Bab 3.
Pagi ini, Gladys sarapan dengan kedua orang tuanya. Hal yang sangat jarang dilakukan mengingat keduanya kerap tak berada di rumah.
“Gimana sekolah kamu?” tanya Ferdinand pada putrinya yang sedang mengoleskan butter ke roti.
“Baik, Pi,” jawab Gladys santai.
“Oh ya, kamu udah ngirim formulir untuk kuliah di Leiden kan? Cepet lho, nanti kamu malah terlambat dan gak keterima.” Gladys menghela napasnya. Pembicaraan bulan lalu ternyata masih belum selesai. Padahal ia sudah menolak untuk kuliah di kota asal Ayahnya itu.
“Pi, Gladys kan udah bilang, Gladys gak mau kuliah di Leiden. Gladys mau kuliah di Jakarta aja!” Ferdinand menghela napas dan meletakkan peralatan makannya lalu mengelap sedikit mulutnya. Istrinya Claudia sudah melirik pada Gladys yang mulai memancing kekesalan Ayahnya lagi.
“Gladys, kita sudah bicarakan ini selama satu bulan lalu. Papi mau kamu pulang ke Leiden untuk kuliah. Universitas disana bagus, top. Dan pulang dari sana kamu bisa urus perusahaan Papi disini dan disana sekaligus!”
“Pi, apa bedanya sih sama kuliah disini? Gladys juga masuknya ke Universitas negeri paling top di Indonesia!”
“Negeri? Kamu gak salah!” Gladys makin mendengus kesal. Ayahnya tak pernah mau mengerti keadaan dan keinginannya.
“Pokoknya Gladys gak mau berangkat ke Leiden. Gladys mau kuliah disini aja!” ujar Gladys mengambek.
“Sayang… memangnya kamu udah persiapan masuk Universitas disini?” tanya Claudia, Ibunda Gladys.
“Iya, Mi. Tinggal dikit lagi, Gladys bisa dapat undangan masuk ke fakultas ekonomi. Biarin Gladys kuliah disini, Mami… Papi!” Ferdinand tetap menggelengkan kepalanya.
“Gak, gak bisa… kamu tetap harus kuliah di Leiden!” Gladys kesal dan berdiri dari kursinya mengambek.
“Gak. Pokoknya Gladys gak mau pergi dari Jakarta. Gladys tetap mau kuliah di sini. Titik!” Gladys langsung mengambil tas sekolahnya dan pergi meninggalkan ruang makan dan orang tuanya begitu saja.
“Lho, Gladys… sayang!” panggil Claudia pada putri satu-satunya itu sementara Ferdinand hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Ini semua pasti gara-gara anak laki-laki itu!” sahut Ferdinand dengan kesal.
“Maksud Papi?”
“Itu yang ngaku-ngaku pacarnya Gladys. Aku gak tau siapa namanya itu, anak miskin itu!” Claudia hanya diam dan mencoba menenangkan suaminya.
“Sabar ya, Pi. Kita ngomong sama Gladys pelan-pelan!”
“Gladys itu harus ngerti kalo dia adalah pewaris keluarga Hoen. Dia gak boleh main-main sama hidupnya lagi. Pokoknya dia harus berangkat ke Leiden secepatnya!” sekali lagi Claudia hanya bisa menghela napas melihat Suami dan Anaknya sama-sama keras kepala.
Sementara itu di sekolah, Gladys tak menunjukkan sama sekali pada Rahmat bahwa ia habis berdebat dengan orang tuanya. Terlebih Rahmat tidak mengetahui jika Gladys berniat dikuliahkan di luar negeri. Gladys masih seperti biasa, layaknya siswa kelas 3 lainnya yaitu mengurus masuk ke universitas.
“Aku lulus, Dys. Aku diterima di Teknik Arsitektur!” ujar Rahmat membawa sebuah surat undangan masuk Universitas pada Gladys. Gladys langsung semringah dan memegang tangan Rahmat. Ingin rasanya memeluk tapi kontak fisik mereka selama pacaran hanya sebatas berpegangan tangan. Rahmat mungkin tampan, tapi ia masih memegang nilai-nilai yang selalu diajarkan orang tuanya.
“Aku ikut senang, Rahmat. Selamat ya!” Rahmat mengangguk mantap dan tersenyum lebar.
“Kamu gimana?” Rahmat balik bertanya dan senyum Gladys perlahan hilang tapi ia menaikkan kembali lengkungan di bibirnya.
“Mungkin aku sebentar lagi juga ada pengumumannya. IPS kan terakhir biasanya, hehehe!” Rahmat ikut tersenyum dan mengangguk.
“Mana suratnya?” Rahmat memberikannya pada Gladys dan dengan senyuman kedua sama-sama membaca isi surat pemberitahuan untuk Rahmat tersebut.
“Ehmm… kalo gitu nanti sore aku jemput kamu ya. Aku mau traktir kamu makan!” ujar Rahmat masih dengan senyumannya. Gladys menaikkan alis dan mengangguk.
“Kamu udah gajian ya?” goda Gladys sambil menunjuk Rahmat yang sedikit malu.
“Yah gitu deh kira-kira.” Gladys mengangguk setuju dan menyerahkan kembali surat milik Rahmat.
“Jangan buang-buang uang kamu, Mat. Kamu kan harus nabung untuk pendaftaran ulang nanti,” ujar Gladys.
“Ya kan gak apa sekali-kali aku traktir kamu. Biarpun hanya makan bakso!”
“Iya. Makan bakso juga aku suka kok. Asal sama kamu!” Rahmat jadi makin tersipu dan menunduk.
“Ya udah, nanti sore aku jemput yah. Aku mau ke ruangan OSIS dulu, ada rapat sebelum penyerahan ketua baru.” Gladys mengangguk dan tersenyum. Rahmat pergi melambaikan tangan dan setengah berlari ke arah teman-temannya.
Sementara senyuman Gladys perlahan melihat kekasihnya yang pergi menyusul teman-temannya. Gladys tau bahwa jalannya dan Rahmat akan sangat sulit. Rahmat tidak pernah tau jika orang tua Gladys menentang mati-matian hubungan mereka, ditambah mereka berbeda keyakinan.
“Aku gak ninggalin kamu, Mat. Aku sayang sama kamu,” gumam Gladys sambil menyandarkan sisi kepalanya di dinding sebelahnya.
Sore hari seperti janji, Rahmat menjemput Gladys di rumahnya. Begitu Rahmat datang, Gladys langsung keluar dengan pakaian santai dan sangat cantik.
“Yok… aku udah laper!” ajak Gladys sambil mengambil tangan Rahmat menggandengnya keluar dari rumah.
Rahmat mengajak Gladys makan di salah satu warung bakso sederhana tak jauh dari komplek rumah mewah gadis itu. Selama makan, keduanya kerap bercanda dan tertawa saling bercerita satu sama lain.
Waktu berlalu begitu cepat bagi Gladys. Bahkan dari sore sampai malam mereka masih mengobrol. Rahmat hanya sempat pamit sesaat untuk Shalat Magrib di mushala dalam warung tersebut lalu melanjutkan mengobrol meski mangkuk bakso sudah kosong.
Pukul 7 malam, Rahmat mengantarkan Gladys kembali ke rumahnya sambil berjalan kaki. Keduanya berpegangan tangan sambil masih bercerita.
“Dys… kalo kamu jadi masuk ke kampus yang sama denganku, kita bisa pulang bareng yah!” ujar Rahmat masih semringah. Gladys masih tersenyum dan mengangguk.
“Aku juga pengen makan siang sama kamu trus pulang bareng kamu juga. Sesekali nanti aku ke rumah kamu deh, kangen sama sayur asem buatan ibu kamu!” Rahmat tergelak.
“Ah, itu kan cuma sayur asem. Apa enaknya sih!”
“Enak lho… beda banget sama bikinan Bibi di rumah.”
Tak terasa mereka sudah tiba di depan rumah Gladys dan Rahmat pun berhenti meski masih memegang tangan pacarnya itu.
“Ayo masuk!” ajak Gladys.
“Gak usah deh, udah malem. Aku anter ke depan aja ya!” Gladys tersenyum dan mengangguk. Rahmat dan Gladys kemudian masuk dan berdiri di depan teras masih berpegangan tangan.
“Makasih ya, Mat atas traktirannya. Baksonya enak,” ujar Gladys masih tersenyum lebar. Ia begitu bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Rahmat.
“Ah cuma bakso doang. Nanti kalo aku udah kerja, aku pasti akan traktir kamu makan di restoran mahal.”
“Ah kamu… makan bakso di pinggir jalan juga aku udah seneng kok. Makasih!” Rahmat mengangguk. Gladys terdiam sesaat memandang Rahmat dan kesedihan perlahan masuk ke dalam hatinya. Ia tak bisa menahan diri dan perasaannya. Gladys lalu memajukan diri dan memeluk Rahmat.
Mata Rahmat sedikit membesar dan ia tak bisa bergerak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Baru kali ini ia dipeluk seorang gadis cantik yang bahkan sudah menjadi kekasihnya hampir dua tahun terakhir.
“Aku sayang sama kamu. Sayang banget!” gumam Gladys dari balik pelukannya. Rahmat akhirnya membalas pelukan Gladys dengan meletakkan kedua tangan di punggungnya.
“Aku juga sayang sama kamu. Beneran!” balas Rahmat lembut.
“HEH… APA INI!” suara Ferdinand, Ayah Gladys mengejutkan keduanya. Gladys melepaskan pelukannya dari Rahmat dan keduanya saling melihat Ferdinand yang keluar dari pintu rumah dengan wajah kesal.