Kedua netra kelam itu perlahan mengerjap, megumpulkan kesadaran. Ketika pada akhirnya kedua mata terbuka, ia telah berada kembali dalam sebuah ruang putih dengan gelembung yang memenuhinya.
Ternyata bukan mimpi………..
Untuk sesaat ia mengira bahwa apa yang telah ia alami, segala kilasan-kilasan hidup yang ia lihat adalah mimpi. Namun ternyata tidak, dirinya masih berada dalam ruang ini pun dengan anak kecil bermata jingga yang kini duduk di sebuah kursi kayu mengamati dirinya.
Perlahan Lami mencoba bangkit dari duduknya, berdiri terpaku dalam ruangan ini. Gelembung-gelembung itu mengelilinginya dengan gerakan konstan berputar.
Berapa banyak lagi yang ia harus lihat..???
“Tenang saja, semua ini akan berakhir.” Anak kecil itu menjawab pelan, seolah kembali membaca pikirannya. Kali ini Lami hanya memandang datar.
“Apakah orang-orang diluar sana ada yang mengalami hal seperti ini. Melihat hidup mereka lagi?” Lami menyeruakan pertanyaan setelah jeda waktu dalam ketermenungan. Merasa penasaran apakah ada orang lain yang juga seperti dirinya?
“Hanya orang-orang terpilih.” Anak kecil itu berucap misterius. “Orang-orang yang bahagia dalam kegelapan, sepertimu.”
“Memangnya akan ada yang berubah?” Lami berucap lirih. “Apakah dengan melihat hidupku yang menyedihkan akan merubah sesuatu?” Lami hanya memadang dingin tepat ke arah netra jingga itu, yang hanya membalas dengan senyum miring.
“Hal sekecil apapun bisa mengubah sesuatu.” Anak kecil itu bangkit dari duduknya, melangkah mendekat. “Perubahan yang tak kau sangka.”
“Kau memang memiliki ibu yang kejam, sangat kejam.” anak kecil itu telah berada di belakangnya, membuat Lami refleks menoleh. “Kuakui hidupmu memang cukup menyedihkan.” Kali ini anak kecil itu menggerakan jari-jarinya hingga sebuah gelembung tepat berada di hadapannya.
“Hidupku memang menyedihkan, lalu mengapa aku harus melihatnya lagi? Untuk menambah kesakitanku?” Lami memadang tajam. “Haruskah seperti ini?” ucapan itu terdengar lirih, bentuk keputusasaan yang dalam.
“Kau telah diberikan kesempatan untuk menerima atau menolak kehidupanmu. Dan kau menerimanya, maka jalanilah” Anak kecil itu kemudian menyentuhkan jari-jarinya ke permukaan gelembung tipis itu. “Hal ini juga adalah kesempatanmu untuk memperbaiki takdirmu, jalanilah”
Kesadaran gadis itu kembali terenggut paksa.
***
Ini panti asuhannya…
Ketika Lami kembali berada di dalam kilasan hidupnya, ia telah berada di sebuah panti asuhan sederhana namun terlihat sangat asri, rumahnya.
Setelah kepergian ibunya yang sangat kejam, ia beserta bibi dan saudarinya terpaksa tinggal di panti asuhan. Wanita jahat itu menjual rumah yang dulu mereka tempati sebelum pergi, mengambil semua uangnya. Terpaksa mereka bertiga yang tak punya apa-apa harus tinggal di panti asuhan ini.
Awalnya memang sangat sulit untuk berbaur dengan sekitar, namun lambat laun Lami dan Lena kecil mampu beradaptaasi dengan cepat. Berteman dengan anak-anak panti yang senasib dengan mereka, bermain dengan ceria.
Lami kini dapat melihat dirinya dan Lena kecil bermain bersama anak-anak panti yang lain di halaman panti yang asri penuh keceriaan. Tak jauh dari sana bibinya juga berada di sana, menjaga anak panti yang lebih kecil dan juga mengawasi keponakannya dengan senyum kebahagiaan.
Lami memejamkan mata, menghirup udara asri panti dengan senang. Masa-masa ini adalah salah satu masa membahagiakan bagi dirinya.
Ketika membuka matanya, dilihatnya dirinya yang kecil berlari ke arah sang bibi, ikut duduk di bangku itu.
“Bi, kapan ibu datang ke sini buat jemput kita?” Lami melangkah mendekat dan samar-samar mendengar pertanyaan polos dirinya yang masih kecil, perkataan seorang anak yang sarat akan kerinduan.
“Ibu lagi kerja, kita tunggu sama-sama, yah?” Bibinya mengusap pipi Lami kecil penuh kasih sayang, berusaha terlihat tegar. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Vera. Dan Lami tak henti-hentinya terus bertanya kapan sang ibu pulang, penuh pengharapan.
Lami hanya memandang miris pada dirinya yang begitu polos merindukan sosok ibu yang mungkin bahkan tak pernah memikirkannya lagi.
“Ibu ngak akan jemput kita lagi, Lami.” Lami menoleh kesumber suara di belakangnya, dimana Lena berdiri di sana dengan raut wajah tak suka. “Berhenti bahas itu terus.” Lena kecil kembali berucap kesal, mendekat ke arah bibi dan saudari kembarnya, menembus Lami yang masih berdiri dalam keterpakuan.
“Ibu pasti datang! Kenapa Lena ngak pernah percaya?” Lami kecil kembali bersuara tak mau kalah.
“Ibu bahkan ngak menoleh ketika ninggalin kita, Lami. Dia ngak akan pernah kembali!” Lena kembali berucap dengan keras, berusaha menyadarkan saudari kembarnya yang terus-terusan berharap.
“Ngak..ngak..ibu pasti datang..ibu pasti jemput kita..” Kali ini Lami kecil tak dapat menahan tangisnya, isakan itu semakin menjadi-menjadi. Tangis anak kecil yang memilukan.
“Lena!” Bibinya menegur. “Kamu jangan bilang begitu! kembali ke kamar kamu, bibi perlu bicara sama kamu.” Bibinya berucap tegas.
Lena pada akhirnya menuruti perkataan sang bibi, melangkah menuju kamarnya dengan cemberut.
Lisa menghela nafas, kini perhatian tertuju pada Lami kecil yang menangis sesegukan. “Lami sayang, udah jangan nangis.” Lisa merangkul tubuh mungil keponakannya dengan sayang, menghapus air mata yang terus mengalir.
“Kenapa..kenapa Lena ngak mau percaya kalau ibu bakalan jemput kita?” Setengah sesegukan Lami kecil berujar. “Lena percaya, kok. Dia cuman ngak mau Lami sedih mikirin ibu terus” Lisa berucap penuh pengertian, membelai rambut Lami kecil dengan sayang. “Udah jangan nangis, keponakan bibi kan kalau senyum cantik banget. Jadi Lami harus senyum biar cantiknya kelihatan.” Perlahan Lami kecil menghapus sisa air matanya dengan tangan mungilnya, tersenyum cerah memarkan gigi susu yang mulai bertumbuh, memeluk bibinya erat.
Lami mendesah kasar mellihat pemandangan di hadapannya. Bagaimana polosnya dirinya dulu dengan terus-terusan berharap hal yang semu. Lena bahkan lebih mengerti dari dirinya. Lami memang pada saat itu begitu polos, berbeda dengan Lena yang jauh lebih berpikiran dewasa dan mengerti.
Sebelum Lami tersadar dari lamunannya, dalam sekejap ia telah berada di dalam sebuah ruangan dimana bibi dan seorang wanita yang sepertinya sebaya dengan bibinya. Sepertinya kini Lami tengah berada dalam kilasan beberapa tahun setelah ia tinggal di panti. Melihat di luar sana tepat di luar jendela panti asuhan ini telah mengalami renovasi dan penambahan gedung.
Di hadapannya, bibi dan wanita tadi becakap-cakap serius. Sesekali bibinya menggelengkan kepala tak setuju mendengar penuturan wanita itu yang juga keras kepala.
“Saya tidak mau, bu. Lami dan Lena adalah saudari kembar, mereka tidak boleh dipisahkan. Lagi pula masih ada saya sebagai bibinya, wali sah mereka.” Lisa membuka suara, menolak perkataan wanita di hadapannya.
“Yang mau mengadopsi keponakan ibu adalah orang kaya yang terpandang, kehidupan keponakan ibu akan jauh lebih baik jika mereka mengadopsi salah satu dari mereka.” Wanita itu berujar tak mau kalah. “Ibu pasti juga senang kalau salah satu dari keponakan ibu hidup berkecukupan dan terjamin.”
“Tapi tetap saja saya tidak terima, bu.” Lisa berucap. “Saya tidak bisa memisahkan mereka, saya juga tak mau berpisah dari mereka. Ibu tahu sendiri kalau mereka sudah seperti anak saya sendiri.” Lisa menghela nafas. “Bisakah ibu mencari anak yang lain?”
“Tidak, bu. Orang tua pengadopsi itu mencari anak yang tidak terlalu kecil ataupun sudah terlalu tua. Dan Lena serta Lami adalah yang paling cocok. Usia 10 tahun.” Wanita itu kembali berujar. “Ini adalah kesempatan yang bagus untuk masa depan keponakan, ibu. Setidaknya hidup mereka terjamin dan tak perlu lagi berada di sebuah panti asuhan.”
“Orangtua pengadopsi akan datang siang ini untuk menjemput Lami. Saya sudah menyiapkan berkas atas nama Lami.” Wanita itu memandang lurus. “Walaupun Bu Lisa adalah wali sah Lami, tapi ibu tidak kompeten dalam menjaga mereka karena membiarkan mereka tinggal di sebuah panti asuhan.” Ada senyum sinis sebelum wanita itu melanjutkan ucapannya. “Jadi mau atau tidak mau Lami tetap akan di adopsi.”
Sedetik berikutnya, kini Lami telah berada di dalam sebuah ruangan dengan penerangan yang minim serta udara pengap pun dengan berbagia barang-barang yang tertumpuk, ruangan yang sepertinya sebuah gudang.
Lami memfokuskan pndangannya dan akhirnya melihat sosok dirinya dan Lena kecil berjongkok menyembunyikan dari tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Lena, Lami ngak mau diadopsi” suara kecilnya kini terdengar, setengah merengek pada sang saudari kembar. “Kamu ngak akan kemana-kemana, kita akan tetap sama-sama.” Lena menyahut. “Kalau kita tetap di sini dan sembunyi mereka ngak akan bawa Lami.”
“Tapi Lami capek jongok disini terus, Lami juga lapar.” Lami kecil kembali berucap, memegang pertunya yang berbunyi keroncongan. Lena pun hanya bisa mengangguk ia juga sama laparnya dengan Lami. Tadi ketika menguping pembicaraan bibi serta wanita nenek sihir, julukan mereka pada wanita pemilik panti yang pemarah. Mereka langsung berlari dan bersembunyi. Itu artinya sudah dari tadi pagi mereka tak makan-makan hingga siang ini. Dan kini perut mereka terus bebunyi keeoncongan.
“Lena ada roti di kamar, kita bisa makan roti” Lena berseru. ”Lena akan ngambil roti itu. Lami tunggu di sini.”
Lena melangkah pelan-pelan, membuka pintu sedikit. Ketika tak ada orang-orang, ia pun pergi, meninggalkan Lami sendirian.
Pada akhirnya Lami hanya bisa menunggu, memeluk kedua lututnya berharap Lena segera kembali.
***
30 menit berlalu dan Lena tak kembali juga. Lami kecil yang merasa sudah sangat lama menunggu akhirnya memutuskan untuk melihat keberadaan Lena. Ia pun keluar mengendap-endap berusaha untuk tak terlihat. Ketika telah sampai di kamar mereka yang cukup lengang karena ini waktunya makan siang, sosok Lena tak terlihat juga.
Lami kemudian mengintip ke arah ruang makan tempat anak-anak panti makan, namun tak melihat sosok saudarinya itu juga.
Ketika ia telah berada di halaman panti, di sana ia melihat sang bibi menangis tertunduk. Lami langsung berlari ke arah bibinya, kemudian memeluk sosok itu.
“Bibi kenapa nangis?” Lami kecil berucap polos, mendongakan kepala melihat bibinya.
Bibinya kemudian beejongkok hingga pandangan mereka sejajar, berusaha tersenyum manis di sela-sela tangisnya. “Lami, Lena sudah pergi, di adopsi oleh sebuah keluarga.” Bibinya memberi pengertian. “Maafkan bibi, ngak bisa berbuat apa-apa.”
“Tapi..tapi Lena udah berjanji untuk tetap sama-sama Lami.” Lami kecil berujar lirih, tanpa sadar sesak di dadanya mulai membuat air matanya terus mengalir.
“Maafkan bibi, sayang. Seharusnya bibi menahan Lena.” Bibinya berujar dengan penuh rasa bersalah. “Tapi Lena akan tetap berkunjung ke sini. Ia bisa mengunjungi kita. Lena ngak akan ninggalin Lami dan bibi.” Sang bibi berusaha tersenyum, membelai pipi Lami yang terus dialari air mata.
Ucapan bibinya perlahan sedikit membuat hatinya merasa lega, ia tetap memiliki harapan.
Lena akan mengunjunginya..Lena tak akan meninggalkannya.
Lami menghembuskan nafas perlahan, ikut menahan sesak begitu kembali diperlihatkan saat-saat dimana Lena pergi dan tak kembali. Dulu ia begitu mempercayai bahwa Lena setidaknya akan tetap berkunjung menemuinya dan bibi mereka, namun nyatanya tidak. Sama seperti disaat ia tetap berharap ibunya akan menjemput mereka, nyatanya semua hanya harapan semu.
***
Seperti yang sudah-sudah, dalam sekejap Lami kembali berada dalam kilasan yang berbeda. Kini ia telah berada dalam sebuah ruang dimana bibinya terbaring lemah terlhat sakit. Dirinya yang berusia 15 tahun juga berada di sana, duduk di pinggir ranjang menggengap tangan sang bibi.
“Aku tak mau melihat ini.” Lami berseru kencang, rasa sesak langsung terasa mencekiknya. “Kumohon…” Lami merintih pelan, memandang memohon pada anak kecil yang kini telah berada di hadapannya.
“Hadapilah, kau harus melihatnya.” Anak kecil itu berujar datar tak peduli.
***
“Bibi terlalu bekerja keras, lihatlah sekarang bibi jadi sakit.” Lami remaja berucap lirih, memandang bibinya sedih.
“Cuman sakit biasa, kalau tidur sebentar pasti sembuh, kok.” Bibinya berucap menenangkan, senyum menghiasi wajah pucatnya.
“Aku berhenti sekolah aja.” Lami kembali berujar. “Ini karena bibi harus biayain sekolah aku. Aku mau berhenti sekolah. Aku bisa kerja cari uang.”
“Jangan bilang gitu, Lami.” Bibinya kembali berujar lirih. “Bibi sakit bukan karena kamu. Kamu ngak boleh bilang kaya gitu.” Ada hela nafas sebelum bibinya kembali berucap. “Bibi mau kamu sekolah tinggi-tinggi, jadi orang sukses, punya masa depan cerah. Kamu harus sekolah baik-baik, sayang.”
“Kalau kamu sukses, kamu bisa ketemu sama Lena.” Bibinya kembali berujar setelah jeda yang cukup lama. Memandang keponakannya dengan senyum lembut.
“Lena bahkan udah ngak peduli sama kita!” Lami menghardik. “Aku terus kirimin dia surat-surat, bahkan ketika bibi sakit aku juga krimin surat. Ia bahkan ngak datang-datang nengokin kita.”
“Kamu jangan begitu, mungkin Lena lagi sibuk jadi ngak sempat–”
“Ini sudah lima tahun, bi…dan Lena sama sekali tak peduli dengan kita. Ia sama saja dengan wanita jahat itu, pergi dan ngak akan kembali-kembali lagi.” Lami berucap penuh gejolak. Menahan kesedihan dan kepedihan.
“Bibi harus istirahat, bibi harus tidur.” Lami kembali berujar mengalihkan perhatian, tak ingin membahas lagi mengenai Lena dan wanita itu. Pada akhirnya bibinya hanya mengangguk lemah, tak lagi membahas keponakan dan saudarinya.
***
Keesokan harinya, Lami bersekolah seperti biasanya. Hari ini adalah hari kelulusannya. Ia merasa cukup sedih karena bibinya tak sempat hadir karena kesehatannya kurang baik.
Walaupun begitu, Lami tetap berusaha tersenyum. Ia ingin segera pulang dan memperlihatkan prestasi yang diraihnya, menjadi ranking satu di kelas serta berada dalam 10 besar umum terbaik di sekolahnya. Dengan prestasinya itu ia bahkan telah langsung diterima oleh salah satu SMA negeri terbaik
Lami mempercepat langkah begitu sampai di halaman panti asuhan. Berjalan menyusuri lorong-lorong menuju kamar bibinya.
Dimana orang-orang..???
Lami memperlambat langkahnya begitu merasakan keganjalan, panti ini begitu sepi dan lenggang, tak ada satu pun orang-orang yang terlihat. Biasanya tidak seperti ini, walaupun suasana lenggang, tetap saja selalu ada anak-anak panti yang bermain atau pun para petugas yang hilir mudik. Lami langsung merasakan kejangalan yang tak biasa, menelan ludah dengan perasaan yang tak enak.
Ia kemudian mempercepat langkahnya menuju kamar sang bibi. Ketika dirinya telah dekat dengan ruangn itu, sayup-sayup didengarnya suara tangis bersahut-sahutan. Lami tanpa sadar berjalan gemetaran, entah mengapa dirinya langsung dibanjiri perasaan was-was dan takut.
Ia pun memegang knop pintu itu, mendorong pintu yang setengah terbuka itu perlahan. Dapat terlihat jelas anak-anak panti menangis bersahut-sahutan mengelilingi ranjang pemilik kamar ini.
Gadis itu membeku seketika, pandangannya mengabur mana kala terlihat sosok di ranjang sana yang tertidur dengan lelap, tak terpengaruh tangis disekitarnya. Dengan gemetaran gadis itu mendekat, tangis tak dapat ia bendung lagi ketika dirinya menyentuh tangan sosok itu yang terasa begitu dingin.
“Bi..bibi..bangun.” Lami mengguncang tubuh itu perlahan. “Bi..aku sudah lulus, bi. Aku bahkan rangking 1 dan bisa langsung sekolah di SMA yang bagus, bi.” Tangis gadis itu sambil terus mengguncang tubuh sang bibi yang tak memberi respon apapun. “Bibi belum lihat aku sukses. Bi..kuomohon bangunlah…Aku janji bakal sukses seperti yang bibi mau.” Tangis Lami semakin menjadi-jadi, dipenuhi rasa sesak yang terus mencekiknya perlahan. “Bi..kumohon..bi..bangun..” Lami memeluk sosok itu erat-erat, merasakan dinginnya permukaan kulit itu. Hanya tangis pilu yang menemani, tangis orang-orang yang telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.
Bibinya telah pergi untuk selama-lamanya….
***
Lami menghela nafas berat, memandang sosok dirinya yang remaja terduduk di dekat sebuah nisan memeluk lututnya, termenung sendirian. Kini ia telah berada dalam kilasan di mana bibinya telah meninggal, kesedihan dan penyesalan terbesar dalam hidupnya. Orang yang menyanginya dengan tulus pada akhirnya direnggut juga darinya. Telah satu minggu berlalu setelah kematian, dan Lami remaja selalu datang ke makam sang bibi setiap harinya, mengirimkan doa serta merenung dalam diam.
“Bi, Lena ngak datang juga.” Lami dapat melihat dirinya berucap lirih dengan padangan kosong. “Dia ngak datang, bahkan ketika bibi telah pergi.” Lami remaja memeluk lututnya erat, terpaku dalam diam.
Perlahan demi perlahan rintik-rintik hujan menumpahkan diri, menciptakan hujan lebat yang terus-menerus membasahi bumi tanpa ampun. Namun gadis itu sama sekali tak bergeming, tetap diam dalam posisinya yang memeluk lutut pun dengan tatapan kosong seolah tak terganggu dengan hujan yang kian deras membuat dirinya basah kuyup.
Lami hanya mampu memandang miris pada dirinya kini. Masa-masa ketika bibinya telah meninggal adalah masa terberat bagi dirinya. Tak ada lagi seseorang yang menopangnya, menyayanginya, dan menemaninya. Ia harus hidup sendiri, melawan takdirnya yang semakin hari semakin kejam.
***
Setelah duduk untuk waktu yang lama, akhirnya Lami remaja mulai bangkit. Memegang nisan sang bibi pelan, mengelusnya perlahan sebagai tanda perpisahan untuk hari ini.
Gadis itu kemudian mulai melangkah tak peduli dengan dirinya yang telah basa kuyup pun dengan roknya yang terkena lumpur saat duduk tadi.
Saat ini hujan telah reda, hanya menyisahkan rintik-rintik yang setia menemani. Gadis itu hanya memandang kosong, berjalan lurus dalam diam. Tak dipedulikannya genangan air maupun lumpur yang diinjaknya. Ia hanya berjalan lurus, memandang kosong ke depan.
Kini gadis itu telah berada di halaman panti asuhan, ia melangkah pelan menuju kamarnya. Namun sebelum ia menginjakan kaki ke dalam panti asuhan, seorang wanita menghadang langkahnya. Wanita sama yang ingin membiarkan dirinya diadopsi dulu.
“Kemana lagi kau, huh? Bukanya membantu mengurus panti kau malah keluyuran!” Wanita di hadapannya menghardik.
“Saya ke makam bibi.” Lami berucap lirih yang malah dibalas senyum culas dari wanita di hadapannya. “Setiap hari kau kesana tidak akan mengubah apa-apa! Kau seharusnya bekerja di sini menggantikan bibimu yang mati, bukan malah malas-malasan dan keluyuran seenaknya.” Wanita itu mendorong kepala Lami kasar, terlihat begitu pongah merendahkan. “Bersihkan seluruh ruangan. Kau tidak akan dapat makan malam jika semua ruangan di sini belum bersih.” Wanita itu menarik rambut Lami kasar, sehingga membuat netra kosong itu berpandangan dengan senyum angkuh wanita itu. “Dan kau harus tidur di luar. Itu hukuman untuk dirimu yang seenaknya!” Wanita itu mendorong kepala Lami kasar, melenggang pergi tak peduli. Menyisakan Lami yang hanya memandang kosong.
Dan hidup Lami semakin menyiksa dari hari ke hari.
Wanita itu layaknya seorang wanita jahat tak berperasaan. Setiap hari ia menyuruh Lami bekerja dan terus bekerja, bahkan tak peduli jika gadis itu sakit. Malahan ia akan dipukuli dengan sapu atau bahkan rotan tak tanggung-tanggung jika pekerjaannya dinilai tak becus.
Wanita itu tak segan-segan memukulinya, menyuruhnya tidur di halaman panti, atau bahkan tak memberinya makan seharian penuh. Semuanya dilakukan dengan tak berperasaan dan kejam.
Wanita itu memang adalah wanita jahat yang tak peduli pada anak panti lainnya, ia juga tak segan memukuli anak panti lainnya. Namun semua kemarahan dan kekejaman dari wanita itu yang terpendam di tumpahkan padanya, pada dirinya yang dianggap tak berguna.
Apalah daya seorang gadis remaja sepertinya. Pada akhirnya Lami hanya bisa bertahan dan terus bertahan. Demi tempat bernaung, demi makanan walaupun hanya sedikit, demi bibinya, demi masa depan yang sukses yang dijanjikannya pada sang bibi.
Aku akan terus bertahan, bahkan jika itu akan membunuhku…
To be Continued
Yey update lgi
Huhuhu kasian Lami dri kecil sengsara trs
Jdi sbnrnya yg mau diadopsi itu Lami yak, trs Lena klr cari roti dia disangka Lami gtu yak, aihhhh gmn sih ini, aq penasaran hihi
Ditunggu kelanjutanny
Semangat trs ya
:MAWARR
hidup lami benar2 bikin sedih,,, bayangin aja dri kecil hidupnya pnh dgn kesedihan,,,, :PATAHHATI :PATAHHATI
Huhuhu sedih jadi Lami??
:PEDIHH :PEDIHH
???
sedih banget jadi lami tp kayaknya aku jd penasaran deh semoga aja kafi sm lena ya thor. btw lami syg bgt hidupnya di sia siain bunuh diri:(
Sedih banget :PATAHHATI :PATAHHATI
???
????? jadi ikutan sedih dengan kondisi lami
:PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI tega bgt sih,dasar nenek lampir,kalo nyata dan di indonesia hukum membunuh penjahat adalah bebas,udah lama ku cincang dan ku jadiin umpan ikan kamu
:TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU
Kasian Lami,,
Sedihnya :PATAHHATI :PATAHHATI
sedih banget hidupnya Lami :PEDIHH
Sedih banget iniiii
Berharap memang sakit sih
Bertahan :berharapindah
Kasihan lami, kesedihan dan kepahitan datang silih berganti.. :huhuhu
Sedih yg tak berujung