“Wah ini martabak jumbo pak.” mata Ujang berbinar.
“Martabak jumbo?” tanya Rangga tak percaya.
“Iya! Wah pak martabak ini keliatan sangat enak!” jelas Ujang dengan semangat.
Bukanya mendekat dan melihat sendiri bentuk martabak yang dibilang Ujang, Rangga mengangkat alisnya.
Kenapa dia tahu kalau saya suka martabak? Apa karna Diana?
Rangga berdehem sejenak, dan kemudian berbalik badan sembari berkata.
“Kalian makan saja martabak itu, saya akan menemui anaku dulu.”
Asep dan Ujang saling beratap muka, merasa heran setelah mendengar ucapannya.
****
“Diana, boleh bapak masuk?” ucapnya sambil mengetuk pintu kamar Diana. Tak ada jawaban dari dalam, tapi tak lama kemudian gagang pintu itu bergerak dan Diana muncul di baliknya, menampakkan ekspresi wajahnya baik-baik saja. Sebelum menjawab pertanyaan ayahnya, Diana sempat melongok kedepan, dan Rangga mengerti arti tatapan itu.
“Temanmu sudah pulang.” ucapnya sambil lalu.
Merasa tertangkap basah, Diana salah tingkah. “Hehe iya Pak, aku cuma mau lihat saja. Oh iya, bapak mau bicara apa?” Diana berjalan mendahului, diikuti oleh ayahnya yang ada di belakang. Rangga kemudian duduk di meja belajar milik Diana, dan Diana duduk bersila di tengah ranjang dengan memangku guling kesayangannya.
“Apa kamu yang kasih tau sama temanmu itu kalau bapak suka martabak?”
“Iya pak.” jawabnya spontan.
“Untuk apa?” tanyanya mencecar
“Biar bapak senang.” jawabnya polos.
Hening
Semenjak pulang kerja diantar Brian, Diana merasa akan sulit setelah ini, itu karena sifat bapaknya yang protektif, jadi menambah situasi hati bapaknya semakin buruk.
Diana merasa gak enak, ditatap intens seperti ini. Merasa takut dan ingin cepat lepas di situasi yang tidak mengenakan ini, Diana pun berbicara.
“Bapak, bapak mau ngomong apa? Kok diam saja?”
Rangga berdehem sejenak, kemudian berdiri di sana.
“Bapak hanya gak suka kamu diantar dia.”
Jawabnya tanpa basa- basi.
“Ya ampun pak, kan Diana sudah bilang aku bertemu Brian di jalan, dan itu tidak sengaja pak, Brian juga hanya mengantarkan pulang saja kok.”
“Tapi bapak gak suka, kamu dengan gampangnya menerima tawaran itu dengan mudah, bisa kan kamu basa-basi menolak.” bantah Rangga dengan keras kepala.
“Iya, iya, iya, iya, aku salah pak. Maaf, lain kali aku akan menolak tawaran Brian lagi.”
Setelah mengeluarkan kekesalannya, Diana langsung membanting tubuhnya di ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Diana, kau sudah berpacaran dengannya?”
“Hanya teman dekat saja kok pak.”
“Bapak tidak percaya.” sanggah Rangga dengan keras kepala.
“Lain kali kalau mau pulang kerja, telepon bapak, bapak dengan senang hati akan menjemputmu daripada diantar oleh orang yang bapak tidak kenal. Bapak tidak mau terjadi apa-apa padamu.”
Rangga menyampaikan pesan tegasnya pada Diana sambil berjalan meninggalkan kamar anaknya itu.
Setelah bapaknya sudah pergi dari kamarnya, Diana langsung membuka selimut dan menghembuskan nafas dengan kasar.
Bapak terlalu paranoid sekali, aku sudah besar pak! Sudah besar! Masa mau dijemput terus, memangnya aku anak SD.
****
“Martabak ini sangat enak ya, baru kali ini aku makan martabak seenak ini.” Ujang yang dari tadi fokus melahap martabaknya akhirnya berbicara dengan Asep.
“Iya enak, akupun nanti juga pengen beli saat kita gajihan.” timpal Asep.
“Iya kau betul Sep, nanti kau tanya sama pak botak, tempat jualan martabak seenak ini di mana.”
Saat Ujang menyebut pak botak, yang tak lain pak Rangga, Asep langsung memandang wajah Ujang dengan ekspresi kaget.
“Kau kenapa?” tanyanya tak mengerti.
“Ya ampun Jang, kita memakan semua martabak pak Rangga, gimana ini, dia kan belum makan sama sekali.”
Mata Ujang pun beralih ke meja dan melihatnya. Ya ampun, tinggal satu potong.
Ujang tiba-tiba meringis, membayangkan majikannya akan berceramah panjang lebar.
“Ujang, sisaan sepotong itu buat pak Rangga saja, aku benar-benar gak enak.”
“Ya sudah, aku juga sudah kenyang. Semoga pak botak tidak marah karna kita hanya menyisihkan satu potong saja.”
Di saat bersamaan, Rangga keluar dari kamar Diana, dan menghampiri mereka berdua. Matanya melebar saat melihat oleh-oleh dari teman putrinya itu sudah hampir habis dan hanya menyisakan satu potongan kecil. Bibir Rangga berkedut menahan senyum.
Dasar bocah-bocah rakus.
Ujang salah paham, mengira majikannya itu akan marah kemudian buru-buru berbicara. “Pak, maafkan kita berdua. Martabak ini sangat enak sekali, bahkan di kampungku tidak ada jenis martabak seperti ini, jadi saat kita makan, benar-benar lupa daratan.”
“Saya tidak marah, jadi gak usah minta maaf, saya senang kalian suka makanan itu. Jadi habiskan saja.” ucapnya sembari mengambil rokok dan korek yang tergeletak di meja.
“Pak Rangga gak mau mencicipi sama sekali?” Asep bertanya menawarkan dengan ragu-ragu.
“Tidak, saya sudah kenyang.”
Rangga kemudian melihat jam tangannya. “Kalian habiskan itu, kemudian bereskan semuanya, setelahnya tutup semua pintu di depan ya. karna ini sudah malam hampir jam sepuluh.” ucapnya sambil berjalan meninggal mereka berdua dan menuju kamarnya.
“Iya, pak.” jawabnya secara bersamaan.
****
Di jalan raya yang ramai lancar, Brian sedang mengendarai motornya dengan tekanan sedang. Sepanjang perjalanan pulangnya, pikiran Brian terus teringat pandangan ayah Diana yang sangat tidak bersahabat itu.
Bagaimana ini, aku sangat suka dengan Diana tapi sepertinya berat.
Ayah Diana sepertinya tidak suka denganku, bagaimana ini? Ah tidak-tidak, mungkin karna pertemuan pertama saja yang tidak tepat. Ya, ya pasti seperti itu.
Saat Brian sedang bergelut dengan isi hatinya, handphone-nya tiba-tiba berdering. Brian kemudian menepi di pinggir jalan dan mengambil ponsel di saku celananya. Diana?
Tanpa butuh lama Brian langsung mengangkat panggilan itu.
“Halo, Diana ada apa?”
“Sepertinya besok kamu gak usah nganterin aku pulang lagi.”
“Kenapa? Apa ayahmu melarangmu?”
“Sepertinya begitu, bapakku sangat protektif padaku, jadi sepertinya kau akan susah.”
“Itu bukan masalah untukku, jangankan ayahmu yang galak dan protektif itu, samudera luas pun akan aku arungi demi mendapatkanmu.” Brian menghibur diri dan terkekeh geli.
“Alah gombal, sudahlah jangan bercanda Brian.”
“Aku tidak bercanda, aku akan kasih kejutan untukmu dan aku jamin pasti ayahmu kali ini akan menyukaiku.”
“Brian! Kau jangan gil__” sebelum Diana selesai bicara, Brian dengan sengaja iseng mematikan sambungan teleponnya. Aksinya pun membuat Diana bersungut-sungut sambil menatap headphone-nya.
Ishh dasar menyebalkan!