Vitamins Blog

Monolog Receh: #2 Balada Sembilu Sepi

Bookmark
Please login to bookmark Close

****

Barangkali aku tak tahu lagi batasan tegas antara suka dan duka, kecuali kekosongan dalam sumringah yang kukarang-karang sendiri.

Setiap suka ada maknanya,

Setiap duka ada hikmahnya,

Lantas derai air mataku tak mau lagi runtuh mengaliri ranumnya pipi, karena tak tahu lagi suka duka yang patut kutangisi.

Perasaanku berkecamuk di tengah dinginnya dini hari yang derai anginnya menusuk hingga aliran darahku terasa sakit menyesakkan ritme detak jantungku.

Tapi gilanya, aku menahan langkahku hanya untuk merasa sendiri, tak ingin ada tangan menuntunku, tak ingin ada jiwa menemaniku.

Pergi, tolong pergi saja.

Tuhan, Engkau tahu aku tersenyum dalam keangkuhan di gelapnya alam, meminta kepada-Mu agar bantu aku dalam kesendirian tanpa siapapun.

Langkah kakiku berat, tubuhku gemetar hebat, detak jantungku berjuang keras, nafasku tersengal, tapi aku dengan angkuh hanya ingin menapaki seluruh anak-anak tangga sampai ujungnya dalam kesendirian.

Gila!

Alam yang diam pun menyakiti dengan ganas,

Tapi aku tertawa bagai kurang akal sehat di dalam hatiku, terbungkus oleh tubuh yang terlihat tenang menggigil sembari menaiki anak-anak tangga dengan sesekali berhenti mengatur nafasku.

Tuhan, ternyata aku tak ingin mati, melainkan hanya ingin yakin bahwa aku mampu sendiri.

Beberapa orang tertawa bersama, saling berpegangan tangan menapaki anak- anak tangga, kudengar mereka saling menghibur bahwa puncak telah di depan mata.

Sekali lagi, aku melangkah perlahan, sembari tetap menjaga diriku agar tetap sendiri,

Ya, aku hanya ingin mencapai semua itu sendiri, aku ingin ke atas sana sendiri, aku ingin melawan angin sialan yang menusuk tulang belulang sendirian.

Gila!

Aku sudah gila!

Apa aku sedang menyakiti diriku?

Tuhan, perasaanku begitu rumit sampai aku merapal harap padamu berkali-kali.

Tolong, tunjukkan padaku, apa aku sedang sedih atau bahagia?

Bagaimana jika aku telah mati rasa?

Pikiranku penuh oleh kemungkinan-kemungkinan.

Perasaanku tak terjelaskan.

Yang aku tahu, pengalaman ini sangat gila!

Cerita apa yang kau tulis sampai aku duduk di sini sendiri menatap matahari terbit dengan hati yang berkecamuk begitu rumit untuk kupahami sendiri?

Adakah aku tokoh utama yang kau siapkan untuk epilog-epilog indah setelah ribuan luka?

Kupikir aku akan sesenggukan atau mungkin kegirangan, nyatanya aku hanya diam seribu bahasa mempertanyakan dunia dalam asa dan logika yang kumiliki.

Tuhan, aku takut.

Entah sejak kapan aku lebih takut pada diriku sendiri.

Entah sejak kapan aku merasa tak tertolong lagi, jiwaku rapuh dan serpihan hatiku berserak, tersembunyi oleh balutan senyum manis dan citra diri.

Aku tak ingin siapapun,

Aku tak mencari siapapun,

Aku bahkan begitu yakin aku taak layak untuk siapapun,

Tak ada siapapun yang berhak kuhakimi dalam hidupku, kecuali diriku sendiri.

Sembari duduk dalam kesendirian, menatap alam yang terhampar bagai lukisan mahakarya.

Sesekali aku tersenyum penuh ironi mengejek diriku sendiri,

Kupikir beberapa kalipun duniaku berganti, aku takkan luput dari luka yang sama, mungkin aku layak menerimanya hingga ribuan kali kehidupan.

Entahlah,

Yang aku tahu, aku takut pada diriku sendiri.

****