This story available on wattpad.
***
Seorang pemuda tampak terlelap di atas kursi kebesarannya, matanya tertutup di balik bingkai kacamata yang bertengger di hidung. Wajahnya tampak membiru terkena bias pantulan cahaya dari layar komputer.
Suara ketukan pintu terdengar, layar yang sedari tadi ada di depannya otomatis berubah menampilkan sosok yang berada di depan pintu. Terlihat sesosok wanita paruh baya tengah berdiri memegang nampan berisikan makanan menanti Sam membukakan pintu, namun pemuda itu terlihat tak menunjukkan tanda-tanda untuk membuka matanya.
“Samuelson, buka pintunya” perintah Rose yang tak menyerah dengan terus mengetuk pintu. Ia tak habis pikir, kunci apa yang di gunakan keponakannya itu sampai-sampai ia tak bisa masuk tanpa di dampingi sang empunya. Rose sudah berulang kali bertanya dan meminta Sam untuk mengganti kunci kamarnya agar ia bisa dengan mudah membersihkannya, namun hal itu ditolak oleh Sam dengan dalih akan membersihkannya secara mandiri.
Dan kini kekhawatiran Rose semakin memuncak, selain tidak bisa memantau apa saja yang dilakukan keponakannya itu ia khawatir karena sedari kemarin Sam tak kunjung keluar dari persembunyiannya.
“Samuelson, apa kau akan mati disana?! Sekali lagi, buka pintunya!!”
Akhirnya beberapa detik kemudian pintu terbuka, menampakan sesosok pemuda tampan yang masih meraba-raba cahaya dibalik matanya yang menyipit.
“Aunt, kau mengganggu tidurku” Keluh Sam sambil mengucek matanya.
Rose tak berkutik, dia langsung menerobos masuk. Berdiri sejenak mengamati kondisi kamar sang keponakan yang sudah lama tidak ia pantau. Di letakkannya nampan yang tadi ia bawa di atas meja, ia berjalan ke segala penjuru ruangan. Memantau barang kali ada hal mencurigakan yang dilakukan oleh remaja seusia Sam, seperti narkoba misalnya atau diam-diam membawa seorang perempuan tanpa sepengatahuannya.
“Kau tidak melakukan ‘sesuatu’tanpa sepengetahuan aunt kan, Sam?” Rose bertolak pinggang dengan sedikit menyenderkan diri pada meja. Matanya menyipit dengan aura intimidasi yang kuat, membuat Sam diam-diam meringis ngeri.
“Apa yang sudah aku lakukan? Aku hanya sedang sibuk bertanding game. Kau tau sendirikan aunt, di zaman yang serba canggih ini kau tak perlu membuang banyak energi hanya perlu duduk di depan komputer kau sudah bisa berse-“
“Seperti contohnya memesan narkoba secara online, memanggil para jalang lewat medsos begitu maksudmu?” Ungkap Rose yang rupanya masih belum puas mengintimidasi Sam.
“Apa-apaan? Aku tidak melakukan itu semua. Aku hanya bermain game, tidur, makan, atau pergi sekolah jika aku mau. Hanya itu.”
Pemuda bersurai kecoklatan itu perlahan duduk menyantap makanan yang tadi telah dibawakan bibinya. Melihat hal itu, Rose menghembuskan nafas lega. Ia tersenyum, lega karena keponakannya tak terjerumus pada hal-hal yang suatu saat akan membuat dirinya dalam bahaya. Ia takut kejadian yang menimpa salah satu anak tetangganya juga menimpa Sam, itu sebabnya dia jadi lebih gencar merecoki Sam untuk memastikan ia tidak sedang dalam masalah.
“Habiskan makananmu, lalu tolong belikan telur stok di dapur kita habis” ucap Rose, tangannya mengusap rambut Sam sekilas sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
“Aku tidak mau, minta belikan saja pada uncle Hans” teriak Hans bertepatan ketika pintu tertutup sempurna.
Samar terdengar timpalan aunt Rose yang mengatakan bahwa orang yang di katakan Sam sedang tidak berada di rumah saat ini. Mau tidak mau Sam harus menurutinya, dengan gerakan lambat dia menyuap makanan kemulusnya berusaha mengulur waktu sebanyak mungkin.
“Samuelson, jangan coba-coba kau membuang waktuku!” Teriakan Rose terdengar nyaring dari bawah sana.
“Iya, aku tau”
***
Sesuai pemintaan Rose, Sam pergi keluar. Kulit putih yang hampir mendekati pucat itu akhirnya terpapar sinar matahari. Dia berjalan ke arah seberang, menelusuri sebuah gang kecil yang hanya cukup di lalui pejalan kaki yang rupanya merupakan jalan pintas menuju pusat keramaian.
Dengan kedua tangan di masukan kedalam saku jaket Sam terlihat menarik banyak perhatian orang-orang yang di laluinya. Padahal jika di amati dengan baik dia hanya mengenakan pakaian seadanya reaped jeans hitam dengan kaos putih juga bomber kuning mentereng kesayangannya, bukan sedang catwalk dengan outfit branded dari atas kepala hingga ujung kaki.
“Apa jaketku terlihat sangat menyala?” gumam Sam tak mengerti sembari terus melanjutkan langkahnya.
Langkah kaki Sam berhenti di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya. Lantas tak lama dia kembali melanjutkan langkahnya memasuki gedung itu.
“Excume, miss. Apakah saya bisa bertemu dengan Mr. Johan?” Sam mengucapkannya dengan begitu normal, bahkan sang resepsionis sampai terpesona meski dalam tampilannya yang cupu.
“Sorry, boy. But, who are you?” resepsionis itu bertanya, namun dari matanya Sam bisa menyimpul bahwa sang resepsionis menaruh rasa perhatian padanya.
“Call me Sam, sweety. Dan bisakah segera beritahu Mr. Johan atas kedatanganku” ucap Sam seraya mengedipkan sebelah matanya pada resepsionis itu.
Dengan gugup sang resepsionis berkata “Baiklah, tunggu sebentar”
Sam menyandarkan dirinya di meja resepsionis, matanya diam-diam menyapu beberapa sudut kamera cctv.
Sial wajahku tertangkap umpat Sam dalam hati, dengan cepat ia segera memutar tubuhnya membelakangi kamera.
Resepsionis itu lantas menaruh kembali gagang teleponnya, seraya berkata “Mr. Johan telah menunggu. Silahkan, ruangannya ada di lantai 27”
***
“Sampai kapan kau akan terus menolak permintaanku ini, Sam? Aku akan membayar berapapun jumlah yang kamu inginkan” Mr. Johan berkata, raut wajahnya terlihat menahan kesal dan kemarahan yang tertahan.
Sam, si pemuda di hadapannya terlihat tenang dengan setoples coklat almond di pangkuannya.
“Aku sedang tidak berminat melakukan pekerjaan apapun saat ini.”
Mendengarnya Mr. Johan langsung memukul meja dengan keras, Sam sendiri hanya mengangkat sebelah alisnya dengan mulut terus mengunyah.
Mr. Johan menggeram keras, tangannya mengepal di atas meja sebelum akhirnya dia bersuara “Baiklah, bocah. Kau bisa pergi, sebelum aku menghabisimu”
“Baiklah, Mr. Johan. Aku pergi, tapi jangan bunuh aku” Nada suaranya terdengar seperti ketakutan yang dibuat-buat. Kemudian Sam menaruh toplesnya di atas meja seraya melangkahkan kakinya. “Atau mungkin akulah yang akan menbunuhmu terlebih dahulu” lanjut Sam ketika ia berjalan melewati Mr. Johan yang masih duduk dengan tangan memegang botol minuman.
Sam pergi dengan smirk mengerikan di wajahnya, sedangkan Mr. Johan terlihat tertegun dengan wajah pucat pasi.
Satu hal yang dia lupakan, merupakan sebuah kesalahan karena ia telah melayangkan ancaman pada orang yang bahkan bisa dengan mudah membunuhnya.
“Sial!”
***
Seorang gadis bersurai hitam sebahu tampak menebar senyum pada setiap pengunjung yang berdatangan memasuki kedainya. Gadis itu bernama Maddy, Madeline Ellizabeth Thomson.
Dengan apron merah dikenakannya, Maddy terlihat serius menghias beberapa cup cake dengan cream. Sebelum sebuah tangan jahil mengambil salah satu cup cake secara cepat, membuat gadis itu memekik kaget.
“Jeremy! Kau tidak pernah bosan rupanya” protes Maddy pada Jeremy -Kakak Maddy yang langsung melahap barang curiannya itu kedalam mulutnya.
Maddy hanya bisa menggelengkan kepala lantas kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Hei, Elle”
“Stop call me Elle, J!”
“Come on my sister. Have fun, jangan terlalu serius seperti itu”
Maddy mendelik kearah kakaknya yang entah kenapa selalu berusaha menghilangkan sifat serius Maddy. Di letakannya cream tadi di atas meja, lantas bertolak pinggang.
“Now, what?” tanya Maddy mulai melemah, percuma dia mengacuhkannya Jeremy akan terus mengganggunya hingga Maddy merespon.
“Temani aku bermain ice skating” Seraya menaik turunkan alisnya. “Gimana?” sambung Jeremy.
“Okay. Setelah pekerjaanku selesai” Maddy kembali melanjutkan pekerjaannya jika saja Jeremy tidak mencekal tangannya.
“Of course now. Wait a minute” di lepaskannya cengkeraman Jeremy seraya melepaskan apron yang menempel di tubuhnya.
“Mom, we must go!” Jeremy berteriak dan mendapat protes dari adiknya. “Jangan berteriak, bad bro”
“Let’s go!“
***
Sudah hampir dua jam mereka di area ice skating, Jeremy masih betah berseluncur kesana kemari diatas es tanpa lelah. Sedang Maddy terus menggerutu meminta segera pulang, namun Jeremy tidak menghiraukannya.
Saat ini Maddy merasa kedinginan, meski tubuhnya di balut pakaian hangat yang tebal. Tapi seolah semua itu tidak berpengaruh. Dirinya masih merasa dingin, tangannya memeluk dirinya sendiri berusaha mencari kehangatan.
“Merasa kedinginan, Elle?” ujar Jeremy cepat secepat dirinya meluncur melintasi Maddy yang hanya diam di pinggir arena ice skating.
Maddy hanya mendengus kesal. Rasanya dia ingin melempar saudaranya itu dengan sepatu bermata pisau yang di pakainya ini. Namun sekali lagi suhu tubuhnya lebih penting di banding meladeni Jeremy. Suhunya terlalu dingin, dia bahkan tidak bisa merasakan kedua telapak tangannya yang begitu dingin.
Sekali lagi Jeremy melintas, dan kali ini Maddy tidak melewatkan kesempatan dengan menarik tangan Jeremy hingga pemuda itu terjatuh.
“Shit! it’s hurt” umpat Jeremy seraya mengusap bokongnya yang terasa sakit. Ia perlahan berdiri dengan di bantu oleh Maddy yang mengulurkan tangannya sukarela.
“I wanna go home, J” Rengek Maddy dengan memelas.
Jeremy yang gemas langsung membawa Maddy kedalam pelukan hangatnya dan mendekapnya erat.
“Ayolah, ini sangat menyenangkan. Kenapa kau terburu-buru?”
“Kau ingin membuatku mati kedinginan?!” gertak Maddy yang dihadiahi kekehan dari Jeremy.
Tangannya mengusap lembut kepala Maddy yang tertutupi sebuah topi rajut berwarna merah. “Baiklah, tunggu aku satu putaran lagi. Kau bisa pergi duluan” ujar Jeremy seraya kembali berseluncur di atas es.
Seperti kata Jeremy, Maddy keluar duluan dari arena ice skating dan segera membuka sepatu yang di kenakannya menggati dengan sneaker putih kesayangannya.
Maddy duduk bersandar di luar arena ice skating seraya menunggu Jeremy. Suhu yang ia rasakan perlahan menghangat, tidak membekukan seperti tadi.
Karena Jeremy yang tak kunjung datang, gadis bermata onyx itu memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan berhubung lokasi ice skating berada didalam sebuah mall.
Kakinya terus berjalan melewati stand-stand makanan yang bejejer rapi dan tampak menggiurkan di mata Maddy. Namun dia memutuskan untuk membeli satu saja. Dan pilihannya jatuh pada matcha latte dan vanila latte kesukaan Jeremy.
Usai mendapatkan pesanannya, Maddy berinisiatif untuk kembali ke arena ice skating dan mendesak Jeremy untuk membawanya pulang. Tapi karena dirinya terlalu asik melirik sana-sini sembari meminum matcha, ia tidak sadar seseorang berjalan kearahnya dan tabrakan pun tak terelakkan. Alhasil matcha di genggamannya telah beralih melumuri jas mahal yang di gunakan pria paruh baya yang ia tabrak itu.
“What are you doing, bitch?!” Pria itu meneriaki Maddy yang terlihat syok dengan mulut terbuka.
Tak lama akhirnya Maddy dapat menguasai diri dan segera meminta maaf pada pria yang tampak marah besar itu. Alih-alih memaafkan pria itu memilih pergi dengan umpatan-umpatan yang terus di lontarkannya pada Maddy, membuat gadis malang itu menjadi pusat perhatian.
Dengan berlinang air mata Maddy berlari menjauh dari kerumunan. Berlari tanpa peduli meski dirinya beberapa kali menabrak orang lain, bahkan Vanila latte yang telah ia belikan untuk Jeremy ia lupakan. Terlalu malu untuk berbalik dan mengambil kembali Lattenya.
Jeremy! Jeremy! jerit Maddy dalam hati. Yang ia butuhkan saat ini hanya kakak sialannya itu, Jeremy.
Jeremy yang melihat sang adik berlari dengan berlinang air mata tampak terkejut. Keterkejutannya itu hampir saja membuatnya terjungkal kala Maddy menghambur ke pelukannya. Untung dia berhasil menyeimbang diri.
“What’s wrong?” Tanya Jeremy khawatir seraya mengusap punggung Maddy yang terlihat bergetar.
Tangis Maddy semakin kecang, membuat Jeremy panik. “Tell me, Maddy. What’s wrong?”
“Just take me home!“
Star