Sudah menghayalnya? Menghayallah setinggi mungkin, selagi menghayal itu belum dilarang.”
Sedetik setelah Rangga menyindir, senyum menghayal Ujang langsung lenyap berganti ekspresi bersungut-sungut.
Ujang memiringkan kepala dan langsung berhadapan dengan wajah Rangga yang dekat sekali dengannya! Dan… dan Ujang geli setengah mampus saat melihat kumisnya. Sungguh, jika itu Asep, Ujang tak butuh waktu lama dan langsung mendorong muka Asep sekuat tenaga hingga Asep jatuh terjengkang!
Tapi ini pak botak! Dan juga majikannya!
Ujang tiba-tiba merinding sebadan- badan melihat jarak Rangga yang begitu dekat.
Ya ampun, mengerikan! Emang boleh sedekat ini?
Asep yang melihat pemandangan di depannya langsung menutup mulutnya. Sungguh, melihat Pak Rangga dan Ujang seperti itu, seperti hendak berciuman!
Karna sudah tidak tahan, dan Rangga pun sepertinya sengaja tak memundurkan wajahnya yang galak itu. Ujang akhirnya membuang mukanya terlebih dulu kemudian menggeser duduknya agar berjauhan, dan sekarang tatapan beralih pada Asep.
Mata Ujang melotot ke arah Asep, saat dilihatnya dia tengah menahan tawanya sekuat tenaga.
Ujang kemudian melirik pada Rangga. “Pak, saya masih normal jadi lebih baik duduknya seperti ini saja yah? Hehehe berjauhan.”
“Kau mau duduk di teras depan juga gak masalah, saya juga normal. Kalau saya gak normal, Diana, anaku yang cantik itu gak mungkin ada di dunia ini.” Ucapnya sambil lalu, tapi tak menyembunyikan nada bercanda di dalam suaranya. Kemudian Rangga mengalihkan tatapannya ke depan.
Rangga kemudian merogoh saku kemejanya, mengambil rokok dan korek api. Tanpa berkata apa-apa Rangga menyalakan korek dan mulai merokok dengan santai.
“Saya hanya ingin menasihatimu Ujang, boleh saja kau berkeinginan ini itu, tapi harus dikendalikan.”
“Dikendalikan?” tanya Ujang tak mengerti.
“Iya, kalian harus tahu, hidup merantau itu jangan gedein gengsi. Kalian kalau seperti itu, yang rugi kalian sendiri.” Jelasnya tanpa basa-basi.
Ujang mengerutkan kening, tampak tidak setuju dengan perkataan Rangga.
“Pak, memangnya salah? Gaji kan hak kita, hasil jerih payah selama bekerja, kalau gak buat senang-senang buat apa?”
Rangga menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan pola pikir generasi zaman sekarang.
“Memang gak salah, dan saya bukannya melarangmu Ujang.” Rangga berucap penuh penekanan.
“Saya bilang harus dikendalikan. Coba kau pikir, kalau kau dapat gaji dan kalap ingin sesuatu hingga lupa daratan, kemudian saya memperkerjakan kalian di sini hanya satu bulan saja, bagaimana kalian bisa pulang kampung?”
“Pak, jadi kita cuma sebulan saja di sini?”
Asep balik bertanya memastikan.
Mendengar pertanyaan Asep yang gak mudeng itu, Rangga menarik nafas panjang.
Beruntung saya punya anak perempuan. Kalau saya punya anak laki-laki dan sifatnya seperti ini. Huh!
“Itu hanya seandainya saja Asep, seandainya, paham?” Rangga berucap lagi dengan penuh penekanan.
Mendengar nada Rangga yang sepertinya mulai kesal. Asep pun menganggukkan kepalanya.
“Oh gitu pak, aku paham, bapak secara tidak langsung mengajari kami hidup hemat bukan?”
“Pintar!” timpal Rangga dengan ekspresi puas pada Asep.
Di sisi lain, Ujang tampak berpikir keras berusaha mencerna penjelasan Rangga.
Benar juga, kalau aku boros dan pulang kampung gak bawa duit, pasti emak sama abah marah-marah. Ah benar kata pak botak, harus hemat, ya hemat!
“Ujang, apa kau mengerti sekarang?” Rangga bertanya memastikan.
Ujang menganggukkan kepala.
“Bagus, saya suka orang hemat. Ingat kata pemimpin daerah yang sempat viral beberapa hari yang lalu, oh ya apa kalian tahu?”
“Tahu pak tahu.” jawab Asep
“Apa?” tanya Rangga
“Hemat pangkal kaya, miskin jangan banyak gaya.”
Kumis Rangga berkedut ingin terbahak mendengar jawaban Asep yang sudah dimodifikasi itu.
“Intinya seperti itu. Mungkin pemimpin itu berucap sarkas, semata-mata hanya untuk menyadarkan masyarakatnya yang bebal.”
Di saat bersamaan, saat Rangga selesai berbicara, tiba-tiba terdengar deruan suara motor berhenti di parkiran yang menarik perhatian mereka bertiga.
Rangga berdiri, dan melihat Diana ada di sana, alisnya terangkat saat melihat putrinya diantar oleh sosok lelaki yang memakai helm full face, berjaket hoodie warna hitam dengan motor Ninja warna hijau yang terlihat gagah.
Diana punya pacar? Sejak kapan?
Rangga tiba-tiba mematikan putung rokoknya di asbak yang tersedia di atas meja, saat dilihatnya Diana dan temannya itu mendekat, dan ekspresi Rangga berubah tegas seperti ingin menginterogasi seorang pencuri.
“Assalamu’alaikum pak.” Diana menyapanya kemudian mencium tangannya.
Rangga hanya bergeming, dan kembali menatap sosok lelaki yang ada di belakang putrinya.
Rangga memindai teman Diana dengan tatapan menilai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Setelah selesai menilai sosok asing di depannya, Rangga berganti menatap Diana dengan tegas.
“Diana, dia siapa? Kenapa dia mengantarmu?” nada suara dan ekspresi Rangga saat bertanya benar-benar muram, tidak suka saat anak gadisnya diantar oleh sosok asing.
Melihat majikannya seperti mau murka, Ujang yang ada di samping Rangga, memberikan isyarat mata pada Asep untuk segera pindah ke sisinya. Dan Asep mengerti, dengan cepat dia berdiri dan memutari meja kemudian berdiri di samping Ujang.
“Bapak, dia Brian temanku di kantor. Sebelumnya aku ingin pulang naik ojol, tapi secara tidak sengaja aku dan Brian bertemu di jalan____”
“Terus dia ngajak kamu naik motor, dan kamu mau?” Rangga menyela ucapan Diana.
Melihat bapaknya menyela dengan nada geram, Diana pun menunduk dan menganggukkan kepala.
“Cepat kamu masuk kamar, bapak mau bicara sama temanmu ini.” ucapannya tak mau dibantah.
Setelah Diana pergi. Rangga kembali menatap sosok asing yang bernama Brian itu.
Dasar anak tidak punya sopan santun, bertamu di rumah orang tapi tidak membuka helmnya, tidak bersalaman, hanya berdiri menjulang seperti gapura kecamatan! Cibirnya dalam hati.
Setelah ditatap lama oleh Rangga, akhirnya sosok berhelm itupun bersuara.
“Halo om, maafkan saya sudah mengantar Diana.” ucapnya basa basi.
“Buka helm-mu” Rangga sudah kesal, jadi saat Brian berbasa-basi pun tidak direspon olehnya melainkan memerintah di hal lainnya.
Setelah diperintah oleh Rangga, dengan sigap Brian akhirnya membuka helmnya
Dan setelah terbuka….
Asep dan Ujang seketika langsung Insecure tingkat tinggi melihat sosok di depannya.
Brian, memiliki tubuh tinggi kisaran 190 cm. Berwajah tampan yang tidak membosankan untuk dilihat dan berlesung pipi, berambut klimis tapi sedikit berantakan efek dari helm yang baru saja dibuka. Walaupun begitu, tidak mengurangi ketampanannya.
Brian juga memakai jaket hitam hoodie dipadu celana hitam dan memakai sepatu pantofel. Penampilannya sangat rapi, menggambarkan seorang karyawan kantoran yang baru pulang kerja.
Ujang yang melihatnya, sekita memandang penampilan dirinya sendiri, yang hanya mengenakan kaos putih kelonggaran dan celana boxer selutut warna hitam dan hanya memakai sandal jepit.
Ya ampun, kapan aku ganteng seperti dia.
Sungguh saat dia tersenyum ramah seperti itu, bisa dilihatnya Rangga pun sedikit terkejut, tapi karna gengsi mengakui ketampanannya, Rangga tetap berusaha memasang wajah galak.
Brian berdeham sejenak, untuk menenangkan diri.
“Om, maafkan saya, saya hanya mengantarkan Diana pulang. Kita tidak kemana-mana, bahkan kalau boleh jujur, sebelumnya saya ingin mengajak Diana nonton film di bioskop tapi dia menolak.”
“Film apa?” tanya Rangga ingin tahu dengan tangan sudah terlipat di dadanya.
Mendengar pertanyaan yang penuh kecurigaan, Brian menipiskan bibirnya.
Sabar-sabar.
“Hanya ingin menonton film horor, tapi sepertinya Diana tidak menyukainya, jadi dia menolaknya.”
“Asal kamu tahu, Diana tidak suka nonton film seperti itu, anaku kalau sudah pulang kerja, dia lebih suka menghabiskan kegiatan di dalam kamar dan membaca buku-buku koleksinya.”
“Iya om.”
Tiba-tiba Brian teringat kalau dia sudah membeli sesuatu kesukaan Rangga, karna Diana yang memberi tahu sebelumnya.
“Oh iya aku bawa sesuatu buat om, tunggu sebentar.”
Rangga mengangkat alisnya.
Dengan cepat Brian setengah berlari keluar, dan mengambil sesuatu di atas motornya.
Ujang yang melihat semuanya, pun langsung menyenggol pundak Asep, dan berbisik.
“Hei, Sep. Kau tebak kira- kira dia akan kasih apa buat pak botak?”
“Entahlah, mungkin uang?”
“Bodoh, mana ada ngasih begituan.”
“Ah kau ini, tadi bertanya giliran dijawab responnya begitu, payah. Udalah mending kau pantau saja.”
Jawaban dari Asep tidak direspon Ujang, itu semua karna Brian sudah masuk lagi dengan membawa sesuatu di kantong plastik hitam yang cukup besar dan berat.
“Saya bawa oleh-oleh buat om, semoga suka.” saat Brian menyodorkan oleh-olehnya, senyum manis tetap terpasang di wajahnya.
Mau tidak mau Rangga akhirnya menerimanya. Setelahnya, tanpa diduga, Brian langsung berpamitan pulang.
“Semoga suka. Om saya pergi dulu, maafkan saya sudah mengantar Diana pulang.” sebelum pergi, Brian sempat melirik pada Ujang dan Asep bergantian dan tersenyum ramah.
****
Setelah Brian sudah pergi mengendarai motor ninja-nya, Rangga menaruh kantong kresek hangat itu di meja.
“Kalian buka itu, saya ngeri kalau itu bom.”
“Bom?” tanya Ujang dan Asep bersamaan.
“Ujang, kau cepat buka itu aku penasaran dengan isinya.”
“Iya pak, iya” gerutunya
Giliran yang berbau seperti ini saja aku yang disuruh. Huh dasar pak botak!
Tanpa menunggu lama, saat Ujang sudah membuka kresek hitam itu, terciumlah aroma gurih yang menguar.
“Wah sepertinya ini buka bom pak, tapi makanan.” Ujang menjelaskan tanpa diminta.
Saat wadah karton pembungkus makanan itu dibuka, terpampanglah bentuk makanan yang super besar, manis dengan toping tebal di tengahnya dan keliatannya sangat enak dengan olesan mentega yang melapisinya.
“Wah ini martabak jumbo pak.” mata Ujang berbinar.
“Martabak jumbo?” tanya Rangga tak percaya.