#2 Amplop Antah Berantah
22 April 2022 in Vitamins Blog
Eugenia Rothmann selalu beraktifitas dengan pola yang sama. Membuka mata ketika ayam peliharaan keluarganya berkokok nyaring. Merapikan ranjangnya dalam waktu dua menit dan tiga puluh detik. Berpindah dari kamar tidur menuju dapur dengan cepat sebanyak dua puluh satu langkah.
Sepanjang perjalanan singkatnya menuju dapur, telinga Eugenia yang tajam menangkap suara derit besi yang bergejolak cukup kencang, membelah kesunyian dini hari dengan tak tahu malu. Dalam hati, gadis itu menghitung bahwa suara derit itu terdengar olehnya pada langkah ke sembilan, saat tubuhnya melewati kamar tidur orang tuanya. Kaki Eugenia sempat melambatkan langkah dalam tanya, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih lanjut. Ibunya, Celeina, adalah wanita yang ingin terbangun dalam kondisi mendapati sang putri telah melaksanakan tugas paginya dengan sempurna. Eugenia tidak ingin pagi tenangnya beriak karena amarah sang ibu.
Ketika gadis itu telah tiba di dapur, Eugenia langsung bergegas menyiapkan minuman hangat. Meskipun keluarga Rothmann cukup berada untuk memiliki pelayan, Celeina Rothmann memutuskan untuk melibatkan hanya satu pelayan yang dijadwalkan datang kurang lebih empat jam lagi. Maka dari itu, tak seorangpun membantu Eugenia yang sibuk merebus air, mencuci piring-piring kotor sisa semalam, dan membersihkan dapur.
Bukannya Eugenia keberatan dengan itu semua. Pekerjaan pagi yang dilimpahkan sang ibu kepadanya ini, meskipun terkesan remeh, merupakan pelajaran yang berharga di hidupnya. Gadis itu bersekolah di sekolah keputrian papan atas dan mayoritas teman-teman sekolahnya yang kaya-raya tak pernah dibiasakan untuk memiliki rutinitas seperti dirinya. Tak ada percakapan seperti cara memilih pemasok batu bara berkualitas tinggi, trik mencuci noda bandel di panci, atau cara menjaga tangan tetap mulus meski dipakai kerja keras tanpa henti.
Saat Eugenia larut pada rutinitas pagi, suara koran dilempar ke depan pintu membuyarkan konsentrasinya. Loper koran langganan selalu melempar koran pada pintu belakang rumah pada jam yang sama. Dengan cepat, gadis itu bergegas menuju pintu belakang untuk mengambil koran tersebut.
Ketika daun pintu itu berayun terbuka, gadis itu menemukan bahwa koran bukanlah satu-satunya benda yang dilemparkan di pagi ini.
Di atas koran langganan itu, terdapat amplop manila coklat pasir seukuran koran yang dilipat jadi dua. Tubuh Eugenia merendah untuk mengambil kedua benda tersebut. Gadis itu menatap fokus pada amplop misterius untuk mencari identitas pengirimnya. Namun, yang dia temukan hanya tulisan kepada siapa amplop itu ditujukan.
Kepada Yang Terhormat, Tuan Otto Rothmann, Kepala Departemen Akademeia Perguruan Seni Kerajaan Ansbach.
Amplop misterius itu ditujukan kepada ayahnya.
Eugenia segera menegakkan tubuhnya dengan perlahan. Kemudian, sang gadis segera melangkahkan kaki meninggalkan dapur dan berpindah menuju ruang kerja sang ayah. Lokasinya terletak pada sisi rumah yang berlawanan dengan deretan kamar tidur di rumah itu.
Saat Eugenia melangkah memasuki ruang kerja, matahari yang tadinya masih bersembunyi di balik cakrawala, kini telah berani menampilkan tubuh bulat bersinarnya hampir sempurna. Langit pagi yang tadinya berwarna sepekat warna ungu sepasang mata milik Eugenia sekarang memudar menjadi biru lazuardi. Sedikit terkesiap karena cepatnya waktu berlalu, gadis itu pun terburu-buru menyebrangi ruangan untuk segera meletakkan amplop itu di atas meja kerja.
Lagipula, ceret di dapur sudah bersiul nyaring dari dapur sana, memanggil Eugenia untuk segera menyelesaikan tugasnya.
***
Suara ceret yang memekakkan telinga itu menarik kesadaran Otto dari lelapnya.
Lelaki itu sempat terlelap dalam tidur ayam-ayamnya setelah semalaman bercinta dengan istrinya. Kedua matanya melirik ke arah jendela yang masih ditutup oleh tirai tebal. Celah di tengah tirai itu menampilkan semburat langit pagi yang membiru, pertanda berikutnya bahwa pagi hari telah tiba.
Ceret perebus minum itu tak kunjung dimatikan, membuat Otto mengerutkan kening. Biasanya, Eugenia dengan cekatan langsung mematikan kompor sebelum semua air di dalam ceret menguap sia-sia. Apakah anak itu tidak ada di dapur?
Otto pun perlahan bangkit dari posisinya saat ini. Istrinya, Celeina, sedang terlelap dalam lelah setelah meleburkan diri bersama suaminya sepanjang malam menjelang dini hari. Wanita itu tidur meringkuk memunggunginya, punggung telanjangnya tertutup oleh selimut yang menutup sampai puncak belah dada dan rambut hitam sekelam arangnya menyebar di atas bantal seperti air mancur hitam.
Dia tidak ingin mengganggu istirahat istrinya. Selain karena kondisi tubuhnya yang kelelahan karena aktivitas sebelumnya, Otto tidak ingin Celeina terbangun karena mendengar suara ceret yang berisik lebih lama dari yang bisa ditoleransi wanita itu.
Otto mencintai Celeina sepenuh jiwanya, dan keputusannya untuk mencintai juga termasuk dengan memahami tendensi Celeina yang amat disiplin hingga bersikap keras dengan putri mereka.
Dalam senyap, lelaki itu berjingkat menuju ruang mandi untuk mandi besar dengan kilat, tak peduli untuk menutup tubuhnya yang telanjang bulat.
Suara ceret itu akhirnya tak lagi membahana tatkala dirinya berdiri menyalakan pancuran air dingin. Lelaki itu sengaja mengucurkan air dingin dari pancuran untuk memadamkan hasrat paginya. Dia tak bisa menghabiskan waktunya paginya untuk lanjut bersatu dengan Celeina karena hari ini ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Cahaya pagi yang terang akhirnya memaksa untuk menguasai seluruh kamar tidur dan menembus pori-pori tirai. Otto yang selesai mandi mengeringkan rambutnya dan segera berpakaian rapi. Melihat cercah cahaya di balik tirai, sepertinya Eugenia sudah siap dengan minuman pagi buatannya.
Melirik ke arah ranjang sekali lagi, terlihat tak ada perubahan pose tidur Celeina. Wanita itu seakan membatu dalam pose meringkuk abadi, sama sekali tak terusik oleh situasi di sekelilingnya. Otto pun mendekati sang istri dan mengecup pelipisnya lembut sebelum akhirnya meninggalkan kamar tidur.
***
“Eugenia, apa ini?”
Gadis itu sudah bersiap untuk menyambut ayahnya yang melangkah menuju ruang makan, tetapi ekspresi ramah yang telah menggantung di wajahnya membeku ketika Otto bertanya dengan nada tajam.
Gadis itu melirik amplop manila yang diletakkannya beberapa jam yang lalu di tangan sang ayah. Sambil menelan ludah, Eugenia menjawab pertanyaan ayahnya dengan hati-hati, “Tadi pagi amplop itu dikirim bersama koran, Ayah. Karena ada nama Ayah di situ, aku putuskan untuk langsung menaruhnya di meja kerja. Mungkin itu ada hubungannya dengan pekerjaan, jadi langsung saja kutaruh di situ.”
“Apa kau tidak membaca saksama informasi yang tertulis di luaran amplop ini?”
Otto mengacungkan amplop manila itu cukup tinggi melewati pucuk kepalanya, menandakan bahwa lelaki itu mulai dikuasai emosi. Eugenia, yang menyadari perubahan suasana yang menjadi mencekam ini mencoba memperbaiki situasi, “J-jika yang Ayah maksud adalah nama pengirimnya, aku tidak menemukan apapun di situ. Hanya ada nama Ayah dan jabatan Ayah. A-aku juga inginnya mengklarifikasi pengiriman amplop ini, tetapi aku sedang membuat minum saat amplop itu datang dan ketika kubuka pintu, pengirimnya sudah tak ada—”
“Cukup, Eugenia. Kau lanjut saja mengerjakan tugasmu,” potong Otto dengan dingin. Lelaki itu tak lagi fokus pada ekspresi Eugenia yang pecah karena terpaku pada amplop misterius itu. Benda apa yang ada di dalamnya? Kalau menimbang dari beratnya, sepertinya adalah suatu dokumen sejumlah beberapa halaman. Dokumen apa yang harus dikirim dengan cara mencurigakan seperti ini, pikir Otto dalam hati.
Lelaki itu pun duduk di atas kursi yang telah disiapkan oleh putrinya. Eugenia berada di samping ayahnya, menuangkan kopi hitam lalu disusul dengan susu sapi dalam diam. Gadis itu terlihat dingin karena mencoba menata perasaannya yang kacau karena dihardik ayahnya sepagi ini.
Sesungguhnya, kewajiban Eugenia ini cukup sederhana. Dia hanya perlu menyiapkan kopi susu ayahnya pada jam yang sama, ketika langit pagi berwarna biru terang. Pengaturan spesifik ini diatur sedemikian oleh ibunya untuk mendukung suasana hati sang kepala keluarga agar bisa melakukan pekerjaannya. Menjadi kepala departemen perguruan seni musik terbaik senasional adalah pekerjaan yang harus dilakukan dengan kepala dingin karena Otto Rothmann adalah komposer sekaligus pejabat di tempatnya bekerja. Menurut Celeina, jika tidak didukung oleh rutinitas yang teratur, maka suaminya itu takkan bisa menyeimbangkan perannya dengan baik. Maka, wanita itu menuntut putrinya untuk melaksanakan kewajibannya pada waktu yang sama setiap hati.
Otto menimbang dalam apakah sebaiknya dia membuka amplop itu. Ketika semua sudut telah dia periksa, sambil memohon perlindungan kepada sang pelindung di atas, lelaki itu membuka amplop dan mengeluarkan isinya.
[tbc]
#1 Kala Petang
1 Oktober 2021 in Vitamins Blog
Jendela kaca di lantai dua rumah itu menampilkan sosok wanita terkasih, yang berhias wajah mendung. Celeina berdiri di balik lindungan jendela tersebut, memaku sosok lelaki berpayung yang membalas tatapannya dari bawah. Robin, nama sosok itu, sempat-sempatnya terdiam di tengah guyuran hujan petang yang semakin menggila tiap detiknya. Padahal Celeina menunggu berita terbaru tentang suaminya yang pastinya ada di genggaman Robin.
Ketidaksabaran Celeina tidak membuat Robin segera bergegas untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Lelaki itu tak tahu bagaimana wanita di atas sana akan menerima kabar yang dibawanya. Celeina begitu mencintai Otto, suaminya yang dinikahi selama sedekade lebih. Tak pernah mereka berpisah selama empat hari tanpa komunikasi seperti yang mereka alami sekarang.
Robin meneguhkan hati dan melangkah menuju pintu depan rumah. Dia memaksa benaknya untuk mengingat kembali alasan utama dia ke rumah Celeina dan Otto. Ketika tangan kanannya bersiap untuk mengetuk, daun pintu rumah sudah terlebih dulu berayun terbuka. Robin disambut oleh putri suami-istri itu, Eugenia, yang menengadah ke arahnya dengan ekspresi yang begitu serupa dengan ibunya.
“Kak Robin,” Eugenia membuka suara dengan pelan, “apa yang menahanmu begitu lama?”
Robin hanya bisa memberikan senyum pahit.
“Urusan ayahmu di rumah sakit ternyata lebih rumit dari yang kuduga. Diagnosis penyakitnya, pengaturan menginapnya, administrasinya…”
“Mengapa aku dan Ibu tak bisa membantu itu semua? Ayah pasti ketakutan di sana. Rumah sakit itu… bukan rumah sakit biasa, bukan?” Suara Eugenia bergetar seiring dengan bayang-bayang kabar buruk tentang rumah sakit tempat ayahnya di rawat di sana.
Namun, sebelum Eugenia kembali berkata, suara tegas ibunya terdengar dari belakang gadis itu.
“Robin. Lama sekali aku tidak melihatmu,” sambut Celeina yang turun dari tangga kayu. Terlihat sekali bahwa wanita itu tak ingin berbasa-basi. Eugenia mengenali ketegasan dari suara ibunya dan segera mundur untuk menyiapkan ruang tamu. Kedua mata Robin mengamati bagaimana Eugenia tergesa-gesa membuka pintu ruang tamu dan menyalakan perapian di bawah lirikan tajam Celeina. Rasa iba tumbuh di hati Robin karena jatuh sakitnya Otto berimbas pada memburuknya hubungan Celeina dan Eugenia.
Ketika ruang tamu yang disiapkan terburu-buru itu sudah siap, dengan sekali lirik, Celeina mengusir Eugenia dari tempat itu.
“Nyonya Celeina,” Robin memberanikan diri angkat suara. “Anda tidak seharusnya memperlakukan Eugenia seperti itu…”
“Urusanku dengan Eugenia bukanlah urusanmu, Robin,” potong Celeina dengan nada kasar nan tajam. “Otto-lah urusanmu. Katakan padaku, bagaimana keadaannya?”
Robin terdiam di atas sofa sembari menyusun jawaban. Dengan perlahan, lelaki itu menjawab, “Ketika beliau diwawancarai dan diobservasi oleh tim dokter, Tuan Otto menjawab dengan kesadaran penuh. Tuan Otto mengatakan bahwa ada yang salah dengan jiwanya sehingga dia nekat melakukan percobaan bunuh diri… enam hari yang lalu.”
“Bunuh diri…” gumam pelan Celeina, meresapi informasi itu sedalam-dalamnya. Tubuh wanita itu bersandar pada sofa di seberang Robin. Wajahnya yang sedari tadi mendung kini semakin menggelap oleh kesedihan yang tak berujung. Kesedihan yang Robin tahu takkan sanggup dirinya hilangkan.
“Apakah ini bayaran dari seluruh kerja keras jeniusnya sebagai komposer…” Celeina kembali bergumam, sepertinya dimaksudkan untuk dirinya sendiri. Mata terindah itu, yang selalu Robin lihat selalu berkilau cerah akan semangat pengabdian seorang istri, menutup dalam ekspresi pedih.
Lalu tiba-tiba, mata itu terbuka. Begitu intens menembus kedalaman jiwa Robin, yang tak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya dan merinding karenanya.
“Bagaimana denganmu, Robin? Kau juga seorang komposer seperti Otto, bukan? Kalian sama-sama komposer cemerlang dan beban kerja kalian juga sama. Tapi, kenapa suamiku tumbang dan kau masih tegak berdiri di sini?”
“Nyonya…”
“Apa yang salah dari ini semua?” Kegetiran yang nyata lolos dari pertanyaan singkat itu. Celeina menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba menahan pergolakan emosi yang berombak kuat menguasai seluruh tubuh.
Hati Robin yang mudah tersentuh akan segala tentang Celeina mendorongnya untuk menyeberangi jarak untuk merangkul wanita itu dalam pelukan. Harum wewangian oud, yang dikenakan Celeina—parfum milik Otto—menusuk indra olfaktori lelaki itu. Dengan kejam, realita kembali mengingatkannya bahwa sebesar apapun cintanya pada Celeina, wanita itu akan selalu memilih berada di sisi Otto, menjadi milik Otto, bahkan sampai ajal menjemput.
Dengan lembut, Robin memeluk dan membuai Celeina tanpa pengharapan apa-apa. Derasnya hujan petang di luar sana menciptakan harmoni kesedihan, yang lagi-lagi akan menghiasi karya musik lelaki itu. Persembahannya untuk Celeina: istri gurunya, ratu di hatinya, dan sumber kesedihannya.