Author Playlist : Soyou – I Miss You
***
Enjoy!
***
“Hamba mohon ampun, Putera Mahkota, tapi Puteri Chao Xing saat ini tidak bisa diganggu.” Ju Fang menundukkan kepala dalam, memohon maaf karena tidak bisa mengizinkan putera mahkota beserta enam orang pangeran lain yang datang berkunjung ke Paviliun Taman Barat untuk menemui Chao Xing. “Tuan puteri tengah beristirahat. Puteri terkena flu parah,” lanjutnya sangat sopan.
Jian Gui menyempitkan mata, lalu bertanya dengan dagu terangkat, “Kau pikir keberadaan kami akan mengganggunya?”
“Mohon ampun, Putera Mahkota, hamba tidak bermaksud seperti itu,” sagut Ju Fang tenang. “Puteri hanya takut jika penyakitnya akan menular pada para pangeran, karenanya beliau menolak untuk menemui pangeran.”
“Bahkan menolakku?” Jian Guang bergerak maju, melirik ke arah pintu kamar Chao Xing yang tertutup rapat. “Aku yang sudah menyelamatkannya, tapi dia juga menolakku?” tanyanya membuat Ju Fang serba salah.
Di satu sisi Chao Xing meminta Ju Fang untuk mengusir halus ketujuh pangeran yang tiba-tiba saja datang berkunjung tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
“Jika dia menolak kedatangan kita kenapa kita harus memaksanya?” Jian Ying sengaja menaikkan nada suaranya agar Chao Xing bisa mendengarnya dari dalam kamar. Pangeran Kelima dari Kerajaan Angin itu tahu jika Chao Xing sudah membaik dan hanya malas untuk bertemu dengan mereka. Ah, mungkin adiknya itu masih malu atas apa yang terjadi dua hari yang lalu.
“Sebaiknya kita bawa pergi semua makanan lezat ini dan menikmatinya sendiri—”
“Biarkan mereka semua masuk!” teriak Chao Xing dari dalam kamar, memotong ucapan Jian Ying, membuat ketujuh pangeran itu tertawa kecil karenanya.
“Dia benar-benar lemah terhadap makanan enak.” Renshu berkata lirih sembari menggelengkan kepala pelan, lalu dengan hati-hati ia membuka pintu kamar Chao Xing. “Mana Tuan Puteri yang terkena flu?” tanyanya dengan nada menggoda sementara gadis remaja yang dimaksud memasang ekspresi cemberut, lalu mendudukkan diri di atas ranjangnya yang nyaman.
Chao Xing bergerak pelan, menahan rasa sakit di kepalanya yang kembali datang untuk sekejap. Setelah merasa lebih baik, ia pun turun dari ranjang, dibantu oleh Jian Guang untuk duduk di atas sebuah kursi sementara para dayang mulai meletakkan makanan-makanan lezat yang dibawa oleh Pangeran Pertama di atas meja.
“Kalian benar-benar perhatian,” seru Chao Xing penuh haru sementara Jian Guang menyampirkan sebuah mantel di atas pundak Chao Xing.
“Pakaianmu terlalu tipis,” ujarnya saat Chao Xing menatapnya dengan sorot terima kasih.
“Pakaian tidur tentu saja harus tipis,” jawabnya cuek. “Lagipula apa yang harus kukhawatirkan, kalian semua saudaraku,” kilahnya membuat ketujuh pangeran itu menghela napas keras. Dengan santainya Chao Xing mengambil sebuah sumpit, lalu menyuapkan makana-makanan lezat itu ke dalam mulutnya. “Makanan enak memang obat mujarab untuk sakit flu,” kilahnya dengan senyum lebar. “Aku sayang kalian!” tambahnya riang membuat mulut Renshu terbuka lebar, tak percaya. “Lei, ayo makan denganku. Aku tidak mungkin menghabiskan semuanya seorang diri,” tawarnya yang segera disambut Lei dengan anggukan semangat.
“Dia begitu mudahnya mengatakan ‘sayang’ hanya karena disuap dengan makanan enak?” Jian Qiang berdecak, menunjuk ke arah Chao Xing dengan tatapan garang. “Apa kau akan mengatakan hal yang sama pada setiap pria yang memberimu makanan lezat?” tanyanya ketus.
Jian Yong menghela napas, lalu menepuk bahu Qiang pelan. “Apa yang bisa kita harapkan dari anak bandel ini?” tanyanya parau, nyaris sedih karena rasa sayang Chao Xing pada mereka hanya sebanyak makanan lezat yang tersaji di atas meja.
“Chao Xing tidak perlu diberitahu untuk hal itu,” Jian Gui mencoba menengahi. “Kau pasti tahu jika seorang wanita tidak boleh dengan mudah mengatakan ‘sayang’ pada pria, kan?”
Chao Xing mengangguk semangat. Ia menelan makanan di dalam mulutnya dengan cepat dan menjawab ringan, “Tentu saja aku tahu,” ujarnya membuat ketujuh saudaranya menghela napas lega. “Aku hanya akan mengatakannya pada kalian dan juga pada… Zian.”
“Siapa Zian?” tanya ketujuhnya kompak namun Chao Xing hanya mengangkat bahunya acuh, enggan untuk menjawab.
***
“Dayang Ju, apa undangan dari Yang Mulia sudah tiba?” Chao Xing bertanya dengan antusias. Tadi saat berkunjung ke kediaman permaisuri dan hendak kembali ke kediamannya karena permaisuri tidak berada di tempat, ia secara tidak sengaja mendengar percakapan beberapa dayang jika besok malam raja mengadakan jamuan besar-besaran untuk merayakan ulang tahun putera mahkota yang ke dua puluh tahun. Dayang itu mengatakan jika semua keluarga besar kerajaan diundang untuk menghadiri jamuan besar itu, termasuk para pejabat pemerintahan dan keluarga bangsawan, karenanya Chao Xing yakin jika ayahnya itu akan mengundangnya juga.
Ju Fang menghentikan kegiatannya untuk sejenak, lalu melangkah pelan kea rah Chao Xing yang menatapnya dengan mata bulatnya yang indah. “Belum ada undangan yang datang, Tuan Puteri,” jawabnya dengan nada biasa. Dalam hati dayang muda itu tahu jika raja tidak mungkin mengundang Chao Xing ke acara besar itu, namun ia menutup mulut rapat, enggan untuk menyakiti hati majikannya.
Chao Xing menekuk wajahnya dalam, “Aneh,” ujarnya pelan. “Acaranya besok malam tapi masih belum ada undangan untukku.”
“Mungkin kasim yang ditugaskan untuk mengantar undangan masih sibuk berkeliling untuk mengantar undangan-undangan itu.”
“Kau benar,” Chao Xing mengangguk setuju. “Ah, ngomong-ngomong, hadiah apa yang harus kuberikan pada Pangeran Pertama?” tanyanya kembali terdengar antusias, Ju Fang tidak menjawab, hatinya terlalu sakit karena tahu jika pada akhirnya putri asuhnya ini akan terluka hebat. “Bagaimana jika aku meminta izin pada Permaisuri untuk keluar istana?”
“Hamba rasa itu bukan ide bagus,” sahut Ju Fang cemas.
Chao Xing tersenyum penuh arti. “Jangan khawatir,” ujarnya menenangkan. “Permaisuri pernah berjanji jika beliau akan memberiku izin keluar istana jika aku memang menginginkannya. Aku hanya perlu meminta persetujuannya lagi. Tenang saja, aku tidak akan pergi terlalu lama, dan kuharap kau juga mau ikut pergi bersamaku Dayang Ju,” mohonnya penuh harap.
“Permaisuri pasti tengah sibuk membantu persiapan perayaan ulang tahun putera mahkota, anda akan sulit untuk menemuinya,” bujuk Ju Fang. “Bagaimana jika anda menghadiahkan sebuah sapu tangan sutera dengan hiasan yang anda sulam sendiri?”
Chao Xing tidak langsung menjawab. Keningnya kembali ditekuk dalam saat ia menimbang-nimbang usulan ibu asuhnya. “Baiklah kalau begitu,” sahutnya kemudian. “Apa kau memiliki bahan-bahannya, Dayang Ju?” tanyanya kembali antusias sementara Ju Fang hanya mengangguk pelan dengan sorot mata sedih.
***
Chao Xing masih setia menunggu undangan itu tiba ke kediamannya. Namun hingga keesokan hari undangan itu tidak kunjung tiba.
Gadis remaja itu menunduk, menatap sebuah sapu tangan sutera bersulam emas yang sudah diselesaikannya dalam waktu singkat.
Chao Xing melempar pandangannya ke luar jendela, lalu memutuskan untuk berjalan keluar dari dalam kamarnya menuju sebuah gazebo yang terletak di sisi kanan kediamannya. Ia termenung seorang diri di dalam bangunan itu, menatap kosong kolam teratai di depannya.
Langit sore sudah menggelap. Malam pun tiba, suara musik sudah terdengar di kejauhan namun undangan itu masih belum juga tiba.
Ju Fang mengatakan jika mungkin raja mengkhawatirkan kondisi Chao Xing yang belum pulih seratus persen, namun Chao Xing tahu benar jika itu bukanlah alasan sebenarnya.
Ia kembali diingatkan oleh satu kenyataan yang kini menamparnya dengan keras. Ayahnya masih tidak menginginkannya, karenanya raja tidak mengundangnya untuk menghadiri jamuan besar perayaan ulang tahun Pangeran Jian Gui.
“Puteri,” bujuk Ju Fang lirih. “Ini sudah larut malam, anda harus masuk ke dalam untuk istirahat.”
Chao Xing menggelengkan kepala pelan, lalu tersenyum pahit. “Aku ingin melihat kembang api,” katanya beralasan sementara langit malam terlihat terang oleh percikan kembang api yang ditembakkan ke udara. “Kapan lagi aku bisa melihat langit berhias kembang api?” tambahnya seraya mendongak menatap langit malam. “Tidurlah terlebih dahulu,” cicitnya lirih. “Sebentar lagi aku akan menyusulmu masuk dan istirahat.” Ia terdiam sejenak. “Tidurlah, Dayang Ju! Anda pasti sangat lelah,” ujarnya lirih.
Dan Ju Fang hanya bisa terdiam di tempatnya. Menahan tangis yang sudah berada di sudut-sudut matanya. Wanita itu menatap sedih punggung kecil majikannya yang malam ini kembali terlihat rapuh dan kesepian.
***
Malam itu Chao Xing sama sekali tidak kembali ke kamarnya. Walau tubuhnya terasa sangat lelah, namun kedua matanya enggan untuk terpejam.
Chao Xing menghela napas panjang, sebentar lagi matahari akan terbit. Karena sakit, sudah dua hari ini dia tidak melakukan rutinitas yang selama beberapa tahun terus dilakukannya—berdiri di atas dahan tertinggi hingga matahari terbit.
Rutinitas itu selalu dilakukannya sejak Zian pergi tanpa mengatakan apa pun tiga tahun yang lalu. Chao Xing selalu naik ke atas pohon tinggi, berdiri di atas dahan tertinggi dan berharap ia bisa melihat sosok Zian datang dari ujung jalan menuju ke arahnya.
Chao Xing tersenyum hambar. Sungguh, apa yang dilakukannya saat ini adalah suatu kesia-siaan. Zian tidak mungkin datang ke komplek istana ini. Dan terkadang ia berpikir, apa keputusannya untuk kembali ke istana adalah keputusan yang tepat?
***
“Siapa dia?” Jian Gu bertanya pelan pada seorang kasim yang berdiri di belakangnya sementara kedua mata tajamnya mengamati seorang gadis kecil yang baru saja turun dari atas pohon lalu berjalan setengah diseret. “Aku belum pernah melihatnya sebelumnya,” tambahnya.
“Lapor, Yang Mulia, itu Puteri Chao Xing,” jawab kasim dari belakang punggung raja.
Jian Guo terbelalak, lalu menyempitkan mata, menatap sosok yang ternyata merupakan putri kandungnya sendiri. Ada perasaan aneh yang dirasakannya saat melihat wajah Chao Xing yang terkena sinar fajar pagi ini. Wajah itu, wajah yang begitu mirip dengan mendiang Mei Rong, selir kesayangannya.
Apa ini caramu menghukumku, Rong? Tanyanya di dalam hati. Wajah putrimu begitu mirip denganmu dan justru aku mencampakkannya selama belasan tahun, batinnya lagi.
“Lalu apa yang dilakukannya di tempat ini?” tanyanya lagi saat sosok Chao Xing menghilang di ujung jalan kecil. Jian Guo membalikkan badan, “Kenapa dia naik ke atas pohon?”
“Lapor, Yang Mulia, beberapa kasim dan dayang selalu melihat tuan puteri datang ke tempat ini setiap paginya,” jawab kasim dengan nada suara tertata. “Puteri akan naik hingga dahan tertinggi, dan baru akan turun setelah fajar tiba.”
Jian Guo berekspresi datar. “Apa begitu sering?”
“Setiap hari,” lapor kasim membuat gigi Jian Guo gemertak. “Tapi sudah dua hari ini puteri tidak datang, hamba dengar beliau terkena flu.”
Jian Guo menatap lurus pohon tinggi yang berdiri angkuh di hadapannya. “Tebang pohon itu!” perintahnya membuat kasim tua di belakangnya terbelalak, namun tidak mengatakan apa pun. “Aku ingin pohon itu habis hingga ke akar-akarnya hari ini juga! Kirim sup burung walet serta pil ginseng merah ke kediaman Chao Xing!” tegasnya sebelum berbalik badan, untuk melanjutkan langkahnya menuju kediamannya setelah tadi malam ia menghabiskan malam di kediaman selir kedua.
***
“Apa anda masih belum bisa melupakan Tuan Zian, Nona Muda?” Ju Fang bertanya saat Chao Xing melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya.
Chao Xing mendesah, pandangannya menerawang jauh. “Apa aku harus melupakannya, Dayang Ju?” ia balik bertanya, tatapannya beralih pada dayang muda yang telah mengasuhnya selama lima belas tahun ini.
Ju Fang tidak menjawab, membuat Chao Xing kembali bicara dengan suara tersendat. “Aku tidak bisa melupakannya,” akunya lirih. Ia meremas dadanya. “Salahkah jika aku berharap suatu hari nanti aku akan kembali bertemu dengannya?”
Ju Fang tersenyum maklum, lalu membawa putri asuhnya itu ke dalam pelukannya. “Sebenarnya tidak ada yang salah,” ujarnya lembut. “Namun ada baiknya anda melupakan apa yang tertinggal di belakang dan terus berjalan maju.”
Chao Xing mendesah. “Aku belum siap untuk melupakannya,” ujarnya membuat kamar nyaman itu hening untuk beberapa waktu. Ia memejamkan mata erat, mengingat kenangan demi kenangan yang dilewatinya bersama Zian. Terkadang ia bertanya, apa Zian baik-baik saja? Apa dia sudah menikah hingga tidak memiliki waktu untuk mengunjunginya? Atau kemungkinan terburuknya apa pemuda itu sudah tiada?
Sebuah helaan napas berat kembali terdengar memecah keheningan. Perlahan kelopak mata itu kembali terbuka. Jika diingat-ingat, ia tidak pernah menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi pada pemuda itu karena Zian pun melakukan hal yang sama.
Bagi Zian, Chao Xing adalah Chao Xing, begitupun sebaliknya.
Chao Xing kembali bicara dengan senyum rapuh yang menyedihkan, “Karenanya aku akan terus menunggunya hingga aku merasa bosan dan menyerah.”
–
Sedihhhh ??? :PEDIHH :AKUGAKTERIMA
???
Saya nemuin cerita ini juga di wattpad. Apa bener kakak juga nulis karya ini d wattpad juga ?
Iyah. Penamenya juga sama. Kalau nggak percaya bisa dikonfirmasi di watty juga kok. Hehehe… ???
Oh iyaa sudah kak. Kalau boleh tau, lebih sering update di wattpad atau d sini kak ?? Soalnya aku suka banget sama cerita Chao Xing ini ?
Kalau di watty udah nyampe bab 15 sih. ^^
Ziannn kenapa ohh kenapaa
Lahh belum selesai nulis udh ke post duluan :ragunih
.
Ini ya kak komenan aslinya:
Zian, kenapa oh kenapa jd galak sama chao :PATAHHATI
Keren kak, udh baca bolak balik tetep ajaa ketagihan hehehe
Semangat yaa kak nulisnyaa :semangatyangmembara
Biasa, pencitraan dulu ???
:PATAHHATI :dragonbaper kasian chao xing .. ikutan berasa sedihnya
Sabar ya nak
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI entah mengapa.. Setiap baca cerita ini bikin aku banjir air mata :PEDIHH :PEDIHH
#SodorinTissue :PEDIHH
Yang sabar ya Chao Xing,,
semangat terus lanjutinnya,,,
Karena menunggu itu membosankan tapi salut sama chao xing :inlovebabe
sedih bacanya :PEDIHH :PEDIHH
baperrr hiks :PATAHHATI
Baper ih baca part ini :PATAHHATI
Baperrrr
wahhh, haha kakaknya sayang semua ya sama Chao,
dan akhirnya bapaknya ngeliat Chao juga hehe
Zian kemana yaaa? huhu mungkin lagi sibuk nge-band sama zigas #eh #krikkrik hahaha
Ditunggu kelanjutannya