Kau tahu rasanya patah hati? Sakit. Sakit sekali. Aku baru saja merasakannya.
Dia, yang secara tidak langsung mengatakan kalau dia tidak punya perasaan apa-apa padaku, telah menyakiti hatiku untuk yang keduakalinya. Ya, keduakalinya.
Oh, jangan suruh aku menceritakan kronologi bagaimana dia bisa membuatku begini. Itu terlalu menyakitkan – sekaligus memalukan – untuk diceritakan.
“Nduk, kamu mau ikut apa nggak?” tanya ibu padaku yang tengah duduk di sofa depan tv, melamun.
Aku menengok sekilas pada ibu lalu berpura-pura fokus pada layar tv di depanku. “Ikut ke mana Bu?” Ugh… sinetron, sinetron, sinetron. Ganti, kuganti channel tv-nya.
“Ke rumahnya om Danu, temen ayahmu itu loh.” Ibu menjawab sambil berlalu ke kamar. Beberapa saat kemudian ibu keluar membawa tasnya. Itu loh, tas yang biasa dibawa emak-emak ke acara resepsi orang nikahan. Bukan tas ransel yang biasanya kubawa ke mana-mana loh ya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Emm… aku sih pengin ikut. Tapi kaaan…” Kulirik penampilanku sejenak. “… aku belum ganti baju, Bu. Apa nggak kelamaan kalau nungguin aku?” tanyaku. Yah, daripada di rumah dan menggalau, lebih baik aku ikut ibu sama ayah aja kan? Siapa tahu aku bisa lupa sejenak dari “orang itu”.
Kulihat ibu sedang becermin sambil merapikan baju yang dikenakannya – yang sebenarnya sudah sangat rapi – itu. Hah, dasar ibu, nggak pedean banget sih sama penampilannya sendiri.
“Ya udah, cepat kamu ganti baju sana. Ayah sama Ibu nunggu di depan.” Ibu berjalan ke ruang tamu sedangkan aku masuk ke kamarku sendiri untuk berganti baju.
***
“Eh, Mas Imam, Mbak Fira, Illa?” Itu tante Diana, istri om Danu. Ayah, ibu dan aku bersalaman dengan tante Diana. “Ayo silakan masuk. Duduk dulu. Aku mau panggilin mas Danu dulu ya.” Kami mengangguk dan tante Diana masuk ke ruangan – ntah ruangan apa itu.
Beberapa saat kemudian om Danu muncul diikuti tante Diana – yang membawa nampan dengan beberapa gelas berisi minuman berwarna merah, sirup di atasnya – yang berjalan di belakangnya. Om Danu menyalami kami.
Dan setelah itu para orangtua itupun mulai mengobrol, menyisakanku yang hanya duduk di sana, memandangi mereka. Sesekali aku akan tersenyum ataupun menanggapi sekenanya saat tante Diana ataupun om Danu mengajakku mengobrol.
Aku mengambil gelas yang ada di hadapanku, meminum sedikit isinya untuk membasahi kerongkonganku yang kering sambil mengedarkan pandangan. Mataku menyipit saat melihat kepala seseorang menyandar ke sofa yang membelakangiku di ruang tengah. Ada televisi yang menyala di seberangnya. Aku baru sadar kalau ada orang di situ. Siapa orang itu?
“Itu siapa, Tante?” tanyaku pada tante Diana sembari menunjuk ke arah orang itu. Tante Diana memandang ke arah yang aku tunjuk dan tersenyum kemudian.
“Itu Gilang,” jawab tante Diana. “Biasa, dia suka ketiduran di situ. Samperin gih, bangunin dia,” suruh tante Diana. Aku hanya tersenyum kikuk.
“Tapi Tante, Gilang kan nggak suka kalau acara tidurnya diganggu.” Terakhir kali aku main ke sini – sekitar lima tahun lalu, ketika aku dan Gilang masih SMP – aku membangunkan Gilang yang sedang tidur, disuruh tante Diana juga. Dan kau tahu? Membangunkan Gilang sama saja membangunkan singa yang sedang tidur nyenak. Sulit dibangunkan, dan kalau sudah bangun dia akan mengamuk.
Dan aku tidak mau mendapat amukannya untuk yang keduakalinya!
“Tenang saja, dia tidak akan mengamuk lagi seperti dulu,” ujar tante Diana menenangkanku. Tante tahu saja ketakutanku.
Aku menggaruk belakang kepalaku. Ragu-ragu aku beranjak bangun, berjalan perlahan ke arah sofa, dan berhenti di depan Gilang yang tengah tertidur dalam posisi duduk menyandar ke sofa. Bagaimana bisa dia tidur dalam posisi seperti ini? Dasar tukang tidur!
Aku memandang sekilas ke arah para orangtua yang ada di ruang tamu. Mereka tengah memandangiku sambil tersenyum. Seperti sedang memberiku semangat. Ckck… aku jadi seperti sedang berjuang menghadapi sesuatu yang sulit. Tapi membangunkan Gilang yang sedang tidur itu memang sulit sih.
Kembali pada Gilang. Wajahnya damai sekali kalau sedang tidur seperti ini. Aku jadi tidak tega untuk membangunkannya.
“Gi-Gilang.” Aku menepuk bahunya sekilas. Dia tidak bergerak sama sekali. Lagi, kutepuk bahunya sambil menyuarakan namanya, “Gilang, bangun!”
Dan dia masih saja tidak bergerak pemirsa!
Ini orang apa kebo sih?
Kuhela napas kasar, mendengus. Aku memutuskan untuk duduk di sisi sofa yang kosong di sebelahnya. Membangunkan Gilang dengan posisi berdiri sangat tidak menguntungkan. Kakiku bisa-bisa pegal karena berdiri lama menunggu Gilang yang tak kunjung bangun.
“Gilaaaaang, banguuuuun!” Kucubit pipinya keras. Ia mengerang pelan dengan mata yang masih tertutup. Lalu tanpa diduga dia menarik tanganku yang ada di pipinya hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. Dia memelukku erat. Sangat erat!
Deg!
Deg!
Deg!
Aku menelan ludah gugup. Tubuhku kaku. Mataku sudah membelalak maksimal. Dan jantungku, jantungku memukul rongga dadaku dengan keras. Berdetak dengan sangat keras. Apa aku terkena serangan jantung?
“Gi-Gilang…” Aku mencoba melepaskan pelukannya. Tapi nihil, aku tidak bisa. Tangannya sangat erat melingkari bahuku. “Lepas Gil.”
“Ssssssst… jangan bersisik. Aku masih ngantuk.” Gilang bergumam dengan mata yang masih saja tertutup. Dia bergerak pelan, mengubah posisi tidurnya. Sekarang tangannya berpindah ke pinggangku. Kepalanya kini menyeruak ke cekungan leherku. Dia bernapas di sana, membuatku merinding.
“Kau wangi, Ill,” gumamnya tepat di telingaku. Aku bergidik, dan sedetik kemudian mengernyit saat menyadari sesuatu. Bagaimana dia tahu kalau ini aku? Dia sudah bangun dari tadi ya? Atau sedari tadi dia hanya pura-pura tidur?
“Kau tahu ini aku?” tanyaku, masih ada di pelukannya. Dia bergerak sedikit, memundurkan kepalanya dan memandangku.
“Tentu saja. Sejak tadi aku tidak tidur, bodoh. Aku hanya memejamkan mata.”
Oh, begitu?
Kulihat dia memajukan wajahnya perlahan. Refleks aku memundurkan kepalaku. Namun tangannya menahan kepalaku hingga tidak bisa mundur lagi. Hei, hei, dia mau apa?
“Gil, kamu mau apa?” tanyaku, mencoba menahannya dengan menangkup wajahnya di antara ke dua telapak tanganku. Dia berhenti sejenak. Memandangku. Lalu detik berikutnya tangannya yang tidak menahan kepalaku menurunkan kedua tanganku dari pipinya. Dan wajahnya kembali semakin mendekat. Sialan! Dia nggak mau macam-macam padaku kan?
Kemudian kudengar suara dehaman keras dari ruang tamu.
“EHEM!” Itu om Danu. Dan selamatlah aku, Gilang berhenti. Cowok di depanku ini mengalihkan pandangannya pada om Danu dengan tatapan malasnya.
“Papa ganggu aja ih,” protesnya pada om Danu dengan bibir mengerucut. Ih sok imut! Tapi memang imut sih. Tampan lagi. Eh?
“Jangan berbuat kurang ajar pada Illa, Gil!” Om Danu memperingatkan Gilang. Sedangkan yang dikasih peringatan malah cengengesan. Dasar Gilang.
“Aku kan lagi kangen-kangenan sama Illa. Ya kan, Ill?” Dia beralih memandangku lagi, dengan senyum jahil tersungging di bibirnya. Aku memutar mata. Ya kali kangen-kangenan kaya gini?
“Gil, posisi,” gumamku, mengingatkannya pada posisi kami yang sangat sangat tidak pantas untuk dilihat orangtua kami. Segera saja dia menjauhkan wajahnya dari wajahku dan membebaskan kepalaku dari tangannya yang tadi menahanku. Setelahnya kami hanya terdiam sambil memandang bosan ke arah televisi yang menayangkan acara yang sangat tidak menarik bagiku, bagi kami. Sinetron! Astaga, malesin banget dilihatnya.
Tiba-tiba kurasakan bahu kiriku memberat. Aku menoleh, dan mendapati kepala Gilang menyandar ke bahuku. Enak sekali dia. Kepalanya berat tahu!
“Sinetron lagi, sinetron lagi.” Gilang memencet-mencet tombol remot dengan brutal. “Ah, nggak ada yang asik.” Dia menggerutu, lalu menekan tombol power pada remot tv hingga layar tv tidak memunculkan gambar apa-apa lagi.
Gilang beralih menatapku tepat di manik mata, dengan kepala yang masih bersandar di bahuku. Aku balas menatapnya, sehingga mata kami saling menatap satu sama lain, saling menyelami tatapan satu sama lain. Suasana mendadak sunyi, dan berubah menjadi mellow. Mungkin karena sekarang dia menatapku dengan tatapan sendu.
“Sepertinya ada yang ingin kau ceritakan padaku.” Dia berujar lirih. Aku hanya menghela napas mendengarnya. Gilang selalu tahu apa yang aku rasakan hanya dengan menatap ke dalam mataku. Dia sangat mengertiku.
“Katakan Ill, katakan semua yang ingin kau katakan.” Gilang menangkup kedua sisi wajahku. Aku menggeleng dan menggenggam kedua tangannya yang berada di pipiku.
“Nggak di sini, Gil,” kataku pelan, nyaris berbisik padanya. Dia mengangguk mengerti.
“Kalau begitu kita ke kamarku.” Gilang beranjak dari duduknya dan menarikku ikut bersamanya.
“Eiii, kalian mau ke mana?” tanya om Danu tiba-tiba, menghentikan langkah kami berdua yang hampir mencapai pintu kamar Gilang – aku tahu karena di pintu itu terdapat tuliskan “Gilang’s Room”. Gilang menoleh pada papanya dan menyengir.
“Papa mau tahu aja. Ini urusan anak muda, Pa. Orang tua nggak usah ikut campur,” jawab Gilang dengan sangat menyebalkannya. Om Danu melotot pada anaknya ini. Kucubit pinggang cowok rese ini.
“Aduh, sakit Ill.” Gilang mengusap pinggangnya yang kucubit. Rasakan!
“Makanya kalau bicara sama orangtua tuh yang sopan.”
“Iya, Illa sayang,” katanya, dengan senyum jahilnya yang kembali tersungging di bibirnya. Aku mendengus sebal. Sifat jahilnya nggak pernah ilang ih.
Gilang kembali menoleh pada om Danu. “Aku mau ngobrol sama Illa. Jangan ganggu kami. Jangan coba-coba buat nguping, apalagi ngintip!” katanya, mencoba untuk memperingatkan om Danu. Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkahnya. Dia anak yang sangat ‘sopan’ pada orangtua, kan?
Kembali kami berjalan menuju kamar Gilang setelah perdebatan kecil antara ayah dan anak itu selesai. Langsung saja aku berbaring di single bed Gilang saat kami sudah ada di dalam kamarnya. Gilang menutup pintu kamar dan berbalik menghadapku. Dia lalu duduk menyandar ke sisi ranjang. Posisinya memunggungiku sekarang. Aku beringsut mendekati sisi ranjang tempatnya berada, mengalungkan kedua lenganku melingkari bahunya dan menyeruakan kepalaku ke lehernya.
“Aku patah, Gil,” bisikku lirih, semakin menenggelamkan kepalaku ke lehernya. “Untuk yang keduakalinya, dengan orang yang sama.” Suaraku semakin lirih, serak. Bibirku bergetar. Dan sedetik kemudian tangisku pun pecah.
Sakit! Rasanya sakit sekali. Hatiku seperti diremas dengan kuat. Sungguh menyakitkan. Dan aku butuh Gilang untuk mencurahkan isi hatiku.
Untuk sesaat Gilang hanya diam. Tangannya mengelus kepalaku pelan dengan gerakan teratur. Kurasakan ia mengambil napas dalam dan mengembuskannya dengan kasar. Sepertinya dia menahan amarahnya. Aku tahu itu.
Gilang adalah orang yang paling overprotective terhadapku. Bahkan mengalahkan ayahku sekalipun. Satu sekolahan dengannya di SD dan SMP membuatku sangat dekat dengannya. Dia baik dan sangat pengertian terhadapku. Dia selalu menjagaku, menjauhkanku dari anak-anak nakal yang sering menjahiliku hingga kami lulus SMP. Tapi setelah itu keluarga Gilang pindah ke Riau dan aku menjadi jauh darinya.
Setelah lima tahun lamanya aku baru bisa bertemu dia lagi. Dan setelah lima tahun tidak bertemu aku malah bercerita tentang patah hatiku lagi.
Dulu aku juga pernah bercerita tentang hal yang sama, dan ekspresi Gilang lebih mengerikan dari ini. Dia sangat marah saat itu. Dia bahkan berniat untuk menghajar laki-laki yang sudah menyelingkuhiku itu – ya, menyelingkuhiku – yang segera aku cegah tentu saja. Gilang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah cintaku. Aku tidak mau melibatkannya. Menjadikannya tempat curhatku sudah lebih dari cukup.
Dan kali ini aku kembali patah, karena pengakuan tidak langsung dari laki-laki itu. Sialnya, walaupun dia telah membuatku sakit berkali-kali, aku tetap tidak bisa benci terhadapnya. Gilang saja sampai gemas melihatku yang pasrah disakiti berkali-kali. Dia berulang kali menyuruhku untuk melupakan laki-laki itu. Tapi aku tidak bisa. Belum.
Gilang menggeser duduknya menjadi menghadapku. Sedangkan aku masih berbaring menelungkup di atas ranjangnya. Dia mengangkat daguku dan mata kami bertemu. Gilang menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
“Jangan menangis lagi, Ill. Sudah cukup selama ini kau menangisinya. Aku tidak ingin melihatmu menangis lagi. Ini sangat menyakitkan bagiku, Ill.” Gilang menggenggam tanganku.
“Kumohon, untuk kali ini kau mau mendengarkanku.” Ia menghela napas sejenak. “Lupakan perasaanmu padanya, Ill. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa.”
Gilang kembali menghapus air mata di kedua pipiku yang kini semakin deras mengalir. “Kau bisa datang padaku, Ill. Lupakan dia yang tidak menginginkanmu dan mulailah menatapku. Aku mencintaimu, Nayla Fira Imama.”
***
“Gil, kenapa aku nggak cinta sama kamu dari dulu aja ya? Kan aku nggak perlu patah hati kaya gini,” ujarku dengan bibir mengerucut. Gilang hanya tersenyum menanggapi pertanyaan konyolku satu itu.
Saat ini kami tengah mengobrol santai di atas single bed Gilang, dengan Gilang yang memeluk pinggangku erat dan aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
Oh ya, mengenai pernyataan cinta Gilang tadi, aku menerimanya. Jangan berpikir aku menerimanya karena depresi ya. Bukan itu alasannya. Tapi lebih karena perasaan aneh yang muncul saat Gilang memelukku di ruang tengah tadi. Sepertinya aku mulai mencintainya.
“Ini namanya takdir, Illa sayang.” Gilang menjawil hidungku gemas. “Kau disakiti oleh laki-laki itu sampai dua kali, itu takdir. Dan kau baru sekarang mencintaiku, itu juga takdir,” paparnya menjelaskan. Aku hanya ngangguk-angguk saja menanggapinya. Merasa lelah karena menangis sedari tadi. Bahkan semalam aku juga menangis selama dua jam. Jadi sekarang aku lelah, dan juga mengantuk.
“Tidurlah kalau kamu ngantuk. Nanti biar aku bilang sama ayah kamu kalau aku yang bakalan nganterin kamu pulang,” kata Gilang saat melihat mataku yang mulai terpejam. Aku hanya mengangguk sekilas dan aku pun tertidur.
-End-
Ya benar semuanya sdh takdir
asik nih klo patah hati kaya gini… xixixi langsung ada obat nya.
????
Aihhh trnyata jadian ny ama sahabat sndri hihi
Suka suka suka
Ditunggu karya2 lainnya
Semangat trs ya
Kok bisa sweet banget sih?. >_<.Nice.
Kagak jauh2 ya jadinya, ternyata sama si dia, wkwkw
aihhhhh happy end..
berarti Gilang selama ini patah ya , suka diam-diam #eh
Wah wah