Kematian kedua orangtuanya memaksa Anna Wilson meninggalkan kampung halamannya di Wales untuk mengadu nasib di London. Kondisi ekonomi yang sulit membuatnya memilih jalan pintas untuk mencari uang hingga akhirnya takdir mempertemukannya dengan Sam Cromwell-seorang pria baik hati yang telah menyelamatkannya dari tepian lubang gelap tak berdasar, membuatnya bergantung pada pria itu.
Namun kenapa perlahan perasaannya berubah saat ia bertemu dengan Dean—kakak tertua Sam. Dean-pria angkuh, menyebalkan, bossy dan terkenal dingin itu memporak-porandakan kehidupan yang mulai ditatanya.
Anna mencintainya, namun masa lalunya menjadi tembok tinggi yang kini berdiri diantara keduanya. Bisakah mereka berkompromi? Atau Anna lebih memilih untuk tetap sendiri?
***
Enjoy!
***
Wales, United Kingdom
09 Februari 2009
“Maaf, Nona, mungkin sebaiknya Anda tidak melihat wajah keduanya.”
Anna mendongak, menatap seorang pria setengah baya yang mengenakan seragam polisi. “Aku harus melihatnya,” sahut Anna bersikeras. Kedua tangannya berkeringat dingin, terkepal erat di sisi tubuhnya. “Mereka orangtuaku,” tambahnya tanpa ekspresi.
Pria itu melihat Anna dengan ekspresi simpati, dengan lembut pria itu menepuk bahu gadis remaja berambut coklat, berusia delapan belas tahun itu. “Jika itu sudah menjadi keputusanmu, baiklah,” jawabnya parau. Pria itu mengangguk pelan pada pria lain di dalam ruangan itu. Pria yang ditatapnya membalas dengan anggukan pelan, tangannya terulur bermaksud untuk membuka kain katun berwarna putih yang kini telah berubah warna, kotor oleh darah.
Wajah Anna memucat seketika saat kain penutup jenazah ayahnya disibak oleh pria penjaga kamar jenazah. Rasa mual menyerangnya dengan hebat, membuatnya mundur beberapa langkah. “Kau baik-baik saja?” tanya polisi paruh baya itu terdengar cemas. “Apa kau masih mau melihat jenazah ibumu?”
“Ya, tolong,” jawab Anna lemah. Bola mata seindah zamrud itu kini terlihat meredup, putus asa.
Penjaga kamar jenazah itu kemudian menyibak kain penutup jenazah Nyonya Wilson- Ibu Anna.
Anna terduduk lemas, bukan hanya wajah tampan ayahnya saja yang rusak, wajah tirus ibunya juga hancur akibat kecelakaan mobil tragis yang menimpa keduanya, pagi tadi. Pecahan kaca mobil melukai wajah keduanya, sementara benturan keras membuat wajah keduanya rusak. Namun ia masih bisa mengenali keduanya dari pakaian yang melekat di tubuh jenazah itu. Pakaian sama yang dikenakan kedua orangtuanya saat pamit pergi ke kota untuk membeli bibit gandum.
“Orangtuamu tidak mengenakan sabuk pengaman,” terang polisi itu.
Gadis remaja itu setengah melamun saat polisi mengatakannya. Dia seringkali mengingatkan kedua orangtuanya agar selalu memasang sabuk pengaman jika berkendara. Namun Tuan Wilson- Ayah Anna selalu berkelakar jika di Wales jarang sekali terjadi kecelakaan. Lalu lintas disini aman, apa yang harus ditakutkan? Katanya, yang dijawab senyuman serta anggukan setuju oleh istrinya.
“Kau masih mau disini?” tanya polisi itu lagi, matanya tak lepas dari Anna yang masih terduduk lemas di atas lantai dingin kamar jenazah.
Anna menggelengkan kepalanya pelan. Hatinya sangat sakit. Orangtuanya orang baik. Mereka sangat taat beribadah. Ayah dan ibunya bahkan tidak pernah mengeluh saat mendapat cobaan dasyat. Tiga tahun yang lalu, Nyonya Wilson divonis menderita kanker usus stadium dua. Namun keduanya selalu tersenyum, pasrah, dan yakin jika Tuhan tidak pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan makhluknya. Tapi, kenapa Tuhan mencabut nyawa keduanya dengan cara seperti ini? Tanya Anna di dalam hati.
Sementara penjaga menutup kembali wajah jenazah kedua orangtua Anna, polisi paruh baya itu mengulurkan tangan kanannya, membantu Anna untuk berdiri. Susah payah, Anna akhirnya bisa kembali berdiri dengan bantuan polisi itu, kakinya bergetar setiap kali ia melangkah untuk keluar dari ruangan yang berbau amis. Tuhan, kenapa harus seberat ini cobaan yang Kau berikan padaku? Ratap Anna di dalam hati, pilu.
.
.
.
Ia tidak tahu bagaimana caranya hingga ia bisa kembali ke rumahnya, sore ini. Anna menyandarkan punggungnya pada daun pintu di belakangnya. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit rumahnya yang dicat putih.
Tubuhnya merosot ke atas lantai saat kakinya kembali kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya yang juga ikut melemah. Sekarang dia yatim piatu. Dia sebatang kara. Pikiran-pikiran itu menghantuinya. Mulai saat ini tidak akan ada lagi senyum hangat ibunya tiap kali dia pulang ke rumah. Tidak akan ada lagi kelakar heboh ayahnya yang acapkali menggoda dirinya yang hingga saat ini masih betah untuk tidak memiliki kekasih.
“Dad? Mom?” panggilnya lirih. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini mengalir deras. Gadis remaja itu mendadak mendapatkan kembali kekuatannya, seperti orang gila dia berlari, mencari dari satu ruangan ke ruangan lainnya, mencari keberadaan kedua orangtuanya. “Dad?!!!” teriaknya parau. “Mom?!!!” teriaknya lagi, terdengar menyedihkan.
Anna terus menangis keras, mengabaikan rasa sesak yang menghantam dadanya keras. Jeritan dan tangisannya semakin menjadi saat gadis remaja itu sampai di kamar kedua orangtuanya di lantai dua. “Jangan bercanda lagi! Aku mohon!” cicitnya lemah, nyaris tanpa suara.
Sore itu dia terus menangis, meringkuk di atas tempat tidur orangtuanya hingga lelah dan jatuh tertidur.
.
.
.
Pemakaman kedua orangtuanya dilaksanakan tiga hari kemudian. Kebaikan hati keduanya semasa hidup membuat banyak orang merasa kehilangan. Mereka menyampaikan rasa duka cita mendalam pada Anna yang terlihat masih tidak percaya dan linglung.
Anna bahkan tinggal lebih lama, berdiri kaku di depan pusara kedua orangtuanya setelah upacara pemakaman selesai.
Namun kehidupan harus terus berlanjut, bukan?
Ia mencoba untuk bangkit. Menekan kesedihannya, menyembunyikannya dengan baik dibalik ekspresinya yang sok kuat. Surat-surat tagihan pun terus berdatangan tiap harinya. Mulai dari tagihan listrik, air, gas, hingga kredit bank yang harus dibayar. Anna menghela napas panjang saat melihat tagihan-tagihan itu. Uang asuransi orangtuanya tidak sebanding dengan hutang yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Selama ini, Anna terus berpikir dari mana ayahnya memiliki begitu banyak uang untuk membiayai pengobatan ibunya yang mengidap kanker usus stadium tiga. Namun sekarang ia tahu jawabannya, ayahnya menggadaikan tanah pertanian serta rumah mereka ke bank untuk mendapatkan dana tersebut.
Tiga bulan kemudian, karena besarnya tunggakan kredit yang belum dibayar, Anna pun harus merelakan tanah pertanian serta rumah tempatnya tumbuh dewasa disita dari tangannya, membuatnya terlempar ke jalanannya. Namun ia tidak menangis. Ya, seperti kata orangtuanya, Tuhan tidak pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya.
Dengan langkah mantap, Anna berjalan. Menatap ke depan penuh keyakinan. Dia yakin jika kehidupannya di masa yang akan datang akan kembali membaik. Ya. Saat ini dia hanya perlu keluar dari kota ini. Dan jika sudah waktunya, dia akan kembali untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sejak awal.
Ratingnya dong :PATAHHATI
Bisa kok dikasih lope2 :ragunih
Maaf yang salah dihp aku hehehe
sedih bacanya.ngefeel bgt tiap yg dirasain Anna.
:PEDIHH :PEDIHH :PATAHHATI :PATAHHATI
Entah kenapa suka baca cerita yg menceritakan ketegaran seorang cewek yang hidup sebatang kara.
ditunggu kelanjutannya :MAWARR
:dragonbaper
Sabar ya Anna, :PEDIHH
Kacian Ana huhuhuhu
Triangle love kah ini? ??
Gk sabar nunggu kelanjutan nya
Ada yang baru lagi nih
Yeahh suka suka
yang sabar ya Anna,,
:dragonbaper kasian banget?!
Kak cara ngasih vote gimana ya ?! (Maklum masih baru) :D
menarik nih ceritanya baca ya :MAWARR
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
kasian Anna, semangat yaa Ann :peluksabahat
:nangisgulinggulingan
Ditunggu kelanjutannyaa