Vitamins Blog

DWINA part 18

Bookmark
Please login to bookmark Close

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

18. Pelukan

Panik bercampur khawatir. Beberapa orang lain mau berbaik hati membawa Dwina ke dalam mobil sedan milik Tari. Tarik napas dan keluarkan dengan perlahan, Tari mencoba menstabilkan dirinya supaya ia bisa mengemudi dengan fokus. Sedangkan Sella memberi minyak kayu putih di seputar leher, kening dan hidung Dwina.

Mata Dwina mengerjap membuka perlahan. “Pulang” serunya dengan suara begitu lemah.

Akhirnya Tari memutar balik mobilnya jadi menuju ke rumah Dwina bukan lagi ke rumah sakit. Jalanan sangat macet dan matahari terpancar terik membuat Tari gelisah. Apakah Dwina bisa bertahan lebih lama? kata-kata itu yang kini menghantuinya.

Sella menghapus air mata Dwina dengan ibu jarinya. Dwina terisak pelan sambil meremas lengan kemejanya berusaha bertahan pada trauma yang menggigilkan seluruh tubuhnya.

“Ya Allah, Wi” tukas Sella sedih. Dia memiliki sifat melankolis jadi ikutan menangis melihat keadaan Dwina sangat mengenaskan. Tari yang melihat dari cermin tengah, makin panik menontoni kedua temannya menangis cukup keras. Dirinya juga tidak bisa memarahi temannya karena hampir merusak fokusnya.

“Jangan sedih Wi. Ada gue nemenin lo” lanjut Sella sembari memeluk Dwina erat.

Perasaan buruk menghantui Arya seharian terlebih selepas dia meninggalkan Dwina di kampus. Awalnya dia mengelakan semua pikiran buruknya tanpa bukti  dan memilih kembali ke apartemen miliknya  untuk berganti pakaian lalu berangkat kerja. Karena perasaannya masih belum tenang, Arya mengirim pesan singkat pada Dwina sekedar untuk menanyakan apakah perempuan itu sudah makan siang atau belum. Dan menawarkan untuk makan siang bersama di luar jika perempuan tersebut mau.

Lumayan lama Arya menunggu pesan dari Dwina tidak kunjung memberi balasan padahal pesannya sudah di read. Cukup sudah! bentak alam bawah sadar Arya. Dia butuh melihat keadaan Dwina sekarang juga, tidak ada gunanya bekerja bila berakhir berantakan, dirinya juga sudah lelah memforsi otaknya tetap fokus.

Pilihannya adalah menuju kampus Dwina. Namun, ia mendapati perempuan itu absen sejak tadi pagi.

“Kemana kamu Dwina” desis Arya putus asa saat dia berusaha kembali menghubungi ponsel Dwina untuk kesekian kalinya. Kebiasaan sekali Dwina sering mengubah ponselnya menjadi mode silent. Bayangan Dwina menangis semakin membuatnya panik tidak karuan.

Arya memutuskan menghubungi nomer Tari. Dulu dia  diam-diam menemui perempua itu  untuk meminta informasi tentang kehidupan kampus Dwina.

“Halo..” tanya Tari bernada marah

“Kamu tau dimana Dwina?”

“Dia tadi pingsan dan sekarang aku lagi nganterin Dwina pulang ke rumah”

Hampir saja Arya membanting ponselnya karena kesal. Kalau jadinya begini, dia tidak akan pernah membiarkan Dwina kuliah.

“Sekarang kamu lagi ada di posisi mana?” suara Arya begitu tersengal hebat. Langkahnya cepat, kembali pada mobil Audy miliknya.

“Satu kilometer dari supermarket Indo” mendengar jawaban itu membentuk sebuah kerutan dalam di kening Arya. Supermarket itu jauh sekali dari kampus apalagi dari rumah Dwina.

“Sebelumnya memang kamu bawa Dwina kemana?”

“Tadi niatnya main kerumah aku, terus sekalian mampir ke supermarket deh” suara Tari mencicit ketakutan mendengar Arya menggeram marah di seberang telponnya.

“Cepet kamu bawa Dwina pulang. Aku tunggu kamu” Arya mengegas Audinya kemudian meluncur ke rumah Dwina.

Setibanya Arya di rumah lima belas menit kemudian mobil sedan milik Tari muncul di perlantaran rumah Dwina. Arya membuka pintu penumpang dan menemukan Dwina terbaring pucat. Kepalanya di pangku oleh tubuh Sella. Perlahan dia membangunkan tubuh Dwina lalu membawa tubuh itu keatas gendongannya.

“Mau muntah” ujar Dwina lemas.

Arya segera membawa Dwina ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan lambung. Tubuh Dwina memberi respon salah yang mengira masih ada sisa alkohol di pencernaannya.

“Jangan lihat aku” Dwina merasa malu Arya menemaninya dalam keadaan menjijikan seperti ini. Tapi, Arya masih memijit tengkuk lehernya.

Setelah merasa baikkan. Arya kembali menggendongnya lalu menempatkannya di atas kasur. Melepaskan sepatunya juga menyelimuti tubuh menggigilnya.

Dwina tau Arya sangat mengkhawatirkannya dan memarahi Tari saat di telpon tadi. Jadi, ia memutuskan berusaha menjelaskan pada Arya apa yang sebenarnya terjadi.

“Jordan. Laki-laki itu menghubungiku” air mata Dwina bergulir jatuh ke pipi kemudian segera di hapus kasar dengan punggung tangannya sendiri. Dirinya benci begitu lemah.

“Aku nggak tau maksud dia nelpon. Terus langsung aku matikan karena takut” Dwina kembali sesenggukan hebat.

Arya tergerak memeluk Dwina. Marah di hatinya berganti rasa perih mendalam. Putri dan Jordan menghilang tanpa jejak. Sepertinya kedua orang itu ketakutan dirinya tidak akan tinggal diam. Tapi jangan harap mereka berdua lepas begitu saja setelah membuat trauma hebat dalam kehidupan Dwina.

“Aku laper” tukas Dwina lalu Arya melepaskan pelukannya dan tersenyum tipis ke arahnya. Perut Dwina pasti kosong setelah mengalami muntah-muntah hebat.

Arya pergi menemui Bu Aminah yang berada di depan pintu kamar menontoni anaknya terbaring pucat. Kemudian memintanya menyiapkan makanan.

Tidak butuh lama, sebuah bubur diatasnya di beri gurame yang di suiri halus dan bisa di santap mudah oleh Dwina. Bu Aminah menyuapi anaknya dengan telaten.

“Enak?” tanya Bu Aminah hampir menangis meratapi keadaan Dwina begitu pucat.

“Iya enak” balas Dwina berbohong. Lidahnya sekarang mati rasa.

Selesai makan Dwina mengatakan ingin di peluk Ibunya. Ia sangat butuh bermanja-manja dengan Ibunya untuk meluapkan bebannya. Akhirnya Bu Aminah tidur bersama dengan Dwina. Membelai lembut rambut Dwina seperti anak kecil.

6 Komentar

  1. Kasian calon istrinya Arya,,
    itu Putri sama Jordan liat aja kalau udah jumpa ya,,
    pites” nanti sama Arya baru tau,,,

  2. ? kasian dwina

  3. Kasian bgt dwina sampe trauma githu, ayooo arya cari jordan dan putri jgn sampe mereka nyakitin dwina lagi

  4. Ya ampun sampai trauma gitu Dwina nya

  5. fitriartemisia menulis:

    Dwinaaa :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  6. Dwina kasian banget