Masih ku ingat pesanmu saat itu. Kau berkata, bahwa aku selalu mengabaikan pesan darimu. Kau juga bertanya, mengapa balasan pesan dariku untukmu selalu datang terlambat.
Aku hanya bisa tersenyum getir sebagai tanggapan dari protesmu itu.
Memangnya apa yang bisa ku lakukan selain itu?
Mungkin siapapun pasti akan mengataiku dengan sebutan perempuan munafik.
Mengatakan kebohongan seolah itu kebenaran, namun nyatanya itu hanyalah sebuah pengalihan.
Menjadi pasif di luar, namun bergejolak di dalam.
Mengatakan tidak tapi hati mengiyakan.
well, manusia memang selalu bersembunyi melalui kata “tidak apa-apa, aku baik-baik saja” namun kenyataannya tidak. Benar bukan?
Mayoritas dari kita adalah makhluk yang paling enggan menunjukkan kelemahan pada orang lain.
Bersandiwara layaknya aktor papan atas. Agar terlihat berkelas. Hanya karena tak ingin mencoreng popularitas.
Memilih menyembunyikan tangis, hingga tidak peduli pada perasaan yang teriris.
Sungguh miris.
Jika saja kau tau betapa kacaunya aku saat itu.
Aku sedang berusaha menghempaskan semua rasa dan pikiran ini, yang entah mengapa selalu mengarah kepadamu. Layaknya aliran magnet. Begitu erat menarik dan memikat.
Hingga sebuah pilihan terlintas dalam benak.
Jika kau layaknya magnet untukku, maka jarak akan menghilangkan aliran magnet itu.
Pengabaian adalah caraku menciptakan jarak.
Pengabaian adalah caraku mengikis rasa.
Pengabaian adalah caraku mematahkan sesuatu yang perlahan tumbuh.
Karena bagiku, kita adalah dua negara dalam zona waktu berbeda, saling berkejar-kejaran, namun tak pernah bertemu pada jarum jam yang sama. Bersumbu pada satu poros, namun tak seirama.
Layu sebelum berkembang