“Operasi Alpha” Saat Regim Orde Baru-Era Suharto.
“Mengecewakan! Rencana terbang yang susah payah sudah kususun rapi, langsung dibatalkan pagi-pagi. Aku mendapat perintah untuk menghadap komandan skuadron. Yang terfikir, aku tidak lulus latihan terbang di Israel dan pulang ke Indonesia sebagai pilotprisoner.
Semua bayangan buruk musnah sudah. Aku ternyata menerima perintah baru untuk terbang dalam format sama, tetapi berbeda route. Sebuah peta disodorkan lengkap dengan titik-titik route.
Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu dua belas menit harus kembali ke luar. Yang membuatku gugup, garis merah itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Syria”.
Cerita diatas adalah sepenggal kisah dari seorang pilot yang tergabung dalam Operasi Alpha (Operation Alpha), yaitu operasi clandestine (operasi gelap, diam-diam dan sangat rahasia) terbesar yang dilakukan oleh TNI AU[Tentera Nasional Indonesia-Angkatan Udara], dimana TNI AU melatih pilot dan melakukan pembelian 32 pesawat A-4 Skyhawk dari Israel.
Berikut adalah kutipan tentang Operasi Alpha yang diambil dari buku otobiografi Djoko F Poerwoko “Menari di Angkasa”.
Operasi Alpha.
Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird memang sudah tua.
pesawat tempur milik TNI- AU yang sudah tua, F86Sabre
pesawat tempur T-33 Thunderbird
Kerana kedua jenis pesawat tersebut sudah tua, sehingga kemudian pemerintah Indonesia harus mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Syarikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengisi kekosongan skuadron-skuadron tempur Indonesia.
Dari penggalian intelijen, Mabes – ABRI [Markas Besar-Angkatan Bersenjata RI] ternyata kemudian mendapatkan berita bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik.
Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus diupayakan secara klandestin (rahasia), oleh kerana pasti akan menjadi polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona, Amerika Syarikat
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua projek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo yakni pesawat Northrop F-5 E/F Tiger II, serta Operasi Alpha untuk menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan personel [official–servant] Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi.
Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisyen Skuadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang teknisyen, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai team terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Syarikat untuk belajar terbang disana sedangkan informasi lainnya masih sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dari Airport Halim Perdanakusuma Jakarta.
Kami mendarat pada senja hari di Airport Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila.
Di hotel tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan.
Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukanlah ke Amerika Syarikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelijen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu, segera mengambil semua pasport yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu Ketua BIA, mengajak rombongan kami makan malam.
Dalam kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi langsung saja mengatakan:
”Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil, apabila ‘sang merpati ‘ (pesawat yang dibeli – pen.) telah hinggap…”
Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar! Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond, bahkan sekalanya lebih besar!
Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk ke Indonesia tanpa diketahui orang?
Rasa terkejut semakin besar, oleh kerana kami bersepuluh kemudian langsung berganti identiti yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu juga.
Setelah acara makan malam di hotel, kami harus segera bergegas kembali menuju Airport Paya Lebar Singapura dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa.
Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Airport Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Airport Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Perjalanan semakin aneh, baru saja berdiri bingung kerana masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan berikutnya tersebut, yaitu ke Tel Aviv.
Sampai di Airport Ben Gurion Tel Aviv sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana jalan, cuma mengikuti arus penumpang lain yang menuju pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, sebagai bagian dari operasi intelijen, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Kerana kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan Airport Ben Gurion!
Hanya bisa pasrah, oleh kerana memang tidak tahu senario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya patuh saja dengan hati berdebar.
Tamatlah riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasia Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa pasport yang berusaha menyelundup masuk ke negaranya.
Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, namun tetap saja kami berpikiran buruk.
Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa yang memberi perintah datang ke Israel.
Sampai diruang bawah tanah, perasaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha ada disana. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja di-senario-kan untuk ditangkap dan justru bisa lewat ‘jalur khusus’ guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia.
Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, “Ani tayas mis Singapore” yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan “boken tof ” berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, Pangkalan Udara Rahasia
Semalam tidur di hotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat.
Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat.
Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah.
Boleh saja nama pangkalan itu adalah base number nine dihari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan ‘Arizona’ oleh kerana dalam senario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur Israel.
Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. Latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. Kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail.
Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.
A-4 Skyhawk, Israeli Air Force (IAF) sedang bermanufer (aereo.jor.br)
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air, sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista.
Dalam pusingan ini pula, aku pernah menembus sistem radar Syria dengan instruktur ku!
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa petinggi militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sivil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh kerana kami dididik jurulatih penerbang paling jaguh di dunia.
Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh kerana brevetdan ijazah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung.
Kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita lalu segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hafalkan saja dikepala semua pelajaran yang pernah diperoleh!
Wing Day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. Semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara.
Ternyata kami sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. Kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Leftenan Satu.
Aku juga dibelikan kamera brand Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau pos-kad ke Indonesia untuk menguatkan alibi, bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.
Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau serba Amerika, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tour keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal, Wow!
Di Yuma, Arizona Amerika, kami telah disenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya.
Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru digraduation sebagai penerbang A-4, sekaligus menerima ijazah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC!
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghafalkan hasil-hasil pertandingan badminton All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghafal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lapangan-Udara[LanUd] Iswahyudi Madiun yang mengangkut F-5 E/F Tiger II dan paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba Pelabuhan di Tanjung Priok.
Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan menjadi satu paket projek kiriman pesawat terbang, namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 adalah di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku juga punya.!
Kerana percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?”
Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan samasekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi Armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly passpesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut.
Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lagi tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia,
Mencari detail tentang Operasi Alpha susahnya minta ampun, kerana tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main.
Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi”yang merupakan otobiografi dari beliau juga masih merupakan cetakan untuk kalangan terbatas.
Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetap aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya Benny Moerdani tidak dibahas sama sekali.
Terimakasih juga untuk Metro TV yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang Operasi Alpha dalam acara Special Operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).
Pilot tempur AURI berpose bersama dengan latar belakang pesawat tempur F-86 Sabre
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku ‘My Home My Base’ diluncurkan, ada polemik yang meninggalkan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta izin KASAU dan beliau mengizinkan, kerana kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya pun tidak lagi berkomentar.
( KASAU-Ketua Staf Angkatan Udara)
Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak untung dan ruginya.
Namun sebelumnya. tentu saja aku minta izin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4 di grounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi!
Sumber :
[1] Poerwoko, Djoko F / Menari di Angkasa / Kata Hasta Pustaka / Jakarta. 2007
[2] http://indocropcircles./pelbagai sumber.
Wow @surenitha nice posting
Wow nambah pengetahuan bngt nih ka share an dikau
Mksh yak atas info2ny
thank you info di postingannya
Wow. Thank you udah share :MAWARR
Wah thanks untuk infonya
wah bagus bgt ini postingannya aq baru baca