Kalau Jodoh, Ya Nikah
14 Agustus 2017 in Vitamins Blog
-Chapter one-
“Pokoknya kamu harus nurutin perintah Bapak!” kata Bapak dengan tegasnya. Bukannya durhaka, tapi saat ini aku menahan tawa karena wajah komedi Bapakku yang mendadak mencoba menjadi serius. “Semua udah disiapin calon suamimu. Kamu tinggal anteng sampe tanggal pernikahan.”
Uh, kepalaku pusing, gigiku nyeri, dan aku sudah siap untuk pingsan. Tapi ternyata ini efek samping obat sakit gigi yang sudah kuminum beberapa saat lalu. Ngomong-ngomong tentang masalah gigi- eh, masalah ini, apa yang akan kukatakan pada pacarku nanti? Apa dia akan menerima semuanya? Bagaimana kalau dia mengamuk saat hari pernikahanku? Aku tidak yakin Bapak akan dengan sabarnya berkata, ‘Mohon bersabar, ini ujian.’ Dan kini, aku teringat film terbaru yang dibintangi pacarku dan akan rilis bulan ini.
One Week Friend.
Oh ayolah, berkhayal kalau Yamazaki Kento pacarku bukan sebuah kejahatan kan?
“Bapak kok nggak bilang kalau punya utang sama lintah darat? Kan April bisa bantu nyicil daripada nikahin anaknya.”
“Hmm, Bapak emang lagi ada utang sama Safri, yaudah deh pinjemin Bapak sejuta dulu.”
Dengan cepat aku menyeringai dan Bapak menutup mulut dengan tangannya. “Buk, Bapak punya utang pak Safri seju–“
“Diam kamu!”
“Apaan Pril? Ngomongnya kurang kenceng,” teriak Ibuk dari dapur. Siapa suruh pagi-pagi ngidupin tv volumenya kenceng gila. Padahal tv kagak diliat.
Aku melirik ke arah Bapak yang menggeleng memohon agar tidak dibocorkan rahasia hutangnya. “Anu Buk, Ayu Pingping katanya mau dilamar Rapi Amat.”
“Ngaco kamu! Rapi Amat itu suaminya Nagita Selowvina tau.”
Ya ya ya, salahku juga bergosip dengan ratu gosip RT ini. Bahkan Ibuk jauh lebih tau setiap perkembangan dunia gosip melebihi para reporter atau pembawa acara gosip bibir manyun-miring.
“Nah Pak, kan April udah nutupin fakta tentang utang Bapak yang SEJUTA-” sengaja kunaikkan beberapa oktaf hanya untuk melihat mata mendelik Bapak yang lucu, “-jadi April nggak nikah sama pilihan Bapak, kan?”
“Pokoknya kalo kamu nggak mau nikah sama pilihan Bapak, siap-siap angkat kaki darisini,” dan ya, Bapak mulai dengan peran Ayah tiri yang tega mengusir anaknya. Lihat, Bapak bahkan tak sudi menatapku. Tangannya menunjuk dinding alih-alih menunjuk pintu. Saat ini saja Bapak sudah gagal serius.
“Lah, April emang mau angkat kaki.”
“Loh?” gumam Bapak. Tangan lurusnya kini membentuk sudut siku dengan wajah yang tiba-tiba sedih. “April mau ninggalin Bapak? Canda, Pril. Bapak nggak setega itu sampe ngusir kamu.”
Aku menghela napas, “Pak, April cuma mau kerja. Udah telat.”
Selain lawak, Bapak sangat pintar bermain peran. Tuhkan, Bapak kembali bermain peran Ayah tiri. “Pokoknya kamu kudu nikah. Awas kamu– April! Bapak ini masih ngomong. Jangan nyelonong aja.”
Aku yang sedang mengecup tangan Ibu berbalik sebal, “April nggak ada waktu buat drama Bapak. April telat.” aku menarik tangan Bapak dan menciumnya. Padahal yang ingin kulakukan adalah menggingitnya hingga berlubang.
“April berangkat. Assalamualaikum.”
*
Kurang lebih seperti itu percakapan antara Bapak dan aku. Obrolan tentang perjodohan yang tiba-tiba itu membuatku uring-uringan selama sebulan ini.
Bahkan aku tak sengaja membentak bosku. Untungnya dia mengalami gangguan pendengaran, jadi setelah aku bilang ‘cari sendiri, bego’ bos malah tersenyum dan menjawab, ‘aku memang suka main lego’
Terserahlah, yang penting aku tidak dipecat.
Dan lalu, dua hari ini aku sama sekali belum tidur. Alasan terkuatnya? Tentu saja karena aku akan menikah besok.
Menikah! Kalian tau? Menyatukan dua pasang manusia menjadi satu, tidak, bukan operasi manusia kelabang, tapi menjadikan satu dalam artian satu keluarga.
Mimpi apa aku semalam hingga besok aku akan menikah? Oh aku lupa kalau aku belum bermimpi. Bagaimana kalau aku tidur secepatnya agar aku bermimpi menikah dan bangun setelah mendengar kata sah? Ah ide bagus!
Zzzzzz…