan Ayahnya Dwina membahas tentang beberapa alat berat yang akan di pamerkan oleh beberapa sponsor sekaligus untuk pemeriksaan mesin akhir bulan ini. Berhubung mereka memiliki profesi pekerjaan yang sama, pastinya keduanya sangat menikmati obrolan mereka. Termaksud membahas beberapa pengalaman hebat selama pengerjaan proyek pembangunan.

Sedangkan Bayu masih menguap saat menjemput Juwita. Ah.. iya, kemarin dia memaksa Juwita untuk menerimanya kembali setelah ketahuan tidak sengaja berciuman dengan perempuan lain. Sebenarnya salahnya juga tidak langsung mengusir wanita murahan itu dari hadapannya saat di dalam club malam. Mungkin itu adalah karma untuknya karena telah menjadi laki-laki brengsek. Beruntung Juwita memaafkannya dengan syarat tidak akan ada kesempatan kedua.

Juwita terus mengomel karena tiba-tiba Bayu mengubah informasi keberangkatan mereka minggu depan menjadi hari ini. Secepat mungkin Juwita menyiapkan semua keperluannya padahal biasanya dia akan membuat list yang berisi apa saja yang akan dia bawa nantinya.

Sewaktu Bayu tiba di apartemen Juwita, laki-laki itu menumpang tidur selama beberapa menit di atas sofa. Senang sekali ia bisa tidur lebih lama karena perempuan pasti akan lama untuk bersiap-siap apalagi untuk menginap beberapa hari kedepan.

“Kamu belum mandi ya?” tanya Juwita pada Bayu saat perempuan itu ingin mengambil obat dari kulkas dan pastinya melewati sofa.

“Udah. Kemaren sore”

“Jorok kamu… aturan mandi dulu sebelum jemput aku” omel Juwita akhirnya mengambil parfum dari tas tangannya lalu menyemprotkan pada Bayu. Mau saja ya dirinya pacaran dengan orang seperti Bayu. Dianya sudah dandan cantik mau ketemu pacar, eh malah pacarnya jemput dia belum mandi. Padahal tadi dia sekuat tenaga mandi menggunakan air dingin supaya cepat melek.

Juwita mengabsen satu per satu barang miliknya. Underware, bra, make-up, sepatu, sendal, kaos, baju tidur, celana, baju renang, obat, powe bank, oh.. ponselnya ketinggalan masih di charger. Kalau itu sampai ketinggalan, setengah jiwa Juwita akan hilang dari peradaban. Ia tidak bisa membayangkan liburan tanpa ponselnya.

Setelah siap, Juwita menggebrak Bayu agar bangun, waktu mereka tinggal sedikit lagi. “Cuci muka dulu” Bayu menuruti ucapannya.

Bayu mengemudi dengan fokus. Awalnya Juwita ketakutan Bayu akan kesulitan melawan rasa kantuknya. Beruntung sekali jarak rumah Bayu dari apartemennya tidak perlu memakan waktu banyak. Saat sampai, Juwita memberi menyapa kedua orang tua Bayu, Dwina dan Arya.

“Kamu belum mandi?” tanya Bu Aminah penuh emosi.

Bayu hanya membalas dengan deheman pelan, tanpa mau peduli dia langsung melesat ke dalam kamar untuk mandi dan bersiap-siap.

Namanya juga laki-laki, semua bisa selesai dalam waktu cepat. Bayu kembali dengan tampang segar. Rambutnya basah habis berkeramas dan tangannya sudah menenteng ransel, berbeda dengan Juwita membawa koper kecil.

Mereka berempat berangkat. Bayu menolak untuk mengemudi karena dia masih ingin tidur kembali. Kasihan juga, dia baru menyelesaikan proyek untul enam bulannya kedepan hingga jam setengah dua pagi supaya liburannya menjadi tenang tidak di hantui oleh pekerjaan.

“Kita itu mau kemana sih?” Dwina cemberut sebal karena tak ada yang mau memberinya jawaban. Kalau misalkan ini benar liburan, bukankah malah bagus. Tapi maksudnya apa merahasiakan semua ini darinya. Bukankah tidak ada untungnya.

Tangan Arya membelai lembut pipi Dwina sekaligus memandang jalan dengan tatapan tersenyum. Biarkan Dwina menebak tujuan mereka, supaya perempuan itu lupa dengan traumanya. Arya sedikitpun tidak bisa membiarkan Dwina jauh dari pandangannya. Selalu saja dia mengkhawatirkan perempuan itu. Bukan dari kejadian mengerikan itu. Namun, dari awal mereka bertemu. Ada perasaan takut saat Dwina kesulitan akrab dengan keberadaaanya. Apalagi Dwina sering menyembunyikan perasaannya hal itu membuatnya frustasi.

Mobil telah melewati pintu gerbang Ancol. Alam bawah sadar Dwina makin di buat bertanya-tanya untuk apa sepagi ini ke Ancol. Dwina memandang Arya ingin tertawa merasakan hawa penasarannya.

“Ngapain kita ke Ancol jam segini? Dufan belum buka” celetuk Dwina menikmati pemandangan dari balik kaca mobil.

“Lihat aja nanti” selalu balasan seperti itu yang di dapat Dwina dari Arya.

“Kita mau ke kepulauan seribu, Pulau Tidung” jawaban Juwita membuat rasa haus penasarannya langsung tersiram.

“Wow…”.

“Ngapain sih kamu ngasih tau dia…” Kak Bayu mencubit gemas kedua pipi Juwita yang tembam, seketika itu juga Juwita mengaduh kesakitan.

“Seneng?” ledek Arya mengacak rambut Dwina membuat si empunya mencebik sebal mencoba merapihkan kembali tatanan rambutnya yang telah di sisir rapih oleh Ibunya.

“Iya seneng dong mau di ajak jalan-jalan” mata Dwina membulat kegirangan sambil cengengesan seolah tanpa dosa.

“Bayar nggak gratis” seru Bayu nyolot.

“Kok gitu sih, kan aku nggak tau kalau mau kesana jadi aku mana mungkin udah nyiapin uang”

“Arya turunin aja dia sekarang. Dia nggak bawa uang, nggak modal”

Arya terbahak mendapati Dwina mencoba menggapai Bayu untuk membalas dendam dengan cubitan mautnya. Bayu meringkuk di pojokan memeluk erat kakinya ketakutan. Dwina kalau nyubit itu kecil tapi perihnya minta ampun.

“Cepetan sini Kak!!” jerit Dwina terendam suara deru mobil.

*

*

*

Ternyata keberangkatan kapal ke pulau Tidung hanya ada jam tujuh pagi di Marina Ancol. Jadi, harus datang lebih awal agar tidak ketinggalan kapal.

Arya menaikkan resleting jaket milik Dwina. Perempuan ini jangan sampai kedinginan terkena angin laut. Dwina yang berhadapan langsung dengan Arya tetap merasa gugup atas tindakan Arya  padahal akhir-akhir ini dia sering sekali di beri perhatian lebih. Seperti menggendongnya, memeluknya bahkan sampai berani mengecup lehernya. Ia juga tidak mengerti jalan pikiran Arya melakukan tindakan aneh seperti itu.

“Kita kesini mau liburan jadi, jangan sampai sakit” Dwina memberi anggukan cepat.

Kemudian Arya menautkan jemarinya pada Dwina untuk duduk di sebelahnya. Mungkin ini bukan pilihan yang baik berhubung timming-nya kurang tepat. Tapi, sepertinya Dwina harus tahu kebenaran darinya bukan dari orang lain.

Dwina yang merasa di tatap akhirnya balik menatap Arya. Genggaman tangan Arya makin erat, Arya memasang wajah begitu serius membuat batinnya tidak tenang.

“Ada apa kak?” tanya Dwina bernada halus takut salah bicara.

“Kemarin aku bilang lagi sama Bayu dan Ayah kamu kalau aku mau ngelamar kamu”

Jujur Dwina tidak bisa berkata-kata. Sudah ada beberapa laki-laki yang melamar dirinya. Namun, tidak langsung bicara terang-terangan di depannya. Kata ‘lagi’ dalam ucapan Arya menandakan sebelumnya dirinya pernah di lamar oleh Arya. Kapan? Dwina ingin tahu.

“Sekarang pilihan ada di kamu. Kamu mau menikah sama aku atau nggak?”

Tenggorokkan Dwina tercekat. Telapak tangannya membuat semburat rasa dingin seperti es. Yang di lakukannya hanya memandang manik mata Arya yang penuh sekali keseriusan.

“Katanya kamu maunya nikah bukan pacaran. Jadi aku milih nikahin kamu biar dapetin diri kamu” Arya membelai lembut salah satu pipi Dwina. Jantungnya berdetak kencang takut lamarannya di tolak. Jika alasan di tolak karena Dwina masih kuliah, ia sudah mendapat solusi yang baik untuk pendidikan Dwina. Mereka bisa menikah setelah Dwina menyelesaikan skripsinya tanpa mengganggu fokus pengerjaan tugas skripsinya. Tapi kalau di tolak karena alasan lain, entahlah perasaannya nanti akan seperti apa.

Semoga saja Dwina bisa menerimannya…

5 Komentar

  1. Terima! Terima! Terima! Terima!
    Ayo terima aja Dwina,,
    kasian Kakak Arya nya udah gugup setengah mati tuh,,

  2. Cieeee dilamarrr ,, terima terima terima
    Berati arya uda ngelamar dwina 2 kali

  3. Eaaa, akhirnya dilamar juga

  4. fitriartemisia menulis:

    eaaaaaaaaaaa dilamar euyyyyyyy

  5. Ayo terima aja Dwinaaa