Vitamins Blog

Pinkie Promise: 8. Alkisah (Bagian 2)

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

****

Bertemu seseorang?

Siapa?

Kendati Tiara diliputi perasaan ragu untuk mematuhi perintah Wildan, namun perutnya yang terasa lapar mendorongnya untuk mengabaikan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang menyerang pikirannya. Keraguan mulai pupus berganti dengan kepercayaan yang dibangun Tiara secara paksa dalam dirinya.

Sampai detik ini hanya Wildan yang bersamanya dan bagaimanapun juga Tiara tidak kekurangan satu apapun dari jiwa dan raganya hingga sekarang.

Selain itu, meskipun Tiara menunjukkan sikap tidak ramah, jauh di dalam dirinya memiliki dorongan kuat untuk menggantungkan nasib dan memberi kepercayaan penuh pada sosok pria yang terlihat tengah sibuk makan tanpa memedulikan sorot mata Tiara yang sedang menilai dirinya lebih jauh.

Wildan makan dengan sangat lahap yang menunjukkan pria itu memang sangat kelaparan!

Bagaimanapun juga hidangan yang tersaji di depan mata Tiara memang terlihat begitu menggoda secara tampilan sehingga sangat menggugah selera, dan aroma yang menguar dari hidangan tersebut berhasil mengusik indera penciuman Tiara yang semakin membuat Tiara tak dapat bertahan lagi untuk mengabaikan makanannya. Aromanya saja seperti mencoba meyakinkan Tiara bahwa rasanya memang lezat dan akan memuaskan indera pencecap Tiara tanpa rasa penyesalan.

Sudahlah, aku memang harus makan!

Tiara dan Wildan akhirnya membunuh waktu yang perputaran detiknya terus berjalan bagaikan rotasi bumi di angkasa dengan menikmati makanan milik mereka dengan khidmat. Setelah satu suap, Tiara sungguh terkejut betapa nikmatnya makanan yang sedang ia makan. Ia bahkan lupa bahwa ia tengah berada di tempat asing dan sedang bersama pria asing. Makanan itu terlalu menghipnotis hingga Tiara abai untuk bersikap mawas diri. Tiara bahkan tak bisa menahan ekspresi terkesima yang terus menerus menghiasi wajahnya setiap kali ia menambah suapannya. Rasanya, enak!

Tiara telah mencapai suapan terakhirnya, sedangkan Wildan terlihat masih sibuk mengunyah hidangan di piring keduanya.

Iya, kedua!

Ditengah-tengah momen Tiara menikmati makanan, sepiring hidangan lagi-lagi melayang dan mendarat sempurna di depan Wildan. Rupanya Wildan belum merasa cukup dengan hidangan di piring pertamanya. Entah itu karena Wildan terlewat sangat lapar atau karena dia adalah pria dewasa yang membutuhkan lebih banyak asupan makanan daripada para perempuan atau mungkin Wildan itu… rakus?!

Tiara tak tahu pasti dan tak ingin mempertanyakan lebih jauh. Tiara tak ingin terjebak dengan rasa ingin tahu yang hanya akan menjerumuskan dirinya ke dalam perdebatan panjang menyebalkan dengan Wildan nantinya. Tiara sudah cukup merasa tenang dan damai dengan situasi mereka berdua saat ini yang hanya asyik dengan makanan mereka masing-masing.

Tiara mengedarkan pandangannya sekali lagi ke sekeliling ruangan untuk menyibukkan dirinya yang masih menunggu Wildan selesai makan dalam keheningan hingga Tiara dapat mendengar kecapan yang sedikit mengganggu dari cara Wildan mengunyah makanan dengan penuh hasrat.

Sepertinya memang rakus!

Kali ini pandangan mata hazel Tiara terpaku pada sebuah pintu berwarna putih yang menempel langsung dengan salah satu sisi tembok ruangan. Ada keterikatan yang tak dapat dijelaskan hingga Tiara terdorong untuk bangkit dari duduknya, melangkah mendekati dua daun pintu yang lebih mirip lemari di dalam tembok tanpa meminta izin terlebih dulu kepada Wildan.

Wildan sendiri tidak mengambil perhatian lebih terhadap gerakan Tiara. Diam-diam Wildan merasa paham kenapa Tiara sangat tertarik mendekati pintu putih tersebut.

Karena disitulah Tiara terakhir berada sebelum akhirnya meninggalkan rumah ini.

Selain itu, mungkin ada kenangan tertinggal yang mengusik jiwanya, sebuah pemandangan tak nyaman dari tubuh Wilona yang bersimbah darah hitam yang terpaksa disaksikannya.

Tiara melangkahkan kakinya dengan sangat perlahan, ada rasa tak nyaman yang menggelayuti hatinya ketika ia semakin mendekati pintu putih tersebut. Tangan Tiara bergetar halus ketika terayun bebas di udara untuk kemudian menyentuh daun pintu putih tersebut.

Tiara terperanjat. Matanya terpaku dan tubuhnya menegang. Sekelebat potongan-potongan ingatan yang rasanya sudah cukup lama tersimpan dalam ingatannya menyeruak, seakan ingin tumpah dari ruang kepalanya dan menyajikan layar imajiner di depan matanya untuk Tiara tonton bagai alur film pendek yang diputar cepat dan acak.

Darah hitam yang mengalir dari celah pintu?

Perasaan takut yang menyerang Tiara saat itu?

Wanita cantik yang tergeletak mengenaskan?

Tunggu! Semua itu bukan mimpi melainkan Tiara memang pernah ada di sini.

Dan jikalau semua itu hanyalah mimpi lainnya, bertahun-tahun lamanya Tiara melupakan atau mungkin mengabaikan dan berpikir ia hanya selalu dihantui mimpi tentang sebuah taman sepi dengan suara menggema yang memanggil-manggil namanya.

Kali ini Tiara menyadari sesuatu. Tiara selalu memimpikan semuanya namun hanya ingatan pendek yang tersisa dan mampu diingat Tiara setiap kali ia terbangun dari tidurnya.

Tiara terperanjat untuk kedua kalinya, pikirannya mulai menjurus pada hal yang paling penting untuk dipertanyakannya.

“Di mana Wilona?” tanya Tiara lirih yang membuat Wildan setengah tidak percaya akan pertanyaan Tiara.

“Kau sudah ingat?” Wildan bertanya balik dan mengabaikan jawaban yang diharapkan Tiara.

“Di mana Wilona?” tanya Tiara lagi, sangat menuntut jawaban.

“Di sini.” ucap Wilona singkatĀ  yang membuat Tiara terkejut lantas memalingkan wajahnya ke arah sumber suara. Wilona terlihat berdiri dengan tubuh yang rapuh di ambang lorong yang menghubungkan ruang tamu tersebut dengan ruangan-ruangan lainnya.

“Wilona, kau baik-baik saja?” pekik Tiara sebelum akhirnya mengatupkan kedua telapak tangan ke depan mulut mungilnya sebagai rasa tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya.

Wilona sedikit mengernyitkan dahinya menyadari kehadiran sosok wanita asing di hadapannya. Mata ambernya menyempatkan diri untuk mencuri pandang ke arah Wildan yang terlihat tidak peduli dengan drama dua wanita saling terkejut satu sama lain. Wildan masih sibuk menikmati makanan ronde keduanya.

Wilona akhirnya memindai cepat ke arah Tiara dari ubun-ubun hingga ujung kakinya lalu sama seperti Wildan, Wilona segera menyadari siapa wanita di depannya ketika mendapati kilat Ratnaraj dari bandul kalung Tiara hanya dengan sekali pandang.

“Tiara?” gumam Wilona nyaris tidak percaya dengan sosok Tiara yang jauh berbeda.

Baru beberapa jam yang lalu, tapi perempuan ini mampu tumbuh dewasa dengan cepat?

Tapi sekali lagi sama dengan cara berpikir Wildan, Wilona tidak begitu heran mengingat kemunculan Tiara yang tiba-tiba di Taman Rosetta. Selain itu, Wilona menyadari asal muasal Tiara sepertinya berasal dari dimensi lain yang berada di belahan dunia lainnya yang menjadi rahasia semesta dan itu sudah melampaui batas nalar Wilona untuk mencari tahu lebih jauh.

“Jika aku baru berada di sini beberapa jam yang lalu, bukankah seharusnya keadaan di sini sangat kacau? Lalu bagaimana kau….” Tiara meneguk air liurnya dan tak mampu melanjutkan kalimatnya.

“Tidak mati?” sambung Wilona.

Tiara hanya mengangguk cepat sebagai bentuk setuju atas ucapan Wilona yang tadinya terlalu sulit untuk dikatakannya.

Wilona tersenyum hangat kemudian melangkah mendekati Wildan dan bermaksud duduk di samping saudara kembarnya. Tiara sendiri mengikuti arah langkah Wilona lalu memilih duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan sepasang manusia kembar tersebut.

Tiara tahu akan ada penjelasan-penjelasan yang diungkapkan kali ini dan Tiara siap mendengarkan.

***

Wilona berdehem beberapa kali sebelum kemudian mulai bercerita sedang Wildan yang sudah selesai makan memilih menyandarkan punggungnya dengan malas dan memejamkan matanya seakan tidak tertarik dengan sajian dongeng yang akan membuatnya bosan.

Perutnya merasa sangat kenyang, sekarang saatnya untuk santai sejenak.

“Kau benar Tiara, rumah ini tadinya sangat kacau. Tapi, kau sudah lihat sendiri kan bagaimana makanan dan minuman mampu tersaji secara ajaib di depanmu?” Wilona membiarkan pertanyaannya mengambang di udara dan hanya dibalas dengan anggukkan pelan oleh Tiara.

“Sebelumnya aku sudah mengatakan padamu tentang Bibi Meredith yang telah tiada beberapa hari yang lalu. Beliau yang merawat kami sejak kecil, sejak kami terpisah dari kedua orang tua dan kemudian tinggal disini hingga sekarang.” Wilona menghentikan sejenak ceritanya, memberi waktu kepada Tiara untuk mencerna informasi yang ia berikan.

“Bibi Meredith memiliki kemampuan sihir dan rumah ini telah diberkati olehnya sehingga abadi dan mampu memperbaiki diri dan mengurus seluruh keperluan di dalam sini jika kami sedang tidak ingin melakukan hal-hal yang seharusnya bisa kami lakukan sendiri seperti menyiapkan makanan, dan lain-lain.” ucapan Wilona lagi-lagi dijeda untuk memperhatikan Tiara yang mengangguk-angguk mengerti.

“Tidak banyak manusia yang memiliki kemampuan sihir di sini, bahkan hanya bisa dihitung jari dan Bibi Meredith adalah satu dari belasan manusia yang diberkati,” ucap Wilona lirih, ada rasa pilu menyerangnya ketika mengenang kembali mengenai Bibi Meredith.

“Ratnaraj yang memilihmu merupakan satu dari pecahan tiga Ratnaraj itu sendiri. Sebuah batu permata dengan kekuatan magis yang bertahun-tahun lalu memicu sebuah konflik berkepanjangan di sini, Kota Thames yang merupakan satu-satunya kota yang kami kenal di bawah kekuasaan pria serakah bernama Marvin.”

“Pecahan tiga?” sanggah Tiara tiba-tiba sambil memegang bandul kalung miliknya.

“Iya, tiga.” ucap Wilona meyakinkan.

“Lalu, di mana yang dua lagi dan apa hubungannya denganku?” tanya Tiara lagi dengan rasa heran yang membuncah.

“Satu-satu Tiara, aku akan menjelaskan secara perlahan,” ucap Wilona lagi sembari tersenyum lembut.

“Orang tua kami tadinya adalah pemimpin tertinggi di tempat ini. Kami mungkin menyebut tempat ini sebagai kota, tapi kau bisa menyamakan sistem pemerintahan di sini dalam bentuk pemerintahan tunggal yang mencakup seluruh isi dunia yang kami kenal ini, entah istilah apa yang kau kenal untuk mewakili keadaan di dunia kami ini. Bisa dibilang, tempat ini hanyalah Kota Thames ini saja, tidak ada tempat lainnya. Paman Marvin dan Bibi Meredith adalah dua bersaudara yang dikaruniai kemampuan sihir. Penyihir sendiri sejatinya adalah orang-orang baik, mereka ditempatkan di posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan Kota Thames. Paman Marvin sendiri adalah penasehat tinggi Ayah kami. Dan, Bibi Meredith adalah pendamping utama Ibu kami. Ketika kami dilahirkan, kami begitu rapuh sehingga orang tua kami berpikir untuk menggunakan Ratnaraj yang merupakan pusaka turun temurun di tempat ini agar kami mampu bertahan hidup, sebab kamilah penerus kepemimpinan selanjutnya.”

Tiara hanya terus berusaha fokus dengan apa yang disampaikan Wilona. Kepalanya tak henti-hentinya mengangguk-angguk untuk terus mencerna informasi yang diterimanya.

“Paman Marvin adalah satu-satunya orang yang tidak setuju dan menganggap orang tua kami telah menyalahi aturan pusaka. Ratnaraj seharusnya dijaga, bukan digunakan. Yaa, aku rasa ada benarnya juga. Tapi pihak-pihak lain merasa setuju mengingat kami ke depannya akan menjadi pemimpin selanjutnya. Kami harus menjadi kuat untuk itu.”

“Jadi, yang dimaksud dengan pecahan tiga?”

Wildan kini telah duduk tegak dan bersamaan dengan Wilona tanpa aba-aba keduanya menatap tajam ke arah Tiara yang membuat Tiara merasa tak nyaman.

Dan, betapa terkejutnya Tiara ketika menyadari kilat merah menyala dari bola mata amber kanan milik Wilona dan Wildan yang cahayanya seakan menghunus jantung Tiara hingga Tiara tak dapat menahan diri untuk terperangah kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Itu, Ratnaraj lainnya?” tanyanya cepat dan dibalas dengan anggukkan mantap oleh Wildan dan Wilona.

“Pecahan terakhir yang ada pada kalungmu itu sengaja disisakan sebagai tanda bahwa pusaka Ratnaraj yang menjadi jantung tempat ini masih ada. Ketika kami menginjak usia sepuluh tahun, orang tua kami termasuk Paman Marvin dan Bibi Meredith mengetahui bahwa Ratnaraj yang bersemayam dalam diri kami ternyata membuat kami menjadi abadi. Aku dan Wildan terjatuh ke dalam jurang ketika tengah bermain di luar. Itu kesalahanku yang tidak hati-hati dan berdiri di tepi jurang hanya karena rasa penasaran akan apa yang ada di dasar jurang itu, ketika kakiku tergelincir, Wildan segera berlari untuk menolongku dan itu malah membuat kami terjatuh bersama. Jurang itu dalam dan manusia biasa sudah pasti tidak akan bisa terhindar dari maut. Ibu yang menyaksikan kami terjatuh dari kejauhan dengan kekalutan yang begitu dalam segera meminta Bibi Meredith mengangkat tubuh kami dengan sihirnya. Semua orang berkumpul di tepi jurang, begitu takut namun juga penasaran bagaimana wujud mayat kami. Dan….”

“Mereka terkejut menemukan kami tetap hidup dengan tidak kekurangan satu apapun kecuali darah kami yang ternyata berwarna hitam berlumuran di sana-sini, itupun tak lama menghilang seakan tak pernah terjadi apa-apa. Kami menyembuhkan diri kami dengan sendirinya.” lanjut Wildan tegas.

“Paman Marvin yang mengetahui hal itu menjadi gelap mata, ia ingin pecahan ketiga dari Ratnaraj untuk dirinya sendiri. Ia telah menyusun rencana dan menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi orang tua kami, merebut Ratnaraj, mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin selanjutnya. Dan iya, dia mendapatkan keinginannya untuk menguasai Kota Thames tapi tidak dengan kekuatan magis ratnaraj.” lanjut Wilona menggantikan Wildan.

“Maksudnya?” sanggah Tiara lagi.

“Bibi Meredith berhasil membawa kabur kami dan diam-diam mengambil pecahan ketiga ratnaraj ketika Paman Marvin terlalu sibuk tanpa perasaan menghabisi kedua orang tua kami pada malam yang mengenaskan itu. Dengan kekuatan sihirnya yang tak kalah kuat dari Paman Marvin, Bibi Meredith membangun tempat ini dalam sekejap, menjadikan tempat ini sebagai perlindungan abadi untuk kami, juga menjaga ratnaraj terakhir dan mengutuk Paman Marvin bahwa suatu hari akan tiba saatnya Paman Marvin akan menghadapi ajalnya oleh kekuatan magis ratnaraj ketiga itu sendiri yang telah merubah jiwa sucinya menjadi gelap gulita, kelam dan keji. Sampai saat itu tiba, Paman Marvin sebaiknya habiskan waktunya untuk menikmati kekuasaan semunya saja.” terang Wilona dengan menyimpan kebencian yang mendalam.

“Sekarang saat itu tiba, sudah waktunya Paman Marvin yang terhormat menerima kutukannya.” ucap Wildan dengan seringai tajam dan dipenuhi semangat membunuh.

“Kau telah dipilih oleh Ratnaraj terakhir, Tiara. Kau-lah yang akan menghabisi nyawanya.” sambung Wilona.

Tiara sentak berdiri dari duduknya, ia tak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.

Membunuh?

Tiara harus membunuh nyawa?

Tidak mungkin!

****

Bersambung~

3 Komentar

  1. Bagian 1 nya tidak ada

    1. Iya, terhapus. Ini baru sempat mau upload lagi. Maaf~