Ferre terbangun, dan menatap sekeliling. Rania masih tertidur dengan selimut yang berantakan menampilkan tubuh penuh tanda yang tentu saja mengingatkan akan apa yang terjadi beberapa jam lalu. Ia selalu saja begini, terbangun tengah malam karna mimpi yang benar-benar ingin dilupakan.
Ironis memang, kejadian masa lalu terus menggerogoti. Apa yang kurang dari Ferre, tidak ada. Tapi selalu saja ada perasaan kosong dan bayangan masa lalu, membuat ia merasa kurang dan kurang. Manusia memang serakah.
Ferre melepaskan pelukannya kepada Rania, membenarkan selimut yang melorot. Lelaki itu butuh air untuk menjernihkan pikirannya. Beranjak dari ranjang menuju kulkas mini yang disiapkan pihak hotel, mungkin bir adalah pilihan yang baik.
Alkohol dan rokok selalu jadi teman setia, apalagi jika sudah dalam keadaan yang seperti ini. Sejujurnya, Ferre tidak sampai hati untuk melakukan hal ini terhadap Rania. Entah kenapa setiap melihat wajah Rania, Ferre teringat seseorang di masa lalu yang menorehkan trauma mendalam baginya. Tapi dilain pihak Ferre ingin melindungi Rania.
Gadis itu terlalu lugu, polos dan naif. Ferre kembali menghisap rokok dan memainkan asapnya, melihatnya menghilang karna udara.
Melihat ia keluar dari butik Mia, dan memakai gaun sederhana mengusik Ferre. Gadis itu, seperti bunga yang baru mekar, dikelilingi kumbang. Ferre merasa bersalah mengambil kesempatan ini. Rasa yang sulit untuk dijelaskan, Rania terlalu membingungkan untuk Ferre.
Seks hebat, sangat hebat. Ferre mengakui itu, ia terpuaskan. Lebih dari bayangannya, selama 33 tahun hidupnya, ia sudah berkelana dari pelukan satu wanita ke wanita lain. Mulai dari artis, model, selebgram. Sudah pernah ia rasakan, semuanya rasanya sama. Hanya untuk penyaluran nafsu belakang. Tapi bersama Rania, rasanya luar biasa. Hampir saja, ia bisa mengeluarkan semua keluh-kesah yang ingin ia keluarkan.
Setelah selesai merokok dan minum, Ferre kembali. Berbaring di samping Rania. Memperhatikan lekuk wajah ayu gadis ini. Meraba bibir kecil merah, keinginan untuk mencium semakin besar. Lalu jemari Ferre turun ke bahu kurus Rania, menyusuri tulang selangka yang menonjol. Ada tanda merah di bawahnya yang Ferre ingat bekas gigitan dan jilatannya. Rania melenguh, tak lama membuka mata. Pusing masih terasa dan rasa haus membuat Rania menoleh dan menyadari Ferre menatapnya tajam dan intens.
“Haus?” Rania menggangguk, apakah ia sudah melakukan hubungan itu bersama Ferre?
Gadis itu lupa apa yang terjadi, hanya kilasan-kilasan kecil yang ia ingat. Ciuman Ferre!
Ia sangat mengingat hal itu, lelaki yang sedang mengambil air putih itu sangat ahli dalam ciuman. Rania memperhatikan keadaannya sekarang, badan yang lengket karna keringat bahkan ia tidak menggunakan baju atau dalaman. Rania membungkus tubuhnya menggunakan selimut. Sedangkan Ferre berjalan kearahnya hanya menggunakan brief ketat, canggung dan memalukan untuk Rania.
Ferre mengulurkan air putih ke pada Rania, dan tentu saja diminum gadis itu hingga tandas. Tapi yang tidak Rania sadari, air itu menetes keluar dari mulutnya hingga ke dagu dan berakhir ke lehernya. Membuat hasrat Ferre meningkat.
“Sudah?” Ferre bertanya ketika Rania mengangsurkan gelas yang kosong itu, Rania yang tidak mengerti hanya mengangguk.
“Sekarang giliranku,” Ferre menarik tengkuk Rania, mencium dengan pelan tapi tetap menggebu-gebu. Membuka bibir atas Rania, melumatnya dengan penuh ahli. Sedangkan tangan Rania dituntun Ferre untuk mengalungi lehernya, membuat mereka semakin dekat. Tanpa Rania sadari Ferre membuka lilitan selimut yang membungkusnya.
Ciuman Ferre turun ke tempat di mana ia bisa mengendus aroma manis Rania, foremon Rania yang sangat ia sukai. Rania yang diserang mendadak seperti itu hanya bisa menegang dan bergidik. Oh ya ampun! Ingin rasanya ia berteriak atas apa yang dilakukan Ferre terhadap tubuhnya.
Ciuman Ferre berlanjut membuat Rania terkejut atas perbuatan Ferre, menahan bahu keras lelaki itu. Tatapan tajam Ferre menghunus.
“T-Tuan, Anda…”
“Jangan menahanku, Rania. Rasakan saja, kali ini dengan keadaan sadar.” Membuat Rania menggeliat tidak karuan, menahan nafas akan apa yang terjadi.
Jadi ini yang terjadi ketika ia mabuk, seluruh tubuhnya bereaksi seperti ini, rasa yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rania hanya menggepalkan tangannya, desakan hasrat membuatnya frustasi.
Ferre kembali mensejajarkan wajah mereka, mengelus kepala Rania dengan lembut. Tiba-tiba, menarik wajah Rania mendekat. Rania terkejut mendengar Ferre menggeram, seakan pertahanan lelaki itu kacau.
“Buka matamu! Jangan pejam!” Rania membelalakkan mata, kenapa harus begitu? Untuk apa. Tapi Ferre semakin mendesaknya.
“Cepat!” membuat Rania kacau balau. Ia bisa melihat perbuatan nista yang dilarang oleh agama dilakukan oleh Ferre. Terkadang disela kesibukan Ferre, ia berbisik dalam bahasa italia yang tidak Rania mengerti.
Ferre melepaskan ciumannya, membuat Rania terengah-engah, memejamkan mata. Berharap tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan Ferre kepadanya.
“Lihat! Jangan memejamkan mata lagi, gadis lemah!” Rania menjerit ketika ferre menggigit bahunya, lelaki ini!
Mereka menyatu, Rania masih sempit. Sangat sulit untuk ditembus oleh Ferre.
Setelah penyaTuan mereka, Ferre berhenti sebentar melirik Rania. Saat pencapaian itu tiba, lebur sudah. Ferre menggeram keras, serasa ada awan putih melingkupinya. Kenikmatan duniawi yang benar-benar nikmat.
Sedangkan Rania mengais udara, tidak menyangka ia bisa melakukan hal ini bersama seseorang yang tidak memiliki ikatan yang sah bersamanya. Anggap saja ia kuno, Rania sangat konvensional terhadap sesuatu yang ia pegang teguh. Kenikmatan yang dirasakan bersama rasa bersalah.
Ferre melepaskan penyaTuan mereka dan merebahkan tubuhnya di samping Rania. Masih dengan terengah-engah dan gemetar akan sensasi orgasme yang ia dapatkan. Rania terdiam, menyakinkan diri bahwa saat ini adalah hal yang nyata. Bukan mimpi.
Saat tersadar, Rania harus membersihkan diri. Tidak mungkin ia tidur kembali dalam keadaan lengket dan baunya menyatu bersama Ferre.
Ia bersiap-siap untuk membersihkan tubuhnya, mencari-cari kemana perginya bathrobe yang ia kenakan. Sedangkan Ferre seperti tidak peduli akan apa yang dilakukan Rania.
Sesampainya di kamar mandi, hancur sudah yang ia tahan-tahan selama ini. Ia sudah menjadi jalang seutuhnya, bukan lagi seorang gadis yang memiliki harga diri. Lihatlah wajah itu, pucat dan bersimbah air mata. Rania menggigit bibirnya, merasakan sakit menjalar dibibirnya.
Pasrah… selalu saja, ia tidak mempunyai kekuatan untuk merubah apapun. Tidak mempunyai kehendak, katanya manusia bisa merubah kehendak asal punya tekad. Tapi hal itu tidak berlaku pada Rania, tidak ada yang bisa ia rubah. Rania terisak, ia hanya makhluk lemah yang tertindas, yang berkorban demi orang banyak. Ia mengusap wajahnya dan segera untuk mandi, kembali memakai bathrobe bertelanjang karna sekarang ia adalah simpanan pria kaya.
******
Wah, gak nyangka ada yang baca, maaf ya. Upload ke sini karna gabut aja, jadinya lupa. Terimakasih yang sudah baca. Cerita ini juga ada di wattpad dan karyakarsa ya, kalian bisa membacanya secara gratis. Baru kali ini kaget liat ada yang komen, hehehe. Makasih banyak yang sudah mampir.Â
Tetap semangatt
Ditunggu
Sip
Sip… lanjut terus
Ayo semangat up nya yaaa…syuukaaaaa
Tks ya kak udh update.
Kalo di wattpad udah end belum kak??