Gita Cinta Pertama (Part. Saat Mengantar Pulang)

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 3.

Pagi ini, Gladys sarapan dengan kedua orang tuanya. Hal yang sangat jarang dilakukan mengingat keduanya kerap tak berada di rumah.

“Gimana sekolah kamu?” tanya Ferdinand pada putrinya yang sedang mengoleskan butter ke roti.

“Baik, Pi,” jawab Gladys santai.

“Oh ya, kamu udah ngirim formulir untuk kuliah di Leiden kan? Cepet lho, nanti kamu malah terlambat dan gak keterima.” Gladys menghela napasnya. Pembicaraan bulan lalu ternyata masih belum selesai. Padahal ia sudah menolak untuk kuliah di kota asal Ayahnya itu.

“Pi, Gladys kan udah bilang, Gladys gak mau kuliah di Leiden. Gladys mau kuliah di Jakarta aja!” Ferdinand menghela napas dan meletakkan peralatan makannya lalu mengelap sedikit mulutnya. Istrinya Claudia sudah melirik pada Gladys yang mulai memancing kekesalan Ayahnya lagi.

“Gladys, kita sudah bicarakan ini selama satu bulan lalu. Papi mau kamu pulang ke Leiden untuk kuliah. Universitas disana bagus, top. Dan pulang dari sana kamu bisa urus perusahaan Papi disini dan disana sekaligus!”

“Pi, apa bedanya sih sama kuliah disini? Gladys juga masuknya ke Universitas negeri paling top di Indonesia!”

“Negeri? Kamu gak salah!” Gladys makin mendengus kesal. Ayahnya tak pernah mau mengerti keadaan dan keinginannya.

“Pokoknya Gladys gak mau berangkat ke Leiden. Gladys mau kuliah disini aja!” ujar Gladys mengambek.

“Sayang… memangnya kamu udah persiapan masuk Universitas disini?” tanya Claudia, Ibunda Gladys.

“Iya, Mi. Tinggal dikit lagi, Gladys bisa dapat undangan masuk ke fakultas ekonomi. Biarin Gladys kuliah disini, Mami… Papi!” Ferdinand tetap menggelengkan kepalanya.

“Gak, gak bisa… kamu tetap harus kuliah di Leiden!” Gladys kesal dan berdiri dari kursinya mengambek.

“Gak. Pokoknya Gladys gak mau pergi dari Jakarta. Gladys tetap mau kuliah di sini. Titik!” Gladys langsung mengambil tas sekolahnya dan pergi meninggalkan ruang makan dan orang tuanya begitu saja.

“Lho, Gladys… sayang!” panggil Claudia pada putri satu-satunya itu sementara Ferdinand hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini semua pasti gara-gara anak laki-laki itu!” sahut Ferdinand dengan kesal.

“Maksud Papi?”

“Itu yang ngaku-ngaku pacarnya Gladys. Aku gak tau siapa namanya itu, anak miskin itu!” Claudia hanya diam dan mencoba menenangkan suaminya.

“Sabar ya, Pi. Kita ngomong sama Gladys pelan-pelan!”

“Gladys itu harus ngerti kalo dia adalah pewaris keluarga Hoen. Dia gak boleh main-main sama hidupnya lagi. Pokoknya dia harus berangkat ke Leiden secepatnya!” sekali lagi Claudia hanya bisa menghela napas melihat Suami dan Anaknya sama-sama keras kepala.

Sementara itu di sekolah, Gladys tak menunjukkan sama sekali pada Rahmat bahwa ia habis berdebat dengan orang tuanya. Terlebih Rahmat tidak mengetahui jika Gladys berniat dikuliahkan di luar negeri. Gladys masih seperti biasa, layaknya siswa kelas 3 lainnya yaitu mengurus masuk ke universitas.

“Aku lulus, Dys. Aku diterima di Teknik Arsitektur!” ujar Rahmat membawa sebuah surat undangan masuk Universitas pada Gladys. Gladys langsung semringah dan memegang tangan Rahmat. Ingin rasanya memeluk tapi kontak fisik mereka selama pacaran hanya sebatas berpegangan tangan. Rahmat mungkin tampan, tapi ia masih memegang nilai-nilai yang selalu diajarkan orang tuanya.

“Aku ikut senang, Rahmat. Selamat ya!” Rahmat mengangguk mantap dan tersenyum lebar.

“Kamu gimana?” Rahmat balik bertanya dan senyum Gladys perlahan hilang tapi ia menaikkan kembali lengkungan di bibirnya.

“Mungkin aku sebentar lagi juga ada pengumumannya. IPS kan terakhir biasanya, hehehe!” Rahmat ikut tersenyum dan mengangguk.

“Mana suratnya?” Rahmat memberikannya pada Gladys dan dengan senyuman kedua sama-sama membaca isi surat pemberitahuan untuk Rahmat tersebut.

“Ehmm… kalo gitu nanti sore aku jemput kamu ya. Aku mau traktir kamu makan!” ujar Rahmat masih dengan senyumannya. Gladys menaikkan alis dan mengangguk.

“Kamu udah gajian ya?” goda Gladys sambil menunjuk Rahmat yang sedikit malu.

“Yah gitu deh kira-kira.” Gladys mengangguk setuju dan menyerahkan kembali surat milik Rahmat.

“Jangan buang-buang uang kamu, Mat. Kamu kan harus nabung untuk pendaftaran ulang nanti,” ujar Gladys.

“Ya kan gak apa sekali-kali aku traktir kamu. Biarpun hanya makan bakso!”

“Iya. Makan bakso juga aku suka kok. Asal sama kamu!” Rahmat jadi makin tersipu dan menunduk.

“Ya udah, nanti sore aku jemput yah. Aku mau ke ruangan OSIS dulu, ada rapat sebelum penyerahan ketua baru.” Gladys mengangguk dan tersenyum. Rahmat pergi melambaikan tangan dan setengah berlari ke arah teman-temannya.

Sementara senyuman Gladys perlahan melihat kekasihnya yang pergi menyusul teman-temannya. Gladys tau bahwa jalannya dan Rahmat akan sangat sulit. Rahmat tidak pernah tau jika orang tua Gladys menentang mati-matian hubungan mereka, ditambah mereka berbeda keyakinan.

“Aku gak ninggalin kamu, Mat. Aku sayang sama kamu,” gumam Gladys sambil menyandarkan sisi kepalanya di dinding sebelahnya.

Sore hari seperti janji, Rahmat menjemput Gladys di rumahnya. Begitu Rahmat datang, Gladys langsung keluar dengan pakaian santai dan sangat cantik.

“Yok… aku udah laper!” ajak Gladys sambil mengambil tangan Rahmat menggandengnya keluar dari rumah.

Rahmat mengajak Gladys makan di salah satu warung bakso sederhana tak jauh dari komplek rumah mewah gadis itu. Selama makan, keduanya kerap bercanda dan tertawa saling bercerita satu sama lain.

Waktu berlalu begitu cepat bagi Gladys. Bahkan dari sore sampai malam mereka masih mengobrol. Rahmat hanya sempat pamit sesaat untuk Shalat Magrib di mushala dalam warung tersebut lalu melanjutkan mengobrol meski mangkuk bakso sudah kosong.

Pukul 7 malam, Rahmat mengantarkan Gladys kembali ke rumahnya sambil berjalan kaki. Keduanya berpegangan tangan sambil masih bercerita.

“Dys… kalo kamu jadi masuk ke kampus yang sama denganku, kita bisa pulang bareng yah!” ujar Rahmat masih semringah. Gladys masih tersenyum dan mengangguk.

“Aku juga pengen makan siang sama kamu trus pulang bareng kamu juga. Sesekali nanti aku ke rumah kamu deh, kangen sama sayur asem buatan ibu kamu!” Rahmat tergelak.

“Ah, itu kan cuma sayur asem. Apa enaknya sih!”

“Enak lho… beda banget sama bikinan Bibi di rumah.”

Tak terasa mereka sudah tiba di depan rumah Gladys dan Rahmat pun berhenti meski masih memegang tangan pacarnya itu.

“Ayo masuk!” ajak Gladys.

“Gak usah deh, udah malem. Aku anter ke depan aja ya!” Gladys tersenyum dan mengangguk. Rahmat dan Gladys kemudian masuk dan berdiri di depan teras masih berpegangan tangan.

“Makasih ya, Mat atas traktirannya. Baksonya enak,” ujar Gladys masih tersenyum lebar. Ia begitu bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Rahmat.

“Ah cuma bakso doang. Nanti kalo aku udah kerja, aku pasti akan traktir kamu makan di restoran mahal.”

“Ah kamu… makan bakso di pinggir jalan juga aku udah seneng kok. Makasih!” Rahmat mengangguk. Gladys terdiam sesaat memandang Rahmat dan kesedihan perlahan masuk ke dalam hatinya. Ia tak bisa menahan diri dan perasaannya. Gladys lalu memajukan diri dan memeluk Rahmat.

Mata Rahmat sedikit membesar dan ia tak bisa bergerak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Baru kali ini ia dipeluk seorang gadis cantik yang bahkan sudah menjadi kekasihnya hampir dua tahun terakhir.

“Aku sayang sama kamu. Sayang banget!” gumam Gladys dari balik pelukannya. Rahmat akhirnya membalas pelukan Gladys dengan meletakkan kedua tangan di punggungnya.

“Aku juga sayang sama kamu. Beneran!” balas Rahmat lembut.

“HEH… APA INI!” suara Ferdinand, Ayah Gladys mengejutkan keduanya. Gladys melepaskan pelukannya dari Rahmat dan keduanya saling melihat Ferdinand yang keluar dari pintu rumah dengan wajah kesal.

Gita Cinta Pertama (Part. Bertemu Orang Tua)

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 2.

“Ada kerjaan sedikit di belakang.” Rahmat menjawab dengan senyuman. Gladys tersenyum dan tak lama datang adik Rahmat yang pertama, Fitri membawa secangkir teh untuk Gladys.

“Aduh, jadi repot-repot,” ujar Gladys lembut dibawakan minuman oleh Fitri. Fitri membalas senyuman Gladys dan meletakkan cangkir teh diatas meja beranda depan.

“Cuma teh doang kok, Kak. Gak ngerepotin!”

“Makasih ya, Fit!” Fitri mengangguk.

“Fitri masuk dulu ya, ngobrol deh!” ujarnya sekilas menaikkan alis pada Rahmat, Kakaknya ikut menggoda dengan menyengir lebar. Rahmat sempat mendelik dan ia sudah bisa menduga jika akan ada bisik-bisik adiknya nanti.

“Diminum, Dys!” ujar Rahmat mempersilahkan Gladys.

“Kamu gak keluar, Rahmat?” tanya Gladys usai meminum tehnya.

“Mungkin nanti sore, mau bantuin Mang Jupri ngumpulin sampah di komplek depan. Lumayanlah nambah-nambah duit buat ongkos. Kenapa memangnya?”

“Gak, aku kesini mau ngajak kamu ke toko buku trus kita bisa jalan-jalan.”

“Toko buku? Kamu mau beli buku apa?” Gladys menggeleng sambil tersenyum.

“Bukan buat sekolah, cuma pengen baca Novel aja!”

“Baca Novel?” Gladys mengangguk.

“Mau ya temenin aku?” Rahmat menghela napas lalu mengangguk.

“Sebentar ya, aku mandi dulu.” Gladys mengangguk dan tersenyum. Sementara di dalam, ternyata Ayahnya, Marzuki malah menguping lewat jendela dan begitu tertangkap basah Rahmat, Pak Marzuki menyengir.

“Tsk… tsk!” decak Rahmat keheranan melihat Ayahnya.

“Babe ngapain!?”

“Kagak, gue gak ngapa-ngapain. Eh, itu si Non Belande mau ngapain ma elo!” tanya Pak Marzuki berbisik-bisik sambil celingukan.

“Mau ngajak ke toko buku!”

“Ah lagu lo! Maenan ke toko buku mulu, ke bioskop dong sekali-kali!”

“Duit darimane!”

“Yah, lo cari dong. Elo kan ngebantuin si Jupri ngangkatin sampah. Sekali-kali ajak dong demenan lo ke Bioskop nyang ada AC nye!”

“Babe mah gampang kalo ngomong. Bioskop kan mahal Be. Lagian buang-buang duit kesana.”

“Ato mau yang gratisan, lo ajak aja nonton orkes dangdutan!”

“Yee, Babe. Emangnya si Gladys itu demen dangdut apa!”

“Hehehe… ya kali aja dia demen.” Rahmat menggelengkan kepala melihat tingkah Ayahnya yang suka usil.

“Ya udah deh, Be. Mamat mau mandi dulu!” Pak Marzuki pun mengangguk dan membiarkan Rahmat berjalan ke belakang rumah untuk masuk ke kamar mandi. Beberapa kali Pak Marzuki mencoba mengintip Gladys yang tengah duduk di beranda depan rumahnya sebelum kemudian masuk kembali ke kamarnya.

Rahmat kembali sekitar 15 menit kemudian sudah rapi dan siap untuk pergi. Ia hanya memakai kaos Tshirt, kemeja sebagai lapisan luar dan celana jeans denim.

“Yuk…”

“Kita naik mobilku aja ya?” ujar Gladys dengan wajah semringah berdiri dan akan pergi dengan Rahmat. Rahmat hanya diam mengatupkan bibirnya dan mengangguk.

Di dekat warung milik Ibunya, parkir mobil mewah dengan seorang supir yang menunggu Gladys siap mengantarkannya kemana pun.

“Bu, saya pamit pergi ya, mau ajak Rahmat ke toko buku!” ujar Gladys dengan ramah lalu meraih tangan ibunya Rahmat dan menciumnya.

“Oh iya Neng!” balas bu Fatimah sambil tersenyum lalu ikut memberikan tangannya untuk dicium oleh Rahmat.

“Mamat pergi dulu Nyak!”

“Iye… hati-hati ye!”

“Iye, Nyak. Assalamualaikum!”

“Walaikum salam!” Bu Fatimah berdiri di depan warungnya sampai Rahmat dan Gladys masuk ke mobil lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah Rahmat. Dari dalam, Pak Marzuki berjalan ke araha warung istrinya dengan wajah semringah.

“Ah… bener-bener keren anak gue. Sekali maen dapet kakap, cihuy!” ujar nya sambil sedikit berjingkrak lalu duduk di dekat warung istrinya.

“Ah, abang gimana sih? Pan mereka masih SMA Bang! Kok udah dikatain yang gak-gak sih!”

“Dikatain yang gak-gak pegimane! Gue sedang ngedoain yang baik-baik buat anak gue, emang gue salah!”

“Ya kagak sih bang … tapi pan perjalanannya si Mamat masih panjang. dia kudu masih kuliah, trus cari kerjaan baru deh pikirin jodoh. Emangnye abang setuju kalo si Mamat tamat SMA langsung kawin ma Non Gladys?”

“Yah bukannya begitu, Fatime. Gue pengen si Mamat bisa nerusin sekolahnye ampe jadi ape tu… nyur… nyur, ah die pengen jadi ape tu… nyang nyur… nyur!”

“Nyur… nyur? Insinyur!”

“Iye entu, lo tau! Hehehe… maksud gue kalo emang mereka jodoh kan kagak ape-ape gue nagrep besanan ma orang kaya, iya kan?”

“Idih… abang mah emang mata duitan!”

“Yeee… lo juga kalo liat duit juga mata lo ijo. Dikira gue kagak ngerti!” Bu Fatimah sampai manyun menanggapi suaminya.

“Tapi emangnye abang setuju sama Non Gladys?” tanya Bu Fatimah lagi.

“Yah setuju… udah cantik, kaya, baik lagi. Calon mantu hehehehe…”

“Kan Bang katenye si Mamat, Non Gladys entu kan gak sama agama nye ama kite? Pegimane tu bang!”

“Buset dah, nyang bener lo!”

“Bener, orang aye si Mamat yang cerita kok!”

“Yah, batal deh gue besanan ma orang kaya,” sahut Pak Marzuki kecewa.

“Tapi kan kita gak tau Bang, jodoh entu kan di tangan Allah. Siapa tau si Mamat ame Non Gladys ada jodohnye, kan kita kagak pernah tau bang!” Pak Marzuki hanya menghela napas dan mengangguk sambil membuka peci lalu memakainya kembali.

Sementara di toko buku, Gladys begitu bahagia ditemani pacarnya, Rahmat memilih buku yang ia inginkan. Dengan sabar, Rahmat meladeni semua celotehan Gladys yang bisa bermanja-manja padanya.

“Kalo kamu masuk ke fakultas teknik nanti, kamu pasti udah sibuk banget. Jadi gak punya waktu untuk aku, iya kan?” ujar Gladys menoleh pada Rahmat yang tengah memilih buku. Rahmat hanya mengatupkan bibirnya dan tersenyum.

“Gak cuma aku yang sibuk. Kamu juga bakalan sibuk? Fakultas ekonomi itu juga repot lho!” balas Rahmat.

“Itu makanya kita harus nikmatin sisa-sisa waktu sebelum tamat. Kita jalan-jalan kek, liburan!” Rahmat terkekeh dan menggeleng.

“Dys, aku kan harus kumpulin uang untuk biaya kuliah nanti. Sekalipun aku dapat beasiswa tapi yah, aku kan harus mikirin ongkos ke kampus dan biaya lainnya.” Gladys langsung ngambek dan cemberut. Ia membuang muka dan setengah melempar buku yang dipegangnya.

“Dys, jangan ngambek dong. Aku bukannya gak mau ikut kamu, aku juga pengen liburan tapi yah kondisiku sekarang sedang gak memungkinkan untuk itu.” Gladys mengambek dan langsung pergi meninggalkan Rahmat di salah satu lorong. Rahmat menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Ia akhirnya menyusul Gladys yang berdiri mengantri di kasir untuk membayar buku yang telah dipilihnya.

“Abis dari sini kamu mau kemana?” tanya Rahmat.

“Emangnya kenapa, kamu mau pulang ya?”Gladys balik bertanya.

“Yah, gitu deh. Aku kan udah janji sama Mang Jupri.” Gladys mengangguk mengerti.

“Ya udah, aku antar kamu pulang tapi sebelumnya kita makan dulu yah!” Rahmat tak mengangguk selain hanya mengikuti Gladys. Selama ia pacaran dengan gadis itu, Gladys selalu jadi pihak yang paling sering membayari makanan mereka. Rahmat kerap malu karena tak punya cukup uang untuk memberi.

Gita Cinta Pertama (Part. Cinta Pertama Masa SMA)

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 1.

“Luruskan saf!” ujar ketua OSIS yang hari ini menjadi imam shalat berjamaah di mushala sekolah salah satu SMA Negeri di Jakarta.

“Allaaahu Akbar!”

Keadaan langsung tenang usai sang imam mengucapkan takbir tanda shalat dzuhur berjamaah dimulai. Tak hanya memulai shalat tapi juga mulai menertibkan siswa kelas 3 yang hari ini kena giliran menegakkan shalat berjamaah sewaktu jam istirahat terakhir.

Hanya butuh kurang lebih hampir 7 menit untuk menyelesaikan shalat dan memberi salam. Rahmat, sang wakil ketua OSIS berdiri paling akhir setelah teman-temannya bubaran dari saf. Ia bangun setelah berdoa dan meminta kelancaran pada masa-masa akhir sekolahnya. Kurang dari satu bulan ia akan menempuh ujian akhir untuk bisa lulus.

“Mat, lo mau pulang sekarang?” tanya Ketua OSIS, Alex Darmawan yang yang tadi memimpin Shalat.

“Gak, gue masih ada tugas dari Pak Tono. Katanya buat ujian minggu depan,” jawab Rahmat sambil membereskan sajadah panjang yang digunakan sebagai alas Shalat tadinya. Alex pun mengangguk dan ikut membantu Rahmat membereskan sajadah-sajadah meski tak diminta.

Di luar, seorang gadis celingukan mencoba mencari-cari seseorang yang ia kenal masih berada di dalam Mushala. Ia bahkan berjinjit dan terus melihat-lihat apakah yang ditungguinya keluar. Tapi sedari tadi yang keluar hanyalah siswa lain selain yang ia tuju. Tak lama, yang ia tunggu akhirnya datang juga. Bibirnya langsung mengembangkan senyuman manis.

Ia menunggu dengan sabar sampai kekasih pujaan hatinya selesai memasang sepatu sambil duduk di tangga mushala. Terlihat si ketua OSIS yang keluar berbarengan dengan Rahmat, wakilnya menyenggol temannya.

“Tuh, cewek lo!” Rahmat menaikkan wajahnya dan tersenyum pada kekasihnya, Gladysa Sarah Angelica Hoen. Rahmat mempercepat mengikat tali sepatunya dan pamit pada temannya.

“Duluan ya, Lex!” Alex mengangguk saat Rahmat setengah berlari pada kekasihnya Gladys.

“Udah lama?” tanya Rahmat sambil tersenyum.

“Gak kok, baru sepuluh menit. Kamu baru selesai shalat ya?” tanya Gladys dengan senyuman manisnya yang selalu bisa membuat hati Rahmat meleleh bagai es krim terkena sinar matahari di siang bolong.

“Iya,” jawab Rahmat singkat. Padahal Gladys sudah tau Rahmat pasti habis shalat dzuhur kalau tidak untuk apa dia di Mushala tapi ya namanya juga basa basi pacaran SMA.

“Yuk!” ajak Rahmat berjalan di sebelah Gladys dengan sambil tersenyum. Gladys jadi makin tersipu dan ikut berjalan masuk kembali ke lingkungan sekolah usai Shalat Dzuhur.

“Oh iya, aku ada bawa makanan jadi aku mau makan siang sama kamu,” ujar Gladys sewaktu mereka sedang berjalan masuk ke dalam kelas.

“Oh. Aku masih ada tugas dari Pak Tono, Dys,” jawab Rahmat membuat Gladys sedikit merengut. Rahmat jadi tak tega menolak perhatian gadis itu padanya.

“Ngg… gini aja. Kamu tinggalin bekal itu nanti aku akan makan. Jadi kamu pulang aja duluan, bukannya kamu ada les hari ini?” ujar Rahmat memberikan usulan pada Gladys. Gladys jadi sedikit manyun karena ia ingin bisa menemani Rahmat makan siang.

“Ya udah deh kalo kamu gak mau aku temenin,” ujar Gladys lalu berbalik. Tangan Rahmat dengan cepat menarik lengan Gladys menghalanginya pergi.

“Jangan marah. Aku bukannya gak mau, tapi kalo kamu nemenin aku makan nanti kamu bisa telat mau pergi ke tempat les. Sebentar lagi kan kita ujian, sayangkan kalo gak lulus!”

“Emangnya kalo gak ikut les sehari, bisa gak lulus ujian!”  Rahmat tersenyum dan menggeleng pelan.

“Aku tau kamu pinter tapi gak ada salahnya kan mempersiapkan ujian dengan lebih matang. Supaya kamu bisa maksimal.” Gladys terdiam lagi dengan nasehat Rahmat. Pacarnya itu memang siswa teladan di sekolah. Jadi ia memang selalu mengarahkan Gladys agar menjadi pelajar yang lebih baik serta berprestasi. Akhirnya Gladys mengangguk dan tersenyum pada Rahmat.

Ia setuju tak menemani Rahmat makan siang agar tak terlambat pergi les. Usai meletakkan bekal makan siang di atas meja Rahmat, Gladys pun keluar dan pulang untuk belajar kembali di tempat les. Ia bahkan tidak mengganti pakaian jika ada pelajaran tambahan di salah satu bimbel paling bonafid di Jakarta.

Gladysa Sarah Angelica Hoen adalah salah satu siswi tercantik dan terpintar di sekolahnya. Ia anak dari pengusaha properti dan pertambangan terkenal keturunan Belanda, Ferdinand Hoen. Tapi Gladys tidak seperti anak-anak pengusaha yang biasanya manja dan suka bermalas-malasan. Ia bahkan selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Tak hanya itu, Gladys juga merupakan salah satu dari anggota dari tim debat Bahasa Inggris yang sudah menyabet banyak penghargaan dari berbagai lomba debat Bahasa Inggris yang diikuti sekolahnya.

Dibalik kepintaran dan kecantikannya, Gladys malah berpacaran dengan Rahmat, siswa yang sama tingkatan dengannya yaitu di kelas 3. Rahmat adalah siswa sederhana yang juga merupakan pemilik peringkat pertama di sekolahnya. Rahmat adalah wakil ketua OSIS selain ia adalah penerima beasiswa berprestasi selama bersekolah.

Perbedaan mereka sangat mencolok jika dibandingkan dari segi ekonomi. Orang tua Rahmat hanyalah supir angkot sementara Gladys adalah pengusaha terkenal. Fisik mereka pun cukup jauh berbeda. Rahmat yang berkulit sawo matang layaknya orang Indonesia pada umumnya berpasangan dengan Gladys yang memiliki kulit bersih dan putih layaknya orang Eropa karena ia memang keturunan Belanda.

Akan tetapi, Gladys sangat menyukai Rahmat. Belakangan Rahmat juga pernah mengunjungi rumah Gladys tapi tak mendapat sambutan yang baik dari orang tua pacarnya. Terutama sang Ayah, Ferdinand yang langsung tidak menyukai Rahmat.

Keesokan harinya, Gladys memanfaatkan hari minggunya dengan datang ke rumah Rahmat. Gladys paling senang berkunjung ke rumah pacarnya itu. Rumah sederhana di pinggiran Jakarta Selatan yang masih terdapat sisa-sa kampung di tengah megahnya pembangunan Ibukota.

Dengan langkah riang, Gladys diantar supirnya ke rumah Rahmat. Ia keluar dari mobil dengan senyuman lebar menghampiri warung kecil di depan rumah Rahmat.

“Pagi, Bu!” sapa Gladys pada Ibu kandung Rahmat, Bu Fatimah. Fatimah langsung tersenyum dan keluar dari warungnya menyapa Gladys. Gladys menjulurkan tangan dan mencium punggung tangan Fatimah.

“Eh, Non Gladys. Apa kabarnye ni?” tanya Bu Fatimah dengan logat betawinya yang kental.

“Baik, Bu. Rahmatnya ada?”

“Ade… bentar ye Ibu panggilin dulu!” Gladys tersenyum dan mengangguk.

“Nah… Nah… panggilin abang lo, dicariin Non Gladys ni!” teriak Bu Fatimah pada salah satu anak perempuannya yang tengah menyapu halaman. Enah, adik kedua Rahmat lalu menegakkan tubuhnya dan tersenyum pada Gladys yang datang.

“Eh, ada Kak Gladys. Masuk Kak… bentar ya, aye panggilin Bang Rahmat dulu!”

“Makasih ya, Nah!” Enah mengangguk dan buru-buru masuk ke dalam. Dari luar terdengar lagi teriakan Enah memanggil Kakak laki-lakinya. Rumah Rahmat selalu ramai karena celotehan seluruh anggota keluarganya. Itulah yang sangat disukai Gladys. Keluarga Rahmat begitu hangat tak seperti rumahnya yang selalu sepi karena orangtuanya yang hampir tak pernah ada di rumah.

Tiba-tiba, Ayah Rahmat, Marzuki keluar sambil memakai peci dan mengeratkan lilitan sarung di pinggangnya.

“Eh, ada Non Gladys… hehehe… udah lame, Non!” Gladys mengangguk dan tersenyum. Ia bangun seperti biasa ia mencium tangan orang tua Rahmat.

“Baru, Pak. Baru aja nyampek. Bapak mau kemana?” tanya Gladys berbasa-basi.

“Ah, gak kemana-mana. Baru selesai sholat, hehehe… nyari si Mamat yak!” Gladys mengangguk. Pak Marzuki mengangguk dan tersenyum lalu ikut berteriak memanggil anaknya di depan pintu rumah.

“Mat… sini lo! Non Gladys datang ni!” Rahmat baru muncul di depan pintu dengan baju setengah basah oleh keringat dan diberi gelengan kepala oleh Ayahnya.

“Lama banget sih lo! Orang jadi lumutan nunggunya!” hardik Pak Marzuki pada putranya.

“Pan tadi Babe nyang nyuruh aye gerekin nangka!” jawab Rahmat cepat.

“Ngejawab aja lo, tuh demenan lo dateng, hehehe!” sahut Pak Marzuki menaikkan alis menggoda Rahmat.

“Ah, Babe…” Pak Rahmat masih saja terkekeh melirik Rahmat sebelum ia kemudian masuk dan meninggalkan Rahmat yang sedikit salah tingkah melihat Gladys.

“Udah lama ya?” tanya Rahmat menyeka peluh di keningnya.

“Gak kok, baru aja. Kamu lagi ngapain?” Gladys memperhatikan Rahmat yang keringatan dengan kaos yang cukup lusuh. Tapi bagi Gladys, Rahmat jadi terlihat sangat tampan.